Menari dalam Hening

Reni Yuniastuti dan Menari dalam Hening: Menyulam Kekuatan Perempuan, Disabilitas, dan Sinema

Ekosistem sinema yang inklusif bisa dimulai dari terbukanya sineas perempuan untuk membawa perspektif perempuannya ke layar kaca. Reni Yuniastuti, produser dari Remen Film, adalah contoh nyata dari sineas perempuan yang memerjuangkan ekosistem inklusif tersebut. Lewat film pendek “Menari Dalam Hening” yang didukung Dana Indonesiana, Reni menunjukkan perubahan ekosistem inklusif tersebut bisa mewujud. Film Reni dapat ditonton di Indonesiana.tv.

Reni Yuniastuti bersama Aditya Sanjaya mendirikan Remen Film di Magelang pada 2005 silam. Mereka memulai perjalanan dengan sebuah film dokumenter untuk tugas akhir yang kemudian diikutsertakan dalam Festival Film Dokumenter (FFD) dan memenangkan kategori film amatir terbaik. Pengalaman ini menjadi fondasi bagi Reni untuk terus mengembangkan kariernya dalam dunia produksi film.

Saat berada di dalam industri film, Reni tidak merasa mengalami diskriminasi sebagai perempuan. Baginya, kerja keras dan dedikasi yang ditunjukkan dalam setiap proyek adalah faktor utama yang menentukan kesuksesannya. Reni tetap memilih untuk fokus pada keberagaman dan kekuatan yang dimiliki oleh perempuan.

Mentari Menari dalam Hening, Membangun Ekosistem Inklusi

Salah satu proyeknya, “Menari Dalam Hening”, adalah film yang didanai oleh Dana Indonesiana untuk proyek Layar Cerita Perempuan. Film pendek yang diproduseri Reni ini mengangkat kisah seorang penari muda disabilitas perempuan. 

“Saya itu sangat tertarik dengan isu perempuan, isu anak, dan isu disabilitas.  Kalau ngomongin perempuan itu enggak ada habisnya, perempuan itu adalah garda terdepan,” ucap Reni semangat.

Bagi Reni, perempuan memiliki kekuatan unik yang sering kali terabaikan, dan setiap daerah di Indonesia memiliki cerita perempuan yang berbeda-beda dengan adat istiadat dan benturan sosialnya masing-masing.

“Belum lagi, keunikan-keunikannya. Di Indonesia pasti ada banyak beragam perempuan di daerah satu dengan daerah lainnya, itu berbeda-beda dengan adat istiadatnya, dengan benturan sosialnya, yang harus perempuan itu lalui,” lanjutnya.

Film ini tidak hanya menjadi bukti akan keberanian Reni dan Remen Films untuk mengangkat kisah-kisah yang jarang terdengar, tetapi juga mengembangkan ekosistem narasi yang lebih inklusif dalam dunia perfilman.

Baca Juga: Peran Ibu dalam Pelestarian Anyaman Bambu

Mentari adalah seorang gadis berusia 16 tahun yang terlahir sebagai Tuli. Di balik segala keterbatasannya ia memiliki minat dan kemampuan  melukis. Ibunya seorang penari gambyong yang terkenal di masanya, namun karena mengidap kanker Ibu memutuskan berhenti menari. 

Mentari kerap melukis di sanggar tempat ibunya dulu berlatih menari. Sembari melukis diam-diam ia mengamati penari-penari itu menari, bagaimana menggerakkan tangan mereka dengan gemulai. Sampai akhirnya ia mulai tekun belajar menari tanpa musik, dalam hening, menari dengan damai.

Dalam produksi “Menari Dalam Hening”, Reni dan timnya menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait dengan komunikasi karena melibatkan pemeran Tuli. 

“Jadi, di awal-awal produksi itu, kami sempat diskusi, pertama adalah teman-teman takut komunikasinya tidak tersampaikan dengan baik dengan Tuli. Karena saya yang minta kalau pemarannya ini benar-benar Tuli.”

“Saya menggaris bahwa ini adalah film inklusi. Ketakutan itu saya redakan, saya sampaikan bahwa nanti ketika syuting, mulai dari praproduksi reading, kita akan menggunakan juru bahasa isyarat untuk mendampingi dan menyambungkan komunikasi kami sebagai dengar dengan Tuli,” cerita Reni.  

Proyek film ini lantas berdampak langsung setidaknya bagi tim produksi. Ketakutan yang semula muncul lantas tenggelam digantikan kebersamaan yang membuat mereka belajar dari pengalaman perempuan disabilitas. Mereka yang mulanya khawatir produksi terhambat karena kendala bahasa, justru setelahnya mempelajari bahasa isyarat disela-sela waktu.

“Menariknya lagi pada saat proses-proses  dari praproduksi sampai produksi pun,  teman-teman memanfaatkan waktu itu untuk disela-sela belajar bahasa isyarat.  Ya, sedikit-sedikit akhirnya teman-teman sudah belajar bahasa isyarat.”

Layar Cerita Perempuan

Dana Indonesiana telah menjadi angin segar bagi sineas-sineas di Indonesia, termasuk para perempuan yang berjuang dalam industri film. Tidak hanya memberikan dukungan finansial untuk produksi film, Dana Indonesiana juga menyelenggarakan program Layar Cerita Perempuan. 

Program ini bertujuan untuk mendukung dan mendorong produksi film yang mengangkat cerita-cerita perempuan serta perspektif-perspektif yang relevan dengan isu-isu gender.  Melalui program ini, Dana Indonesiana memberikan dukungan finansial bagi para sineas untuk menciptakan karya-karya yang inklusif.

Proses produksi “Menari Dalam Hening” menunjukkan bagaimana Dana Indonesiana dapat digunakan untuk mengembangkan kebudayaan lokal dengan cara-cara yang lebih inovatif, seperti misalnya film. Meski demikian, harus diakui bahwa tantangan utama yang acap dihadapi para sineas di Indonesia  adalah persoalan dana. 

Pembuatan film membutuhkan investasi besar, terutama ketika harus mempertimbangkan standar perawatan dan kualitas produksi yang tinggi. Bagi Reni, program Dana Indonesiana sudah cukup membantu mengatasi permasalahan tersebut. 

“Itu sangat membantu, karena  teman-teman di lokal juga pasti punya  ide yang menarik dengan lokalitasnya, ya.  Jadi, di media merealisasikan ide itu dalam bentuk film.”

Baca Juga: Upaya Mahima Merajut Warisan dan Masa Depan Lewat Singaraja Literary Festival

“Karena, ya, memang terus terang, hampir sama rata-rata benturannya kan adalah dana. Walau fiksi,  dananya kan lumayan.  Apalagi dengan  alat perawatannya sekarang.  Perawatan film yang  mendekati standar, itu kan lumayan juga anggarannya. Jadi, Dana Indonesiana itu cukup bantu untuk merealisasikan ide-ide teman-teman film di,  ya, di lokal-lokal, begitu,” terang Reni.

Film lokal memiliki potensi besar untuk mencerminkan keberagaman budaya dan sosial di Indonesia. Dengan terus mendukung sineas perempuan melalui Dana Indonesiana, harapannya dapat memastikan bahwa suara-suara yang selama ini terpinggirkan dapat didengar dan dihargai. 

Keberlanjutan program dana abadi ini juga berarti keberlanjutan inovasi, kreativitas, dan keberagaman dalam industri film Indonesia.

“Dana Indonesiana harapannya terus berlanjut dengan cerita perempuan yang lebih beraneka ragam tema-temanya. Harapannya ada terus, ya, dengan tema-tema perempuan yang unik dan menarik lainnya.”

“Adanya Dana Indonesiana ini memang membentuk ekosistem di lokal-lokal, membangun ekosistem yang positif, ide-ide tentang perempuan tergali, masih banyak lagi yang perlu dieksplorasi, perlu diangkat tentang komunikasi, tentang kekuatan, banyak lagi,” harapnya.

(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)

Luthfi Maulana Adhari

Manajer riset dan pengembangan Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!