Konde.co berkolaborasi dengan KatongNTT.com menyajikan edisi khusus perempuan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 30 Juni- 1 Juli 2023. Edisi ini akan menuliskan problem besar yang dialami para perempuan disana, kemiskinan dan pembangunan yang meninggalkan perempuan.
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah gugusan pulau-pulau kecil lahan kering di wilayah tenggara Indonesia. Ada hampir 1.200 pulau dan baru sekitar sepertiganya yang bernama.
Dari yang bernama tersebut hanya sebagian kecil yang berpenghuni, yakni kurang dari 50 pulau. Beberapa pulau tersebut adalah Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata, Rote, Sabu, Adonara, Solor, Komodo dan Palue. Di pulau-pulau ini musim kemarau berlangsung lebih panjang dibanding wilayah lain di Indonesia.
Dalam Ura Timu: Etnografi Iklim Mikro Flores, warga desa-desa di Pulau Flores, Lembata dan Adonara membagikan pengalaman dan pengetahuan mereka atas perubahan iklim dan pergantian musim selama 3 dekade terakhir. Para peladang lahan kering, laki-laki maupun perempuan, di desa-desa tersebut biasa mengenali musim kemarau dan penghujan dengan tanda-tanda alam lokal. Seperti para peladang di Desa Gekeng Deran yang menandai musim hujan dengan kedatangan rombongan ikan paus yang melintas sambil menyembur di Laut Flores di utara desa mereka. Sedang di daratan kicauan burung brek sudah mulai terdengar. Tapi menurut mereka sejak tahun 2000-an, dua tanda alam itu tak pernah lagi mereka lihat.
“Kami tidak tahu apa sebabnya,” begitu jawaban warga Desa Gekeng Deran seperti ditulis Melkior Koli Baran dalam Ura Timu.
Para peladang mengungkapkan bahwa mereka tak pernah lagi menikmati hasil panen dalam jumlah besar dan tinggi seperti di tahun 80-an atau awal 90-an. Kondisi ini terjadi pada tanaman pangan jangka pendek seperti palawija, umbi-umbian, dan sayuran yang ditanam di ladang. Begitu juga pada tanaman perdagangan jangka panjang seperti kelapa dan mete di kawasan kebun atau pekarangan rumah.
Baca Juga: Menulis Kondisi Perempuan Nusa Tenggara Timur di Tangan Jurnalis Anna Djukana
Selain musim hujan makin singkat, dari yang biasa 6 bulan jadi sekitar 3 hingga 4 bulan, curah hujan juga berkurang. Meski begitu pada beberapa tahun tertentu hujan berlangsung terus-menerus selama beberapa hari. Pada situasi ini biasanya terjadi banjir bandang dan tanah longsor. Akibatnya terjadi gagal panen. Selain itu hujan lebat terus-menerus selama beberapa hari berturut-turut biasanya justru disusul kekeringan yang lebih panas dan lebih lama.
Mama Martha Bulu Demon, perempuan peladang di Desa Nelelamawangi mengatakan, jika setiap gagal panen sangat memberatkan bagi ketersediaan bahan pangan keluarga mereka. Kondisi ini berdampak pada anak-anak yang mengalami kekurangan gizi.
Para perempuan di NTT sangat aktif terlibat dalam kerja-kerja perladangan terutama pada musim tanam dan musim panen.
Mama Lipa Lao, perempuan peladang di Desa Waienga menuturkan saat hasil panen dibawa ke lumbung-lumbung di dalam kampung, kaum perempuan yang paling repot mengurusnya. Mereka juga yang melakukan kerja penangkaran benih untuk sediaan benih pada musim tanam berikutnya. Sayangnya tradisi ini mulai ditinggalkan, para peladang lebih memilih membeli benih dari luar.
Pergantian musim yang makin sulit diprediksi membuat ongkos untuk berladang makin tinggi. Pasalnya mereka harus mengupah lebih banyak pekerja karena pembersihan gulma jadi harus lebih sering dilakukan, bisa 3–4 kali sebelum panen. Ketika musim hujan tidak pasti, para peladang ragu untuk mulai menanam saat hujan pertama turun. Sementara gulma sudah terlanjur tumbuh. Akibatnya tanaman yang terlambat ditanam akan terhimpit gulma.
Kondisi ini membuat generasi muda yakni anak-anak mereka memandang kerja perladangan itu keras, berat dan tidak menguntungkan. Peladang muda pun makin berkurang jumlahnya dari tahun ke tahun. Para orang tua khawatir generasi muda tidak lagi berminat jadi peladang jika tak ada upaya membuat kerja perladangan lebih menarik. Dampak lanjutannya warga desa akan tergantung pada pangan dari luar daerah.
Baca Juga: Edisi Perempuan NTT: Potret Buram Kemiskinan, Para Perempuan Kehilangan Anaknya
Ada juga tanda-tanda alam lain yang masih terjadi sampai sekarang. Para peladang menandai musim hujan akan datang saat tunas-tunas baru tumbuh pada pepohonan tertentu seperti pohon asam, kesambi danteware, sejenis beringin berdaun lebar. Tanda lain adalah bunyi serangga riang-riang atau tonggeret (di tiap desa serangga ini punya sebutan berbeda). Munculnya laron yang bergerombol mengerumuni cahaya api atau lampu di malam hari.
Saat tanda-tanda alam ini muncul, para peladang mulai menyiapkan ladang dan benih karena musim hujan segera datang. Tanda-tanda alam ini jadi panduan mereka menghitung awal dan akhir kedua musim juga masa peralihan antara keduanya. Termasuk juga keadaan cuaca dan pengaruhnya pada jenis tanaman, hewan dan manusia. Pengetahuan tradisional ini membentuk pola tertentu dalam praktik perladangan lahan kering yang jadi sumber utama penghidupan mereka.
Tapi beberapa tahun terakhir, para peladang mengaku kesulitan menentukan saat yang tepat untuk menanam. Pergantian musim tak lagi punya pola yang tetap dan menentu. Musim hujan yang makin singkat dan kemarau yang makin panjang sangat berpengaruh pada lahan dan hasilnya. Lahan jadi kering kerontang hingga tanaman terancam mati, proses tumbuhnya terhambat dan hasil panen pun berkurang.
Para peladang mengakui sebagian besar peladang kini umumnya orang tua di atas 45 tahun. Sejak 10–20 tahun terakhir orang-orang muda makin tidak tertarik jadi peladang.
Banyak diantara orang-orang muda yang pergi dari desa untuk bekerja di luar sektor pertanian, terutama di perkotaan. Bahkan ada juga yang jadi pekerja migran, terutama Malaysia, sebagai buruh industri perkebunan besar sawit.
Kantong Pekerja Migran dengan Korban TPPO Sangat Tinggi
NTT juga merupakan salah satu wilayah kantong pekerja migran. Banyak pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT jadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Praktik TPPO pekerja migran asal NTT ke Malaysia disinyalir dilakukan oleh sindikat mafia. Para perekrut lapangan masuk ke desa-desa, kadang mereka kerabat korban atau warga dari desa yang sama. Pada beberapa kasus perekrut mengaku dari kelompok persekutuan doa dan membawa nama Tuhan sehingga warga desa mudah percaya.
Situasi ini makin mengkhawatirkan dengan terus terjadinya pengiriman jenazah PMI asal NTT dari Malaysia. Dilansir Kompas, sepanjang lima tahun terakhir sedikitnya 657 PMI asal NTT meninggal di luar negeri, terutama Malaysia. Dari jumlah tersebut sebagian besar merupakan pekerja migran nonprosedural. Angka itu diperoleh berdasarkan jumlah peti jenazah yang dibawa pulang ke NTT melalui Bandara El Tari Kupang dan ditangani sukarelawan. Penyebab kematian PMI antara lain karena kecelakaan kerja, penyakit dan penganiayaan oleh majikan.
Jumlah riil diperkirakan lebih besar karena belum termasuk jenazah yang dimakamkan secara diam-diam di Malaysia karena kesulitan biaya pemulangan. Apalagi, PMI asal NTT ada yang sudah puluhan tahun menetap di Malaysia dan punya keturunan di sana.
Seperti diberitakan KatongNTT diantara PMI yang meninggal adalah Adelina Sau, dari Timor Tengah Selatan. Ia bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Malaysia dan mengalami penyiksaan oleh majikan hingga meninggal pada Februari 2018. Sampai sekarang orang tua Adelina masih mencari keadilan bagi mendiang putrinya setelah Mahkamah Persekutuan Malaysia membebaskan majikan Adelina Sau dari tuntutan hukum.
Baca Juga: Perempuan Buruh Migran dalam Peti Mati, Membalikan Meriam yang Diarahkan Kepada Rakyat
Sementara Mariance Kabu adalah sedikit dari PMI nonprosedural asal NTT yang kembali dalam kondisi hidup. Ia bekerja sebagai PRT di Malaysia pada tahun 2014. Selama 8 bulan bekerja Mariance mengalami berbagai kekerasan baik fisik, seksual maupun psikis. Mariance selamat dari siksaan majikan setelah minta tolong tetangga majikannya.
“Tolong saya, saya disiksa, setiap hari saya mandi darah,” tulis Mariance dalam sepucuk kertas seperti diberitakan KatongNTT. Tulisan di secarik kertas itu yang akhirnya membawa dia keluar dari siksaan sang majikan. Nyawanya pun terselamatkan.
Mariance merupakan penyintas TPPO yang direkrut oleh jaringan mafia berkedok agama. Sampai sekarang Mariance masih mencari keadilan lewat proses hukum di Malaysia setelah majikannya diputus bebas bersyarat oleh pengadilan Malaysia. Ibu empat anak ini dalam berbagai kesempatan menegaskan dirinya akan terus berjuang demi keadilan. Perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya tapi juga bagi Adelina Sau dan para korban TPPO lain yang tidak mampu bersuara.
“Saya adalah saksi hidup dari penyiksaan yang saya alami,” kata Mariance seperti wawancara KatongNTT.
Sementara dua orang pelaku di NTT dijebloskan ke penjara. Mereka adalah perekrut lapangan di tingkat desa dan penampung di Kupang. Dua tersangka lainnya hingga kini masih buron. Sedang pelaku yang lain yang berada di kota transit yakni Batam dan di Malaysia tidak tersentuh.
Kini Mariance aktif menenun, salah satu keterampilan yang ia miliki. Dengan menenun, ia mendapat penghasilan sekaligus menyintas trauma yang masih berbekas akibat penyiksaan yang dilakukan majikannya di Malaysia.
Baca juga: Dari Mariance Saya Belajar Bagaimana Penyintas Menghilangkan Traumanya
Melkior menjelaskan selain bergulat dengan musim kemarau dan hujan, warga dan peladang juga menghadapi serbuan angin dan badai. Menurut mereka angin dan badai makin sering terjadi terutama pada musim hujan dengan kekuatan yang makin besar. Warga desa di tiga pulau meyakini angin kencang yang datang disebabkan oleh pelanggaran atas larangan adat, misalnya menebang pohon tertentu. Karena itu mereka mengadakan upacara adat tolak bala kalau tanda-tanda bencana sudah tampak atau setelah bencana usai.
Upacara adat selalu dipimpin tetua adat dari suku yang memegang kuasa untuk menjalankan upacara ini. Pemerintah daerah dan Gereja Katolik sebagai lembaga agama tidak melarang bahkan ikut menghadiri. Selain untuk tolak bala bencana, warga juga biasa menggelar upacara adat untuk menghalau hama atau penyakit tanaman dari desa.
Perempuan jadi Peladang, Hadapi Badai dan Perubahan Iklim
April 2021, badai tropis Seroja menerjang pulau-pulau kecil Nusa Tenggara Timur. Siklon tropis Seroja adalah badai dengan skala kekuatan besar yang menyebabkan bencana di beberapa wilayah di NTT. Dimulai dengan munculnya bibit badai (siklon) pada 2 April 2021 berkembang jadi badai dan menimbulkan cuaca ekstrem yang mengakibatkan hujan sangat lebat, angin kencang, dan gelombang laut tinggi hingga di atas 6 meter yang menerjang daratan NTT. Sejumlah desa di Pulau Timor, Flores, Lembata dan Adonara pun porak-poranda.
Jumlah korban dan dampak yang ditimbulkan badai Seroja cukup besar. AHA Center mencatat terdapat 509,6 ribu orang terdampak, 181 ribu orang meninggal, 45 ribu orang hilang, 271 ribu orang terluka, 11,4 ribu orang mengungsi dan 66 ribu rumah rusak.
Dalam Pengantar Ura Timu, Roem Topatimasang mengatakan kerapatan waktu kejadian badai besar itu sebagai hal yang tidak biasa. Sepanjang 2010–2020 paling sedikit ada 7 peristiwa atau gejala badai tropis yang melanda, melewati atau mendekati wilayah NTT. Artinya hampir sepertiga dari jumlah badai tropis (22) di seluruh wilayah Indonesia. Jadi wilayah NTT adalah kawasan nusantara yang paling banyak diterpa badai tropis.
Baca Juga: Mama Aleta, Perempuan yang Bersetia Menenun Gunung Batu
Roem juga memaparkan sifat badai dahsyat tersebut mulai tidak seperti biasanya. Hingga tahun 60-an, badai tropis biasanya “hanya melewati” wilayah kepulauan terbesar di dunia, di atas perairan laut lepas, terutama di sebelah utara garis khatulistiwa, menyapu daratan Indochina, Kepulauan Filipina dan Taiwan.
Tapi keadaan mulai berbeda terutama sejak 80-an, antara lain karena suhu permukaan laut di bagian tengah-selatan Lautan Teduh (Pasifik) mulai sering memanas dalam jarak waktu yang makin rapat. Selain itu dikenali juga gejala kebalikannya yang membuat suhu permukaan Laut Pasifik bagian selatan berubah turun (mendingin).
Singkatnya belahan bumi selatan tak akan pernah lagi terbebas dari ancaman badai tropis. Badai tidak hanya akan “numpang lewat” saja di atas perairan laut lepas seperti sering terjadi di masa lalu. Ia juga sudah mulai “mampir ke darat”.
Cerita warga dan peladang tradisional di pulau-pulau kecil ini menunjukkan perubahan iklim global telah menimbulkan “kekacauan” luar biasa. Perubahan iklim yang memicu terjadinya gejala pemanasan global sudah mengacaukan pergerakan musim, cuaca dan suhu di pulau-pulau ini. Bahkan perubahan iklim ini makin sering disertai bencana, terutama kekeringan, angin kencang, badai tropis, longsor, banjir dan tsunami. Bencana ini juga punya daya rusak yang makin besar.
Baca Juga: Krisis Iklim Persoalan Perempuan 2023, Bagaimana Menyelesaikannya
Selain bencana iklim tersebut, wilayah NTT juga rawan dengan bencana geologis seperti letusan gunung api, gempa bumi dan tsunami. Semua bencana ini akan merusak ekosistem pertanian lahan kering yang jadi sumber utama penghidupan warga. Ekosistem pertanian lahan kering pada dasarnya sangat rentan terhadap perubahan iklim sekecil apa pun.
Menyikapi kondisi ini warga, khususnya peladang tradisional, melakukan upaya pencegahan (mitigasi) dengan didampingi Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS). Mereka mengembangkan pertanian adaptif kekeringan yang merupakan gabungan dari berbagai pendekatan pertanian berkelanjutan sejak 2018.
Melkior menjelaskan hal penting dari penerapan pertanian adaptif kekeringan adalah penggunaan mulsa organik. Mulsa organik adalah penggunaan berbagai limbah organik lokal, seperti dedaunan lebar, jerami, ilalang, dsb, sebagai penutup permukaan tanah ladang agar tetap basah, lembab, tidak lekas mengering, sekaligus mencegah tumbuhnya gulma. Penggunaan bahan organik lokal yang melimpah di desa membuat peladang tak perlu mengeluarkan biaya tambahan.
(Foto: Perempuan peladang menyiapkan mulsa organik di lahan pekarangan rumah)
Mama Martha menuturkan pengalamannya setelah ikut lokakarya bersama YPPS pada Juli 2020. Di pelatihan itu dia belajar cara bertani tanpa mencuci rumput dengan menggunakan mulsa. Cuci rumput adalah istilah masyarakat setempat untuk menyebut kegiatan pembersihan gulma (pengganggu tanaman) di ladang sepanjang musim hujan.
“Salah satu sampah kebun yang saya gunakan adalah kulit kacang tanah. Ternyata mulsa dari kulit kacang tanah itu bisa membantu kelembaban tanah kebun … kebun menjadi lebih lembab dan tahan terhadap kekeringan. Kebun juga menjadi lebih subur. Hasil pertanian pun meningkat. Biaya yang dikeluarkan untuk ongkos cuci rumput dikurangi, bahkan ditiadakan,” papar Mama Martha seperti disampaikan Melkior.
Para peladang tradisional ini juga mulai menanam kembali sorgum. Mereka membuktikan sorgum jauh lebih tangguh melawan kekeringan sehingga lebih sesuai dengan lahan kering dibanding padi atau bahkan jagung. Sorgum sebenarnya sudah pernah dibudidayakan sekian lama oleh leluhur mereka dan menjadi bahan pangan pokok di daerah ini.
Baca Juga: Ini Isu Bersama, Gerakan Perempuan Lokal Hadapi Krisis Iklim Global
Mama Martha Bulu Demon adalah peladang di Desa Nelelamawangi yang menanam kembali sorgum di ladangnya. Desa Nelelamawangi, Ile Boleng, Flores Timur adalah salah satu kawasan yang terkenal paling kering dan paling panas di daratan Pulau Adonara.
Kekeringan makin sering terjadi di desa ini dengan rentang waktu makin lama. Kekurangan air jadi makin parah ketika musim kemarau dan kekeringan makin panjang sedang curah hujan makin sedikit selama beberapa tahun terakhir. Apalagi tak ada sumber mata air di desa ini dan sekitarnya, begitu disampaikan Melkior dalam bukunya. Kebutuhan air minum sangat bergantung pada air hujan yang ditadah dalam bak penampung air hujan. Prasarana ini masih cukup terawat dan berfungsi baik meski belum mampu memenuhi kebutuhan air bersih bagi semua warga.
Menurut Roem, upaya yang dilakukan para peladang tersebut pada dasarnya bukan praktik baru budidaya pertanian. Praktik ini pernah sekian lama diabaikan akibat pengaruh buruk berbagai upaya misinformasi dan mistifikasi oleh kalangan industri pertanian modern. Terutama sejak dasawarsa 60-an ketika Revolusi Hijau marak diterapkan. Hal yang baru bagi para peladang tradisional di sejumlah desa di NTT adalah penemuan dan penerapan kembali praktik-praktik asli usaha tani yang berlandas pengetahuan dan bahan-bahan lokal.
Kebijakan pangan pemerintah secara nasional masih bertumpu pada pertanian skala besar seperti food estate. Model pertanian ini mengelola multikomoditas, menggunakan mekanisasi, korporasi, marketplace, dan berorientasi ekspor. Sementara para peladang tradisional di desa-desa kepulauan NTT menunjukkan pembuktian berbeda, sorgum lokal lebih tangguh dan mulsa organik lebih berdaya guna.
Tambang yang Merusak Lingkungan
Pulau-pulau di kawasan Sunda Kecil ini juga kaya akan sumber daya ekstraktif. Kekayaan sumber daya ekstraktif di pulau-pulau ini sudah diketahui bahkan sejak masa kolonial Belanda. Di Manggarai, Pulau Flores, misalnya, temuan atas kandungan mineral dan bahan tambang di wilayah tersebut dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Tapi eksplorasi kala itu dihentikan karena justru menimbulkan konflik sosial.
Simon Suban Tukan dan Mirisa Hasfaria dalam Membangun Kesadaran: Kisah-Kisah Gerakan Tolak Tambang di Manggarai Raya dengan Memanfaatkan Pengetahuan Lokal memaparkan sejarah pertambangan di Manggarai Raya dan strategi warga membangun gerakan tolak tambang. Manggarai dalam konteks ini meliputi Kabupaten Manggarai (Tengah), Manggarai Barat dan Manggarai Timur.
Simon dan Mirisa menuturkan sejarah pertambangan di Manggarai dimulai pada 1979-1980 ketika PT Aneka Tambang melakukan penelitian di Nggorang, Desa Bajak, Kabupaten Manggarai. Sejak itu banyak perusahaan keluar masuk untuk melakukan penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi bahan galian mineral di Manggarai.
Mengacu data JPIC SVD, eksplorasi di wilayah Kontrak Karya Kabupaten Manggarai dimulai pada 1998. Hingga akhir 2014 pemerintah telah menerbitkan 48 Izin Usaha Pertambangan (IUP), terdiri dari 10 di Manggarai Barat, 23 di Manggarai, serta 15 di Manggarai Timur. Adapun jumlah konsesi lahan tersebut mencapai 112.195,83 ha atau setara 8,13 persen luas wilayah Bumi Manggarai.
Baca Juga: Aksi Lilitkan Kain ke Pohon, Perempuan Wadon Wadas Tolak Tambang Andesit
Studi lapangan dan dokumentasi yang dilakukan JPIC SVD menunjukkan adanya endapan mangan dan logam emas di beberapa wilayah. Meski aktivitas pertambangan di Manggarai sudah dimulai sejak 80-an, tapi tak banyak warga yang tahu dan paham soal ini. Terutama terkait izin-izin pertambangan yang diberikan, prosedur pemberian izin juga keuntungan dan dampak pertambangan.
Sementara warga di sekitar tambang hanya menjadi buruh dengan kondisi kerja yang buruk, demikian Simon dan Hirisa memaparkan. Seperti terlihat di Lengko Lolok dan Serise, Manggarai Timur pada Oktober 2006. Ibu-ibu pekerja tambang berjemur di bawah terik matahari memisahkan batu gamping dari batu mangan persis di bawah mesin prosesing mangan. Sementara pekerja laki-laki membongkar dan mengumpulkan mangan di dalam lubang penambangan. Kebanyakan dari para pekerja lokal ini tidak mengenakan helm, sepatu dan masker.
Kondisi lingkungan di sekitar tambang pun rusak. Seperti digambarkan Simon dan Mirisa, lubang-lubang tambang dibiarkan menganga lebar. Bukit-bukit menjadi rata dengan tanah akibat diledakkan. Pohon-pohon dan tanaman warga tampak hitam tertutup debu mangan. Debu-debu beterbangan karena lalu lalang kendaraan pengangkut. Air sumur dan laut jadi hitam dan kelam karena debu dan sisa-sisa mangan yang dibuang. Rumah-rumah warga jadi hitam penuh debu mangan.
Baca Juga: 5 Buku Yang Bisa Mengubah Pandanganmu Tentang Lingkungan dan Perubahan Iklim
Kondisi kerja yang buruk dan upah yang rendah membuat pekerja tambang protes. Protes juga dipicu kematian seorang pekerja tambang di lokasi penambangan di Lengko Lolok dan Serise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda.
Situasi serupa juga ditemui di Torong Besi, Desa Robek, Kecamatan Reok pada 2007. Penambangan yang dilakukan PT Sumber Jaya Asia menyebabkan gunung dan hutan jadi rata. Sementara batu bertebaran di sekitar rumah warga akibat ledakan. Ancaman kerusakan hutan yang lebih luas jelas terlihat.
Aktivitas penambangan menghancurkan lahan pertanian sekaligus menghilangkan kepemilikan warga terhadap aset produktifnya. Ini menjadi ironi karena sebagian besar warga Manggarai bermata pencarian sebagai petani dan nelayan. Sementara timpaan peta kawasan hutan dengan peta wilayah adat tahun 2014 menunjukkan 81 persen kawasan hutan berada di wilayah adat.
Simon menjelaskan, masyarakat petani di Manggarai tidak dapat dipisahkan dari tanah garapan (lingko). Hubungan yang erat ini tercermin dalam falsafah Manggarai sebagai Gendangn One Lingkon Pe’ang. “Dimana terdapat kampung—yang berpusat pada Rumah Gendang—tentu memiliki tanah-tanah garapan bagi warga kampung (lingko)”. Lingko ini menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidup warga sekaligus simbol keberadaan suatu kampung (beo).
Baca Juga: Dulu Untuk Mandi dan Memasak, Kini Sungai Kami Rusak Kena Limbah
Gerakan tolak tambang di Manggarai dilakukan warga bersama Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Serikat Sabda Allah (JPIC SVD). Gerakan ini diawali dengan membangun opini publik dan kesadaran kritis bersama. Hasil investigasi yang dilakukan Simon, dkk, didiskusikan dengan warga lingkar tambang di Torong Besi dan di Desa Satar Punda. Warga juga mencari dukungan dari pemimpin agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, akademisi, kaum muda, pemerintah dan anggota DPRD.
Warga juga melakukan pengorganisasian untuk memperkuat gerakan. Pasalnya sikap kritis dan penolakan masyarakat ditanggapi dengan tuduhan dan ancaman dari perusahaan dan aparat pemerintah yang membela kepentingan pemodal.
Langkah lain adalah membangun jejaring. Ini dilakukan tidak hanya di tingkat kampung dan daerah, tapi juga di level nasional dan internasional. Negosiasi, lobi dan dialog dengan pemerintah kabupaten, DPRD, dan perusahaan juga dilakukan.
Protes damai menjadi pilihan terakhir saat dialog dan lobi dengan perusahaan dan pemerintah tidak membuahkan hasil. Protes damai yang berdampak luas terjadi pada September 2014. Masyarakat adat Tumbak menduduki lokasi yang dialihkan menjadi konsesi tambang. Warga menghadang alat berat yang hendak masuk lokasi. Pada aksi tersebut Simon ditarik aparat keamanan sampai jatuh hingga akhirnya aksi damai jadi kacau. Peristiwa ini diberitakan media dan mengundang dukungan dari berbagai kalangan.
Baca Juga: Krisis Iklim di Depan Mata: Dunia Butuh Tokoh Fiksi Bergaya Ramah Lingkungan
Rekomendasi Komnas HAM dalam menyikapi insiden tersebut berdampak pada diterbitkannya Surat Penghentian Sementara Tanpa Batas Waktu terhadap aktivitas pertambangan PT Aditya Bumi Pertambangan.
Meski perusahaan tambang berhenti beroperasi, ada sejumlah persoalan yang ditinggalkan. Than Naga, Melky Nahar dan Alsis Goa dalam Balada Satar Punda: Industri Ekstraktif dan Derita Rakyat yang Berkepanjangan memaparkan kerusakan yang terjadi di Satar Punda akibat aktivitas penambangan mangan.
Lingkungan jadi rusak, air, lahan pertanian dan udara tercemar. Warga terganggu kesehatannya, penyakit yang terindikasi sebagai ispa kronis menimpa warga sekitar areal pertambangan. Konflik sosial yang diduga didesain perusahaan sehingga membelah warga menjadi pro dan kontra, masih terasa bahkan setelah tambang hengkang.
Selain di Manggarai penolakan warga atas aktivitas tambang juga terjadi di Mollo, Pulau Timor. Di sini warga berhadapan dengan perusahaan tambang batu marmer. Pada 1994 pemerintah memberikan izin pada PT So’e Indah Makmur untuk melakukan penambangan di wilayah itu. Izin kembali dikeluarkan pemerintah pada 1995 untuk PT Karya Asta Alam, perusahaan Thailand.
Perusahaan tambang membabat hutan untuk membuka jalan menuju gunung batu. Akibatnya sumber air berkurang dan air bersih pun sulit ditemukan. Padahal sebelum perusahaan datang masyarakat adat mudah memperoleh air untuk ternak dan kebutuhan mereka.
Aktivis lingkungan, Mama Aleta Baun merasa ini sebuah ancaman karena kehidupan warga Mollo begitu dekat dengan alam. Tahun 1999 mama Aleta bersama beberapa perempuan memutuskan untuk menghentikan penambangan. Ia bertemu dengan para tokoh adat untuk menggalang dukungan. Strategi ini berhasil, masyarakat adat dari suku Amanuban, Amanatun, dan Mollo memberikan dukungan.
Aleta juga menyebarkan kesadaran kepada warga dengan mengingatkan mereka akan keyakinan masyarakat Timor yang tak dapat hidup tanpa unsur-unsur dari alam. Ia juga mengingatkan para perempuan akan peran hutan sebagai sumber obat dan pewarna tenun.
“Batu adalah tulang, air adalah darah, tanah adalah daging, dan hutan adalah pori-pori karena itu alam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Mollo,” katanya.
Baca juga: Mama Aleta, Perempuan yang Bersetia Menenun Gunung Batu
Mama Aleta berkeliling dari satu rumah ke rumah, dari satu desa ke desa, melakukan pengorganisasian, mengajak warga bergabung dalam gerakan. Ia menghadapi intimidasi dan kekerasan bahkan ancaman pembunuhan dari preman yang dipakai perusahaan dan pemerintah daerah. Kaki kanannya pernah kena bacokan parang preman yang mengejarnya hingga ia harus dievakuasi. Intimidasi dan kekerasan juga dialami warga desa. Tapi ini semua tak menyurutkan perlawanan warga.
Aleta mencoba strategi baru untuk melawan. Bersama para perempuan mama Aleta menggelar aksi pendudukan. Sekitar 150 perempuan memprotes penambangan dengan menenun di lokasi tambang marmer. Protes ini untuk mempertahankan hutan karena bagi mereka jika hutan rusak perempuan tak dapat beraktivitas. Mereka bertahan di lokasi pendudukan selama sekitar satu tahun.
Saat protes sambil menenun, warga pun makin banyak yang ikut mendukung. Pada 2007, perjuangan panjang mereka mulai ada hasil. Aksi-aksi warga mulai jadi perhatian pemerintah. Pada 2010, karena menghadapi tekanan empat perusahaan tambang di Mollo akhirnya berhenti.
Baca Juga: Mollo, Keteguhan Hati Perempuan Penyelamat Hutan
Perlawanan warga menolak tambang di Manggarai dan Mollo berhasil menghentikan aktivitas penambangan. Meski begitu hingga hari ini aktivitas perusahaan tambang masih ada di sejumlah wilayah di pulau-pulau NTT.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat hingga 2018 terdapat 309 izin tambang yang tersebar di 17 kabupaten di NTT. Dari jumlah tersebut 70 izin yang sudah habis masa berlakunya berpeluang dilelang ulang oleh pemerintah daerah.
Di Manggarai ancaman tambang kembali muncul, seperti dipaparkan Than, Nahar dan Goa, dalam Balada Satar Punda. Setelah seluruh perusahaan tambang di Desa Satar Punda berhenti beroperasi sementara pada 2015, warga kembali menghadapi ancaman serupa, bahkan lebih besar.
Pasalnya di desa ini akan ada aktivitas penambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen yang terintegrasi dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara. Pemerintah sudah mengeluarkan izin usaha pertambangan bagi PT Istindo Mitra Manggarai (PT IMM) untuk menambang batu kapur sebagai bahan baku semen. Masa berlaku izin tambang perusahaan ini dimulai sejak 25 November 2020 dan baru akan berakhir pada 25 November 2040. Pemerintah juga mengeluarkan izin lokasi untuk pendirian pabrik semen milik PT Semen Singa Merah NTT.
Baca Juga: Pergi ke Morowali, Kutemui Para Perempuan Muda Pekerja Tambang
Rencana ini mengundang reaksi warga. Beberapa kali warga yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Tolak Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur menggelar aksi penolakan. Selain berdemonstrasi, upaya penolakan warga juga dilakukan lewat jalur hukum. Hingga akhirnya pada Agustus 2022 Mahkamah Agung mengabulkan gugatan hukum warga Satar Punda, Manggarai Timur atas izin tambang batu gamping dan izin lingkungan PT IMM.
Dalam siaran persnya Koalisi Rakyat menjelaskan gugatan kasasi di MA diajukan setelah gugatan di pengadilan pertama dan pengadilan tinggi ditolak. Gugatan itu diajukan Isfridus Sota dan Bonevasius Uden, warga Lengko Lolok, Desa Satar Punda yang kampung-ruang hidupnya terancam ditambang dan direlokasi. Upaya hukum kasasi di MA dilakukan warga pasca gugatan ditolak PTUN Kupang pada 11 November 2021 dan upaya banding ke PTTUN Surabaya juga ditolak pada 2 Maret 2022.
Kemenangan warga dalam gugatan kasasi ini jadi momentum bersejarah bagi masyarakat NTT yang telah berdekade menentang industri tambang.
Meski begitu, di wilayah lain di Pulau Flores warga Wae Sano dan Poco Leok masih berjuang menolak proyek geothermal. Penolakan warga disuarakan setelah pemerintah lewat Surat Keputusan Menteri ESDM menetapkan Pulau Flores sebagai pulau geothermal pada 2017. Pasca penetapan itu, ada sekitar 20-an titik-titik baru untuk dieksplorasi yang menyebar hampir di setiap kabupaten di pulau itu.
Baca Juga: Putri Komodo, Kisah Perempuan Korban Kekerasan di NTT
Beberapa di antaranya sudah berstatus wilayah kerja panas bumi (WKP), salah satunya WKP Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat. Warga menolak pembangunan geothermal Wae Sano karena titik-titik pengeboran ada di ruang hidup warga, mulai dari pemukiman, lahan pencaharian, sumber air, rumah adat, gereja, hingga sekolah. Proyek ini juga akan menggusur perkampungan warga Nunang.
Penolakan warga disampaikan lewat berbagai cara mulai dari aksi protes, audiensi, hingga berkirim surat penolakan ke Bank Dunia pada Februari 2020 dan Juli 2021. Gereja Katolik menunjukkan dukungan pada proyek ini lewat surat rekomendasi Keuskupan Ruteng kepada Presiden Jokowi pada Mei 2021.
Rekomendasi ini diikuti sejumlah langkah yang diambil pemerintah dan perusahaan untuk melanjutkan proyek ini. Pada September 2021 Komite Bersama dan Pemda Manggarai Barat menandatangani nota kesepahaman pengembangan panas bumi Wae Sano di Jakarta. Pada acara tersebut ditandatangani juga perjanjian kerja sama pengadaan tanah untuk area eksplorasi pada wilayah terbuka Wae Sano antara PT Geo Dipa Energi dengan Pemkab Manggarai Barat.
Penolakan warga terhadap proyek geothermal juga ditunjukkan warga Poco Leok. Proyek geothermal di Poco Leok merupakan proyek perluasan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang beroperasi sejak tahun 2012. Perluasan proyek ini bertujuan memenuhi target menaikkan kapasitas PLTP Ulumbu dari 7,5 MW saat ini menjadi 40 MW. Proyek ini dikerjakan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), dengan pendanaan Bank Jerman (KfW).
Proyek di Poco Leok ini mencakup 14 kampung adat di tiga desa, yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas. Pada 9 Juni 2023 lalu warga mengadang kendaraan milik PT PLN yang hendak mematok lahan untuk proyek geothermal. Tim PT PLN ini dikawal aparat kepolisian dan tentara. Warga menutup jalan dengan membuat barikade. Pengadangan ini merupakan aksi yang kedelapan.
Baca Juga: Mengapa Para Perempuan Berani Hidup di Lingkar Tambang?
Bertahun-tahun warga telah menyaksikan kehadiran perusahaan tambang di pulau-pulau NTT tidak membawa kesejahteraan bagi warga. Yang terjadi justru kerusakan lingkungan, sumber penghidupan mereka terganggu dan konflik sosial di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Agnes Sogia, perempuan Luwuk, Satar Punda seperti dikutip Than, dkk.
“Sebelum tambang masuk di Satar Punda, sawah-sawah kami hasilnya bagus meski tidak menggunakan pupuk. Hal ini berubah ketika material tambang PT Arumbai Mangabekti mencemari sawah kami. Akibatnya hasil panen berkurang dan kini selalu bergantung pada pupuk.”
Bagi warga, menjaga kampung, tanah, dan alam yang menjadi sumber penghidupan mereka merupakan keutamaan. Seperti disampaikan Isfridus Sota, Petani di Lengko Lolok, Satar Punda yang mengajukan gugatan terhadap pemerintah.
“Yang akan hilang kalau tambang tetap beroperasi di Lengko Lolok adalah kampung bersejarah kami, tanah-tanah lingko kami akan hancur, sehingga tidak ada harapan untuk masa depan, baik kami para orang tua, anak-anak, dan cucu-cece kami nanti.”
(Editor: Maria Hasugian dan Luviana Ariyanti)
Referensi
Baran, Melkior Koli. Ura Timu: Etnografi Iklim Mikro Flores. Yogyakarta: Insist Press, 2022.
Tukan, Simon Suban dan Mirisa Hasfaria. Membangun Kesadaran: Kisah-KIsah Gerakan Tolak Tambang di Manggarai Raya dengan memanfaatkan Pengetahuan Lokal. Yogyakarta: Insist Press, 2018.
Naga, Than, Melky Nahar dan Alsis Goa. Balada Satar Punda: Industri Ekstraktif dan Derita Rakyat yang Berkepanjangan. Jakarta: Jatam, n.d.
Jatam. “Menang Kasasi di MA Warga Satar Punda Tuntut Laiskodat dan Agas Taat Hukum”. Jatam. 27 Oktober 2022. Web. Diakses tanggal 18 Juni 2023.
(Sumber Gambar: Dokumentasi Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial)