Presiden RI terpilih Prabowo Subianto mengumumkan Kabinet Merah Putih. (sumber foto: YouTube Sekretariat Presiden)

Hanya Ada 5 Perempuan di Kabinet Merah Putih, Aktivis: Ini Pengabaian Demokrasi

Dalam Kabinet Merah Putih yang diumumkan Prabowo-Gibran semalam, hanya terdapat 5 perempuan dari total 53 menteri, atau sekitar 9 persen. Padahal sudah lama aktivis perempuan memperjuangkan 30% suara perempuan dalam pemerintahan.

Kabinet Merah Putih yang dibentuk Presiden dan Wapres, Prabowo-Gibran kini berukuran ‘raksasa’, tapi minim perempuan.

Beberapa menteri perempuan hanya menempati posisi ‘jatahnya perempuan.’

Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan Prabowo saat mengikuti Acara Debat Calon Presiden yang lalu. Saat itu, ia mengakui pentingnya kesetaraan gender di bidang politik. Dirinya juga menyatakan akan mendorong peran perempuan di pemerintahan jika terpilih sebagai presiden.

“Saya kira upaya-upaya kesetaraan gender sangat penting. Juga di bidang politik kaum perempuan mengambil peran sangat menonjol. Saya mendorong peranan itu di pemerintahan yang saya pimpin kalau terpilih,” tutur Prabowo dalam Debat Capres ke-5 pada 4 Februari 2024.

Diumumkan semalam, hanya ada 5 perempuan yang menduduki kursi menteri di Kabinet Merah Putih. Kelima sosok tersebut antara lain Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, Meutya Hafid sebagai Menteri Komunikasi dan Digital, Rini Widiyantini sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Widiyanti Putri sebagai Menteri Pariwisata, dan Arifatul Khoiri Fauzi sebagai Menteri Perlindungan Perempuan dan Anak. Artinya, jumlah perempuan hanya sekitar 9 persen dari total 48 menteri dan kepala badan dalam Kabinet Merah Putih.

Baca Juga: ‘Electoral Financing’ Bisa Dukung Perempuan Marginal Wujudkan Keterwakilan Substantif

Sementara itu, beberapa perempuan menempati posisi wakil menteri dan kepala badan. Antara lain Ribka Haluk (Wakil Menteri Dalam Negeri), Stella Christie (Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi), Christina Aryani (Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran / Wakil Kepala BPMI), Dyah Roro Esti (Wakil Menteri Perdagangan), Diana Kusumastuti (Wakil Menteri Pekerjaan Umum), Kartika Wirjoatmodjo (Wakil Menteri BUMN), Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka (Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga / Wakil Kepala BKKBN), Ni Luh Puspa (Wakil Menteri Pariwisata), Irene Umar (Wakil Menteri Ekonomi Kreatif), dan Veronica Tan (Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). 

Dengan jumlah total para menteri, kepala badan, serta wakil menteri sebanyak 109 orang. Hanya terdapat 13,8 persen di antaranya yang merupakan perempuan.

Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI, Mike Verawati yang dihubungi Konde.co menyatakan, ini merupakan bentuk pengabaian demokrasi. Mike sudah lelah ketika ada orang yang mengatakan sulit mencari perempuan berkualitas untuk duduk di pemerintahan. 

“Kita sudah tidak usah beralasan ini persoalan karena tidak ada orang, tidak ada yang berkapasitas, perempuan sekarang kapasitasnya bagus. Tidak ada alasan untuk ini lagi. Ini pengabaian demokrasi perempuan,” kata Mike Verawati dihubungi Konde.co, Senin (21/10/2024).

Baca Juga: KPU Terbukti Langgar Kuota Caleg Perempuan: Koreksi 267 DCT Harus Dilakukan

Mike menyatakan pesimis dengan Kabinet Merah Putih ini, karena sebagian besar hanya bagi-bagi kue, tapi tidak lagi bicara soal siapa yang duduk. Juga tidak bicara siapa yang tepat untuk duduk di sana. Masyarakat sipil tak pernah diajak untuk merumuskan kebijakan untuk posisi ini.

“Harusnya bukan lagi aturan dari partai. Saya juga melihat ada beberapa laki-laki yang tidak kompeten, dan bisa duduk di pemerintahan ini. Terlepas dari ini semua, apa akuntabilitas dari setiap pemerintahan, kenapa ini dipilih, ini tidak ada akuntabilitas. Kita ini selalu menjadi orang yang kaget, masyarakat sipil itu tidak dilibatkan, kita tinggal mendapatkan hasil. Tidak ada upaya untuk menggali aspirasi dari masyarakat sipil, kira-kira siapa yang diajukan atau dicalonkan, ini tidak pernah ada. Ruang ini tidak ada. Ini hanya bagi-bagi kekuasaan. Tidak pernah terpikir melibatkan perempuan dengan lebih banyak.”

Mike melihat, sejumlah menteri perempuan juga duduk dalam jabatan yang menjadi ‘jatah perempuan.’

“Beberapa dijatuhkan pada posisi jatah perempuan saja,” kata Mike Verawati.

Baca Juga: Aktivis: KPU Tak Wajib Tunduk pada DPR Untuk 30 Persen Suara Perempuan

Persentase menteri perempuan semakin ciut. Jika dibandingkan, kabinet di periode pertama kepemimpinan Jokowi terdiri dari 26,47 persen menteri perempuan, walau di era tersebut, kepemimpinan perempuan tidak mencapai angka 30 persen. Lalu di periode berikutnya, terjadi perombakan sehingga menteri perempuan dalam kabinet tinggal 6 orang (17 persen). Kini, angka tersebut turun lebih jauh lagi hingga hanya 9 persen perempuan menjabat sebagai menteri, bahkan dalam kabinet yang berukuran jauh lebih besar.

Kabinet Merah Putih juga memiliki jumlah kementerian dan badan yang lebih banyak. Ada beberapa kementerian baru dan pecahan dari susunan kabinet sebelumnya. Alhasil, Kabinet Merah Putih terdiri dari total 53 menteri koordinator, menteri, kepala badan, serta jaksa agung dan kepala lembaga lainnya. Ditambah dengan para wakil menteri, sebanyak 109 orang menjabat dalam kabinet ini. Para menteri dan kepala badan serta wakil-wakilnya akan dilantik oleh presiden pada Senin (21/10/2024) hari ini.

Kabinet yang Berisi Banyak Perempuan Hanya Janji

Sejumlah aktivis memandang ini sebagai ironisme. Ini ironi di tengah upaya semua orang yang sedang mengedepankan kepemimpinan dan representasi perempuan dalam politik. 

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) pada Kamis (17/10/2024) memaparkan, saat ini masyarakat global sedang marak menggaungkan ‘Invest in Women: Accelerate Progress’. Hal ini juga diamini oleh banyak masyarakat Indonesia. Semangatnya tampak, misalnya, saat muncul desakan perubahan PKPU tentang kuota perempuan dalam kontestasi pemilu 2024. 

“Sayangnya, usaha tersebut ‘teredam’ dalam kabinet baru yang minim partisipasi perempuan,” Rizqika Arrum dan Betta Anugrah, peneliti dari Organisasi FITRA mengatakan ini dalam pers rilis yang diterima Konde.co setelah melihat calon-calon menteri yang dipanggil Prabowo.

Ini juga menunjukkan jika ketimpangan gender di bidang politik dan kebijakan masih menjadi masalah serius. 

Baca Juga: Aktivis Protes Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu, KPU Revisi Aturan Pemilu 2024

Data yang dihimpun UN Women menunjukkan, perempuan mewakili 23,3 persen anggota kabinet yang mengepalai kementerian, memimpin suatu bidang kebijakan hingga 1 Januari 2024. Namun, hanya di 15 negara ada perempuan yang memegang 50 persen atau lebih posisi menteri kabinet pemimpin bidang kebijakan.

Pada tingkat saat ini, kesetaraan gender dalam posisi kekuasaan tertinggi baru akan tercapai dalam 130 tahun mendatang. Padahal, perempuan sebagai pemimpin strategis juga dinilai sangat penting sebagai contoh keberhasilan saat pandemi. 

Menurut New York Times (2020), pemimpin perempuan lebih cepat membatasi pergerakan warga negara. Atau, Henley dan Roy (2020) menyebut, pemimpin perempuan lebih baik dalam mengomunikasikan keseriusan virus dan tanggung jawab warga negara untuk mematuhi protokol pandemi.

Urgensi Peran Perempuan: Kemiskinan Tidak Netral Gender

Dalam pidato pelantikannya, Prabowo juga beberapa kali menyinggung tentang pengentasan kemiskinan bangsa. Namun, hal itu juga terkesan kontradiktif dengan minimnya upaya mendorong kepemimpinan perempuan di era pemerintahannya yang baru.

Kepemimpinan perempuan di sektor swasta maupun publik, sangat penting bagi kesejahteraan bangsa. Riset lembaga McKinsey tahun 2018-2021 mengatakan, kepemimpinan perempuan mampu menciptakan organisasi yang lebih sehat dan egaliter. Serta menghasilkan keputusan yang komprehensif dan inklusif karena melihat dari berbagai aspek.

Peran pemimpin perempuan dibutuhkan khususnya dalam hal polemik kemiskinan. FITRA memaparkan realita kelompok perempuan miskin kota dan pesisir dalam pendampingan yang mereka lakukan.

“Pemerintah telah menggelontorkan bantuan, salah satunya PKH. Namun, persoalannya tidak semua mendapatkan akses yang sama,” kata Rizqika Arrum dan Betta Anugrah.

Baca Juga: Keterwakilan Perempuan di Pemilu 2024 Masih Jadi Pekerjaan Rumah di Indonesia

Kebijakan-kebijakan yang tidak memperhatikan kemanfaatan langsung paling berdampak pada perempuan dan anak. Padahal, pendataan selalu dilakukan setiap kali ada informasi rencana pembagian bantuan sosial. Sayangnya, pendataan tersebut tidak diikuti dengan implementasi. 

Sementara itu, data statistik menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Berdasarkan data BPS tahun 2023, tingkat kemiskinan perempuan 9,49 persen. Sedangkan laki-laki 9,23 persen. Ini berarti bahwa kemiskinan tidak netral gender dan lebih cenderung dialami perempuan. Terutama jika bicara tentang kemiskinan struktural.

Perempuan juga menempati posisi krusial dalam pembangunan berkelanjutan. Pasalnya, jumlah perempuan Indonesia hampir setengah dari total penduduk. Menurut data BPS per Februari 2023, jumlah perempuan Indonesia sebanyak 136,3 juta dari total penduduk 275,7 juta. Namun, kepemimpinan perempuan di tampuk tertinggi negara tampak masih jauh panggang dari api.

Meski pengarusutamaan gender sudah coba dihadirkan sejak 24 tahun lalu, nyatanya peran perempuan masih dikesampingkan, bahkan di pemerintahan baru. Peran perempuan mestinya menjadi kunci penting untuk memastikan setiap program pemerintah responsif terhadap kebutuhan spesifik perempuan dan kelompok rentan.

Baca Juga: Perempuan Kurang Terwakili di Startup, Padahal Keberagaman Gender Itu Penting

“Kementerian Sosial harusnya dipegang oleh menteri yang mampu merepresentasikan semangat kesetaraan gender. Selain itu juga, pemerintahan Prabowo perlu mempertegas taji dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, supaya perannya lebih signifikan,” kata Rizqika Arrum dan Betta Anugrah

Perempuan dan anak masih tergolong kelompok rentan yang sering mengalami berbagai masalah. Seperti kemiskinan, bencana alam, konflik, kekerasan, dan sebagainya. Akan tetapi, kelihatannya hal ini tidak menjadi basis pertimbangan pada komposisi jumlah calon menteri perempuan dalam eksekutif.

Pemimpin di level eksekutif jelas berpengaruh pada anggaran yang responsif gender sebagai instrumen akhir bentuk komitmen pemerintah. Di Indonesia sendiri, sampai saat ini, affirmative action untuk representasi perempuan dalam posisi-posisi strategis masih cenderung sebagai ‘pelengkap’. Eksekusinya di eksekutif tidak pernah serius. Dua periode pemerintahan sebelumnya menunjukkan angka yang semakin rendah dari keterwakilan perempuan di kabinet. Semakin hari, harapan peningkatan persentase keterwakilan perempuan di kabinet baru pun menipis. Pengumuman Kabinet Merah Putih pada Minggu (20/10/2024) adalah wujudnya.

Baca Juga: Keterwakilan Perempuan dalam Urusan Diplomasi Masih Rendah di Asia. Bagaimana Solusinya?

Rendahnya jumlah menteri perempuan kali ini menggambarkan cara pandang presiden terpilih. Pemerintahan Prabowo-Gibran, melalui jajaran kabinetnya, terlihat sangat maskulin dan patriarkal. Bukan hanya angka keterwakilan perempuan yang kian rendah. Perempuan yang masuk bursa calon menteri pun berlatar belakang ‘dekat dengan oligarki’ dan berasal dari kalangan elite. Entah sebagai istri atau anak konglomerat, maupun dekat dengan kekuasaan dan politisi partai besar. 

Hanya satu menteri perempuan yang berasal dari profesional dan menteri dari kabinet terdahulu. Yakni Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Sri Mulyani sendiri telah menjadi Menteri Keuangan untuk dua presiden sampai saat ini. Kembalinya Sri Mulyani pada posisi ini di era pemerintahan baru telah melanggengkan status quo, sebagai menteri keuangan terlama di Indonesia.

Pemimpin perempuan di politik kerap diartikan hanya pada ranah legislatif. Padahal peran sentral dan strategis harus diafirmasi pada level eksekutif sebagai “pendamping” presiden. Sementara itu, di legislatif pun Indonesia masih butuh keseriusan. Rata-rata jumlah perempuan di parlemen dalam 5 tahun terakhir juga belum menunjukkan capaian target 30 persen.

Baca Juga: Ragam Gender Dihajar Perda Diskriminatif dan Jadi Sasaran Elite di Tengah Pusaran Politik

Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran jadi contoh lain realitas pemerintahan yang maskulin. Hal ini pun menimbulkan pertanyaan: bisakah kita memegang harapan akan adanya kebijakan yang inklusif dan adil gender?

Representasi perempuan di politik mestinya lebih baik dari yang terjadi saat ini. Perempuan harus lebih dipertimbangkan di kursi kabinet pemerintahan atas dasar keahlian dan kompetensi mereka di bidang yang ditunjuk. Bukan lagi sekadar karena afiliasi politik, atau bahkan hanya untuk memenuhi kuota representasi. 

Keterwakilan perempuan bukan sekadar simbol: ia harus dibarengi pemikiran, ide, gagasan, nilai, dan tindakan yang nyata.

Artikel ini adalah bagian dari serial #BukanCumaSimbol yang mendorong representasi perempuan yang substantif.

(sumber foto: YouTube Sekretariat Presiden)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!