Solidaritas Dari Perempuan untuk Perempuan dalam ‘Ubud Writers and Readers Festival 2024’

Ubud Writers and Readers Festival 2024 yang diadakan di Ubud, Bali setiap tahunnya selalu membawa perspektif, salah satunya untuk perempuan. Festival tahun ini digelar sebagai bentuk atau ruang bercerita dari perempuan untuk perempuan

Festival sastra tahunan yang diadakan di Ubud, Bali, Indonesia bertajuk ‘Ubud Writers and Readers Festival 2024’ ini telah selesai dihelat pada 23 – 27 Oktober 2024 lalu.

Di tahun ini, festival sudah menginjak umurnya di tahun ke 21 yang digelar untuk menyuarakan suara-suara kelompok dalam perspektif kritis.

Festival yang diselenggarakan oleh Yayasan Mudra Swari Saraswati ini setiap tahunnya selalu mengangkat isu-isu lingkungan, kemanusiaan, politik, edukasi yang terbaru dan terkini. Festival ini juga dinilai sebagai festival sastra terbesar dan paling bermakna di Asia Tenggara.

Pengalaman dan lingkungan yang patriarkis misalnya, banyak dibicarakan dalam festival ini. Karena sering kali ini menjadi banyak cerita dari perempuan kepada teman-teman perempuannya. Membaca, menulis, memvisualisasikan dalam banyak karya adalah bentuk keresahan dari banyak hal terutama bagi perempuan. Sistem patriarkis tentu masih terikat sekali pada para laki-laki yang ingin memegang semuanya di tangannya sendiri dan menomorduakan perempuan.

Sering kali hal ini menjadi ruang-ruang terhadap perempuan menjadi semakin kecil di kehidupan sosial. Tapi tentunya tetap ada ruang-ruang menyuarakan cerita perempuan-perempuan hebat dalam melawan ketidaksetaraan gender ini dan UWRF 2024 mengangkat hal itu.

Tahun 2024 ini, UWRF mengangkat banyak sekali isu sosial yang dibangun untuk saling berbagi pengalaman dan wawasan. Mengangkat tema Satya Vada Dharmam Chara atau Sampaikan Kebenaran, Praktikkan Kebaikan menjembatani para perempuan untuk menyuarakan pengalamannya dalam kancah internasional.

Baca juga: Upaya Mahima Merajut Warisan dan Masa Depan Lewat Singaraja Literary Festival

Pada UWRF tahun ini, banyak program-program tentang feminisme dan keterlibatan perempuan dalam banyak hal. Terutama menyampaikan sejarah dan pengalaman terkait isu pelanggaran HAM, pengembangan jurnalisme, kebebasan berpendapat, hingga memicu ruang diskusi kolonialisme.

Bermacam-macam para ahli serta para perempuan yang turut aktif langsung di lapangan dalam festival kali ini. Menurut Hannah Curtis selaku kepala bagian program internasional UWRF ini, penting untuk membicarakan nasib manusia dalam pusaran konflik global.

“Program-program yang disajikan berlandaskan berbagai konflik dan ketidakadilan yang menerpa berbagai lokasi di dunia seperti Palestina.”

Selain Gaza, topik lain juga diangkat terutama terkait slogan “All Eyes on Papua”, tentang perempuan adat, hingga buku foto bagi para fotografer dan jurnalis, jelas Gustra Adnyana, National Program Manager UWRF 2024.

Lantas siapa saja sosok-sosok perempuan dalam program-program UWRF ini yang melantangkan suaranya atas isu yang terjadi? Berikut ini beberapa perempuan di beberapa isu program yang dibahas.

Perempuan Bercerita di UWRF 2024

Program-program yang diisi oleh kurang lebih 200 orang ini tentunya menghadirkan banyak perempuan-perempuan berbakat. 

Pertama datang dari penulis novel Gadis Kretek yang kemudian diangkat menjadi film di Netflix yaitu Ratih Kumala. Pada UWRF kali ini ia termasuk pembicara dalam program Reriting Woman’s History yang mengangkat tentang menilik perempuan-perempuan yang terpinggirkan dari sejarah dengan dikemas melalui karya fiksi dan nonfiksi. Tentunya novel Gadis Kretek patut menjadi tulisan yang menghadirkan bias gender di Indonesia dalam sejarahnya. Hingga akhirnya Ratih mendobrak habis stereotip patriarki ini untuk melantangkan suara perempuan.

Ayu Utami, sosok yang erat tentunya dengan aktivis 98. Saat sebelum Presiden Soeharto lengser membawa novelnya yang berjudul Saman menjadi novel terlaris. Mengangkat semangat kebabasan terus ia ukir dalam dirinya hingga ia menjadi pembicara dalam program Feminism In Asia: On the Ground and On the Page. Program ini tentunya menghadirkan nuansa dan pandangan tentang feminisme, ketidaksetaraan gender di masyarakat, interseksionalitas hingga gerakan akar rumput. Tidak hanya itu, program ini juga menghadirkan sosok yang memperjuangkan hak-hak sosial budaya di Sulawesi Tengah yaitu Lian Gogali.

Perempuan dari tanah Sulawesi ini terus menerus mengkonsolidasi orang-orang untuk memperjuangkan hak-hak perempuan mereka, ia disapa Lian Gogali. Bergerak dalam aktivisme perempuan dan perdamaian di Poso, Sulawesi Tengah membuat ia berani untuk lantang memberdayakan perempuan. Lewat programnya seperti Sekolah Perempuan, Sekolah Pembaharu, dan Sekolah Keberagaman. Upayanya berbuah penghargaan Woman of Change dari Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia.

Selain bercerita bersama Ayu Utami, Lian Gogali juga turut berbicara di program UWRF yang berjudul Sisters of the Forest. Sesi ini mengangkat tema perempuan adat sebagai pelestari hutan yang seharusnya dilibatkan dalam penyusunan kebijakan lingkungan. Maka dari itu Lian Gogali membawa cerita-cerita perempuan di tanahnya. 

Baca juga: “Bukan Tidak Mampu, Tapi Nggak Diberi Kesempatan”: Ubah Mindset Soal Disabilitas Lewat Festival Fi

Tidak hanya itu aja ia ditemani banyak aktivis dan pegiat lingkungan. Seperti Amanda Katili Niode Direktur Climate Reality Indonesia, Michelin Sallata aktivis iklim, pendidik, dan advokat. Nama terakhir dari rekan dalam program ini adalah seorang pakar kasus kekerasan berbasis gender dari Papua yaitu Dominggas Nari.

Dominggas Nari sosok aktivis yang terus berjuang dalam 20 tahun terakhir untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan perempuan adat di wilayah Papua. Perjuangannya tidak pernah usai dan selalu mengkampanyekan hak perempuan di tingkat akar rumput, advokasi ke pemerintah, dokumentasi kasus kekerasan. Berbagi cerita dalam program sebelumnya, ia juga menjadi pembicara dalam program All Eyes on Papua yang membuka ruang diskusi bahwa banyak terjadi bias informasi tentang tragedi di Papua yang banyak ditutupi ole pemerintah Indonesia. Dominggas Nari dalam program ini juga mengantarkan sudut pandang langsung warga Papua dan sebagai aktivis perempuan atas hal yang terjadi.

Selain program All Eyes on Papua Dominggas Nari juga bersama Sara M. Saleh seorang penulis, pengacara HAM, dan anak dari seorang imigran Palestina, Lebanon, dan Mesir dari Australia. Mereka berdua mengisi program A Critical Dialogue on Migration, Human Rights, and Compassion yang mengangkat diskusi banyak yang menolak orang-orang imigran yang akhirnya memecah belah antar kelompok bahkan yang berujung ke pelanggaran HAM. Sarah juga mengisi program Woman’s Rights in Conflict yang membahas berbagai hambatan kemajuan perempuan seperti kemiskinan, keterbelakangan, kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender.

Baca juga: Festival Rengkong Wewengkon Kasepuhan Citorek: Mewujudkan Ekosistem Kebudayaan yang Organik dan Inklusif

Tak lengkap rasanya jika tidak menempatkan satu orang lagi dalam memperjuangkan kebebasan pers dan perdamaian yaitu Maria Ressa dari Filipina. Pemegang Nobel Perdamaian 2021 serta CEO situs berita investigasi Rappler serta aktivis yang berjuang untuk pers di pemerintahaan diktator Duterte membuat ia mendapat panel yang besar dalam UWRF kali ini. Memantik diskusi dan pengalaman, ia mendapatkan program Maria Ressa: How to Stand Up to a Dictator dan Speak the Truth: Journalism, Ethics and Freedom of Speech untuk berbagi tentang perjuangan untuk mendapatkan kebabasan pers di era diktator.

Perempuan, Seni dan Ledakan

Bersuara dalam seni, seni yang paling kompleks adalah menulis dan menceritakan. Butuh pemahaman lebih untuk memvisualisasikannya karena butuh banyak perspektif untuk menilai sesuatu. Ternyata peran perempuan dalam kesenian sangat besar di indonesia terlebih lagi dalam pendidikan.

Hal ini diberikan oleh Lola Amaria seorang sutradara, penulis dan produser dalam filmnya yang sangat menyuarakan para akademisi di luar negeri. Akademisi ini dikirim Presiden Soekarno pada periode 1965 ke luar negeri untuk belajar yang akhirnya tidak bisa pulang karena dicap pro pada pemerintahan Soekarno mereka disebut Eksil. Lola mencoba menyuarakan dalam film dokumenternya tentang para Eksil yang terdampar dan melintasi berbagai negara tanpa status, mereka mencari perlindungan di negara manapun yang mau menampung mereka, kehilangan kontak dengan keluarga di Indonesia yang juga menjadi korban perubahan politik.

Dalam UWRF kali ini Lola sebagai pembicara dalam program filmnya yaitu The Exiles dan mendapatkan bagian di program utama Beyond the Screen yang mengangkat pendapat tentang seberapa penting film dalam peradaban sebuah bangsa terlebih untuk menceritakan sebuah sejarah yang sering ditutupi pemerintahan.

Cerita tidak mesti diwarnai politik, tapi juga menceritakan kehidupan untuk para anak-anak tentunya sangat penting. Terlebih lagi meningkatkan imajinasi anak, hal ini dilakukan oleh Dian Kristiani seorang penulis buku anak dan telah menulis lebih dari 200 judul buku anak. Dian mendapatkan 4 program dalam UWRF kali ini salah satunya adalah Unlocking Imagination: Writing for Kids dalam program ini ia bersama pencerita lainnya yang terkenal seperti Dina Tuasuun seorang peneliti, penulis, dan penerjemah sastra anak, ada juga Rassi Narika seorang penulis, ilustrator dan pendiri studio Seumpama, sebuah studio penerbit dan toko buku sastra anak.

Baca juga: Hari Aksara: Pentingnya Akses Literasi Untuk Hapus Kekerasan Berbasis Gender

Tidak hanya itu saja program ini juga mengundang Molly Oldfield seorang penulis dan penyiar Inggris dan sekaligus pembawa acara Everything Under the Sun yang mengangkat pertanyaan anak-anak dari penjuru dunia.

Penutup tidak lengkap rasanya kalau tidak membicarakan seorang Dee Lestari seorang penulis ternama di Indonesia. Buku yang paling laris pada masanya novel Perahu Kertas yang akhirnya diangkat menjadi sebuah film. Tahun sebelumnya Dee juga diundang menjadi pembicara di UWRF 2023. Di tahun ini ia sebagai kurator untuk program Emerging Writers. Dee juga mengisi di program Romantic Entanglements: Exploring Love in Novels.

Tidak hanya itu saja UWRF 2024 kali ini juga menyoroti Soesilo Toer, untuk merayakan karyanya dan ulang tahun ke 100 kakaknya, Pramoedya Ananta Toer. Program ini juga menyediakan banyak panel program seperti kesehatan mental, peralihan politik kekuasaan di Indonesia, perubahan iklim, musik hingga makanan.

Referensi

https://www.sbs.com.au/language/indonesian/id/podcast-episode/ubud-writers-and-readers-festival-ke-21-membahas-keberanian-bersuara/cz48vd2gj

https://www.ubudwritersfestival.com

Ilustrasi: Frendy Marselino

Frendy Marselino

Seorang ilustrator dan web content writer dari Bangka Belitung. Menyajikan artikel-artikel dan ilustrasi tentang Wildlife dan isu kemanusiaan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!