Pengalamanku Belajar dari Perempuan Petani: Kerja Keras, Memastikan Persediaan Pangan

Ini adalah pengalamanku belajar dari ibu-ibu petani di desa Citorek, Lebak, Banten. Waktu aku datang pada Maret 2024 lalu, mereka sedang melakukan tandur atau menanam.

Jam 7 pagi, aku memulai perjalanan menuju sawah warga. Cuaca amat mendung dan sudah memberikan tanda-tanda akan hujan deras.

Setelah 20 menit, aku menumpang motor bebek dari jalan besar hingga ke jalan masuk ke sawah, tetapi ternyata butuh 30 menit lagi berjalan dari tempat penyimpanan motor hingga tiba di sawah warga.

Ternyata benar, ketika memulai berjalan kaki menuju sawah warga, hujan deras menyambut siapapun yang sudah atau baru tiba di sawah. Aku berjalan penuh hati-hati karena pematang atau sekat-sekat antar sawah sangat berlumpur. Berhenti sesekali ingin mengusap peluh karena tegang berjalan di atas tanah yang super licin serta menyapa warga lainnya yang sudah memulai pekerjaan mereka. Tentu saja kami siap sudah siaga mengenakan jas hujan serta tudung (topi caping) untuk melindungi diri dari hujan atau menghalau dari silau matahari. Satu dua ibu dan bapak petani bertanya kabar dan mengimbau untuk berjalan lebih hati-hati. Alangkah sulitnya berjalan di tanah berlumpur dan tanjakan yang licin, perlu meningkatkan rasa was-was yang tinggi.

Para petani sudah mulai melakukan tandur di tengah rintik hujan. (Foto: Aqeela Ara)

Ternyata berangkat di pukul 07:00 WIB cukup terlambat. Lihatlah, para ibu-ibu ini sudah mulai mengerjakan tandur dari pukul 06:00 WIB. Mereka terlihat bersemangat dalam mencocokkan ujung binih (benih) ke dalam tanah sawah. Mereka berjalan mundur mencocokkan binih, kemudian mengambil binih lainnya di genggaman tangan. 

Tangan-tangan itu terampil dalam mengambil beberapa helai daun binih, membungkuk untuk mencocokkan binih ke tanah, menimang jarak antara satu helai dengan helai lainnya yang berjarak lebih dari satu jengkal, mencocokkannya kembali, kemudian berjalan mundur tanpa ragu. Kegiatan tersebut berulang hingga setiap sudut kotak sawah penuh oleh binih. Dari ma

Para perempuan petani berkontribusi sangat penting di sawah. Peran mereka sangat besar disini, terlebih dalam pelaksanaan tandur, perannya sangat banyak dibanding laki-laki di Citorek ini. 

Para laki-laki rata-rata sebagian memilih mengadu nasib di kota-kota besar, dan sebagiannya lagi memilih menjadi pekerja gurandil di sisa-sisa galian perusahaan tambang emas. Peran perempuan sangat penting dan dibutuhkan untuk mempertahankan keberlangsungan pangan di desa Citorek.

Per Maret cuaca di Indonesia sulit ditebak. Terkadang air mengguyur desa ini, terkadang sinar matahari menyelimuti kami. 

Pada 18 Maret 2024 kegiatan tandur di Desa Citorek, Lebak, Banten dimulai. Tandur adalah sebutan untuk menanam benih padi dalam rangka siklus tahunan. Hal ini sudah sering dilakukan oleh warga Citorek dari berpuluh hingga ratusan tahun yang lalu. Dengan demikian, tidak hanya menjadi kegiatan rutin, tetapi merupakan bagian dari budaya di Citorek.

Jadwal diberlakukannya kegiatan tani, seperti tandur, atas dasar keputusan dari jajaran orangtua Citorek. Para orangtua sudah memiliki kalender tani sendiri untuk menentukan kapan diberlangsungkannya tandur di Citorek, dan kalender tani tersebut hanya berlaku di Citorek saja. Tentunya kalender atau prediksi dari sesepuh tersebut akurat, sebab para sesepuh sering mengecek lahan-lahan sawah dan memperkirakan waktu yang tepat untuk menghindar dari serangan hama. Umumnya, dari tandur  hingga dibuat (panen), padi-padi yang dihasilkan berhasil dan bersih dari hama. Akan tetapi, yang masih menjadi tantangan terbesar untuk kelancaran sistem pertanian di Citorek adalah cuaca yang tidak menentu.

tahari malu-malu menunjukkan wajahnya, hingga tanpa ragu memanggang punggung para ibu tani.

Ibu tani tengah menanam benih-benih padi. (Foto: Aqeela Ara)

Mulai dari sekitar pukul 11 siang, matahari mulai terasa di atas kepala. Meski sudah memakai pakaian untuk bertani dan tudung, tetap saja rasanya matahari terasa membakar kulit punggung. Sesekali para ibu berdiri tegak, mengusap peluh, dan saling melempar senyum guna saling menguatkan berpanas-panas ria di tengah sedang menahan dahaga bulan puasa.

Binih nu leutik mah bagus. Bagus engke mun geus jadi pare. Pan binih nu leutik mah meujeuhna jadi, gede. Pas dicabut, dipelakkeun, haju engke mun jadi, dicabut ngayakpak, (benih yang berukuran kecil itu bagus. Bagus jika nanti sudah menjadi padi. Kan kalau benih yang kecil mah kalau jadi padi, bakal besar. Saat menjadi benih dicabut, ditanam, lalu nanti kalau sudah jadi (padi), subur saat dicabut),” ujar Wawat di melempar fakta kepada ibu tani lainnya di sela-sela mencocokkan benih padi.

Benih padi yang belum ditanami. (Foto: Aqeela Ara)

Pucuk benih padi yang dipangkas guna tumbuh tunas dari benih padi yang ditanami. (Foto: Aqeela Ara)

Benih padi yang siap untuk ditanami. (Foto: Aqeela Ara)

Tandur Lebih Dari Sekadar Siklus Tahunan

Menanami benih-benih padi butuh waktu yang lama. Untuk pekerja sembilan hingga sepuluh orang, bisa mengerjakan delapan hingga sepuluh kotak sawah selama kurang lebih delapan jam. Para pekerja itu akhirnya beristirahat untuk meluruskan badan sejenak kala bertepatan dengan terdengarnya suara adzan dzuhur, diselingi dengan bincang-bincang berbagi kisah setengah hari kebelakang.

Istirahat pada siklus kali ini berbeda. Biasanya, para pemilik sawah telah menyediakan tumpeng-tumpeng sebagai konsumsi para pekerja tani. Ibu-ibu rumahan sebelum para petani berangkat ke sawah, sudah mulai sibuk memasak hidangan tumpeng sebagai tanda terima kasih dan upah. Tradisi ini selalu ada tiap tahunnya, tetapi karena hari itu bulan Ramadan, istirahat mereka hanya diisi oleh kesunyian karena kelelahan membungkukkan badan, sesekali bergurau membayang-bayangkan hidangan pembuka puasa.

Ada dua jenis pekerja tani yang melakukan tandur di Citorek. Pertama, adalah mereka yang memiliki jasa tandur, umumnya para pemilik tanah sawah yang meminta langsung kepada mereka untuk meng-tandur-kan lahan sawah. Kedua, secara sukarela, dengan maksud untuk membayar hutang budi atau memang sukarela menawarkan jasa untuk membantu para pemilik lahan sawah. 

Di Citorek sendiri, memberikan upah kepada buruh tani tidak berpatok pada suatu ikatan sehingga memberi secara acak. Jika di hari biasa, bukan di bulan Ramadan, per hari para buruh tani akan dihidangkan tumpeng dan diberi uang sebesar Rp50.000 perhari. Namun, di bulan Ramadhan ini tidak diberi konsumsi dan hanya diberi upah tunai kurang lebih sebesar Rp80.000. Akan tetapi, sebetulnya besar kecilnya upah diberikan per hari tergantung dari pemilik tanah tersebut.

Perempuan-perempuan di desa Citorek juga mengambil andil dalam pertanian. Tidak hanya sebagai pembuat tumpeng saja yang menjadi tradisi tandur, tetapi justru banyak perempuan dan ibu turun langsung mencocokkan benih-benih padi ke sawah. Terlebih, jika anak mereka tidak ingin lepas dari ibunya, tidak berpikir dua kali ibu tersebut akan menggendong anaknya sembari menunduk menanam padi.

Di Citorek, rata-rata penduduknya memiliki lahan sawah masing-masing dan setiap keluarga memiliki leuit atau lumbung padi sebagai penyimpan padi. 

Siklus tahunan ini memiliki alur, ketika sudah tandur, 10 hari kemudian akan dialiri dari hulu pancoran air berupa pupuk cair guna sebagai nutrisi untuk bibit-bibit padi. Kemudian tiap dua minggu sekali rutin dicek sanitasi air dan mencabut rumput-rumput liar di sekitar benih padi. Jika benih padi sudah matang, maka siap-siap untuk dipanen yang kemudian diadakan perayaan festival Seren Taun. Festival perayaan bersyukurnya atas berhasilnya panen di Citorek dengan mengadakan tarian rengkong yang dilakukan oleh para bapak menari di sepanjang jalanan Citorek.

Padi-padi yang dihasilkan pun melimpah, di desa tersebut menghitung jumlah hasil panen berdasarkan pocong atau iketan-iketan yang benih yang sebelumnya ditanam. Misalnya, saat tandur para tani menanam 20 iketan, maka kurang lebih padi yang sudah matang akan menghasilkan 20 iketan.

Tidak ada sejarahnya di Citorek kesulitan beras, sebab padi-padi di Citorek adalah untuk dikonsumsi pribadi, bukan untuk diproduksi. Oleh sebab itu, tiap keluarga tidak akan kehabisan stok beras sebab mereka telah menyimpannya dari hasil panen. Para ibu petani memikirkan ini semua sepanjang tahun-tahun hidupnya.

Begitulah pengalamanku sehari belajar bagaimana kerja kerasnya ibu-ibu petani disini.

(Foto: Aqeela Ara)

Aqeela Ara

Penulis dan Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!