Stereotip Perempuan Jawa di Film: Perannya Jadi PRT, Dianggap Miskin dan Kampungan

Pernahkah kita berpikir bahwa karakter perempuan Jawa selalu punya stereotipe tersendiri dalam wajah film Indonesia? Selain digambarkan kehadirannya sebagai seorang PRT, mereka juga digambarkan sebagai perempuan yang ngomongnya medok, miskin dan mudah ditipu.

Mari kita melihat kehadiran laki-laki atau perempuan Jawa dalam perfilman Indonesia yang menarik untuk kita diskusikan. Hal ini bila dikaitkan dengan peran para perempuan dalam film bioskop hingga FTV.

Jika kita mengamati perfilman tanah air dari masa ke masa, selalu ada nama-nama dari etnis Jawa. Mbok Iyem, Mbok Ijah, Mbok Tun, nama-nama yang menjadi nama yang sangat lekat di ingatan kita karena perannya sebagai seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT). 

Tidak hanya perempuan, laki-laki juga demikian, nama dengan identitas Jawa seperti Kang Mamat, Kang Paijo, Kang Ujang acap kali memerankan sebagai tukang sopir atau bersih-bersih kebun. 

Pada serial film “Layangan Putus” misalnya, ada nama PRT bernama Mbok Tun. Di film “Surga yang Tak Dirindukan” karya Asma Nadia, nama Mbok Tun juga masih terus digunakan sebagai PRT dari serial satu hingga tiga. Terakhir nama Mbok Tun juga digunakan di film “Air Mata di Ujung Sajadah” film yang diperankan Fedi Nuril dan Citra Kirana tersebut. Ketiga kesamaan ini benarkah merupakan suatu kebetulan atau memang telah menjadi pola bahwa perempuan dengan identitas Jawa selalu dilekatkan dengan perannya sebagai PRT di perfilman tanah air?

BACA JUGA: ‘Sewu Dino’: Horor Jawa yang Menegangkan

Pernahkah kita berpikir bahwa karakter orang Jawa selalu punya stereotipe dan penggambaran tersendiri dalam wajah film Indonesia? 

Selain kehadirannya sebagai seorang PRT, mereka juga digambarkan sebagai perempuan yang ngomongnya medok, lugu dan mudah ditipu. Tak jarang orang Jawa direpresentasikan sebagai orang yang kampungan dan miskin ketika ia merantau ke kota seperti Jakarta. 

Diakui atau tidak, dalam perfilman di Indonesia, Jakarta kerap kali menjadi sentral dalam film dengan wilayah yang disorot sangat dominan. Dalam standar kemajuan kota-kota besar misalnya, Jakarta masih dianggap kiblat. Kemudian, dalam dialek bahasa, unsur-unsur dialek Jakarta hingga hari ini masih menjadi bagian yang menonjol dari ragam tak resmi, baik lisan maupun tulisan di Jakarta maupun di luar Jakarta. Kehadiran Jakarta sebagai ibu kota negara menyebabkan kota ini lebih dominan dibanding daerah lain, baik di bidang politik, maupun kehidupan kultural. Dan kondisi ini juga terjadi dalam perfilman kita.

Sampai hari ini, gaya hidup orang Jakarta masih menjadi standar bagi orang-orang di luar Jakarta. Mulai dari penampilan, gaya dan dialek. Ketiga hal tersebut kerap kali ditiru. Terlebih persoalan dialek, Jakarta masih berkuasa dalam struktur hierarki (superior) bila dibanding dengan dialek-dialek daerah lainnya yang menggambarkan suatu etnis tertentu. Hal inilah yang akhirnya membuat kedudukan etnis daerah seolah lebih rendah dalam sebuah media khususnya etnis Jawa. 

BACA JUGA: Kamus Feminis: Apa Itu Stereotipe Gender? Perempuan Digeneralisir dan Dibatasi Kebebasannya

Misal pada tayangan televisi secara live, para selebritis menempatkan penggunaan dialek Jakarta sebagai suatu hal yang utama dalam setiap acaranya. Meski hal tersebut bukan permasalahan yang krusial, namun jika dinormalisasi secara terus-menerus, akan berdampak pada penyempitan identitas daerah-daerah yang lain.

Pertanyaannya, mengapa banyak orang yang merantau ke Jakarta, namun menyebut kota di luar Jakarta sebagai Jawa. Bukankah Jakarta juga berada di Jawa?

Hemat saya, majas penyempitan makna ini dipengaruhi oleh beberapa hal, pertama budaya urbanisasi yang menubuh. Perpindahan masyarakat desa ke kota besar mengakibatkan seseorang menghabiskan masa tua di kota perantauan hingga mereka memiliki anak.

Dalam artikel yang telah diterbitkan mikopedia, urbanisasi terbesar terjadi dari Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Faktor kedua adalah faktor tahunan. Tradisi mudik yang dilakukan masyarakat urban saat menengok kampung halaman ketika lebaran, nikahan, atau hajatan, mereka selalu mengatakan akan mudik ke Jawa. 

Faktor ketiga adalah posisi Jakarta sebagai kota multikultural. Pada hakikatnya Jakarta didiami asli Suku Betawi. Namun banyaknya urbanisasi mengakibatkan keaslian Suku Betawi tergeser, sehingga mengakibatkan akulturasi budaya yang ada di Indonesia.

Marginalisasi Etnis Jawa

Dalam artikel berjudul “The Age of Marginality” yang ditulis Routled M. Dennis menyebut bahwa konsep marginalisasi erat kaitannya dengan identitas.  

Alasannya, baik laki-laki maupun perempuan adalah manusia yang cenderung memaknai hidup melalui sebuah identitas. Jika dikaitkan dengan fenomena ini, maka masalah marginalisasi merujuk pada keadaan dominasi sosial dimana terdapat hubungan antara sentralisasi dengan marginalisasi.

Pada konteks ini dominasi sosial yang dimaksud adalah dominasi Jakarta, sehingga etnis-etnis daerah di luar Jakarta mendapatkan posisi yang nondominan. Hal ini terlihat jelas bagaimana dialek daerah direpresentasikan, yaitu ketika seseorang menggunakan dialek daerah, dia acap kali diberikan label ndeso¸ miskin, bahkan bodoh. Tetapi tak jarang pula terdapat orang Jawa yang diposisikan sebagai orang yang kaya dan mempunyai kedudukan. Namun, kebanyakan orang Jawa yang diposisikan demikian adalah orang yang dekat dengan lingkungan atau masih berada dalam suatu silsilah keraton. 

BACA JUGA: Film ‘Mengejar Mbak Puan’ Dirilis untuk Mengetuk Puan Maharani Sahkan RUU PPRT

Hal tersebut dikarenakan zaman Jawa Kuno, kekuasaan keraton Jawa selalu dipegang oleh kaum bangsawan atau yang dikenal dengan darah biru. Masyarakat Jawa pun dikenal sebagai masyarakat yang feodal. Feodalisme tak lain adalah suatu mental attitude, sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia atau kedudukan.

Seperti diungkapkan di atas, bagaimana media merepresentasikan suatu etnis itu sering kali diserahkan pada pelaku media. Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana penggambaran media akan fenomena tersebut berdampak memunculkan stereotipe-stereotipe yang berkembang di tengah masyarakat. 

Hal tersebut dikarenakan media sangat berperan penting dalam pembentukan opini publik. Selain itu fakta yang ditampilkan sering dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh khalayak. 

Oleh karena itu, meskipun penggambaran fenomena tersebut hanya terdapat dalam sebuah frame media, namun dampak stereotipenya akan meluas jika terus-menerus dinormalisasi oleh media.

Uswah Sahal

Mahasiswa Pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!