Di Napak Reformasi, Minggu (12/5/2024), Konde.co bertemu Murni, Ruminah, dan para perempuan warga Klender yang anak dan keluarganya menjadi korban pembakaran Mall Yogya Plaza Klender, 15 Mei 1998. (foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Di ‘Napak Reformasi’, Ada Murni dan Ruminah, Korban Mei 98 yang Masih Menunggu Anaknya Kembali

Reformasi sudah berusia 26 tahun. Namun, di balik gegap gempita tumbangnya rezim Orde Baru, ada cerita-cerita duka nan berdarah. Ada cerita Murni, Ruminah dan para perempuan yang anaknya jadi korban Peristiwa Mei 1998 dan tak kembali hingga kini.

Suara Murni bergetar, padahal ia baru mengucapkan 2-3 kalimat saja. Murni membawa foto anaknya, Agung, dengan pigura keemasan. 

Meski sudah 26 tahun berlalu, Murni masih tak bisa membendung kesedihan setiap kali teringat bagaimana Agung tewas. Bersama ribuan orang lainnya, Agung kemudian tewas dalam pembakaran Mall Yogya Plaza Klender, Jakarta pada 15 Mei 1998.

Agung adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Di tahun 1998, ia masih duduk di bangku SMP. Murni mengenang bagaimana Agung waktu itu bekerja sebagai tulang punggung keluarga.

“Kalau ibu enggak bisa melupakan (yang) namanya anak. Ngomong, enggak bisa. Jadinya begini; kalau ngomong, selalu menangis,” ucap Murni pilu. 

“Sebenarnya anak saya enggak mau ditangisi. Tapi ya, enggak apa-apa.”

Waktu peristiwa pembakaran terjadi, Agung berangkat di sore hari, ia pamit untuk meminjam buku pada temennya, namun  setelah itu ia tak pulang lagi.

“Anak saya itu berangkatnya udah sore. Terus ndak pulang lagi. Udah sore, ditunggu ama temannya. ‘Ayo, ayo, minjam buku di sono buat belajar bersama!’ Akhirnya dia (temannya) nungguin. Anakku lagi nyuci, jadi ditungguin. ‘Pulang ya, le, adiknya belum mandi. Sudah sore, kok, pergi?’ ‘Ma, aku pamit, mau pinjam buku buat baca bersama bareng-bareng, belajar kelompok.’ ‘Ya udah, yang penting cepat pulang, ya.’”

Murni tercekat sebentar, teringat bahwa setelah percakapan itu, anaknya tak pernah pulang sampai sekarang—26 tahun setelah kejadian. 

Baca Juga: Film ‘Pocong’ Dilarang Tayang Karena Ada Tragedi Mei 1998, Ini Seperti Sensor Ala Orba?

Reporter Konde.co menemui sejumlah perempuan dalam kegiatan ‘Napak Reformasi’ yang berlangsung pada bulan Mei setiap tahunnya. Diinisiasi oleh Komnas Perempuan, acara ini merupakan upaya merawat ingatan tentang sejarah kelam salah satu pelanggaran HAM berat di Indonesia menjelang tumbangnya Orde Baru 1998.

Selain Murni, ada pula Ruminah yang kehilangan anak laki-lakinya, Gunawan, dalam pembakaran Mall Klender. 

Saat itu, Ruminah memasuki mall untuk mengecek kondisi salon miliknya. Sebab, kerusuhan dan penjarahan sudah mulai terjadi di area Klender. Ruminah mendapati salonnya di dalam mall sudah dalam kondisi berantakan dan barang-barang hilang saat ia tiba.

“Waktu itu saya bawa (anak-anak) lari, pulang. Itu di sono, anak saya yang satu ketinggalan, mau ngambil gesper. Terus naik, enggak balik lagi, udah,” tutur Ruminah.

Beberapa saat setelah terpisah dari Gunawan, Ruminah mendapati restoran cepat saji yang berada di lantai dasar mall sudah meledak. 

Baca Juga: 25 Tahun Reformasi: Stop Janji Kosong untuk Perempuan Dalam Tragedi Mei

Meski dipastikan tewas akibat kebakaran yang melalap habis gedung Mall Plaza Klender, jasad Gunawan tidak pernah benar-benar ditemukan. Sebab, banyak mayat dievakuasi dari mall usai kebakaran dengan kondisi hangus dan sulit diidentifikasi.

Selain kehilangan anaknya, salon milik Ruminah yang berada di lantai atas Mall Plaza Klender juga dijarah dan akhirnya turut terbakar. 

“Cuma waktu itu saya enggak mikirin masalah apa-apa (milik) saya habis (terbakar dan dijarah).” 

Bagi Ruminah, yang dibutuhkannya saat itu hanyalah keadilan bagi anaknya yang tewas dalam tragedi ini.

26 Tahun Menanti Keadilan
'Tugu Jarum', monumen peringatan Peristiwa Mei 1998 yang merenggut banyak nyawa menjelang Reformasi. (foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)
‘Tugu Jarum’, monumen peringatan Peristiwa Mei 1998 yang merenggut banyak nyawa menjelang Reformasi. (foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Tragedi Mei 1998 merekam macam-macam pelanggaran HAM berat yang merenggut banyak nyawa. 

Pada 13-15 Mei 1998, terjadi kerusuhan hingga penjarahan, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap warga keturunan Tionghoa. Sejarah juga mencatat kasus pemerkosaan terhadap ratusan perempuan Tionghoa selama periode tersebut.

Selain itu, dalam kerusuhan Mei 1998 juga terjadi pembakaran Mall Yogya Plaza Klender pada 15 Mei 1998. Agung dan Gunawan adalah dua dari ratusan, kalau bukan ribuan, korban tewas dalam peristiwa tragis tersebut. 

Diawali dengan kerusuhan, terjadi penjarahan di kawasan Klender dan sekitarnya, termasuk di Mall Klender. Banyak anak kecil dan siswa sekolah yang penasaran dan mengikuti kerumunan yang menjarah pusat perbelanjaan.

Ketika orang-orang memenuhi Mall Klender, pintu depan mall dikunci dari luar. Berdasarkan keterangan saksi, ada sekelompok oknum misterius yang memprovokasi massa dan berteriak untuk membakar gedung mal. Alhasil, para warga yang berada di dalam Mall Klender terjebak hingga tewas ketika bangunan itu dibakar. Banyak perempuan dan anak menjadi korban.

Baca Juga: Tak Mudah Hidup Menjadi Perempuan Tionghoa

Hingga saat ini, identitas oknum misterius penyebab tewasnya ribuan orang di Mall Klender itu tak pernah terungkap. 26 tahun penuh duka dan kebingungan, Ruminah dan para keluarga korban kerusuhan Mei 1998 masih menuntut pengusutan tuntas kejadian yang merenggut nyawa keluarga dan kerabat mereka, serta ganti rugi materi yang layak.

“Ini cuma dikasih etalase (untuk menyimpan peralatan salon) doang, noh di rumah, satu,” keluh Ruminah. 

Ia menyebut, sejak kerusuhan yang terjadi pada 13 Mei 1998 silam hingga saat ini, keadaan ekonominya morat-marit. Kini perempuan itu masih menjalankan usaha salon untuk menyambung hidup. 

“Kalau saya sih, menuntutnya dari pemerintah… Kalau memang mengakui, mau kasih ganti rugi, yang benar gitu, lho!” tukasnya. 

“Bukan enggak bersyukur. Kita bersyukur ya, sama Tuhan. Cuma ya, itu, buat saya enggak adil. Dari hukum harus adil juga. Karena kan, banyak orang hilang, banyak yang kebakar. Kerugian rakyat, banyak. Bukan satu orang aja.”

Duka di Balik Reformasi
Para peserta 'Napak Reformasi' menabur bunga di makam massal korban tragedi 13-15 Mei 1998 Jakarta di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Minggu (12/5/2024). (foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)
Para peserta ‘Napak Reformasi’ menabur bunga di makam massal korban tragedi 13-15 Mei 1998 Jakarta di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Minggu (12/5/2024). (foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Reformasi sudah berusia 26 tahun. Namun, di balik gegap gempita tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto, ada cerita-cerita duka nan berdarah yang tak boleh dilupakan, apa lagi diabaikan.

Indonesia mengalami krisis ekonomi besar-besaran pada tahun 1997 hingga awal 1998. Lonjakan harga dan berbagai masalah lainnya yang terjadi di pengujung masa Orde Baru membuat para mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Mereka menyampaikan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Soeharto, yang sudah bercokol selama 32 tahun.

Pada 12 Mei 1998, massa mahasiswa dari Universitas Trisakti hendak bergabung dalam aksi unjuk rasa menuju Gedung Nusantara. Namun, mereka dihadang oleh aparat keamanan yang terdiri dari anggota kepolisian dan militer. Ketika situasi memanas, aparat menembakkan gas air mata dan peluru karet ke arah rombongan mahasiswa, memaksa mereka mundur kembali ke Kampus Trisakti.

Penembakan terus berlanjut bahkan di dalam area kampus. Bukan hanya peluru karet, aparat juga menggunakan peluru tajam yang akhirnya melukai dan menewaskan sejumlah demonstran. Empat mahasiswa Trisakti yang meninggal akibat tembakan tersebut adalah Elang Mulia Lesmana (20), Heri Hertanto (21), Hafidin Royan (22), dan Hendriawan Sie (23).

Tragedi penembakan Trisakti memancing amarah mahasiswa dan masyarakat. Puncaknya, pada 21 Mei 1998, ribuan demonstran dari berbagai elemen menduduki gedung DPR/MPR. Kekacauan ekonomi, politik, dan sosial berujung pada pernyataan Soeharto untuk mengundurkan diri dari tahta presiden. Orde Baru pun digantikan dengan era Reformasi, meski belum sepenuhnya berakhir.

Baca Juga: Mei 1998, Sejarah Hitam Perempuan Dalam Tragedi Perkosaan

Amarah tersebut bereskalasi menjadi kerusuhan. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Tragedi Mei 1998 mencatat adanya perusakan, pembakaran, penjarahan, penyerangan, hingga narasi hoaks dan kebencian terhadap etnis Tionghoa. Khususnya sepanjang 13-15 Mei 1998. Peristiwa tersebut tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga di Medan, Surabaya, Solo, Palembang, dan berbagai daerah lainnya. TGPF juga memperkirakan jumlah total korban meninggal akibat tragedi itu mencapai 300-1.200 jiwa, sedangkan banyak lainnya mengalami luka-luka dan trauma.

Di Jakarta sendiri, data terkait korban Tragedi Mei 1998 bervariasi. Melansir Komnas Perempuan, menurut kepolisian daerah, sebanyak 451 meninggal dunia. Data Kodam menunjukkan 463 meninggal dan 69 luka-luka. Sedangkan Tim Relawan untuk Kemanusiaan menyajikan data 1.190 meninggal dunia akibat ter/dibakar, 27 akibat senjata, dan lain-lain; 91 lainnya luka-luka.

Kasus pelanggaran HAM berat terjadi dalam berbagai bentuk sepanjang 13-15 Mei 1998. Salah satunya kekerasan seksual. Menurut Komnas Perempuan, ada sekurang-kurangnya 85 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan pada Tragedi Mei 1998; mayoritas korbannya adalah perempuan etnis Tionghoa. Laporan tercatat, ada 52 kasus perkosaan gang rape, 14 perkosaan dengan penganiayaan, 10 penganiayaan, dan 9 pelecehan seksual. Ditambah lagi laporan terjadinya begal payudara dan bokong, pelecehan psikis, hingga penodongan senapan ke vagina. 

Sementara itu, kerusuhan hingga penjarahan pecah di berbagai daerah. Di Jakarta, hal ini berujung pada pembakaran Mall Plaza Klender pada 13 Mei 1998. 

Upaya Merawat Ingatan, Sebab Negara Selalu Lupa

Napak Reformasi adalah rangkaian kegiatan rutin dari Komnas Perempuan untuk memperingati Tragedi Mei 1998. Salah satu bagian aktivitasnya yaitu menyusuri titik-titik lokasi yang berkaitan dengan peristiwa Tragedi Mei 1998 di Jakarta pada tanggal 12 Mei 2024. 

Selain itu, juga digelar seminar dan konsolidasi Nasional yang melibatkan komunitas korban, pendamping korban, komunitas penggiat sejarah, anak muda, media dan pemerintah daerah. Tidak hanya di Jakarta; melalui berbagai mitra Komnas Perempuan di daerah, kegiatan-kegiatan serupa juga berlangsung. Ini merupakan bentuk dukungan pemenuhan hak korban atas pemulihan, perlindungan dan jaminan ketidak berulangan.

Menurut Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, Napak Reformasi diselenggarakan sebagai upaya merawat ingatan publik sekaligus mendorong pemenuhan hak korban Tragedi Mei 1998. 

“Serta memastikan peristiwa serupa tidak berulang lagi di masa mendatang. Di tengah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang masih berproses,” katanya saat membuka acara Napak Reformasi, Minggu (12/5/2024).

Baca Juga: Perkosaan Mei 1998 Tidak Terungkap Dan Banyak Dilupakan

Napak Reformasi 2024 dimulai dari titik kumpul Kantor Komnas Perempuan untuk mengunjungi empat lokasi. Antara lain Galangan VOC, Universitas Trisakti dan Monumen Reformasi, Kampung Jati di Klender, dan TPU Pondok Ranggon. Setiap lokasi tersebut memiliki cerita yang berkaitan dengan latar belakang Reformasi 1998.

Di Galangan VOC, rombongan disambut oleh Perhimpunan Perempuan Indonesia Tionghoa (PINTI). Galangan VOC menjadi saksi perlawanan masyarakat Tionghoa atas kolonial Belanda di masa Hindia Belanda. Pada saat itu, warga Tionghoa juga turut membantu perjuangan masyarakat pribumi dengan berbagai cara. 

Selain menceritakan sejarah perjuangan masyarakat Tionghoa dan Indonesia, PINTI juga memperkenalkan Selendang Persahabatan. Awalnya didesain untuk atribut pelengkap seragam PINTI, Selendang Persahabatan kini menjadi bagian dari upaya merawat ingatan tentang Peristiwa Mei 1998. Perpaduan simbol dan corak khas budaya Indonesia dan Tionghoa menjadi lambang eratnya tali persahabatan antara PINTI dan Komnas Perempuan. Tidak hanya lewat selendang tersebut, Komnas Perempuan dan PINTI juga bekerjasama dalam upaya pemenuhan keadilan bagi para korban, penyintas, dan keluarga korban Peristiwa Mei 1998.

'Napak Reformasi' mengunjungi Museum Trisakti, Minggu (12/5/2024). Jendela berlubang akibat peluru jadi tanda brutalitas aparat saat menembaki demonstran di Kampus Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa. (foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)
‘Napak Reformasi’ mengunjungi Museum Trisakti, Minggu (12/5/2024). Jendela berlubang akibat peluru jadi tanda brutalitas aparat saat menembaki demonstran di Kampus Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa. (foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Tujuan berikutnya adalah Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat. Kampus ini adalah lokasi penembakan para mahasiswa Trisakti oleh pasukan Angkatan Darat saat berdemo menuntut pengunduran diri Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, pada 12 Mei 1998. Empat mahasiswa tewas dan banyak lainnya mengalami luka-luka.

Baca Juga: Tragedi Mei 1998 Dan Waktu untuk Bersetia

Setelah meletakkan bunga dan berdoa bersama di Monumen Trisakti, peserta Napak Reformasi diajak memasuki Museum Tragedi 12 Mei 1998. Foto keempat pahlawan Reformasi—Elang, Heri, Hafidin, dan Hendriawan—terpampang besar di sana. Ada pula instalasi yang menggambarkan brutalitas aparat terhadap mahasiswa. Serta foto-foto dokumentasi kekacauan situasi saat demonstrasi mahasiswa 12 Mei 1998, juga kaca jendela yang pecah berlubang—bukti peluru tajam aparat yang merangsek ke dalam kampus dan kemudian membunuh serta melukai para mahasiswa.

Diselingi jeda istirahat dan makan siang, tujuan berikutnya adalah Kampung Jati di Klender, Jatinegara. Di sinilah peserta Napak Reformasi bertemu dengan Ruminah, Murni, dan para ibu serta keluarga korban kebakaran Mall Yogya Plaza Klender dalam Peristiwa Mei 1998. Ruminah berujar, para keluarga dan kerabat korban Mei 1998 di daerah itu sudah menantikan kedatangan rombongan Napak Reformasi. 

Penjarahan yang berakhir dengan pembakaran Mall Yogya Plaza Klender, konon diprovokasi oleh sekelompok laki-laki. Saksi menyebut, para lelaki ini bertubuh kekar dan berambut cepak, meski mengaku sebagai siswa SMA atau mahasiswa. Mereka memancing warga untuk menjarah toko-toko dan pusat-pusat perbelanjaan, termasuk Malll Klender. Ketika penjarahan terjadi, pintu mall ditutup dan orang-orang terjebak di dalamnya.

Para oknum misterius pun berdatangan membawa jerigen berisi bensin, yang disiramkan ke arah kasur dan berbagai benda mudah terbakar lainnya yang sudah terkumpul di sekitar gedung mal. Tak lama kemudian, asap hitam tebal mengepung mall yang dibakar itu. Sebagian warga berusaha menyelamatkan diri dengan melompat dari jendela meski dengan posisi yang tinggi. Banyak yang tak bisa berkutik, terutama perempuan, anak-anak, dan lansia. Ketika evakuasi pasca-kebakaran berlangsung, tak sedikit jenazah yang tidak bisa dikenali identitasnya karena hangus terbakar.

Terakhir, peserta Napak Reformasi berziarah ke makam massal korban Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur. 

Baca Juga: Mural Perempuan dalam Tragedi Mei 1998

Di lahan pemakaman ini, berdiri Prasasti Jarum karya Awan Simatupang. Prasasti ini merupakan simbol peringatan Tragedi Mei 1998. Ada satu blad berisi ratusan nisan tanpa nama, yang hanya bertuliskan ‘Korban Tragedi 13-15 Mei 1998’. 

TPU Pondok Ranggon menjadi lokasi pemakaman ratusan korban Tragedi Mei 1998, yang banyak di antaranya tidak dapat teridentifikasi. 

Di sana, acara Napak Reformasi pun ditutup dengan refleksi dari Komnas Perempuan, korban pelanggaran HAM berat di masa lalu, dan peserta kegiatan; serta tabur bunga di makam para korban Mei 1998.

Sesal Pemerintah Tak Cukup, Tegakkan Keadilan Bagi Korban

Foto empat mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas akibat tembakan peluru tajam aparat pada 12 Mei 1998: Elang Mulia Lesmana (20), Heri Hertanto (21), Hafidin Royan (22), dan Hendriawan Sie (23). (foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)
Foto empat mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas akibat tembakan peluru tajam aparat pada 12 Mei 1998: Elang Mulia Lesmana (20), Heri Hertanto (21), Hafidin Royan (22), dan Hendriawan Sie (23). (foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Presiden RI Joko Widodo telah menyatakan penyesalannya terhadap peristiwa Kerusuhan Mei 1998, juga tragedi Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999. Selain itu, penyesalan juga disampaikan terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu lainnya. Seperti peristiwa 1965-1966; peristiwa Penembakan Misterius (petrus) 1982-1985; peristiwa Talangsari Lampung 1989; peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989; peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998; peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999; dan peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999. Lalu, peristiwa Wasior Papua 2001-2002; peristiwa Wamena Papua 2003; dan peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

Memang, sudah ada Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu dan Inpres No. 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Mekanisme Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Namun Komnas Perempuan memandang penerapannya masih belum maksimal. 

Selain pengakuan dan penyesalan, pemulihan hak korban harus dibangun dalam kerangka hak asasi manusia. Ini dapat terwujud dengan menggunakan instrumen HAM nasional dan internasional, serta melibatkan korban secara bermakna. Selain itu, perpanjangan waktu Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat juga diperlukan, terutama untuk periode kepemimpinan Indonesia berikutnya.

“Sosialisasi atas pelaksanaan berbagai program pemerintah dalam memberikan restitusi kepada korban dan keluarga korban sangatlah penting. Misalnya bantuan untuk mengakses layanan kesehatan,” kata Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan.

Baca Juga: 24 Years of Reformation: The State Doesn’t Recognize the Cases of Marsinah and May 1998 Mass Rape As Human Rights Violation

“Sebagian korban masih mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan karena fasilitas kesehatan tidak mengetahui  program bantuan ‘khusus’ tersebut. Hal ini menghambat proses pemulihan bagi korban dan keluarganya,” terang Bahrul.

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin juga mengingatkan perlunya perhatian lebih bagi perempuan korban. Dalam beberapa konteks kasus pelanggaran HAM yang berat, perempuan korban memikul dampak yang lebih berat. Seperti pengalaman kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya yang membuat kondisi mereka menjadi lebih rentan.

“Oleh karena itu kesetaraan substantif diperlukan untuk memastikan agar pemulihan memiliki dampak yang tepat bagi korban,” kata Mariana. 

“Negara dalam memberikan pemulihan korban perlu didasarkan pada pemahaman penuh tentang sifat gender, konsekuensi dari kerugian yang diderita. Serta mempertimbangkan ketidaksetaraan gender yang ada untuk memastikan mekanisme pemulihan yang ada tidak diskriminatif.”

(foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!