Sebut Aku Cica, Sebut Aku Indonesia

Buku puisi berjudul “Cica” ditulis oleh penulis, Cyntha Hariadi diluncurkan pada 19 Mei 2024. Cyntha menggali sejarah hidupnya, keluarganya, orang Cina Benteng dalam masa pergolakan di Indonesia yang dulu bernama nusantara.

Ada kenangan yang tersimpan, ada pertanyaan atas identitas, juga peristiwa yang berusaha dihapus oleh kekuasaan dalam larik-larik puisi di buku ini

Buku puisi berjudul “Cica’ ini berisi 96 puisi yang ditulis sejak 2016 hingga 2020 tentang pergolakan Gen X di masa sekarang

Cyntha menulis buku puisi ini selama 4 tahun. Puisi-puisinya berisi eksperimen seru tentang diskursus banyak generasi dan sejarah hidup yang berbeda-beda yang terjadi pada orang Ciben atau Cina Benteng di Tangerang di masa nusantara, sampai Indonesia merdeka.

Yang paling khas adalah struktur bukunya. Struktur buku “Cica” seru dan menarik, dimana Cyntha memberikan penomoran pada urutan isi buku. 

Kenapa nomor? Karena memang nomor (terkadang) menjadi pelepas beban bagi penulis untuk menamai judul puisinya. Tapi di sisi lain, ini juga memberikan kita kebebasan untuk berimajinasi tentang fokus dari puisi-puisi yang ditulis.

Apakah itu berarti isinya tentang urutan penceritaan Cyntha tentang sejarah hidupnya dan sejarah orang Ciben pada umumnya? Mungkin juga. Tetapi kita bisa lepaskan tugas-tugas interpretasi pada pembaca untuk memikirkannya.

Buku puisi Cica dibagi jadi dua bagian. Bab pertama berisi Padangan, dan bab kedua Kebadi

Ini menarik, karena dua bagian ini bisa jadi pemisah antara heritage (atau warisan) yang coba dipelajari oleh Cyntha. 

Cyntha adalah Gen-X yang lahir setelah Indonesia merdeka.  Sementara orang tuanya, (juga kakek neneknya) adalah warga nusantara yang mengalami sendiri persoalannya sebagai orang Ciben pada masanya, sampai Indonesia merdeka. 

Di salah satu puisi dalam buku ini misalnya. Tertulis abad 14 itu adalah ketika sebuah perahu orang Tionghoa masuk ke Tangerang melalui Sungai Cisadane. Jadi sudah berapa lamakah sebenarnya orang Tionghoa ada di Nusantara ini? 

Baca juga: Merawat Kenangan Bersama Penulis Feminis Nh. Dini

Konon ada penelitian yang mengatakan, jika nenek moyang orang Jawa berasal dari kerajaan Yunan. Juga ada yang bilang sejak ratusan tahun sebelum Masehi kita merupakan bagian keturunan kerajaan Turki.

Sementara asal-usul orang Sunda, tidak ada yang tahu pastinya. Walau ada yang mengatakan, kemungkinan berasal dari Taiwan atau Hawaii. Tapi kita tahu bahwa pembentukan Nusantara ini tidak bisa lepas dari banyaknya ras yang masuk.

Jika prediksi historian betul, maka entah bagaimana orang di Jawa khususnya, selalu ada keturunan dari Tionghoa yang bercampur dengan suku-suku lain yang dulu sudah ada di Jawa.

Masyarakat Cina Benteng (Ciben) jika ditulis oleh Cyntha Hariadi di buku ini, adalah masyarakat yang sudah tinggal di Tangerang sejak abad 14 atau 15. Atau merupakan percampuran keturunan Cina dan pribumi pada saat itu di wilayah itu (Sunda dan Betawi). Keberadaan mereka sudah mengakar di wilayah mereka, walaupun pada kemerdekaan Indonesia, terjadi ketegangan dengan pribumi. 

Walaupun kurang jelas bagaimana konfliknya (butuh riset), yang pasti, masyarakat pribumi mengobrak-abrik tempat ibadah mereka. Bahkan memulai yang namanya sikap hostile terhadap orang Ciben dan orang Tionghoa pada umumnya.

Dalam sastra, Dwi Susanto, dosen UNS menyebutkan dalam liputan Kompas, sejak 1890, ada seorang sastrawan bernama Lie Kim Hok yang membuat tulisan sastra memakai campuran bahasa China, Perancis dan Melayu. Tulisan ini kemudian menjadi perlawanan terhadap Bahasa Belanda dan Melayu versi “penjajah”. Ia menjadi salah satu pelopor Bahasa Melayu nusantara yang kemudian pada akhirnya nanti menjadi Bahasa Indonesia ejaan lama. Ia juga menciptakan kitab ejaan Bahasa Melayu. Ini menjadi tonggak penting dalam sejarah sastra dan bahasa di Nusantara.

Sebenarnya peran penulis keturunan Tionghoa dan keturunan apapun di Indonesia menjadi penting untuk melihat kembali struktur bahasa kita. Karena sejarah juga merupakan representasi politik dalam sastra. Ini yang perlu kita gali, mengingat Bahasa Indonesia sendiri aslinya dari berbagai pinjaman bahasa lain, bukan suatu struktur sendiri yang bersih (atau bebas) dari pengaruh luar.

Pada memori kita bertumpu akan masa lalu, apa itu benar atau tidak (atau serpihannya ambelatak kalau pakai istilah Ciben). 

Pada bagian Kebadi, kemudian kita masuk pada masa Cyntha sendiri sudah punya kesadaran sebagai seorang muda memasuki masa tahun 1990-an dan spesifikasinya kejadian yang kelam pada 1998. Struktur ini juga mengingatkan untuk kita belajar bahwa ada bagian yang perlu kita amini, mungkin tidak perlu juga kita sepakati, tapi kemudian kita mencerap apa yang bisa kunyah untuk masa depan lebih baik. Ada masa lalu, ada masa sekarang yang masih kita jalani.

Struktur membaca buku puisi ini juga menarik. Ketika kita kurang paham, maka kita bisa melongok ke bagian kamus di belakang untuk mencoba memahami puisinya. 

Bagi saya generasi X yang lahir di tahun 1970-an seperti Cyntha juga tinggal di Jakarta, istilah seperti gancel, besepir, mentrung, apruk-aprukan, bererot, topo, belegug, congean, gongseng, kejer, nepa, jingke, otek, penggilesan, dll dst itu adalah bahasa keseharian. Karena ibu saya punya teman-teman orang Ciben dan Betawi yang menularkan itu walaupun ibu saya keturunan Manado Belanda. 

Sudah lama tidak ada buku yang memerlukan sedikit usaha untuk kita belajar. Belum lagi urutannya yang di awal mungkin lebih ringan, tapi semakin kebelakang suasananya mungkin semakin “berat”.

Menjadi Indonesia Dalam Pergolakan

Kita tahu sejarah itu banyak yang dihilangkan dan dikuasai oleh orang yang menang atau penguasa. 

Pada saat ini, orang keturunan Tionghoa ada pada pihak yang banyak kalah dalam sejarah berdarah Nusantara sampai Indonesia terbentuk, bahkan sampai 1998. Kita tahu kekerasan yang terjadi di Muara Angke itu, yang awalnya katanya mungkin dari bangkai orang keturunan Tionghoa yang dibantai secara massal oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Juga diskriminasi dan stereotip yang selalu diberikan pada orang keturunan Tionghoa atau Ciben. Padahal ada sejarah yang kita tahu tentang kontribusi orang keturunan Tionghoa dalam banyak aspek menjadi Indonesia.

Karena itu saya mau bilang, tentu seru sekali menjadi Cyntha. Karena dia menggali sejarah hidupnya, keluarganya, orang Ciben dalam masa pergolakan. Sejak kapal itu masuk ke Nusantara sampai pada masa 1998 atau sekarang, di mana modernitas dan demokrasi yang kita harapkan bisa membuat kita menjadi semakin berada, tapi nyatanya tidak juga. Pembantaian, perkosaan dan penjarahan massal 1998, menjadi salah satu luka sejarah Indonesia. Ini tidak boleh kita lupakan.

Cyntha menggali relasi kakek neneknya, ayah ibu dan relasi ia sebagai anak mulai dari kecil sampai sekarang. Bagaimana Cyntha kecil melihat dunia, pertanyaannya soal asal keluarganya, sejarah, suku, kelas, spiritualitas, identitas, warna kulitnya. Bahkan sampai kenangan manis sebagai seorang anak kecil berkepang yang selalu di stereotip sebagai anak keturunan Cina yang punya kotak sendiri. Dianggap kaya, privilege, kulitnya bagus dan pintar, atau banyak stereotip lain.

Baca juga: Puisi, Ruang Nyaman untuk Healing Kesehatan Mental

Cyntha menumpahkan seluruh kegembiraan, keriaan, pertanyaan dan sekaligus kemarahannya dalam roller-coaster puisi. Kamu bisa rasakan sendiri serunya ketika membaca. Ia tidak berusaha kampanye, tapi meneriakkan itu dalam buku ini untuk bisa jadi sesuatu yang terlihat.

Seperti kebanyakan minoritas di Indonesia, baik itu suku, ras atau agama, kadang membingungkan karena begitu banyaknya kebencian atau dengki pada suku tertentu atau perbedaan kelas.  

Di dalam puisinya, Cyntha menyatakan, cina miskin itu fiktif, karena begitu kentalnya stereotip terhadap orang keturunan Cina. Padahal masyarakat Ciben juga punya perjuangannya sendiri. Tanah yang direbut paksa oleh penjajah dan pribumi, diskriminasi dalam berbagai sektor kehidupan karena dianggap tidak perlu kerja, karena kaya dan warna kulitnya sebagai sesuatu yang “privilese” lebih terang dari orang pribumi. Di satu sisi diterima sebagai bagian orang Indonesia, tapi tetap dianggap “bukan” asli Indonesia.

Kemudian soal pendidikan, bahwa pendidikan di Indonesia itu sebenarnya semu, karena sejarah ditulis oleh penguasa. 

Di dalam sejarah Indonesia, apakah ada sejarah soal suku-suku dan ras bangsa yang masuk di Indonesia yang membentuk pembangunan nusantara lalu menjadi Indonesia? Belum banyak. Rakyat, apalagi yang kalah dan lemah, tidak bisa mengukir sejarahnya, apalagi seperti orang Ciben umpamanya. Ia menjadi bagian dari Sunda Betawi dan lalu menjadi Sunda Betawi Cina. Tapi keberadaannya tetap bukan menjadi bagian dari sejarah formal sekarang.  

Kini ada Wikipedia yang sudah membantu informasi soal berbagai ras yang ada di Indonesia dan pencampurannya. Tetapi apakah masyarakat paham pentingnya menghargai perbedaan? Ironis karena kita ada Bhinneka Tunggal Ika, tapi masih adanya pandangan dengki dan picik pada suku tertentu. 

Mengapa begitu? Ini adalah sejarah panjang pendidikan dan politik di Indonesia, yang mencoba menggerus kolonialisme yang melakukan devide et impera, hingga memakai isu suku dan ras untuk mengatur koloninya. Tidak mudah menggerus mengakarnya cara berpikir yang sempit dan memandang orang karena kulitnya.

Kejadian kerusuhan, perkosaan dan pembunuhan pada Mei 1998 apakah sudah masuk sejarah? Mungkin sudah ada guru-guru yang melakukan ini, tetapi akar permasalahannya tetap belum selesai.

Orang tetap punya stigma pada orang keturunan Cina umpamanya, tanpa mau mendengar persoalan keseharian mereka. Kebencian, dengki atau iri pada mereka terjadi ratusan tahun, tidak semudah membalikkan tangan. Adanya kultur kebencian dan konstruksi sosial yang parah ini butuh pendidikan panjang untuk menghapusnya. Karena itu karya seperti Cica ini penting dibaca banyak orang di Indonesia.

Baca juga: Cok Sawitri, Perempuan Seniman Pembongkar Mitos Perempuan

Terakhir soal keluarga dan spiritualisme. Bagi Cyntha, ini juga menjadi perhatian khusus dalam puisi-puisinya. Ini menarik karena bagaimana ketika keluarga Cyntha membacanya. Ada persoalan trauma antar generasi, soal relasi yang pahit getir, ketidakpuasan, pemahaman yang belum paripurna, atau bahkan manis bahagia.

Cyntha berani mempertanyakan keputusan ayah ibunya, walau sedikit kesal. Sama seperti kekesalan kita apabila keluarga kita memutuskan sesuatu tanpa diskusi dan tanpa konsen kita. Ia kemudian mempertanyakan prinsip kasih sayang dalam agama katolik dan kemudian apa maknanya bagi perempuan.

tak ada seorang pun mengasihimu

melebihi aku

namun kasihku tak selalu

bisa menyelamatkanmu

kasih yesus pun belum tentu

datang tepat waktu

tak ada ruang bagi kisah perempuan-perempuan

yang kehilangan anak perempjunnya

ruang di salib waktu

… 51, buku Puisi Cica, Cyntha Hariadi

Dalam puisi ini, Cyntha mempertanyakan soal kasih. Bahkan kasih Yesus ia perbandingkan. Mungkin tidak bisa tepat waktu dan mungkin tidak bisa menyelamatkan berbagai masalah hidup kita. Apakah bergantung pada kasih sayang menjadi solusi dalam masalah juga kehidupan kita?

Dalam kehidupan, perempuan banyak menanggung semua atau istilah dalam agama menanggung salibnya, juga dalam diam. Jadi dibutuhkan suatu ruang di mana perempuan juga kemudian pada akhirnya bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari berbagai kepusingannya. Apalagi dari tekanan diskriminasi, stereotip yang dihadapi perempuan dengan double discrimination, didiskriminasikan karena perempuan dan karena ras nya.

Dalam puisinya di bab Padangan, Cyntha juga memperlihatkan kilasan agama Buddha dan Konghucu sebagai agama asli orang Cina pada masanya dulu. Bagaimana gambaran dewa-dewi, seperti Dewa Kwan Im, kuil persembahyangan juga simbol keagamaan yang harum hionya bisa kita rasakan sambil membaca.

 Sementara orang-orang sembahyang

Menyalakan hio dan membakar kertas

Aku dan teman-teman main petak umpet

Dalam kamar-kamar dewa dewi pelindung

… 41, buku Puisi Cica, Cyntha Hariadi

Cyntha akhirnya memberikan memori panorama soal tempat orang bersembahyang dan orang-orang berdoa sementara. Anak-anak menjadi anak anak, bermain dan menikmati suasana tempat tersebut. Ia coba menyisir kesadarannya, yang bisa ia pelajari dari orang tuanya dan generasi sebelum orang tuanya, tentang spiritualitasnya juga pertanyaan soal apa manfaat spiritualisme itu bagi bangsanya.

Kubuka dan kututup hatiku akan tuhan

Semudah mencopot dan memasang

Salib di atas pintu

… 64, buku Puisi Cica, Cyntha Hariadi

Lalu kemudian kita sampai pada masa kini. Ketika orang tua Cyntha sudah masuk agama lain. Ia juga harus mengikuti simbol dan spiritualitas lain yang mungkin lebih kontekstual dan masuk dalam pengakuan agama di Indonesia.  

Dulu banyak orang-orang agama minoritas seperti Konghucu dan agama lokal harus masuk agama yang diakui negara. Ini sebenarnya suatu bentuk pemaksaan yang kemudian menyebabkan masyarakat dendam pada negara, juga kebingungan melihat tradisi dan spiritualitas kita.  

Cyntha mengakui itu dalam puisinya ini dan menutup hatinya akan Tuhan, karena itu semua kemudian bukan menjadi relasi personal manusia dan Tuhannya. Tapi warna politik yang menyebabkan kebingungan dan lepasnya akar yang seharusnya menjadi hak manusia memilih sendiri.

Ini kemudian bisa kalian pembaca lihat di puisi tentang Veronica dan puisi Agnus Mo (anak domba netizen), yang kemudian menjadi parodi dari konsep agnus dei (anak domba Allah) dalam konsep agama Katolik. Karena memang keturunan Tionghoa adalah domba hitam yang selalu dilupakan dalam sejarah politik Indonesia.

Biarkan Ia jadi Cica atau Cyntha

Pada puisi “Sebut aku Cina (puisi no 90)”, kemudian Cyntha memasrahkan dirinya pada konsep “Cina” dalam pandangan umum masyarakat Indonesia. 

Di satu sisi dia menjadi sinis, tapi di sisi lain itu juga politis. Ia mempertanyakan ratusan tahun kebencian, diskriminasi dan stereotip yang merugikan keturunan Cina di Nusantara. Di sisi lain, ia mengakui dirinya sebagai apa adanya. Pasrah seperti ketika Yesus mungkin menerima Yudas Iskariot yang mengkhianatinya.

Kartini bilang dalam suratnya, panggil aku Kartini. Karena ia adalah Raden Ayu dan bangsawan, karena dia privilese dan karena dia mau melawan status dan kelas. Cyntha juga melakukan ini dengan perlawanan yang lebih “seru” melalui buku puisinya. 

Lalu kenapa judul buku ini Cica? Mungkin orang mengatakannya itu singkatan Cina Cantik atau Cina cakep. Tapi juga bisa Cina cabo (yang agak kasar). Tapi mungkin juga itu artinya cica, suatu jenis burung yang cantik yang berbunyi manis dan menyuarakan tanpa perlu harus peduli orang suka atau tidak suka.

Bisa juga cica itu adalah bagian perjuangan menuju hal yang baik dan damai, sama seperti organisasi perdamaian Asia yang memperjuangkan perdamaian di Asia. Atau bisa juga cica itu adalah obat untuk membuat adem, anti stress, anti cemas dan pulih kita, seperti nama asli daun pegagan yang bisa jadi obat anti cemas (pembaca tidak tau kan). 

Kita biarkan Cyntha jadi cica. Jadi dirinya sendiri, jadi penutur, bisa agak marah kadang, bisa sekali-kali kasar (karena sudah ditindas beratus tahun), bisa jujur, bisa juga ceria. Ia memberikan kita ruang berpikir dan memeras ketidakadilan dalam cara-cara yang lebih berharga. 

Sehingga apapun yang dilekatkan di kulit kita, wajah kita, nama kita, suku kita, bisa perlahan kita hapus untuk menjadi lebih setara dan lebih saling menghargai.

(Foto; Maria Pankratia, Cyntha Hariadi, Mirna, dan Olin Monteiro, foto by; Sandie Monteiro)

Olin Monteiro

Penulis, aktivis feminis, penerbit dan produser dokumenter HAM dan perempuan. IG @olinmonteiro, @artsforwomen6, e-mail olinwork2017@gmail.com
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!