Namanya Helen Adams Keller, lahir di Alabama 1880 seorang difabel tuli, sekaligus netra saat usianya belum genap dua tahun.
Ketika dia lahir, Helen bisa melihat dan mendengar, tetapi dia terjangkit penyakit ketika dia berusia 19 bulan, setelah itu Helen menjadi difabel tuli dan netra.
Bagi Hellen dunia itu hitam, gelap, sunyi, suram dan sepi. Tidak ada warna biru untuk air, kuning untuk pisang, atau cuitan burung beo. Masa kanak-kanaknya begitu sedih. Tidak ada teman seusianya yang mau mendekatinya. Hellen marah dengan dirinya. Tidak ada yang mengerti akan kemarahannya dan ia hanya bisa memukul atau menggeram saja, tanpa dapat menjelaskan satu patah kata.
Hellen tidak dapat berkomunikasi dengan siapapun. Dia tidak bisa berkata ‘Mama aku haus, boleh minta segelas air?’ atau ‘Papa, aku mau ke kamar mandi, tolong antarkan aku Pa’ atau ‘Aku mau roti dengan selai coklat, bukan keju Ma.’ karena Hellen tidak pernah mendengar orang berbicara.
Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Male Gaze? Objektifikasi Perempuan di Media untuk Penuhi Hasrat Laki-Laki
Ia bingung dan marah dalam waktu yang bersamaan. Sayangnya, tidak ada yang dapat mengerti kemauan Helen karena ia tidak dapat berbicara. Bagaimana ia berbicara sedangkan Hellen tidak pernah mendengar suara selama hidupnya. Bahkan lonceng gereja. Maka Helen hanya dapat memukul barang atau orang disekitarnya.
Film The Miracle Worker menceritakan seorang guru bernama Anne Sullivan yang mengeluarkan Helen dari kegelapan. Sullivan memberi kunci pada Helen, yaitu dengan mengajarinya bahasa, kata demi kata. Hanya dengan bahasa, Hellen dapat memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki nama dan ia akhirnya dapat berkomunikasi dengan orang lain.
Film ini diadopsi dari buku buku Helen yang berjudul Story of My Life dan sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Film yang disutradarai oleh Arthur Penn sukses menjadikan Helen tokoh inspiratif banyak orang karena kegigihan, dan perjuangannya selama ia hidup.
Hidup adalah perjuangan
Sebelum kedatangan Sullivan, Hellen hidup penuh dengan kemudahan. Ia tidak pernah mengenal aturan seperti tata cara makan di meja makan atau makan menggunakan sendok atau membukakan pintu saat bibinya membunyikan bel rumah. Captain Arthur Keller dan Kate Keller, orang tua Hellen, tidak pernah memarahi Hellen saat ia melakukan kesalahan. Ibu Hellen, Ny. Keller, akan memeluknya dan memberi permen saat Hellen melakukan kesalahan.
Saat Sullivan datang, Hellen pernah mengamuk. Hellen melempari Sullivan dengan barang-barang di sekitarnya dan mengobrak-abrik koper yang ia bawa. Bahkan tak jarang ia memukul, berlari kesana kemari, bahkan mengerjai gurunya dengan mengunci Sullivan di dalam kamar. Pada adegan-adegan tersebut menimbulkan kesan bahwa Helen sangat membenci dan ingin membuat Sullivan pergi dari rumahnya.
Perjuangan Helen berikutnya terlihat saat ia dibawa pergi ke rumah kebun dan menetap disana bersama sang guru selama beberapa hari. Sullivan melihat jika Helen terus berada di rumah dekat dengan orangtuanya, maka ia tak pernah belajar. Tentu bukan hal yang mudah bagi Hellen saat ia harus tinggal dengan penuh kedisiplinan, aturan dan belajar bertanggung jawab.
Baca Juga: ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’, Realita Care Work dan Ketidakadilan Gender di Baliknya
Awalnya di malam pertama mereka menginap, Hellen ketakutan karena hanya berdua dengan guru, ia sampai bersembunyi di bawah ranjang menghindari Sullivan. Namun, ketakutan ini lawan karena mengetahui bahwa Sullivan mengajarkan kata ‘Kue’ pada anak tukang kebun yang diperbantukan di sana menggunakan huruf blaire. Maka, hari demi hari Hellen sudah tidak takut pada Sullivan karena diajarkan banyak kata seperti bunga, daun, burung dan telur.
Film berdurasi satu setengah jam ini tidak hanya menceritakan perjuangan Helen belajar bahasa, melainkan juga perjuangan Sullivan yang membuat Helen dapat memahami kata demi kata yang sudah diajarkan.
Bagi Sullivan, bagian tersulit adalah memahamkan Helen bahwa dunia memiliki bahasa. Bahasa membuat benda-benda memiliki namanya masing-masing dan berkomunikasi dengan orang lain. Hellen hanya menghafal kata-kata yang diberikan. Ini terlihat saat Sullivan mengajarkan kata ‘anjing’, Hellen justru mengeluarkan kata ‘air’.
Selain mengajarkan bahasa, Sullivan juga mengajarkan adab atau tata cara yang berlaku pada umumnya, seperti saat di meja makan penting untuk memakai serbet makan, memakai sendok dan garpu serta duduk diam diatas kursi.
Baca Juga: Film ‘Civil War’, Kisah Jurnalis Perempuan Lawan Ketakutan dan Trauma Perang
Pelajaran ini juga bukan hal yang mudah bagi Helen karena ia terbiasa makan sambil berdiri dan berjalan di sekitar meja makan, makan menggunakan tangan dan menggebrak-gebrak meja saat ia ingin sesuatu yang lain.
Ketika Sullivan mengajarkan Helen untuk duduk di kursi saat makan, tak heran jika Helen memberontak. Hellen memukul dan mencubit Sullivan agar ia dapat kabur dari ruang makan, tapi untungnya berhasil dicegah.
Saat Hellen diajarkan makan menggunakan sendok, ia justru membuang sendok itu berkali-kali.
Namun, setelah memboyong Hellen ke rumah kebun, akhirnya Sullivan dapat memetik buah dari kesabarannya mengajarkan Hellen tata cara makan di meja makan. Hellen dapat duduk dengan tenang di atas kursi, menggunakan serbet makan, memakai sendok untuk menyuap makanan diatas meja.
Pentingnya dukungan dari orang-orang terdekat
Captain Keller, ayah Hellen, mengalami masa-masa putus asa karena keadaan anaknya yang difabel ganda. Hellen sudah dibawa pengobatan bahkan ke luar negeri, tapi tidak ada dokter yang bisa menyembuhkan keadaannya. Bahkan Captain terpikir untuk memasukan Hellen ke rumah sakit jiwa anak.
Untungnya Ny. Keller dapat mencegah Helen dibawa ke rumah sakit jiwa. Ibu dengan tiga orang anak itu memiliki harapan yang tinggi pada Hellen. Intuisinya sebagai ibu mengatakan Helen ingin berbicara, maka dibutuhkan seorang pengajar. Dan datanglah Annie Sullivan, guru sekaligus malaikat bagi Hellen.
Ny. Keller adalah orang yang pertama kali mendukung semua keputusan Sullivan demi kepentingan Helen. Seperti pada saat Sullivan meminta untuk ditinggal berdua dengan Helen di ruang makan. Ini secara tidak langsung sangat tidak lumrah, karena Sullivan secara tidak langsung mengusir Captain yang notabene adalah pemilik rumah. Awalnya Captain tentu kesal karena merasa direndahkan dan ragu pada Sullivan, tapi Ny. Keller meyakinkan suaminya untuk melakukan apa yang diminta guru Hellen.
Pun pada saat genting seperti keputusan Sullivan untuk mengajar Hellen di rumah kebun, Ny. Keller menyetujuinya walau dengan berat hati. Ny. Keller sadar bahwa ia tidak bisa jauh dari putri kesayangannya itu, tapi perlu dilakukan untuk perkembangan hellen.
Sikap Ny. Keller mengingatkan saya pada orang tua yang memutuskan untuk memondokkan anaknya atau melepas anak pergi merantau. Dibalik ketabahan seorang ibu, pasti ada kesedihan sekaligus harapan untuk sang anak.
Film ini mengajarkan bagaimana bersikap pada teman-teman difabel. Sikap orang tua Helen di awal cerita menunjukkan sikap mengasihani Hellen. Justru sikap mengasihani tidak membuahkan apapun pada Hellen, selain sifat manjanya.
Baca Juga: ‘Tuhan, Izinkan Aku Berdosa’: Upaya ‘Tanggung’ Menembus Batas Moralitas
Ternyata sikap seperti ini masih banyak ditunjukkan pada teman-teman difabel, sikap mengasihani. Sikap ini datang karena pandangan bahwa teman difabel tidak mampu bekerja, berkarya dan belajar hanya karena fisiknya berbeda dengan orang lain.
Salah satu teman yang menjadi relawan di Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga menceritakan bahwa di tingkat perguruan tinggi masih banyak mahasiswa yang mengasihani teman difabel. Jika sikap ini terus dipelihara malah akan membuat teman-teman difabel semakin ‘rendah’. Contohnya adalah pengerdilan partisipasi dalam tugas kelompok. Teman difabel ini hanya diberi sedikit tugas dan tidak diberi porsi untuk mempresentasikan tugas yg ia kerjakan karena teman-temannya kasihan ia tidak bisa bicara. Padahal teman difabel ini dapat berbicara menggunakan tangannya dan akan diterjemahkan oleh relawan PLD.
Apa yang diceritakan relawan PLD setara dengan yang disampaikan Arif Wijayanto atau yang kerap disama Mas Broto, salah satu seniman di Jogja yang dijuluki sebagai seniman difabel. Selama 20 tahun, sejak 2004, ia hidup di dunia inklusifitas bersama teman-teman difabel dan mendirikan Deaf Art Community, komunitas untuk teman-teman difabel belajar seni pertunjukan dan budaya. Mas Broto menyampaikan teman-teman difabel justru marah jika dikasihani. Dukungan yang bisa diberikan kepada teman-teman difabel adalah menerima kehadiran mereka dan uluran tangan yang siap membantu kapan mereka butuhkan. Bantuan itu ada karena sebagai manusia, makhluk sosial yang masih membutuhkan orang lain di hidupnya.
Hal ini juga terjadi pada Hellen. Hasil yang kemudian Helen peroleh jauh daripada yang ia bayangkan. Bukan hanya berkomunikasi dengan ibunya atau makan di meja makan, bahkan ia bisa bertemu dengan presiden Amerika, Lyndon Johnson, menulis buku dan mendirikan yayasan yayasan American Foundation for the Blind adalah sederet pencapaian Hellen.
Baca Juga: ‘Ecohorror’, Melihat Kualitas Film Horor yang Eksplorasi Masalah Lingkungan
Walaupun Hellen tidak dapat berkomunikasi menggunakan lisan, ia menggunakan huruf blairre dan Tadoma (cara berkomunikasi dengan menyentuh bibir lawan bicara). Hellen juga menguasai 4 bahasa sekaligus yaitu Jerman, Prancis dan Yunani dengan mempelajari huruf blairre. Ini membuktikan selalu ada alternatif lain yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
Hellen mengajarkan tentang rasa syukur. Belajar menerima keadaan dan kondisi diri sendiri. Berdamai dengan segala kelebihan dan kekurangan yang kita punya. Improvisasi apa yang bisa dilakukan tanpa harus mengubah diri sendiri menjadi orang lain.
Semangatnya untuk mengenal nama-nama benda disekitarnya membawa dirinya menjadi motivator, dosen, aktivis sosial yang sangat terkenal.
Helen di masa-masa berikutnya dikenal sebagai pejuang, penulis hebat, aktivis politik dan dosen Amerika. Ia menjadi pemenang dari Honorary University Degrees Women’s Hall of Fame, The Presidential Medal of Freedom, The Lions Humanitarian Award, bahkan kisah hidupnya meraih 2 piala Oscar
Selain itu, Helen juga menulis artikel serta buku-buku ternama. Salah satunya The World I Live In dan The Story of My Life (diketik dengan huruf biasa dan Braille), yang menjadi literatur klasik di Amerika dan diterjemahkan ke dalam 50 bahasa. Ia berkeliling ke 39 negara untuk berbicara dengan para presiden, mengumpulkan dana untuk orang-orang buta dan tuli.
Ia juga mendirikan American Foundation for the Blind dan American Foundation for the Overseas Blind. Helen meninggal di usia 87 tahun.