Perempuan lawan femisida

#911Femisida: Femisida Istri oleh Suami di Dompu Berawal dari Kasus KDRT

Sri mengeluh kelelahan karena terus-menerus memperjuangkan ekonomi keluarga. Bukan pelukan hangat yang ia dapat, namun kekerasan berujung femisida.

Rumah Sri Wahyuni dan Syamsuddin pagi itu, Jumat (6/6/2025) dipenuhi gelak tawa dan aroma masakan lezat. 

Gema takbir dan suka cita hari raya Idul Adha disambut meriah dengan suara petasan di Dusun Nangasia, Desa Marada, Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Satu per satu sanak saudara, tetangga, serta teman-teman berdatangan membawa kado dan doa untuk sang buah hati Sri Wahyuni, yang baru berusia sepuluh hari. Perempuan 28 tahun itu, tampak berseri-seri dengan riasan di wajahnya yang natural. Ia tak henti-hentinya menggendong buah hati, sembari memperkenalkan kepada para tamu yang gemas mencium pipi mungilnya. 

Syamsuddin, sang suami, juga terlihat bangga dan sumringah. Laki-laki yang berusia 30 tahun ini tampak mondar-mandir memastikan semua tamu terlayani dengan baik, sesekali tertawa renyah menyambut gurauan dari kerabat. Hidangan gulai dan soto menjadi primadona pada acara akikah tersebut, disusul aneka lauk pauk khas daerah yang menggugah selera. Anak-anak kecil berlarian riang di halaman, sementara para orang dewasa bercengkrama hangat. 

Potret keluarga bahagia terpancar jelas, seolah tak ada beban yang menghimpit. Ucapan “Selamat ya, semoga jadi anak saleh dan berbakti” terus mengalir, menambah kehangatan suasana. Akikah ini adalah impian mereka, sebuah perayaan atas anugerah terindah.

Namun, setelah tamu-tamu pulang dan sisa-sisa kemeriahan mulai dibereskan, rumah itu kembali hening, menyisakan tumpukan piring kotor dan sisa makanan. Kelelahan tampak jelas di wajah Sri Wahyuni dan Syamsuddin.

Baca Juga: Menilik Pandangan Islam terkait Femisida

Suasana tenang itu pecah ketika Sri Wahyuni mulai membahas tagihan-tagihan yang menumpuk. 

“Hutang kita mulai banyak. Uang dari mana lagi? Kita sudah habis-habisan untuk keperluan dan biaya hidup sehari-hari yang semakin membengkak.

Syamsuddin yang tadinya diam, tiba-tiba emosi. 

“Kamu saja yang maunya begini! Sekarang malah menyalahkan aku!” bentaknya. Nada suaranya meninggi.

Sri Wahyuni terkejut dengan reaksi Syamsuddin. 

“Loh, papa sendiri juga yang setuju! Bahkan yang minta, pinjam saja dulu, nanti bayar kalau sudah gajian! Sekarang kok jadi aku yang disalahkan?”

“Pokoknya ini semua karena kamu!” Syamsuddin menunjuk wajah Sri Wahyuni, matanya merah. 

“Aku sudah pusing memikirkan uang! Hutang kita banyak, Sri! Banyak!”

Muncullah ledakan amarah dan jeritan yang terakhir.

Baca Juga: Femisida Terjadi Lagi, Gimana Hukum Indonesia Mengatur Tindak Pidana Pembunuhan Terhadap Perempuan Berbasis Gender?

Pertengkaran semakin memanas. Suara mereka melengking, memecah keheningan malam dan mungkin saja terdengar hingga ke tetangga sebelah. 

Sang anak sulung yang baru berusia 8 tahun, sedang tertidur pulas di dalam kamar, seketika terbangun karena suara bising orang tuanya dan mulai menangis.

“Aku sudah capek Pah, begini terus! Setiap ada masalah uang, pasti aku yang kena marah!” rintih Sri, air matanya mulai menetes. 

Mata Syamsuddin memancarkan kemarahan yang membabi buta. Tangannya langsung menampar wajah Sri. 

Tak ingin bertengkar lagi, Sri menyusui anaknya dan terlelap dengan mata sembab. Tanpa berpikir panjang, Syamsuddin meraih sebuah benda keras yang ada di dekatnya, lalu melayangkannya ke arah Sri.

“Rasakan ini!” teriak Syamsuddin, menggelegar.

Jeritan Sri yang menyayat hati terdengar sesaat, sebelum akhirnya hening. Tubuhnya ambruk tak berdaya. Darah segar mengalir, membasahi lantai yang beberapa jam sebelumnya masih dipijak dalam sukacita. Syamsuddin yang sadar dari perbuatan pembunuhan yang dilakukan langsung berlari menuju rumah orangtuanya.

Baca Juga: ‘Hoe Phase’ dan ‘Hookup Culture’ di Kultur Patriarki: Seksisme sampai Femisida

Sang anak yang baru berusia 10 hari terus menangis. Hingga pagi tiba, si sulung terbangun dan kaget hingga menangis melihat ibunya bersimbah darah. Ia panik dan berlari menuju rumah neneknya.

“Ibu terluka, banyak darah. Cepat nenek, selamatkan ibu,” ia terus terisak. 

Mendengar kabar tersebut, sang nenek langsung menuju ke lokasi dan menemukan korban sudah tidak bernyawa.

Syamsudin, laki-laki di Desa Marada, Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu ditangkap polisi karena diduga sebagai pelaku pembunuhan istrinya Sri Wahyuni Sabtu (7/6/2025).

Kasi Humas Polres Dompu AKP Zuharis mengatakan, Syamsudin sudah ditetapkan sebagai tersangka. “Motif tersangka diduga karena hutang piutang,” kata Zuharis.

KDRT Berujung Femisida

Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024 mengatakan  kasus di Dompu dalam khazanah hak asasi perempuan dikategorikan sebagai femisida dalam relasi intim (Intimate Partnership Femicide/IPF). 

Pembunuhan terhadap istri di Dompu ini memperkuat fenomena global femisida.

Laporan  UNODC dan UN Women, menunjukkan bahwa femisida meningkat di seluruh dunia. Diperkirakan 85.000 perempuan yang dibunuh dengan sengaja, diantaranya 60 persen atau sekitar 51.100 dibunuh oleh pasangan intim atau anggota keluarga pada 2023. 

“Di tingkat nasional laporan femisida Komnas Perempuan dan Perkumpulan Jakarta Feminist juga menunjukkan IPF menempati urutan teratas dari femisida,” kata Siti Aminah Tardi saat dikonfirmasi Kamis (12/6/2025).

Salah satu situasi IPF adalah kekerasan (fisik, psikis, seksual dan ekonomi) yang dialami istri yang tidak tertangani dengan baik sejak awal, sehingga KDRT tereskalasi sedemikian rupa dan berpuncak pada kematian isteri. 

Baca Juga: #911Femisida: Femisida di Kupang, Istri Dibakar Suami Akibat Cemburu Tak Beralasan

Hal ini terjadi karena kita tidak mengakui dan mengenali bahwa KDRT berpotensi femisida. Mengapa? Karena masyarakat membenarkan salah satu cara mengontrol (kerap dinormalkan dengan istilah mendidik isteri) termasuk dengan cara kekerasan dan menilainya sebagai urusan personal. Sehingga tidak segera memberikan bantuan. Juga, diantara suami-isteri dalam konteks KDRT terdapat siklus kekerasan yang terus berputar, serta tidak disadari baik oleh korban atau pelaku.

“Syamsuddin sudah sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap sang istri. Mereka sering bertengkar, bahkan kerap Sri dipukul. Begitu kesaksian tetangga dan keluarga korban,“ kata aktivis perempuan dan anak, Siti Aisyah Ekawati saat dikonfirmasi Kamis (12/6/2025).

Mantan ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Dompu ini mengatakan persoalan hutang tidak hanya dilakukan oleh korban, tetapi seringkali dilakukan atas permintaan sang suami.

“Saya dapat cerita dari sanak saudara dan tetangga kalau Syamsuddin sering mabuk dan pemakai narkoba. Suami yang minta istrinya berhutang,” ungkapnya.

“Jadi, bukan hanya faktor hutang pemicunya, tetapi ada beragam faktor termasuk KDRT yang sudah sering terjadi kemudian misoginis hingga berujung pada femisida. Pasalnya, KDRT tidak terlaporkan, dan lambat tertangani,” kata Ekawati, perempuan yang kini mendirikan lembaga Bina Cempe ini memang aktif pada isu advokasi kekerasan berbasis gender di tingkat lokal.

Baca Juga: Catatan Hitam Hari HAM: Ada Femisida dan Kekerasan Aparat di Tengah Politik Dinasti dan Oligarki

Lebih jauh, Siti Aminah Tardi menjelaskan untuk IPF, penyebab utama adalah coercive and control (CC) baik dalam konteks seksual, ekonomi maupun perilaku perempuan. Aksi yang muncul dalam bentuk cemburu ekstrem, sakit hati, ketersinggungan atau kehilangan otoritas atas peran gender laki laki sebagai kepala keluarga, atau pengontrol nilai/norma anggota keluarga termasuk isteri. 

“Pada hasil pemantauan femisida 2024 Komnas Perempuan, dimana saat itu saya menjadi pengampunya, hutang menjadi salah satu alasan femisida. Yang berarti hutang memperburuk relasi dalam rumah tangga,” kata Siti Aminah Tardi.

“Lebih lanjut dalam konteks kasus Dompu ini menurut saya pelaku “merasa” dipermalukan karena bisa saja dinilai tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga istri berhutang atau kehilangan kontrol untuk mengatur perilaku istrinya dalam meminjam uang sehingga kemudian menghukumnya termasuk dengan menggunakan kekerasan,” jelas Siti Aminah Tardi.

Menurut Siti Aminah Tardi, saat ini Indonesia belum memiliki regulasi yang disebut eksplisit dengan tindak pidana femisida. Tetapi bukan berarti pembunuhan atau penganiayaan yang menyebabkan kematian perempuan tidak dapat ditangani. 

Namun dengan menggunakan ketentuan yang tersedia seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). 

“Iya, payung hukum belum optimal karena motivasi gendernya belum menjadi unsur pidana dan juga aparat penegak hukum belum menggunakan analisis gender khususnya terkait motif, relasi kuasa, dan pengalaman korban,” kata Siti Aminah Tardi.

Baca Juga: #PerempuHAM: Femisida dalam Tragedi 1965, Perempuan Bersuara Lewat Dialita Choir

Kasus femisida di Kabupaten Dompu kini memasuki babak baru. Setelah proses penyidikan intensif selama empat hari, Polres Dompu melalui Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim melimpahkan berkas perkara tahap satu ke Kejaksaan Negeri Dompu.

“Berkas perkara Nomor: BP/79/VI/2025/RESKRIM resmi kami serahkan pada Rabu, 11 Juni 2025, pukul 14.00 WITA,” terang Kasat Reskrim Polres Dompu, AKP Ramli, melalui Kasi Humas AKP Zuharis, SH. dalam keterangannya, Kamis (12/06/2025).

Syamsuddin kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan. Kejadian tragis tersebut berlangsung pada Sabtu, 7 Juni 2025

“Tersangka dalam kondisi sadar penuh saat melakukan tindakan tersebut. Tidak ditemukan pengaruh alkohol atau obat-obatan,” jelas AKP Zuharis.

Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, SY dijerat dengan Pasal 44 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara atau denda hingga Rp 500 juta.

Luka Bersama, Perjuangan Bersama Lawan Femisida: Ajakan Aksi Kolektif Lindungi Perempuan

Tren kasus KDRT semakin mengkhawatirkan di wilayah Kabupaten Dompu. Kasus KDRT berujung femisida suami bunuh istri juga terjadi yaitu ED (37) warga Dusun Woro Desa Adu Kecamatan Hu’u Dompu NTB kalap, dia tega membunuh istrinya Rahmawati (31) pada Jum’at (6/8/2024) sekitar pukul 19.45 Wita.

Dan kasus femisida terjadi lagi pada 2025 di kecamatan yang sama. Kita patut bertanya, apa yang terjadi disana? Kenapa kasus serupa terjadi dan berulang dengan modus yang sama? Karena Hu’u adalah wilayah lingkar tambang. 

Menurut Siti Aisyah Ekawati, tersangka Syamsuddin bekerja sebagai buruh tambang di Huu. 

“Ada kaitan juga dengan faktor ekonomi dan gaya hidup tinggi sehingga kasus KDRT berujung femisida terus terjadi. Namun diperlukan penelitian lebih lanjut,” kata Ekawati.

Berdasarkan data catatan tahunan atau catahu kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP), jumlah kasus KtP yang dilaporkan ke Komnas Perempuan pada tahun 2024 mencapai 445.502 kasus. Jumlah kasus ini mengalami kenaikan 43.527 kasus atau sekitar 9,77 persen dibandingkan dengan tahun 2023 yang tercatat 401.975 kasus.

Catahu 2024 juga mencatat, bentuk kekerasan seksual adalah yang paling banyak dilaporkan (26,94 persen), seimbang dengan kekerasan psikis (26,94 persen), kemudian kekerasan fisik (26,78 persen), dan terakhir kekerasan ekonomi (9,84 persen). 

Baca Juga: ‘Nyala untuk Nia’: Solidaritas Perempuan untuk Stop Femisida

Dengan tren meningkatnya laporan kekerasan seksual mengindikasikan bahwa ruang aman bagi perempuan semakin tergerus. Hal ini tercermin dari naiknya jumlah kasus di ranah personal pada 2024 dibandingkan dengan tahun 2023, yaitu naik 3,4 persen. 

Selain itu, kasus kekerasan terhadap istri (KtI) dilaporkan paling tinggi. Bahkan, secara umum kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mendominasi kekerasan ranah personal hingga 83,7 persen. Tergerusnya ruang aman bagi perempuan menjadi semakin sempit dengan adanya kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP). 

Kekerasan berbasis gender ini merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling meluas di dunia. Kekerasan berbasis gender mencakup segala bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan terhadap seseorang karena ketidakseimbangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang mengakar dalam suatu masyarakat.

Status sebagai perempuan itulah yang membuatnya menjadi sasaran atau target suatu tindak kejahatan. Deretan kasus kekerasan terhadap perempuan bahkan hingga berakhir dengan kematian menjadi ancaman bagi kehidupan perempuan. 

Pembunuhan terhadap perempuan karena dia perempuan atau penghilangan nyawa perempuan atau anak perempuan berbasis gender inilah yang disebut dengan femisida.

Femisida sudah dikenal dan menjadi perhatian khusus di sejumlah negara. Kata tersebut menunjuk pada kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang paling ekstrem, berupa sadisme dan umumnya dengan kekerasan berlapis. 

Baca Juga: ‘Reclaim the Night’: Aksi Perempuan Melawan Perkosaan dan Femisida di India

Diana H Russell, seorang peneliti Amerika menulis, femisida sebagai pembunuhan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan karena ia adalah perempuan. 

Karena itu, femisida muatannya berbeda dari pembunuhan biasa karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi, maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa, dan kepuasan sadistik.

Eskalasi kasus pembunuhan terhadap perempuan pun semakin sering muncul dalam pemberitaan media massa. Penemuan mayat perempuan dalam koper, perempuan dimutilasi, perempuan di cor dalam rumah, dan beragam cara penghilangan nyawa perempuan lainnya menjadi pemberitaan yang tak asing lagi.

“Dalam pemberitaan yang dipantau Komnas Perempuan, terjadi peningkatan kasus femisida dari tahun ke tahun. Kasus indikasi femisida pada 2020 terpantau 95 kasus, kemudian pada 2021 menjadi 237 kasus, lalu pada 2022 meningkat hingga 307 kasus.

Berikutnya, femisida pada 2023 terpantau 159 kasus dan pada 2024 sebanyak 290 kasus,” kata Siti Aminah Tardi. 

Baca Juga: Deretan Pembunuhan Perempuan, Jakarta Feminist Minta Pemerintah Selesaikan Femisida

Mirisnya, pantauan setiap tahunnya menempatkan femisida intim, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, atau pasangan kohabitasi sebagai jenis femisida tertinggi.

Berbagai data tersebut menggambarkan bahwa perempuan semakin rentan terhadap ancaman tindak kekerasan hingga femisida. Apalagi, kendati kasusnya meningkat, hingga kini femisida minim dikenali karena ketiadaan data terpilah negara dalam dokumentasi kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut.

Sosialisasi lebih masif tentang femisida mutlak diperlukan apalagi di tingkat pemahaman masyarakat masih patriarki. Faktor inilah yang membuat femisida tidak terdata dengan baik karena dianggap sebagai kasus kriminal pada umumnya. Karena itu, kebijakan negara diharapkan segera membangun mekanisme pencegahan agar kekerasan dalam relasi personal ini tidak berakhir dengan kematian. Dalam jangka panjang, berbagai langkah pencegahan dipadukan dengan lugasnya penegakan hukum diperlukan untuk melindungi perempuan dari bentuk kekerasan apa pun.

Pilu Anak-Anak Korban Femisida di Dompu dan Perjuangan Pulih Dari Trauma  

Korban femisida Dompu meninggalkan dua orang anak, salah satunya bayi yang masih berusia 10 hari dan kakaknya berusia delapan tahun.

“Anak korban dalam keadaan trauma berat. Begitu keluarga korban semuanya trauma. Anak korban sekarang tinggal di rumah nenek dari ibunya,” kata Siti Aisyah Ekawati aktivis anak dan perempuan Dompu.

“Dari keterangan nenek, karena anaknya sudah meninggal maka dia yang akan menjaga sang cucu,” imbuhnya. 

Menurut Siti Aisyah Ekawati, untuk rehabilitasi dan pemulihan trauma anak di Panti Sosial sejauh ini belum dilakukan. Hal itu karena kondisi keluarga masih trauma berat. “Saya akan koordinasi lebih jauh dengan dinas terkait dan mencari solusi bersama pihak keluarga,” ujarnya.

“Untuk rehabilitasi anak korban, saat ini kasusnya sedang dalam pendampingan Dinas Sosial Kabupaten Dompu termasukan pemulihan psikologis,” kata Pekerja Sosial (Peksos) Sentra Paramita Mataram, Mira Nita Kusminar.

Salah satu isu penting dalam membahas femisida adalah hak keluarga korban, termasuk anak yang ditinggalkan. Siti Aminah Tardi menjelaskan pada kasus ini ada dua kondisi anak yaitu anak sebagai anak saksi untuk anak pertama dan dua anak sebagai korban tidak langsung (indirect) tindak pidana. Untuk Anak Saksi, maka proses penanganannya merujuk ke Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). 

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Femisida? Kekerasan Berbasis Gender Berujung Kematian

“Proses pemberian keterangan anak harus didampingi wali dan pendamping, dalam kondisi yang nyaman dan ramah anak dan diberikan penguatan psikologis. Selain dalam konteks ia sebagai korban tidak langsung, juga dampak kesaksian yang diberikannya,” kata Siti Aminah Tardi.

Dalam hukum acara pidana Indonesia, termasuk UU PKDRT, pengertian korban masih terbatas pada korban langsung. Padahal dalam deklarasi hak korban, korban tindak pidana mencakup korban langsung dan tidak langsung (keluarga, tanggungan dan pihak yg terdampak krn membantu korban) yang berhak atas perlakuan adil, restitusi, kompensasi dan bantuan.

“Karena itu penting untuk memperluas pengertian dan jaminan hak keluarga korban, khususnya anak agar dapat terbantu dan terpulihkan. 

Untuk kasus ini femisida di Dompu, saya menyarankan KPPPA dan KPAI untuk memantau agar hak hak kedua anak dipenuhi, termasuk peralihan pengasuhan pengganti.

Dalam berbagai literatur terkait IPF, anak yg ditinggal meninggal ibunya dan ditinggal bapaknya krn dipidana, berpotensi menimbulkan ketegangan pengasuhan anak,” ujar Siti Aminah Tardi.

“Apakah dengan keluarga besar ibu atau dengan keluarga besar ayah. Karenanya penting ada proses musyawarah diantara kedua keluarga untuk menyepakati pengasuhan penggantinya, dengan prinsip untuk kepentingan terbaik anak dan berbasis keluarga,” imbuhnya.

Siti Aminah Tardi menambahkan, untuk upaya penggalangan  donasi publik untuk pembiayaan perawatan dan pengasuhan anak, adalah hal baik untuk memberikan solidaritas dan memastikan kebutuhan anak terpenuhi. Namun, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti pengalaman kasus Agus Difabel di Mataram, NTB, alangkah baiknya dikoordinasikan dan didiskusikan dengan perwakilan KPPPA dan Kemensos serta kedua keluarga. 

Baca Juga: Laporan Femisida 2023: Suami Bunuh Istri Jadi Kasus Terbanyak

Sementara, kerabat dekat korban, Mawar Yulia, membuka donasi untuk membantu kehidupan anak-anak yang ditinggalkan, sekaligus berencana mengadopsi bayi yang baru lahir tersebut.

“Nama anaknya yang berusia 10 hari pun belum sempat diberi. Waktu saya tanya, neneknya juga bingung siapa namanya. Saya bilang, kalau mau biar saya yang carikan nama,” kata Mawar saat dikonfirmasi.

Mawar mengaku memiliki ikatan yang sangat erat dengan keluarga korban. Meski tidak memiliki hubungan darah, keluarga Mawar telah dianggap sebagai bagian dari keluarga sejak lama.

“Orang tua saya, terutama mama, yang urus mereka dari kecil, bahkan sampai menikah. Orang tua korban sering ke rumah, kami beri lahan untuk berkebun. Hutangnya pun juga pernah mama saya bantu lunasi. Sudah seperti keluarga,” ujarnya.

Saat ini, donasi yang terkumpul baru mencapai Rp1,4 juta dari 20 donatur. Dana tersebut akan digunakan untuk membeli susu, popok, dan kebutuhan dasar bayi selama sebulan ke depan.

Di tengah duka yang mendalam atas kasus femisida yang merenggut nyawa ibu, kita tak boleh membiarkan anak-anak korban menanggung beban ini sendiri. 

Hati kita teriris melihat mereka kehilangan sosok terkasih, namun dari kehancuran ini, kita harus bangkit dan membangun kembali harapan.

(Editor: Luviana Ariyanti)

Susi Gustiana

Penulis yang sedang mendalami isu perempuan, anak dan keberagaman. Menyuarakan yang pinggiran, bersolidaritas untuk kemanusiaan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!