Stalking online adalah bentuk KBGO

Stalking Itu Kekerasan, Bukan Kasih Sayang: Melihat Kasus Stalking AP Ke N

Seorang perempuan (N) speak up soal stalking online yang dilakukan teman sekolahnya (AP), selama 10 tahun terakhir di media sosial. Tindakan AP adalah bentuk KBGO.

N tidak pernah menyangka bahwa perbuatan baiknya pada AP, teman sekolahnya, 10 tahun silam akan berujung pada teror tiada henti. Ratusan akun menghujani berandanya, mengunggah cerita-cerita, foto, dan video obsesif terhadap N. Bahkan, AP juga menjadikan N sebagai objek pemuas nafsunya.

Kronologi teror 10 tahun ini diceritakan N melalui akun X-nya. Cerita ini mendadak ramai di media sosial. Sebab, tindakan AP yang nekat dan kelewat batas membuat N merasa sangat tidak nyaman. Segala cara telah dilakukan N agar AP berhenti melakukan aksinya, tetapi nihil hasil. AP justru makin menjadi-jadi.

Kisah berawal ketika N dan AP masih duduk di bangku sekolah. AP dikenal sebagai anak yang pendiam, tidak punya teman, dan jarang ke kantin. Suatu hari, N meminjamkan uang 5 ribu rupiah agar AP bisa makan di kantin. Sayangnya, sikap baik N justru tidak berbuah baik.

“Aku cuma kasih kamu uang 5000 Di, kamu kasih aku neraka 10 tahun,” tulis N dalam cuitan X pada Kamis (16/5/2024).

Berbagai macam upaya dilakukan AP agar bisa berhubungan dengan N. Ia membuat akun Shopee, menjajakan sandal dengan harapan uang yang terkumpul bisa jadi modal menikahi N. Toko AP terbukti sukses dan mendapatkan rating yang bagus dari para pembelinya.

Di satu sisi, AP terus menghubungi N, membuat ratusan akun media sosial agar tetap bisa tahu aktivitas N. Ia juga selalu membeli bunga, buku, dan kue untuk merayakan ulang tahun N meski tidak bisa bertemu. Tidak sampai di situ, AP juga sering membuat cuitan berisi ajakan menikah hingga pelecehan seksual.

N sudah melakukan berbagai cara agar AP berhenti mengganggunya. Mulai dari bicara baik-baik, memblokir semua akun media sosial, melabrak, mendatangi keluarga, sampai berpura-pura tunangan. Namun, hal tersebut tak lantas membuat AP jera.

Stalking Itu Kekerasan, Bukan Bentuk Kasih Sayang

AP tak cukup hanya meneror N dengan ratusan akun yang dibuatnya. Ia sering mengirimkan foto alat kelaminnya kepada N. Bahkan, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur juga menemukan foto-foto N yang sengaja diedit vulgar oleh AP. Foto tersebut dijadikan objek pemuas nafsu yang secara terang-terangan juga diungkapkan AP melalui cuitannya.

AP tidak ragu menuliskan keinginannya untuk berhubungan seksual. Dalam beberapa cuitannya, AP menerangkan secara vulgar, melecehkan N secara terang-terangan. Ia juga menyebut N dengan istilah lonte, tidak perawan, dan masih banyak lagi. Hal ini tentu membuat N sangat geram.

N kemudian melaporkan AP ke Polda Jatim pada 17 Mei 2024. Dilansir dari Suarasurabaya.net, pelaporan ini dilakukan setelah N mendapatkan banyak dukungan dan hidupnya sangat terganggu. AP bisa datang dinihari ke rumahnya dan menunggu N di depan rumah hingga subuh, padahal N sudah mencegahnya. Saat ini kasus ini masih dalam penyelidikan polisi.

Tindakan AP termasuk kekerasan berbasis gender online (KBGO). Kekerasan ini terjadi atas dasar relasi kuasa gender antara korban dan pelaku di ruang digital atau memakai teknologi digital sebagai medium. Pelaku berniat atau bermaksud melecehka dan korban berdasarkan identitas gender atau seksualnya. 

Tindakan AP mencakup penguntitan di ranah digital. Impersonasi, dalam kasus ini pelaku membuat akun/profil yang dipakai untuk mengunggah konten-konten provokatif ataupun seksual tentang korban. Pelaku juga berkomentar kasar, menjadikan N sebagai objek seksual, melecehkan lewat pesan, hingga mengirimkan foto alat kelaminnya.

Baca Juga: Perempuan Butuh Teknologi Untuk Atasi Stalking dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2024, sebanyak 927 kasus KBGO terjadi sepanjang 2023. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 869 kasus. Pasca pandemi COVID-19, kasus KBGO memang marak dilaporkan seiring penggunaan internet yang makin masif.

Meski begitu, ada warganet yang justru menganggap tindakan AP sebagai bentuk rasa cinta yang mendalam. Hal ini tentu mengaburkan fakta bahwa AP telah melakukan kekerasan terhadap N. Penguntitan sama sekali bukan bentuk cinta. Tindakan AP bukan lagi soal perasaan, tetapi obsesi berlebihan.

Tantangan Melaporkan Kasus KBGO

Direktur Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Nenden Sekar Arum menyebut bahwa tindakan stalking yang dilakukan AP termasuk KBGO. Sebab, ia secara spesifik menyasar perempuan dan memiliki intensi menjadikan korban sebagai pasangan romantis. 

Di awal, penguntitan bisa saja dianggap remeh karena hanya terjadi secara online. Padahal jika dibiarkan justru bisa berdampak lebih buruk sampai ke dunia nyata. Terlebih AP juga sempat mengancam akan melakukan pembunuhan terhadap N. Ia tak ragu mendatangi kota tempat  N tinggal.

“Ketika stalking atau penguntitan itu berdampak pada rasa yang tidak nyaman atau seseorang merasa tidak nyaman, tentu saja itu sudah berbahaya dan memang harus dihentikan untuk memastikan tidak ada dampak yang lebih buruk,” ujar Nenden kepada Konde.co pada Jumat (24/5/2024).

Namun, pelaporan KBGO memang memiliki tantangannya tersendiri. Tidak semua orang punya pengetahuan yang cukup tentang KBGO. Hal ini membuat orang-orang tidak sadar jika sedang menjadi korban KBGO. Mereka hanya menganggap itu sebagai risiko memakai media sosial.

Ketika korban melaporkan, belum tentu mendapatkan respons yang baik dari kepolisian. Bahkan untuk sekadar mencari support saja sulit. Belum lagi akses menuju kantor polisi yang sulit dijangkau.

“Di banyak kepolisian di tingkat-tingkat terkecil itu banyak juga yang tidak memiliki kapasitas untuk menangani KBGO,” tambahnya.

Baca Juga: Ayah di Aceh Perkosa Anaknya Hingga Melahirkan, Korban Kesana Kemari Cari Keadilan 

Menurut Nenden, masih ada aparat penegak hukum yang tidak paham bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender online. Mereka menganggap KBGO sebagai bercandaan semata. Hal ini tentu mempersulit dalam proses pelaporan karena bukti-bukti yang kurang atau dianggap tidak sesuai.

Memviralkan kasus memang menjadi alternatif agar bisa mendapatkan keadilan–dan atensi publik. Terlebih setelah munculnya termno viral no justice (tidak viral tidak ada keadilan)”. Namun, kita juga harus memperhatikan risikonya. Jangan sampai kasus tersebut justru berbalik pada korban.

“Ketika dalam proses memviralkan atau mempublikasikan itu ada data orang yang disebarkan, dan itu dianggap sebagai salah satu cara serangan kepada si pelaku. Pelaku sangat mungkin mengkriminalisasi dengan UU ITE, pasal pencemaran nama baik,” ujar Nenden.

Perlu disadari pula bahwa dalam memviralkan sesuatu, ada kemungkinan masyarakat justru akan mencari informasi tentang korban. Hal ini juga perlu diwaspadai agar korban tetap aman dan terlindungi privasinya.

Tips Aman dari Stalking di Dunia Digital

Dari kasus yang menimpa N, Nenden membagikan beberapa tips aman dari perilaku penguntitan di media sosial dan aman di dunia digital. Tips tersebut diantaranya:

Membatasi menyebarkan data pribadi

Pertama yaitu membatasi menyebarkan data-data pribadi seperti nama, NIK, SIM, alamat rumah, nomor ponsel pribadi, tempat tanggal lahir, nomor kendaraan, dan lain sebagainya.

“Biasanya penguntit melakukan aksinya mencari data ataupun informasi-informasi misalnya hal-hal yang kita bagikan di media sosial, di internet, dan di platform digital lain,” ujar Nenden.

Cara lainnya bisa dilakukan dengan membatasi orang-orang yang bisa mengakses media sosial. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk privat akun pribadi, terlebih jika merasa sedang diintai atau tiba-tiba muncul akun tidak jelas.

Membatasi informasi yang dibagikan di media sosial

Selain data pribadi, hal lain yang perlu dibatasi adalah informasi tentang keseharian. Misalnya rute dari tempat tinggal menuju ke kantor, sekolah, atau kampus, jam berapa biasanya pergi, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya.

“Secara tidak sadar kita merasa itu harmless ya, tidak berbahaya karena kita cuma mau berbagi informasi saja. Tapi ketika orang-orang punya niat buruk, hal itu bisa dimanfaatkan untuk menarget seseorang,” ujar Nenden.

Tidak bisa dipungkiri terkadang ada keinginan untuk membagikan informasi ketika sedang berada di suatu tempat. Hal ini tetap bisa dilakukan dengan cara mengunggahnya secara terlambat (latepost) alias tidak pada waktu tersebut. Unggah ketika sudah pergi dari lokasi agar pelaku tidak ada kesempatan untuk mengikuti.

Mencari bantuan dari orang lain

Jika pelaku penguntitan berasal dari orang terdekat atau orang yang dikenal, sangat disarankan untuk mencari bantuan dari orang lain. Terlebih jika pelaku mengetahui alamat rumah korban atau target stalking-nya.

“Kalau memang sudah sangat mengganggu, sudah muncul ancaman-ancaman di dunia nyata, memang disarankan untuk mencari dukungan aparat penegak hukum,” ujar Nenden.

Korban juga bisa melampirkan bukti-bukti pendukung untuk mempermudah polisi saat menelusuri jejak pelaku. Dengan begitu, korban juga bisa mendapatkan perlindungan yang optimal dari aparat penegak hukum.

“Dengan menyadari risiko-risikonya, ini akan membuat kita lebih waspada dan lebih bijak untuk membagikan hal-hal yang mungkin berpotensi menjadi bahan atau senjata para pelaku stalking,” pungkas Nenden.

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!