Sembilan lukisan di kanvas-kanvas besar terpajang di pameran ‘Merdeka’ Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat. Kesembilan lukisan itu tampak semarak warna-warni. Mereka menampilkan alam yang asri: gunung Ciremai, aliran sungai, serta pepohonan dan pemukiman warga di kakinya.
Sembilan lukisan karya anak-anak dari Taman Baca Kandang Macan, Kuningan, Jawa Barat pada pameran ‘Merdeka?’ di Gedung YLBHI, Selasa (22/8/2023). (dok. Konde.co)
Sebuah kalimat berbahasa Sunda pun mempertegas pesan yang hendak disampaikan lewat lukisan-lukisan tersebut. “Leuweung rusak manusa balangsak (hutan rusak, manusia melarat).”
Lukisan karya Mahiza Maulida Zahra menjadi salah satu karya lukis dari anak-anak di sekitar Taman Baca Kandang Macan yang tampil di pameran ‘Merdeka?’, Selasa (22/8/2023). (dok. Konde.co)
Lukisan-lukisan tersebut adalah karya sejumlah komunitas anak muda dan anak-anak di sekitar Taman Baca Kandang Macan, Kuningan, Jawa Barat. Menurut keterangan, kegiatan melukis tersebut memberikan ruang dan keterlibatan anak-anak untuk berekspresi mengenai tempat mereka tinggal.
Baca Juga: 78 Tahun Indonesia Merdeka, Sudahkah Negara Ini Berpihak pada Perempuan?
Sembilan lukisan dari kaki gunung Ciremai itu hadir di pameran ‘Merdeka?’ yang diadakan oleh KontraS dan YLBHI selama 18-31 Agustus 2023.
Ada berbagai karya seni lain juga yang dipamerkan di sana, seperti poster, sketsa, cukil, dan sebagainya. Semua itu buatan solidaritas warga yang berjuang mempertahankan ruang hidup mereka di berbagai daerah di Indonesia.
Salah satu karya yang dipamerkan di pameran ‘Merdeka’ di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (22/8/2023). (dok. Konde.co)
Dari Pancoran sampai Papua, masih banyak masyarakat yang terancam pengusiran dari tanahnya sendiri. Sebuah ironi di tengah jargon ‘Indonesia merdeka’ yang terus dielu-elukan selama 78 tahun terakhir.
Pameran ‘Merdeka?’
Pameran ‘Merdeka?’ di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat pada Selasa (22/8/2023). (dok. Konde.co)
Pada 17 Agustus 2023, Indonesia merayakan 78 tahun kemerdekaannya. Namun tidak semua orang yang hidup dan berpijak di bumi Nusantara ini turut merdeka. Di banyak tempat di Indonesia, warga justru masih menghadapi konflik lahan hingga mengalami kekerasan dari negara.
“Upaya sejumlah warga untuk mempertahankan ruang hidup kini tengah mengalami tantangan nyata,” tulis KontraS dalam rilis pameran ‘Merdeka?’, Rabu (16/8/2023).
“Negara menjadi perpanjangan tangan sekelompok orang curang yang hendak mempertontonkan keserakahannya. Mengklaim, mencomot dan mengusir warga. Merusak alam dan kemanusiaan di sekitarnya.”
Baca Juga: Apa Arti Merdeka Bagi Perempuan? 9 Perempuan Bicara Soal Arti Merdeka
Bentuk pertahanan dan perlawanan solidaritas warga pun beragam. Tidak hanya berhadapan langsung dengan aparat, mereka menyampaikan ekspresi melalui berbagai media. Salah satunya dengan karya seni rupa. Karya-karya tersebut pun seakan jadi ‘ajakan’ bagi warga lainnya untuk lebih memperhatikan konflik yang mereka hadapi, serta turut bersolidaritas.
Hal itulah yang mencetuskan pameran ‘Merdeka?’ di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat. Pameran berlangsung pada 18-31 Agustus 2023. Selain menampilkan karya-karya solidaritas warga, ada sejumlah kegiatan seperti diskusi publik dan lokakarya yang bisa diikuti secara gratis.
Konflik Lahan: Warga Belum Merdeka dari Penjajahan
Pameran ‘Merdeka?’ menunjukkan makna kemerdekaan yang semu di tengah kecamuk konflik agraria di Indonesia. Masih banyak masyarakat Indonesia di berbagai daerah yang menghadapi ancaman penggusuran dan perampasan lahan.
Poster-poster perjuangan rakyat Desa Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur, pada pameran ‘Merdeka’ di Gedung YLBHI, Selasa (22/8/2023). (dok. Konde.co)
Salah satunya ada masyarakat Desa Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur yang sudah mengalami ketidakadilan agraria sejak era kolonialisme Belanda. Hampir 3.000 warga terus berupaya untuk mempertahankan ruang hidup mereka, memanfaatkan lahan seluas 3.000 hektar untuk bercocok tanam. Mereka pun mendapatkan ‘Akta 1929’ yang mendasari aktivitas mereka.
Baca Juga: Memotret 2 Kongres Perempuan, Kongres Perempuan Nasional dan Kongres Perempuan Akar Rumput
Namun penindasan terus terjadi—dari kolonial Hindia Belanda, lalu kolonial Jepang, bahkan hingga oleh pemerintah Indonesia bersama PT Bumi Sari. Kini tiga petani Pakel, Mulyadi, Suwarno, dan Untung, dikriminalisasi atas tudingan berita bohong. Kendati demikian, tak ada waktu untuk menyerah. Warga Desa Pakel terus melawan.
Karya poster yang menggambarkan perlawanan warga Desa Wadas, Jawa Tengah, di pameran ‘Merdeka?’ Selasa (22/8/2023). (dok. Konde.co)
Konflik agraria juga terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. SK Gubernur Jawa Tengah pada tahun 2018, yang diperbarui di tahun 2020, menyebut bahwa Desa Wadas ditetapkan sebagai lokasi obyek pengadaan tanah. Mereka bakal menambang andesit dan membangun PSN Bendungan Bener di sana.
Proyek tersebut akan memakan lahan begitu besar. Perbukitan Wadas akan ditambang demi pembuatan bendungan itu, dengan cara blasting (peledakan). Selain mengancam lingkungan, tentunya hal itu bakal sangat membahayakan penduduk Wadas.
Intimidasi kerap menghantui warga Desa Wadas. Mereka dipaksa untuk menyetujui alih kepemilikan tanah mereka kepada pemerintah. Jika tidak, mereka terancam ditangkap. Polisi sudah sempat menangkap orang-orang yang menolak, meski kemudian dibebaskan kembali.
Baca Juga: Aksi Lilitkan Kain ke Pohon, Perempuan Wadon Wadas Tolak Tambang Andesit
Namun banyak warga memilih untuk bertahan. Salah satu bentuk perlawanan muncul dari para warga perempuan Wadas (Wadon Wadas). Pada 6 Januari 2023, sekitar 40-an anggota Wadon Wadas melakukan aksi simbolik melilitkan diri dengan kain stagen ke batang-batang pohon besar.
Aksi tersebut dinamai ‘Wadon Wadas Mangku Bumi Pertiwi’. Dalam tradisi masyarakat Jawa, seorang ibu selalu ‘mangku’ atau menjaga anaknya. Wadon Wadas melakukan hal serupa: mangku Bumi Pertiwi karena selama ini alam Wadas yang kaya telah memberikan kehidupan bagi warga Wadas.
Dalam pameran ini juga banyak ditampilkan poster wajah aktivis HAM Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Mereka dikriminalisasi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan atas tudingan pencemaran nama baik. Semua itu berawal dari pemaparan Fatia dan Haris atas hasil riset terkait ekonomi politik di Papua melalui siniar mereka di YouTube.
Karya poster yang menggambarkan aktivis HAM Fatia dan Haris, Selasa (22/8/2023). (dok. Konde.co)
Riset pada Agustus 2021 itu dilakukan 9 organisasi dalam gerakan #BersihkanIndonesia. Di antaranya Pusaka Bentara Rakyat, LBH Papua, WALHI Papua, Greenpeace Indonesia, YLBHI, WALHI Nasional, KontraS, JATAM dan Trend Asia. Laporan riset berjudul “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua Kasus Intan Jaya.”
Baca Juga: Perempuan Mengolah Energi Terbarukan, Sayang Tak Didengar Pemerintah
Riset tersebut, mengungkap tentang praktik bisnis di Papua yang melanggar hak asasi manusia. Akibat hal tersebut, banyak warga harus mengungsi dari tanah adatnya sendiri.
Kasus yang dialami Fatia dan Haris masih bergulir hingga hari ini. Hal tersebut juga menambah daftar panjang kriminalisasi terhadap aktivis dan pejuang rakyat. Ketika pemerintah anti kritik dan malah mengintimidasi warga yang memperjuangkan nasibnya, masihkah kata ‘merdeka’ itu berlaku?
Cerita-Cerita Perampasan Lahan, dari Pancoran Sampai Bara-Baraya
Konflik dan sengketa lahan antara warga dan penguasa terjadi di mana-mana. Dari Aceh sampai Papua; dari Pancoran, Jakarta Selatan sampai Bara-Baraya, Makassar, Sulawesi Selatan.
Poster-poster perlawanan warga Bara-Baraya, Makassar, Sulawesi Selatan yang dipamerkan di pameran ‘Merdeka?’, Selasa (22/8/2023). (dok. Konde.co)
Warga Bara-Baraya Bersatu, misalnya, masih melakukan perlawanan terhadap okupasi lahan oleh militer. Menurut Rifan dan Rifki, warga Bara-Baraya, tanah yang mereka tempati merupakan tanah yang mereka beli secara sah. Pada 2016, Kodim sempat meratakan rumah-rumah di bagian dalam eks-asrama TNI AD.
Warga diberitahu bahwa mereka tidak akan mengusik penduduk di luar area asrama dengan penggusuran itu. Tapi beberapa waktu setelahnya, warga Bara-Baraya yang bermukim di luar wilayah asrama TNI-AD justru mendapatkan SP-1.
Baca Juga: 21 Tahun Catahu, Komnas Perempuan Temukan Kekerasan Khusus Kelompok Rentan
“Tiba-tiba, secara sepihak, Kodam mengeluarkan perintah pengosongan. Itu warga jelas melawan,” ungkap Rifan dalam sesi diskusi di YLBHI, Selasa (22/8/2023).
Mobilisasi militer kembali dilakukan untuk mengeksekusi dan mengosongkan sekitar 20 rumah di area tersebut. Lantaran terus-terusan mendapat surat peringatan, warga Bara-Baraya bersama solidaritas pun bersatu untuk membangun kekuatan.
Menurut Rifki, beruntung, para warga tetap kompak dan tidak jatuh pada iming-iming hingga provokasi berbagai pihak yang dapat memecah belah mereka. Hingga saat ini, perjuangan Bara-Baraya masih berlanjut di lapangan hingga pengadilan.
Medium seni cukil yang digunakan dalam lokakarya di pameran ‘Merdeka?’, Selasa (22/8/2023). (dok. Konde.co)
Hal serupa terjadi di jantung ibu kota Republik Indonesia sendiri. Di balik berbagai kemajuan dan kemegahan yang coba dibangun pemerintah, banyak kelompok masyarakat dihantui bayang-bayang penggusuran dan represifitas aparat. Itulah yang dialami warga Pancoran Buntu, Jakarta Selatan selama beberapa tahun terakhir.
Masyarakat Jalan Pancoran Buntu 2 mengalami penggusuran akibat okupasi lahan oleh PT Pertamina. Dalihnya, lahan tempat tinggal mereka hendak digunakan untuk membangun pusat pelatihan.
Febrina Monica dari Forum Solidaritas Pancoran Bersatu berkata, sebetulnya konflik di Pancoran Buntu 2 sudah berlangsung sejak tahun 1990-an. Dulu, mereka menghadapi perkara kepemilikan sertifikat. Sedangkan menurut Denly, warga Pancoran Buntu 2, isu penggusuran sudah mulai berembus sejak tahun 2020. Beberapa warga tak percaya begitu saja, tapi tak sedikit yang mulai ketakutan.
Baca Juga: Kapan Negara Akan Hentikan Kesewenangan Atas Ruang Hidup Perempuan?
Sampai pada akhirnya, sejumlah orang dari Pertamina datang ke lokasi untuk mengukur tanah dan sebagainya. Mengekori mereka, ada Brimob hingga ormas Pemuda Pancasila yang mengintimidasi warga Pancoran Buntu.
“Ingin menggusur dengan cara door to door, mengancam,” tutur Denly, “‘Kalau nggak mau pindah, gua hancurin rumah lu’.”
Febrina merasa tipe-tipe penggusuran lebih-kurang sama antara satu dengan yang lain. Salah satunya, iming-iming ‘uang kerohiman’. Di Bara-Baraya, Pancoran Buntu, dan berbagai lokasi konflik lahan lainnya, selalu muncul tawaran untuk mengambil uang kerohiman, “Dibanding elu nggak dapat apa-apa,” tukas Febrina.
Febrina dan Denly juga menjelaskan kalau warga Pancoran Buntu diminta untuk menghancurkan rumahnya sendiri. Pihak Pertamina kemudian menumpuk puing-puing rumah yang sudah dihancurkan hingga menggunung di lahan tersebut.
Baca Juga: Lahannya Diambil Alih, Kondisi Kerja Buruh Perempuan Buruk dan Tanpa Perlindungan
Bentrokan pun pernah beberapa kali terjadi di Pancoran Buntu akibat upaya penggusuran terhadap warga. Salah satu yang terparah adalah pecahnya kerusuhan pada 17 Maret 2021 antara warga dengan ormas Pemuda Pancasila.
Awalnya, warga mendesak agar backhoe eskavator dikeluarkan dari wilayah mereka. Sebab, eskavator tersebut hendak meratakan sebuah PAUD yang digunakan anak-anak di sana untuk bersekolah. Ujar Denly, barangkali pihak-pihak penggusur tidak terima sehingga mereka menyerang warga Pancoran Buntu di malam hari.
Selain itu, bentrokan juga terjadi antara warga dengan Brimob. Pada saat itu, Brimob menyerang pemukiman warga dengan gas air mata dari dua arah. Bahkan, tutur Febrina, posko medis mereka dipenuhi pula oleh gas air mata.
Denly mengungkapkan, warga yang mengalami penggusuran kerap Dulu, pas kejadian itu, warga tidur nggak tenang. Besok aman nggak ya? Besok takut ketangkap polisi. Sekarang, walaupun status sengketa lahan mereka belum jelas, setidaknya warga sudah bisa mencari nafkah dan bangkit kembali.
Upaya Bangkit dan Jaga Semangat Perlawanan
Peristiwa penggusuran bisa jadi sangat traumatis, apa lagi bagi warga perempuan dan anak-anak. Berbagai upaya pun dilakukan agar warga tak terus-menerus terpuruk dalam penindasan. Selain itu, warga pun dapat menemukan cara-cara lain untuk melanjutkan perlawanan.
Di Pancoran Buntu, menurut Febrina, warga bahkan sempat resisten terhadap solidaritas dari luar. Namun belakangan, mereka mampu mencair dan saling bahu-membahu untuk menghadapi mafia tanah. Solidaritas pun masuk ke lingkungan warga dengan konsep dapur umum.
Setelah pecah bentrokan pada Maret 2021, warga dan solidaritas berinisiatif mengadakan ‘Pancoran Ceria’. “Walaupun nggak ada ceria-cerianya, ya,” seloroh Febrina. Di sana, ada dapur umum, perpustakaan jalanan, dan penampilan seni. Baik warga maupun solidaritas berupaya memastikan satu sama lain, khususnya anak-anak, dapat pulih dari trauma akibat penggusuran yang represif hingga menimbulkan kericuhan.
Baca Juga: Kasus Lingkungan yang Menimpa Perempuan: Hukum Tak Berpihak pada Perempuan
Sedangkan di Bara-Baraya, Sulawesi Selatan, Rifki menyebut warga pun sering melakukan aktivasi ruang. Mereka kerap mengadakan festival, diskusi, lapak, dan sebagainya.
Ibu-ibu warga Bara-Baraya juga menggagas Pasar Bar-Bar untuk jualan makanan dan produk lokal setiap minggunya. Mereka berusaha menjaga semangat warga tetap hidup di tengah ketidakpastian dan tekanan dari penguasa.
“Ini digagas sama mace-mace, ibu-ibu di Bara-Baraya dan dikelola sama solidaritas dan warga. Jadi tiap minggu kita datang ke Pasar Bara-Baraya,” kata Rifki. Pasar Bar-Bar muncul sebagai basis ekonomi warga dan aliansi Bara-Baraya Bersatu.
Pameran ‘Merdeka?’ mungkin tak dapat menampilkan seluruh kasus konflik agraria dan perampasan lahan yang terjadi di seantero Indonesia. Misalnya, penggusuran di Tamansari dan Dago Elos, Bandung, yang masih menghantui warga hingga saat ini.
Tapi pameran ini mestinya cukup untuk memantik pertanyaan: kemerdekaan Indonesia selama 78 tahun ini, untuk siapa?