Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.
Tanya:
Halo kakak Klinik Hukum Perempuan, saya membaca berita online tentang dua kasus di Tangerang dan Bekasi. Yakni ibu yang mencabuli anaknya dan direkam karena iming-iming uang dari orang yang menyuruhnya melalui media sosial (medsos). Mohon penjelasan, apakah si ibu pelaku pencabulan anak tersebut akan tetap dihukum? Mengingat selain pelaku pencabulan terhadap anak, ia juga merupakan korban penipuan dari orang yang mengiming-imingi uang tersebut. (Ning, Tangerang Selatan)
Jawab:
Halo Ning, terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Mengenai kasus ibu yang mencabuli anaknya dan direkam karena iming-iming uang dari orang yang menyuruhnya melalui medsos, memang sangat memprihatinkan sekaligus dilematis. Karena kedua ibu tersebut dapat dikatakan sebagai pelaku/tersangka pencabulan terhadap anak. Mereka sekaligus juga korban tipu daya dan muslihat serta pemerasan dari orang yang memanfaatkan kerentanan dan kemiskinan kedua ibu tersebut (korban).
Sebelum menjawab pertanyaan Anda mengenai kedua ibu tersebut apakah akan tetap dihukum atas perbuatannya melakukan pencabulan terhadap anak? Kami akan membahas dahulu soal jerat pidana terhadap orang/pelaku yang menyuruh kedua ibu melakukan perbuatan cabul dengan merekam dan mengirimkannya kepada pelaku. Lalu rekaman tersebut digunakan pelaku sebagai alat untuk mengancam dan memaksa korban melakukan perbuatan cabul lanjutan. Yaitu pencabulan terhadap anak yang juga harus direkam dan dikirimkan kepada pelaku. Sehingga dapat dikategorikan sebagai kejahatan berlanjut yang memuat gabungan (beberapa tindak pidana).
BACA JUGA: Mau Spill Pelaku Kekerasan Seksual di Media Sosial? Perhatikan “Rambu-Rambu” Berikut!
Adapun jerat hukum yang dapat dikenakan kepada para pelaku yang menyuruh kedua ibu tersebut dengan tipu daya dan muslihat serta ancaman untuk mengirimkan foto/rekaman cabul melalui pesan di medsos adalah:
1. Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur sebagai berikut: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
2. Pelaku meminta korban melakukan perbuatan cabul melalui pesan tertulis di medsos (seperti facebook, WA, dll). Artinya pelaku juga melanggar Pasal 27 ayat (1) UU No. 19/2016 tentang Perubahan atas UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal ini melarang: “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
3. Selanjutnya, pelaku juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pasal 1 angka 1 UU TPKS menyebutkan “Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini”.
Menurut penjelasan pasal 5 UU TPKS, yang dimaksud dengan “perbuatan seksual secara nonfisik” adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan. Adapun jerat pidana bagi pelaku perbuatan seksual secara nonfisik dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00.
BACA JUGA: Kamu Jadi Target Stalking? Cermati Langkah Berikut!
Pada perkara ini terdapat gabungan tindak pidana, yaitu: (1) perbuatan menyuruh orang lain dengan tipu daya/muslihat dan/atau ancaman untuk melakukan perbuatan cabul. (2) Membuat pesan yang bermuatan kesusilaan (karena pesan suruhan dilakukan melalui medsos). (3) Melakukan perbuatan pelecehan seksual nonfisik. Sehingga atas ketiga perbuatan tersebut, hukuman yang dikenakan kepada pelaku dapat digabungkan atau diakumulasi. Hal ini tergantung bagaimana penyidik nantinya mengonstruksi kasusnya dalam tahap penyelidikan dan penyidikan.
Pasal 65 KUHP mengatur mengenai pengakumulasian/penggabungan tindak pidana yang dikenal dengan nama concursus realis. Gabungan tindak pidana ini diartikan sebagai beberapa tindak pidana yang dilakukan dalam waktu yang berbeda dan dilakukan oleh hanya satu orang. Misal: pada kasus Tangerang, pelaku kepada si ibu. Selengkapnya, Pasal 65 KUHP berbunyi sebagai berikut:
(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.
Dengan demikian, Pasal 65 KUHP mengatur tentang gabungan beberapa tindak pidana dalam beberapa perbuatan yang berdiri sendiri. Pasal ini tidak mengindikasikan apakah perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sejenis atau perbuatan yang berbeda. Melainkan hanya menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan diancam dengan pidana pokok yang sejenis.
BACA JUGA: Dikriminalisasi Karena Posting Chat Perselingkuhan Suami Di Medsos, Apa Yang Harus Dilakukan?
Dengan penjelasan ini, semoga para pelaku segera dapat ditangkap oleh polisi, agar kasus-kasus serupa, yang memanfaatkan kerentanan dan kemiskinan korban tidak lagi terjadi.
Selanjutnya, terhadap kedua ibu yang telah melakukan perbuatan cabul terhadap anak akan tetap di proses secara hukum. Ini lantaran perbuatannya tidak dapat dibenarkan secara hukum. Namun, tentunya sebagai korban memiliki peluang untuk mendapatkan keringanan hukuman ataupun penyelesaian hukum melalui restorative justice.
Adapun undang-undang yang dapat dikenakan kepada ibu tersebut adalah:
1. Pasal 294 ayat (1) KUHP: “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaan dianya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
2. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (UU Pornografi): “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar”.
3. Pasal 761 jo Pasal 88 UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Pasal 761 UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang membiarkan, menempatkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau ikut serta melakukan eksploitasi pada anak secara ekonomi dan/atau seksual”. Sedangkan Pasal 88 UU Perlindungan Anak menyebutkan: “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 76l akan diberikan sanksi berupa pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)”.
BACA JUGA: Apa yang Harus Kamu Lakukan Jika Kamu Jadi Saksi Kasus Kekerasan Seksual?
Mengenai kemungkinan adanya keringanan hukuman karena posisi kedua ibu ini adalah korban, penyelesaian hukum dapat dilakukan dengan cara restorative justice.
Restorative Justice (Keadilan Restoratif) merupakan suatu pendekatan dalam memecahkan masalah yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen masyarakat demi terciptanya keadilan. Dalam penegakan Hukum Pidana, restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang semula mekanismenya berfokus pada pemidanaan, menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait. Untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Dalam kasus ini, pelaku (sekaligus korban) adalah ibu kandung dari korban Anak, maka proses dialog dan mediasi bisa melibatkan pelaku (ibu korban Anak), suami (ayah dari korban Anak), dan pihak-pihak lain yang dianggap berkaitan dengan kasus ini.
Tujuan restorative justice dalam konteks hukum pidana yaitu memberdayakan korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki akibat dari suatu perbuatan tindak pidana yang telah dilakukan. Dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat (konsep memandang keadilan tidak dari satu sisi, tetapi memandang dari berbagai pihak, baik untuk kepentingan korban, pelaku dan masyarakat).
Dalam pasal KUHP sebetulnya konsep restorative justice hanya diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2,5 juta. Selain itu restorative justice dapat digunakan terhadap anak atau perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum.
BACA JUGA: Bagaimana cara Bantu Perempuan yang Berkasus Hukum? Baca Disini
Dasar hukum atas perkara yang berkaitan dengan Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum (PBH):
1. Konvensi CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)/ Kovensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
2. Kovensi ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
3. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
4. Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
5. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
6. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
7. Peraturan Pemerintah RI Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
8. Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
9. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
10. SK Dirjen Badilum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum. Dalam pemeriksaan perkara, pada pokoknya hakim agar mempertimbangkan kesetaraan gender dan nondikriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan sebagai berikut:
BACA JUGA: Cara Pemulihan Reputasi Korban Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual
- Ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara.
- Ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan.
- Diskriminasi.
- Dampak psikis yang dialami korban.
- Ketidakberdayaan fisik dan psikis korban.
- Relasi Kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya.
- Riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.
Berdasar landasan hukum di atas, dalam pandangan kami proses penyelesaian hukum terhadap kedua ibu dapat dilakukan secara restorative justice. Karena adanya relasi kuasa yang mengakibatkan ketidakberdayaan terhadap korban (kedua ibu tersebut) terutama dengan memanfaatkan kerentanan dan kemiskinan. Ini merupakan kondisi yang patut dipertimbangkan aparat penegak hukum (penyidik, jaksa maupun hakim) yang memeriksa dan mengadili perkara ini, apabila sampai pada tahap persidangan.
Demikian penjelasan kami, semoga informasi ini bermanfaat.
Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim LBH APIK Jakarta. Kamu bisa mengirimkan email Infojkt@lbhapik.org atau Hotline (WA Only) pada kontak +62 813-8882-2669.