Minggu, 10 Maret 2024. Semilir angin dan rimbun pepohonan memagari rumah Sugima.
Perempuan berusia 40 tahun itu lekas tidur, dirinya merasa letih setelah bertani dari pagi hingga siang, lalu mengaji di sore hari bersama ibunya. Suasana syahdu di Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, membikin tidur Sugima menjadi lebih nyaman.
Tapi, ada satu hal yang membuat tidur para petani Pakel tidak tenang. Setiap hari, mereka harus patroli bergantian di posko pendudukan lahan supaya tanah leluhur Desa Pakel tak dirampas PT Bumisari.
Selepas Isya, dua petani mengetok pintu rumah. Sugima kaget dan terbangun dari tidur.
“Minyak pijat? Buat apa? Apa ada yang luka?,” tanya Sugima.
“Enggak, buat jaga-jaga saja,” jawab salah satu petani.
Sugima mengambil minyak pijat lalu memberikan kepada dua petani. Mereka bergegas pergi. Menyisakan rasa penasaran dalam hati Sugima. Ia khawatir terjadi hal buruk kepada para petani yang sedang berjaga, termasuk suaminya, Haryanto.
Apalagi, sejak sehari sebelumnya, para petani yang tergabung dalam Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP) mengetatkan penjagaan. Sebab, salah satu posko pendudukan lahan milik petani Pakel dirobohkan dan dibakar. Dugaan petani Pakel, semua itu adalah ulah satpam PT Bumisari.
Konflik agraria di Pakel ini sudah terjadi sejak lama yang melibatkan PT Bumisari dengan warga Rukun Tani Sumberejo Pakel. Warga Pakel menyatakan, tanah mereka akan diambil paksa menyusul penangkapan beberapa petani disana.
Baca juga: Di Balik Sepiring Nasi Yang Kita Santap, Tersembunyi Keringat dan Air Mata Perempuan Petani
Seorang petani lain datang ke rumah Sugima. Kali ini pamannya. Ia memberi kabar ke Sugima bahwa Haryanto dibawa ke Puskesmas Licin. Kekhawatiran Sugima benar-benar terjadi. Ia bergegas menyusul suaminya.
Laki-laki 36 tahun itu terbaring di kasur pasien. Tengkuk lehernya bengkak, bekas dihantam benda tumpul. Setelah dilihat-lihat oleh dokter, Haryanto mendapat obat. Jam 12 malam, ia meminta pulang.
Keesokan harinya, para petani Pakel menjenguk ke rumah Sugima dan Haryanto. Leher Haryanto masih sakit, tidak bisa menoleh ke kanan dan kiri. Sambil menahan sakit, Haryanto menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Malam itu, Haryanto berjaga di salah satu pertigaan jalan. Cahaya bulan tertutup rimbun daun pohon mahoni. Haryanto juga tak membawa senter. Di jalan bercor semen itu, ia berpapasan dengan seseorang berkaos hitam ketat, tengah duduk di atas gedebok pisang. Orang itu memakai penutup wajah dan membawa parang. Sosoknya mirip preman PT Bumisari yang menebangi pohon pisang milik petani Pakel beberapa hari lalu.
“Mas ngapain ke sini? Mas orang mana?” tanya Haryanto kala itu.
Orang berbaju hitam itu tidak menjawab. Haryanto mendekatinya. Tiba-tiba, orang itu hendak mencabut parang. Refleks, Haryanto merunduk untuk mengambil kayu di sebelah kakinya. Sebelum memegang kayu, dari balik pohon mahoni muncul orang lain yang menghantam tengkuk leher Haryanto dengan benda tumpul.
Setelah dihantam, Haryanto masih kuat berdiri meski hampir limbung. Orang-orang itu segera pergi dengan menaiki motor. Haryanto terus memegangi tengkuk lehernya, ia khawatir akan keluar darah. Lalu Haryanto berteriak meminta tolong.
Dua menit berlalu, Haryanto sudah tidak kuat, ia terjatuh ke belakang. Tak lama, 5 petani Pakel menggampirinya. Mereka segera membawa Haryanto ke Puskesmas Licin.
Kamis pagi, 14 Maret 2024, puasa memasuki hari ke tiga. Sugima dan Haryanto mendapat kabar adanya serangan lagi dari massa PT Bumisari. Meski Haryanto baru saja pulih, ia dan Sugima segera bergabung dengan para petani Pakel lainnya di lahan pendudukan.
Baca juga: Petani Digusur Aktivis Dibungkam, Merdeka Harusnya Tidak Begini
Para petani dibagi ke dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok berjaga di sebelah barat, timur, dan tengah di lahan berbukit seluas kurang lebih 330 hektare. Para petani Pakel bersiap pasang badan untuk menjaga tanah leluhur. Meski harus lebam karena represi, mereka siap untuk berperang dengan PT Bumisari.
Pukul 08.37 WIB, massa PT Bumisari berdatangan. Kali ini jumlahnya lebih banyak. Ada sekitar 300 orang yang diduga gabungan satpam, buruh PT Bumisari, dan preman bayaran. Sugima dan 14 petani di kelompoknya berjaga di bukit Barat.
“Ayooo…maju, majuu! Maju! Tebaang!,” seorang satpam berteriak dengan megaphone, memberi komando untuk menebangi tanaman milik petani Pakel.
Ratusan massa PT Bumisari menebangi pisang, jagung, dan berbagai tanaman lainnya. Para petani Pakel berdatangan ke lokasi penebangan. Lahan pendudukan seketika menjadi riuh. Gemuruh teriakan petani Pakel bersahutan dengan massa PT Bumisari.
Massa PT Bumisari menyebar ke berbagai arah. Para petani Pakel terus mengikuti untuk menghentikan penebangan tanaman. Di sebelah barat, salah satu orang yang diduga preman bayaran menarik lengan perempuan petani Pakel. Preman itu memakai jaket merah. Wajahnya ditutupi masker. Ia membawa pisau dan pistol.
“Ayo, ayo, mau dihukum?,” ancam preman itu dengan garang.
Perempuan petani Pakel membalas, “Mau dihukum gimana? Saya bukan maling.”.
Perempuan itu adalah bibinya Sugima. Tak berhasil menak-nakuti, preman itu meninggalkan sang bibi. Preman berjaket merah bersama dua preman lainnya, satu berkaos hitam, satu berjaket biru, melanjutkan penebangan ke arah bukit barat.
Sesampainya di atas bukit, ketiga preman bertemu dengan Sugima dan kelompoknya. Preman berjaket merah mengambil pistol warna hijau tua lalu menodongkannya kepada Sugima.
“Mau tembak? Tembak!.” tantang Sugima.
Preman itu diam dan terus menodongkan pistol. Tak lama, ia menarik pelatuknya.
“Dorr! Dorr!,” dua proyektil peluru lepas dari selongsongnya.
Baca juga: Petaka Bagi Warga, Perempuan Wadas Tolak Pembangunan Tambang Dan Bendungan
Sugima masih berdiri tegap. Ia tetap menatap nyalang ke arah preman berjaket merah. Sugima menyadari bahwa preman itu tak berani menembakkan peluru ke arahnya. Preman berjaket merah hanya menembak ke arah atas dan bawah untuk menakut-nakuti Sugima.
“Munduurr!” preman itu berteriak. “Munduurr!” ia terus menodongkan pistol. Sugima tetap berdiri di depannya.
Kembali tak berhasil menakut-nakuti, preman berjaket merah dan dua preman lain mulai mengabaikan Sugima. Mereka lanjut menebangi tanaman. Melihat tanaman pisang ditebangi, Sugima sakit hati. Bagi Sugima, tanaman itu sudah seperti anak sendiri yang dirawat dari kecil. Bahkan beberapa pisang sudah ada yang berbuah, tebasan golok tajam membuat tanaman itu terbelah. Sugima mendadak marah.
“Ngapain tebang-tebang?,” Sugima berupaya menahan preman-preman itu.
“Jangan berkebun di sini!,” balas preman kaos hitam.
“Alasannya apa?.”
“Ya pokoknya nggak boleh berkebun di sini!.”
Merasa kesal dengan kelakuan tiga preman itu, Sugima mengambil kayu. Tangannya terus memegangi kayu dengan erat. Di detik itu, Sugima menyadari bahwa ada kuasa negara yang menahan tangannya untuk melukai preman-preman. Ia memahami keberadaan hukum di Indonesia tidak akan membela petani yang mempertahankan tanah leluhurnya.
Akhirnya, kayu itu terus dipegang untuk berjaga-jaga. Sugima bersama petani sekelompoknya terus mengejar dan meneriaki preman-preman yang menebangi tanaman.
Tiba-tiba, lengan kanan Sugima digenggam oleh preman berkaos hitam. Preman berjaket biru ikut memegang lengan kiri Sugima. Kedua preman itu menarik-narik lengan Sugima. Tubuh Sugima meronta-ronta sekuat tenaga berupaya melepaskan diri dari cengkeraman kedua preman itu. Kemudian, Sugima terjatuh di sebelah pohon pisang.
Baca juga: Edisi Perempuan NTT: Walau Rajin Berladang, Tapi Pembangunan Meninggalkan Perempuan
Sugima cepat-cepat berdiri sontak berteriak,“Seenaknya nebang-nebang!”
Preman kaos hitam mengangkat goloknya, bersiap untuk melayangkan tebasan. Satu pohon pisang tumbang memalang jalan setapak di depan Sugima.
Lantas, ketiga preman pergi ke arah barat, meninggalkan Sugima yang terdiam. Preman-preman itu semakin jauh dari pandangan Sugima. Ia mulai merasa gemetar di sekujur tubuhnya. Nafasnya sesak. Jari-jarinya lemas. Punggungnya sakit. Kepalanya pusing.
Pukul 14.00 WIB, massa PT Bumisari mulai mundur. Perang hari itu berakhir dengan tanaman milik petani Pakel di lahan sekitar 20.000 meter persegi habis ditebang. Tiga pondok dirusak, lainnya dibakar. Sugima dibawa ke posko pendudukan untuk istirahat. Ia mendengar kabar 4 perempuan petani Pakel lainnya juga mendapat kekerasan fisik.
Sugima baru pulang ke rumah ketika hari menjelang malam. Haryanto memijat Sugima. Tubuhnya semakin merasa sakit. Jari-jarinya bengkak, tak bisa digerakkan dengan normal. Tulang rusuk dan sekitar dada terasa ngilu. Rasa sakitnya membuat Sugima tersengal-sengal kesusahan bernapas.
Perjuangan para petani Pakel seakan-akan menjadi perang yang tidak akan dimenangkan. Tapi, bagi Sugima, menang itu bukan sekedar soal menang di pengadilan atau memukul mundur PT Bumisari. Kemenangan yang sesungguhnya adalah terus berdiri untuk mempertahankan hak atas tanah.
“Menang gak menang, tetap mempertahankan. Kalau petani bersatu, saya yakin Bumisari bisa diusir,” Sugima tegas berujar.
Keesokan harinya, massa PT Bumisari datang lagi. Perang terus berlanjut hingga 9 hari ke depan saat puasa memasuki hari ke 13.
Sanibe, Lahannya Porak-Poranda dan Ditebang Habis
Dua hari setelah perang mereda, matahari mulai naik sepenggalahan, beberapa petani terlihat beraktivitas di lahan. Sanibe menyusuri jalanan bercor semen menuju lahannya.
Sanibe, ia seorang petani perempuan yang tergabung dalam RTSP. Meski tidak merasa kaget karena sudah mendengar kabar pembabatan, ia sempat tercenung mendapati lahannya porak poranda. Tanamannya turut ditebangi saat penyerangan pertama. Lantas pada penyerangan kedua, tanaman Sanibe benar-benar ditebang habis.
Lokasi lahan Sanibe hanya terpisah sungai kecil dengan lahan perkebunan PT Bumisari. Tanaman di lahan seperempat hektare itu resik, hanya menyisakan benih cabai yang ia tutupi dedaunan.
Sebelumnya, di lahan, Sanibe menanam beragam bahan pangan untuk dikonsumsi harian dan dijual. Kacang panjang, singkong, pisang, jengkol, mentimun, jagung, durian, dan banyak lainnya.
“Duh, mik tadek sakale singkong reh ebuneng ka dimma? Singkongnya bhuru ngak riya la tadek. Keddheng ruwah mon abuwe ye ejhuwel. Satiya tadek se bisa earep. [Aduh, kok nggak ada sama sekali singkong ini dibuang ke mana? Singkongnya baru segini sudah habis. Pisang itu kalau berbuah ya dijual. Sekarang nggak ada yang diharapkan],” keluh Sanibe saat itu.
Saat kejadian penebangan pun, Sanibe tak berada di lahan. Fisiknya mulai uzur dan tak memungkinkan untuk bisa bergegas ke lahan.
Baca juga: Papua Bukan Tanah Kosong, Tanah bagi Kami adalah Mama
Di sisi lain, perempuan yang dalam kartu identitas berusia 79 tahun itu, sempat merasa miris dan takut untuk kembali ke lahan. Sebab ia bertetangga dengan sekuriti PT Bumisari, yang telah menebang tanaman Sanibe.
Sanibe tak merasa marah. Ia menyusuri lahan, mengabsen satu persatu tanamannya. Sanibe berharap tanaman yang tak mati sepenuhnya bisa bersemi kembali.
“Tumbuh lagi kamu,” pinta Sanibe mengelus pohon pisang yang tunasnya mulai menyembul.
Sanibe merencanakan menanam kembali jagung dan beberapa tanaman hortikultura lain. Petani lain yang tergabung dalam RTSP juga bergotong royong menanami kembali lahan petani yang ditebangi.
Penyerangan PT Bumisari begitu berdampak bagi Sanibe. Padahal, Sanibe harus menempuh waktu dua jam waktu berjalan kaki pulang pergi ke lahannya. Kini, untuk memenuhi kebutuhan sayur mayur sehari-hari, Ia harus mencari pakis dan selada air di tepian sungai pinggir lahannya.
Untuk sementara waktu, sebagai bentuk solidarias perjuangan, petani RTSP yang lahannya tak diserang membagikan sebagian hasil panenan mereka untuk para petani yang lahannya rusak, termasuk Sanibe.
Meskipun Sanibe memiliki pekerjaan lain, membuat sapu lidi berharga 1500 rupiah tiap ikat, tetap saja tak mampu untuk menutupi kebutuhan hariannya. Ia menggantungkan pendapatan utama dari lahan.
Sulistiawati, Kehilangan Hasil Pertanian
Serangan yang merusak tanaman di lahan para petani Pakel, juga berdampak pada Suliswati. Perempuan berusia 41 tahun itu harus kehilangan hasil pertaniannya.
Demi menghadang serangan dan berjaga di lahan, Sulis sapaan akrabnya, menunda panen. Ia dan suaminya tetap menyempatkan diri mengurus lahan meskipun sering kali harus meninggalkan pekerjaannya untuk berjaga dan menghadang serangan dari PT Bumisari.
“Mau panen kacang itu ya sampai kacangnya itu tumbuh-tumbuh ndak dipanen. Ya, ditinggal perang itu,” ucap Sulis.
Ia harus mengikhlaskan kacang tanah yang ia tanam tumbuh dan dimakan tikus karena terlambat memanen. Sulis mencoba menghitung kerugian dampak dari kerusuhan yang terjadi.
Tempo lalu, Sulis menanam tiga kilo kacang tanah, ia memprediksi hasil panen nya bisa mencapai delapan karung. Namun, usai penyortiran, panenan Sulis hanya tersisa setengah karung untuk dijadikan benih musim tanam selanjutnya.
Tak hanya berdampak pada hasil panen, serangan-serangan yang dilakukan PT Bumisari berimbas pula pada keseharian petani Pakel.
Sama seperti Sugima dan petani Pakel yang lain, Sulis juga bersiaga meski tengah berada di rumah dan melakoni pekerjaan domestik. Ketika ia mendapatkan informasi bahwa pihak perkebunan melakukan penyerangan, apapun yang tengah Sulis kerjakan akan ia tunda.
Baca juga: The Voice: Sering Diabaikan, Perempuan Punya Cara Merawat Lingkungan Yang Feminis
Pernah sekali waktu, Sulis sedang menggoreng tahu, ia mendengar kabar ada penyerangan dari PT Bumisari. Tanpa pikir panjang, Sulis memasrahkan pekerjaan yang tengah ia lakoni pada ibunya.
“Bu, saya masih masak tahu belum masak, saya mau ke Pongkor [lokasi lahan] ini ada rame-rame,” kata Sulis pada ibunya.
Bahkan, saat tak ada sepeda motor yang bisa digunakan, Sulis akan mencari pinjaman sepeda motor milik tetangganya. Jiwa pejuang Sulis memang sudah diturunkan dari kakek neneknya. Ia kerap mendapat cerita bagaimana perjuangan petani Pakel jaman dahulu.
“Biasanya cerita, bapak saya, kakek saya yang udah meninggal dulu cerita, perjuangan kayak gini. Pokoknya orang berjuang itu susah, kalo kata orang madura sara, mau makan susah harus berjuang dulu, perut diikat menahan lapar gitu,” tutur Sulis.
Sulis sempat ikut suaminya untuk merantau dan menjadi buruh tani. Namun, usai reclaiming lahan, September 2020 lalu, Sulis tak pernah lagi meninggalkan desanya. Ia berjuang untuk mendapatkan kembali tanah nenek moyangnya, hak atas ruang hidupnya.
Kini, Sulis menurunkan darah juangnya pada anak-anaknya. Sejak anaknya kecil, Sulis kerap mengajak anak keduanya ke lahan hingga saat ini berusia tujuh tahun.
“Kalau sedang ada rame-rame ndak diajak. ‘Udah, kamu di rumah dulu. Ibuk ini mau perang, diam di rumah dah’ saya gitu kalau ada rusuh-rusuh. Dia di rumah, dititipin ke nenek, kalo kakaknya nggak ikut ya sama kakaknya,” ujar Sulis.
Ibu Sulis, Ami, tak pernah merasa keberatan jika harus berkompromi mengasuh cucunya. Ami juga sering mengajak cucunya ke lahan dekat kediaman mereka.
Baca juga: Edisi Khusus Feminisme: Ekofeminisme Perjuangkan Lingkungan Ramah Perempuan
“Dulu awal masuk sekolah sering nyariin, ‘ibuknya kemana, nek?’ ndak ada, ke kebun. Ya, nangis dia, saya bilang jangan nangis, nanti pulang,” Ami bermonolog menirukan pertanyaan anak kedua Sulis itu.
Meski harus membagi waktu dan porsi tanggung jawab, Sulis merasa memperjuangkan ruang hidup adalah hal penting. Ia tak lagi harus merantau ke luar daerah. Lahan pertaniannya kini mampu mencukupi kebutuhan keluarga dan pendidikan untuk anak-anaknya.
Meski harus berperang menghadapi PT Bumisari, Sulis merasa hasil panenan dari lahannya sudah mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
“Untuk makan untuk mencukupi anak sekolah itu. [Tanah] ini warisan dari nenek moyang kita, titipan untuk anak kita,” tukas Sulis.
Wahyu Eka Setyawan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mencatat dalam walhi.or.id, sejarah panjang ketimpangan telah mengkonfigurasi eksisting Pakel sekarang ini, di mana dari total luas lahan desa Pakel adalah 1.309,7 hektar, sementara itu warga desa hanya berhak mengelola lahan kurang lebih seluas 321,6 hektar, setelah ada proses telaah penguasaan lahan di Pakel melalui overlay peta kawasan.
Penguasaan lahan tersebut jika dirinci, terdapat HGU PT Bumi Sari seluas 271,6 hektar, serta ada 716,5 hektar yang dikuasai oleh Perhutani KPH Banyuwangi Barat. Tentu dengan penduduk 2.760 jiwa dengan lahan hampir mayoritas dikuasai pihak lain, lalu apa yang dapat diusahakan secara mandiri oleh warga Pakel? Sehingga telaah ini mengunci pada catatan saya pada pendahuluan, mengapa jumlah pekerja utama di Pakel jumlahnya tidak ada separuh total penduduk keseluruhan, serta mengapa jumlah lahan pertanian pangan serta produktivitasnya yang sangat rendah dibandingkan desa lain di Kecamatan Licin.
Ketimpangan agraria inilah yang menjadi salah satu faktor atau boleh dikatakan akar dari munculnya konflik agraria di Pakel.
Perjuangan ini mungkin akan sulit dimenangkan, namun bagi perempuan Pakel, bertahan adalah bentuk cinta paling liar pada tanah-tanah mereka.