Senin 20 Mei, sejumlah aktivis dan jurnalis turun tangan dan melakukan aksi demonstran di depan gedung DPR/MPR RI di Jakarta. Mereka mendesak urungkan terbitnya UU Penyiaran tersebut.
Dalam setiap orasi, banyak hal yang ditekankan oleh para orator. Para orator menyerukan tentang adanya perluasan wewenang KPI ke dalam ranah digital. Hal itu merambat ke banyak ranah, seperti dilarangnya konten-konten LGBT dan jurnalisme investigatif oleh KPI.
Ironinya, lembaga yang berlabelkan “perwakilan rakyat” justru benar-benar tidak mewakilkan satupun suara rakyat. Hal ini mengundang rasa marah masyarakat Indonesia terhadap peraturan baru yang tidak bijak. Setiap orator menyerukan bahwa jika tidak adanya jurnalis dalam ranah konvensional ataupun digital, sama halnya tidak ada pemberitaan yang informatif terkini untuk masyarakat.
Terlebih, peraturan ini memberikan efek domino jika tidak dikaji lebih bijak. Perluasan wewenang KPI ke dalam ranah digital justru membungkam setiap orang untuk bersuara. Tidak hanya orang-orang yang mengkritisi pemerintah saja. Tetapi para content creator yang berkarya pun dihalangi cara mereka berkarya. Tidak ada lagi tontonan hiburan di dalam situs aplikasi menonton legal jika revisi UU ini akan diseriusi.
Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan menemui peserta aksi ketika demonstrasi berlangsung. Terdapat dua poin penting yang disampaikan. Pertama, Farhan mengatakan adanya Revisi UU Penyiaran ini adalah sebagai bentuk konsekuensi dari masuknya cluster UU Cipta Kerja pada 2020 lalu.
Baca Juga: 3 Alasan Revisi UU Penyiaran Bermasalah: Diskriminatif terhadap Minoritas Seksual
“Secara teknis Revisi UU Penyiaran ini adalah konsekuensi dari masuknya cluster penyiaran di UU Cipta Kerja, jadi harus direvisi. Tapi setiap kali kita melakukan revisi. Maka dibuka juga kotak pandora lain,” ujar Farhan pada demonstrasi Revisi UU Penyiaran, pada Senin (27/05/2024)
Farhan menambahkan, kala revisi dilangsungkan dan dibukanya kotak pandora, banyak kepentingan yang masuk. Salah satunya adalah pasal-pasal untuk melakukan represi terhadap kebebasan pers dan media.
“Tidak semua anggota Komisi I maupun anggota badan legislasi setuju dengan revisi tersebut, saya termasuk yang tidak setuju. Saya tidak setuju tentunya apabila UU Penyiaran masuk ke ranah pers karena ranah pers sudah ada di UU Pers,” lanjut Farhan.
Poin kedua, Farhan menegaskan. Meski produk jurnalistik dalam ranah televisi diatur oleh Revisi UU Penyiaran, tetapi hal tersebut sudah mutlak berada dalam ranah UU Pers.
“Walaupun produk jurnalistik TV masuk ke RUU Penyiaran, tetapi UU Pers menyatakan tegas bahwa bentuk jurnalis atau karya jurnalistik di media apapun harus berada di bawah UU Pers,” imbuh Farhan
Keberlanjutan dari Revisi UU ini masih dalam proses menunggu persetujuan badan legislasi untuk dilanjutkan atau diberhentikan. Namun, apabila di periode tahun ini Revisi UU tersebut diberhentikan, akan dilanjutkan di periode tahun depan. Dengan kata lain, Revisi UU ini akan terus menghantui semua masyarakat Indonesia. Meski dihentikan di periode tahun ini, akan ada periode-periode lainnya yang menunggu. Revisi UU Penyiaran ini akan terus bernapas panjang apabila tidak adanya kesadaran pemerintah betapa merugikannya Revisi UU Penyiaran ini jika dilanjutkan.
Baca Juga: Kasus video: Hati-hati Gunakan UU Pornografi, Jangan Sampai Justru Menghukum Korban
Sejumlah jurnalis, praktisi media komunitas, akademisi, peneliti, dan elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Forum Penyelamat Media dan Demokrasi (FPMD) menyatakan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran Usul Inisiatif DPR-RI periode 2019 – 2024. Sebab berpotensi merusak masa depan media dan demokrasi di Indonesia.
Terdapat tiga kategori alasan penolakan FPMD, antara lain alasan administrative procedural, alasan substansi, dan kepentingan Publik.
Terkait dengan alasan administrative procedural terdapat tiga poin penting. Yaitu secara administratif procedural DPR-RI dan Presiden periode 2019 – 2024 sudah tidak memiliki legitimasi kewenangan untuk membuat peraturan perundangan baru. Mengingat masa kerja mereka kurang dari enam bulan. Apabila DPR-RI tetap memaksakan diri melanjutkan pembahasan RUU dan pengesahan UU, hal itu jelas tidak sesuai dengan etika hukum (constitutional ethics).
Di negara-negara demokratis mana pun, ketika legislatif dan kepala negara maupun kepala pemerintahan baru sudah terpilih. Maka pemerintahan yang eksisting tidak akan membuat keputusan baru dan strategis. Kalau DPR-RI dan Pemerintah tetap memaksakan diri membahas dan mengesahkan RUU menjadi UU, mereka tidak lagi memiliki legitimasi kekuasaan sehingga keputusan yang diambil tidak sah, dan patut dipertanyakan; apakah agenda terselubung di balik itu?
Selanjutnya, proses penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran selama ini tidak transparan. Masyarakat tidak tahu prosesnya. Namun tiba-tiba draf RUU Penyiaran sudah mewujud. Selama ini tidak ada niat baik dari DPR-RI untuk transparan dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran. Kalau akhirnya sebagian masyarakat dapat memperoleh draf RUU Penyiaran, hal itu bukan karena adanya transparansi dari pihak DPR-RI. Melainkan hasil perjuangan kelompok masyarakat sipil. Padahal UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sangat jelas mengamanatkan perlunya transparansi dalam proses pengambilan kebijakan publik. Sebab, ketika prosesnya tidak transparan, keputusan yang diambil juga tidak akuntabel.
Baca Juga: 10 Alasan Mengapa Buruh Perempuan Harus Menolak UU Cipta Kerja
“Kami berpendapat bahwa proses penyusunan dan pembahasan draf RUU Penyiaran yang tidak transparan dan tidak akuntabel ini mengindikasikan adanya itikad tidak baik yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat. Sebagaimana terjadi pada revisi UU KPK dan lahirnya UU Cipta Kerja. Ketiga, langkah DPR-RI dalam penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran tidak sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020,” ujar Jubir FPMD, Elanto Wijoyono (Combine Resource Institution)
Salah satu catatan penting dari putusan MK tersebut adalah pentingnya partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam proses perumusan peraturan perundangan. Terutama bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas. Sementara itu, terkait aspek substansi, draf RUU Penyiaran berpotensi menambah masalah tata kelola media penyiaran, platform digital, dan demokrasi di masa depan.
Sementara Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi yang terdiri dari sejumlah organisasi/ lembaga masyarakat sipil mencatat. Terdapat 4 poin masalah dalam revisi UU Penyiaran yang saat ini sedang dibahas di Baleg DPR RI.
Maka dengan kondisi ini, Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi menyatakan sikap untuk hentikan pembahasan RUU Penyiaran dalam prolegnas 2024. Serta memulai kembali penyusunan RUU di periode DPR selanjutnya dengan pelibatan yang berarti dari stakeholder dan publik dengan beberapa catatan penting. Yakni menghapus pasal-pasal diskriminatif dalam revisi UU Penyiaran karena mendiskriminasi orang-orang atau kelompok tertentu melanggar Konvensi CEDAW, Konvensi anti Diskriminasi Terhadap Perempuan. Pemerintah Indonesia di tahun 1984 meratifikasi CEDAW yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984.
Baca Juga: Ada Kartun Tidak Ramah Anak Hingga Jam Tayang Tak Sesuai Umur: Problem Tayangan Anak di TV
Lalu menghapus pasal-pasal pembungkaman pers, ketumpangtindihan kewenangan KPI dan Dewan Pers, sekaligus stop memperbesar pemusatan kepemilikan media.
Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi terdiri dari Kalyanamitra, Perempuan Mahardhika, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), LBH Masyarakat, The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Jakarta Feminist, Remotivi, Konde.co, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Yayasan Ragam Berdaya Indonesia (YRBI), SEJUK, Arus Pelangi, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), PIKAT Demokrasi, Aliansi Jurnalis Independen/ AJI, LETSS Talk, YAPESDI, JALA PRT, WeSpeakUp.org