Perempuan dituntut untuk sempurna sehingga mengganggu kesehatan mental

Aku Perempuan, Tak Perlu Sempurna, yang Penting Bahagia

Sebagai perempuan, kita sering dituntut untuk serba bisa atau multitasking. Jika sudah memenuhi ini, apakah kita akan merasakan bahagia?

Jawabannya adalah tidak. Belum tentu kita juga akan bahagia jika kita sudah memenuhi semua tuntutan lingkungan kita.

Hidup di dalam masyarakat yang begitu kental dengan budaya patriarki, perempuan dituntut serba multitasking. Ini yang membuat kita seperti diburu-buru waktu setiap hari yang membuat kesehatan mental kita terganggu. Padahal multitasking itu hanya mitos yang tak mungkin bisa dicapai meski kita berjuang meraihnya.

Kesempurnaan tak mungkin bisa kita capai, karena setiap orang berbeda dalam hal fisik, karakter, dan juga kepribadiaan. Kecuali jika kita menghendaki setiap orang harus sama. Sementara Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya namun berbeda-beda dalam setiap individu.

Sebuah survei yang diinisiasi Maybelline bekerja sama dengan jakpat terhadap 1.002 perempuan berusia 18-25 tahun menemukan, sebanyak 10 dari 10 kaum Gen Z perempuan mengalami gejala isu kesehatan mental. Lalu 6 dari 10 mengakui dan mengidentifikasi bahwa ada masalah kesehatan mental, dan 1 dari 10 yang sudah cari bantuan profesional.

Baca Juga: ‘Apakah Harus Jadi Korban Yang Sempurna agar Dibela?’ Pertanyaan Mitos yang Harus Disudahi

Banyak faktor yang menjadi pemicu masalah kesehatan mental perempuan, apalagi dalam ranah domestik. Ada semacam oversize tanggung jawab, kekerasan yang dialami, lingkungan yang diskriminatif dan tidak ramah, dapat mengganggu kesehatan mental perempuan.

Buatku, bicara soal kesehatan mental perempuan adalah bicara soal menyadari potensi diri agar tenang dan tenteram, selaras dengan lingkungan. Lalu memahami diri sendiri agar tahu apa yang diinginkan, dan jauh dari tekanan.

Itu prinsipku tentang kesehatan mental. Yaitu melihat jauh ke dalam batin, tanpa harus merasakan tekanan dari orang lain. Ini yang aku sebut menuju rasa bahagia. 

Menurut feminis muslim Indonesia, Dr. Nur Rofiah, secara biologis, perempuan juga mengalami lima reproduksi dalam hidupnya. Yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Secara sosial, perempuan rentan mengalami ketidakadilan berbasis gender, yaitu diperlakukan tidak adil. 

Perempuan sering mengalami lima hal, yaitu stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan juga beban ganda. 

Jika pengalaman dan perlakuan terhadap perempuan ini tidak diperhatikan, maka akan berdampak pada kesehatan mental perempuan. Perempuan rentan tidak sehat secara psikis karena tuntutan beban peran yang melekat pada tubuhnya. Bahkan akan berdampak panjang karena berbagai hal yang dialaminya yang tak pernah lepas dari pertarungan antara rasa senang, kesal dan sedih terhadap dirinya sendiri.

Baca Juga: Tubuh LGBT: ‘Sempurna’ Atau ‘Tidak Sempurna’ Stop Menghakimi

Kita tak bisa menghilangkan fenomena yang menyakitkan yang ada di dalam diri perempuan kecuali dengan bersikap empati sebagai kekuatan jiwa perempuan. Kriteria yang kejam yang dilekatkan masyarakat terhadap diri perempuan membuat perempuan harus melawan kehendak diri sendiri agar terlihat sesuai. Jika berbeda, ia tidak dianggap sempurna karena tidak sesuai dengan standar sosial. Lalu pada akhirnya mengalami depresi, tak memiliki kemandirian dalam berpikir tentang diri sendiri dalam menentukan hidupnya.

Pilihan hidup yang membentuk karakter individu perempuan, lalu berjalan sesuai dengan sudut pandang orang lain yang saking terlalu banyak untuk diikuti. Jika mental kita sedang buruk, tentu akan berpengaruh pada cara kita memandang dan menjalani kehidupan sehari-hari, lalu berdampak pada suasana hati, hubungan dengan orang lain, pola pikir, yang akhirnya mengarah pada perilaku buruk, dan bahkan bisa memicu hasrat untuk menyakiti diri sendiri.

Hal ini dapat berdampak juga pada fisik kita, untuk kemudian rentan sakit, sulit tidur, pusing, tidak selera makan, gerakan tubuh menjadi lambat karena terobsesi pada mitos menjadi perempuan Ideal sebagai respon terhadap ketakutannya akan standar kesempurnaan yang berlaku secara umum.

Jadi mari kita jangan menjadikan tolak ukur hanya pada pandangan umum yang bersifat relatif tidak selaras dengan diri sendiri. 

Mari apresiasi diri sendiri dengan menerima apa adanya diri, jadilah obat untuk diri sendiri, jalankan hobi, berolahragalah, mengembangkan jaringan berkomunitas, menambah relasi positif, ubah gaya sesuai keinginan kita. Yuk, kita bisa!

Hajar Tatu Arsad

Pencinta Cahaya Bulan. Bukan mualim, terus ngaji hidup. Sangat menyukai hal-hal yang berbau alam, karena ingin selalu bertumbuh. Tinggal Banggai, Sulawesi tengah. Bisa ditemui di IG : @hta10_
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!