Anak dengan disabilitas tak jarang masih diperlakukan diskriminatif termasuk kaitannya dengan pendidikan. Mereka dianggap “berbeda” dan dikucilkan. Namun film “Totto-chan: the Little Girl at the Window” menampilkan sebaliknya.
Dalam film ini, kita akan mendapatkan pengetahuan baru mengenai pendidikan khusus serta cara sekolah dalam memberikan edukasi kepada muridnya.
Film ini diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Tetsuko Kuroyanagi, alias ditulis langsung berdasarkan kisah nyata dari Totto-chan sendiri.
Layaknya buku diary, Totto-chan sebagai penulis menumpah-ruahkan perasaannya dalam cerita di akademinya yang sangat unik dan berbeda dengan sekolah lainnya.
Dalam versi novel, “Totto-chan” terbit pada tahun 1981 di Jepang dan sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Di Indonesia sendiri novel Totto-chan diterjemahkan dan terbit pada 2008 dengan judul “Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela”.
Jalan Cerita Totto-chan dengan Kehidupannya di Akademi Tomoe
Cerita ini berkisah pada tahun-tahun Perang Dunia II atau sebelum Perang Dunia II berakhir, Ketika Jepang dengan sekutunya sedang gencar-gencarnya melawan Amerika.
Totto-chan kecil yang duduk di bangku awal Sekolah Dasar rupaya dikeluarkan dari sekolah secara hormat karena perbedaan ekspresi emosi dengan anak-anak lainnya. Dalam film tersebut, Totto-chan sangat ceria dan hyperactive, ia seringkali membuat keributan kala kelas dimulai dan mengganggu proses belajar mengajar yang sedang berlangsung.
Guru yang sedang menjelaskan dan murid-murid lain pun terganggu. Hingga akhirnya guru tersebut memanggil ibu Totto-chan dan menyarankan untuk pindah sekolah yang sesuai dengan kepribadiannya.
Tentu saja Totto-chan berbeda dengan yang lainnya, ia tidak akan merasa nyaman berlama-lama duduk diam kemudian memperhatikan guru yang sedang menjelaskan materi di depan. Ia butuh pengajar khusus yang bisa memfasilitasi kondisi dan latar belakangnya.
Akhirnya ibu Totto-chan menemukan sekolah yang sekiranya cocok dengan kepribadian buah hatinya. Perasaan was-was dirinya sulit ditepis karena khawatir Totto-chan membuat gaduh kembali di sekolah barunya. Namun, apa yang dipikirkan ibunya justru berbanding terbalik dengan kenyataannya.
Kepala sekolah Tomoe Gakuen justru cukup antusias dengan kehadiran Totto-chan. Sebelum benar-benar diterima menjadi murid Tomoe Gakuen, Totto-chan dihadapkan satu pertanyaan.
“Apa saja yang kau suka?”
Baca Juga: Film ‘Dua Hati Biru’ Gejolak Keluarga Muda Bertarung dengan Realitas
Tidak perlu banyak berpikir lama, Totto-chan menceritakan semua yang ia suka dalam waktu empat jam dan kepala sekolah tersebut tetap setia mendengarkan cerita Totto-chan.
Metode ini adalah tes awal dan akhir sebelum akhirnya Totto-chan resmi menjadi murid di Tomoe Gakuen: mendengarkan calon anak didiknya yang tidak semua orang mau dan miliki. Ini metode sederhana yang memiliki makna bahwa semua anak perlu didengar dan dihargai setiap perkataannya.
Makan siang di Tomoe Gakuen menurut Totto-chan sangat menyenangkan dan belum pernah ia dapatkan di sekolah lamanya. Seperti biasa, para murid berkumpul di aula besar dan mengeluarkan kotak bekal masing-masing dengan antusias, sebelum bapak kepala sekolah mengatakan satu kalimat.
“Apakah anak-anak membawa sesuatu dari laut dan sesuatu dari pegunungan?”
Mulai dari kalimat itu para murid mulai beradu menunjukkan kotak bekal masing-masing, tetapi jika ada yang keliru membawa menu yang tidak sesuai, sekolah akan memberikan menu sesuatu yang di laut atau sesuatu yang di pegunungan.
Sederhana tapi tidak semua orang bisa. Tomoe Gakuen menerapkan metode yang manis dan kreatif dalam memberikan edukasi kepada anak muridnya.
Keesokan harinya ia bisa langsung bersekolah di Tomoe Gakuen. Totto-chan sangat antusias melihat sekolah barunya, sebab kelas-kelas yang biasanya berbentuk kotak membosankan justru di sekolah ini merupakan sebuah gerbong kereta.
Menurutnya, kelas dengan gerbong kereta sangat fantastis dan tidak membosankan. Pun dengan cara guru mengajar materi tidak membuat jenuh dan mengeluh seperti sekolah lamanya.
Baca Juga: Selamat Hari Film: Produksi Film Banyak, Namun Kenapa Film Anak Sangat Minim?
Sistem belajar di Tomoe Gakuen juga cukup berbeda. Di jam pelajaran pertama guru membuat daftar soal dan pertanyaan mengenai materi-materi yang akan diajarkan pada hari itu. Kemudian, terdapat pelajaran aneh, sebab guru akan memerintahkan muridnya untuk melakukan apa yang mereka suka dari daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya.
“Sekarang, mulailah dengan salah satu dari ini. Pilih yang kalian suka,” kata guru di Tomoe Gakuen.
Dari metode ini, tidak ada istilah murid belajar semua pelajaran meski mereka tidak suka. Di Tomoe Gakuen, para murid memilih belajar dan mengerjakan apa yang mereka suka.
Dalam kelas gerbong kereta api itu setiap anak murid melakukan hal yang berbeda-beda. Ada anak yang suka menulis maka dia menulis, terdapat anak menyukai berhitung maka dia belajar matematika, pun ada anak yang gemar fisika maka dia sibuk eksperimen dengan tabung-tabung ukurnya. Semuanya diawali dengan rasa suka yang tidak ada paksaan.
Film “Totto-chan” tidak hanya menyajikan pendidikan yang unik dan menyenangkan. Lebih dari itu, bapak kepala sekolah membuat suasana sekolah yang hangat dan aman untuk anak-anak. Semua kebutuhan anak-anak terpenuhi.
Hal ini juga diperkuat karena setiap anak memiliki latar belakang yang berbeda. Layaknya Totto-chan, meski ia tidak diceritakan dengan gamblang, gadis kecil itu memiliki kelainan saraf yang harus digerakkan. Jika ia dibatasi pergerakannya, akan berakibat stress terhadap anak. Pun dengan murid lainnya, seperti anak yang memiliki sakit polio, badan yang tidak akan pernah meninggi, dan disabilitas lainnya
Sederhana Tapi Tidak Semua Sekolah Bisa
Lingkungan sekolah Tomoe Gakuen menurut saya adalah sekolah yang bisa saja diimpi-impikan oleh semua anak. Lingkungan sekolah yang unik, teman-teman yang saling support, fasilitas yang memadai, dan pengajar yang selalu semangat serta hati-hati dalam menyampaikan ilmu pengetahuan.
Metode pengajaran yang dipilih pun berdasarkan kebutuhan anak muridnya sehingga tidak ada paksaan dan perasaan jenuh dalam menimba ilmu. Terlebih dari itu, bapak kepala sekolah melakukan bonding kepada para murid sehingga apa yang murid rasakan kepala sekolah langsung dengarkan tanpa perantara.
Celah-celah kekurangan sekolah langsung ditambal demi kenyamanan murid di sekolah. Seperti halnya bapak kepala sekolah mendengarkan curhatan Yasuaki Yamamoto, anak yang memiliki Polio kepada Totto-chan.
Ia seringkali di kelas gerbong kereta api ketika teman-teman lainnya bermain di luar saat jam istirahat. Ia mengatakan kepada Totto-chan bahwa semua koleksi buku di sekolah telah ia baca sehingga ia tidak berselera keluar atau membaca dua kali buku yang sama. Hal itu didengar oleh kepala sekolah. Kemudian keesokan harinya ia langsung mendatangkan satu gerbong kereta lagi yang nantinya akan menjadi perpustakaan sekolah dengan koleksi buku-buku baru.
Baca Juga: Film ‘Tiger Stripes’ Gejolak Remaja Lawan Mitos Menstruasi
Tidak ada istilah kompetisi dalam sekolah ini karena semuanya memiliki hobi, kesukaan, dan cita-cita yang berbeda. Rasanya jika orang-orang mengetahui sekolah seperti Tomoe Gakuen, mungkin para anak akan senang melewati hari-hari di sekolah. Guru-gurunya pun sangat lembut dalam mengajar.
Tidak ada bentuk diskriminasi di sekolah. Bahkan, Tomoe Gakuen adalah ruang yang aman untuk para murid. Semua aspek dalam Tomoe Gakuen sangat indah karena kepala sekolah dan guru-gurunya sangat mencintai anak-anak. Sehingga mereka melakukan apapun dengan suka cita dan bergembira berada di sekitar murid.
Dalam penayangan film “Totto-chan: The Little Girl at The Window”, setiap adegannya dibalut dengan menarik dan setiap di luar dialog. Mereka menyisipkan makna tersirat yang indah, dengan banyak menyimbolkan ketulusan, kepolosan, dan kesetiaan anak-anak. Sayangnya, film ini tidak memuat seluruh cerita di dalam novel sehingga beberapa adegan atau dialog di novel tidak tayang dalam film.
(sumber foto: YouTube 東宝MOVIEチャンネル)