Surat untuk Hari Ibu atau Hari Gerakan Perempuan

Surat Sayang (Bukan) di Hari Ibu, Tapi Hari Gerakan Perempuan: Bernapas Panjanglah Perempuan yang Melawan

Tanggal 22 Desember diperingati di kalender sebagai “Hari Ibu.” Lebih dari itu, ini adalah peringatan Hari Gerakan Perempuan Indonesia.

Kepada para Ibu yang berjuang di garis depan dan dalam senyap,
Pada Ibu Sumarsih yang setiap Kamis memikul foto anaknya di depan istana,
Kepada Ibu-ibu penyintas tragedi,
Dan kepada perempuan-perempuan yang tubuh serta suaranya dihapus oleh sejarah;
Surat ini aku persembahkan.

Besok, tanggal 22 Desember, kalender kita mencatatnya sebagai “Hari Ibu.” Sebuah penanda yang indah jika kita hanya memandangnya dari permukaan: puisi tentang kasih sayang, panggung-panggung perayaan yang dipenuhi karangan bunga, dan kata-kata manis yang bertebaran di ruang maya. 

Tetapi, sejarah tidak pernah sesederhana itu, bukan? Hari ini pernah bercerita lain.

Di masa lalu, pada 22 Desember 1928, perempuan di negeri ini berkumpul dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama di Yogyakarta. Sekitar 30 organisasi perempuan dari berbagai latar belakang hadir. Perempuan yang hadir di sana bukan sekadar pengurus “dapur, sumur, kasur” bukan pula sekadar istri. Mereka adalah pemikir, pendidik, pejuang, dan penulis sejarah. Berdiri tidak hanya merayakan kasih sayang domestik semata, tetapi menolak segala bentuk penindasan; pernikahan anak, praktik poligami, buta huruf, ketidakadilan ekonomi, hingga kebebasan politik yang dibatasi.

Namun kita tahu, penguasa sebagai pemegang sejarah punya caranya sendiri untuk berkhianat. Hari yang dimulai dengan semangat perlawanan itu akhirnya direduksi menjadi simbol kosong oleh rezim Orde Baru. “Hari Ibu” yang hari ini kita rayakan telah dicuri dari tangan perempuan pembela Hak Asasi Manusia dan diubah menjadi alat untuk menempatkan perempuan dalam kurungan domestik. Di tangan negara, keibuan diromantisasi dan dijadikan alat kontrol.

Penghancuran Gerakan Perempuan dan Politik Seksual 1965

Mari kita mundur sejenak ke 1965, tahun yang memukul mundur gerakan perempuan Indonesia. Sebelum itu, organisasi-organisasi perempuan tumbuh subur, mengakar hingga ke desa-desa. Salah satu yang paling progresif adalah Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia. Mereka mendirikan koperasi simpan-pinjam, mengajar perempuan membaca, membangun sekolah bagi anak-anak buruh, dan berdiri bersama petani serta buruh perempuan dalam sengketa tanah hingga perjuangan upah layak. Gerwani adalah wujud dari cita-cita perempuan yang merdeka, setara, dan menyuluh dalam ruang politik.

Tetapi pada malam kelam 1965, segalanya berubah. Kudeta yang dituduhkan pada PKI melahirkan propaganda paling keji dalam sejarah. Perempuan-perempuan Gerwani dituduh sebagai monster. Tubuh mereka dijadikan objek propaganda seksual, kabar bohong beredar bahwa mereka menari telanjang di Lubang Buaya, memutilasi tubuh para jenderal sambil tertawa liar. Tuduhan ini tidak pernah terbukti, tetapi cerita liar itu tetap hidup. Lebih dari sekadar fitnah, ini adalah penghancuran sistematis.

Baca Juga: 22 Desember Disebut Hari Ibu Atau Hari Gerakan Perempuan? Kepentingan Politik Ubah Maknanya

Tubuh perempuan dijadikan medan perang ideologi. Politik seksual digunakan untuk melucuti gerakan perempuan. Mereka yang berani melawan dimusnahkan dengan dua senjata tajam: kekerasan fisik dan stigma moral. Ribuan perempuan ditangkap, diperkosa, dan disiksa. Nama Gerwani dicoret dari sejarah, dan apa yang tersisa hanyalah kebohongan yang diwariskan turun-temurun: bahwa perempuan yang bersuara adalah ancaman moral.

Dan begitulah, Ibu. Sejak saat itu, perempuan dikembalikan ke dalam rumah. Peran mereka dipersempit sebagai istri yang patuh dan ibu yang ideal. Pikiran mereka, gerak-gerik mereka, hingga tubuh mereka dikontrol oleh negara.

Ibuisme: Penjara Bernama Keibuan

Ibu,
Aku tahu panggilan itu adalah doa yang paling indah.
Namun, di tangan rezim yang takut pada perempuan, “ibu” menjadi senjata untuk membungkam.

Orde Baru membangun tatanan baru yang disebut ibuisme. Sebuah ideologi yang menempatkan perempuan dalam peran domestik yang “mulia.” Perempuan tidak lagi dipandang sebagai warga negara yang punya hak politik. Sebaliknya, perempuan hanya dilihat sebagai istri pendukung suami dan ibu yang bertugas melahirkan anak-anak pembangunan.

Organisasi perempuan independen dilarang. Sebagai gantinya, lahirlah organisasi-organisasi resmi seperti Dharma Wanita dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Perempuan “diajak” untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Tetapi partisipasi itu hanya sebatas mengurus dapur, menjahit, dan menanam bunga. Perempuan diajarkan patuh pada suami, patuh pada negara; perempuan yang melangkah keluar dari batas itu akan dicap subversif.

Pada titik ini, “Hari Ibu” pun diromantisasi sebagai hari penghormatan bagi perempuan dalam peran domestiknya. Perempuan diikat dalam kebajikan keibuan yang sempit: kasih sayang tanpa pamrih, pengorbanan tanpa suara, ketundukan tanpa protes. Hari Gerakan Perempuan yang dulu penuh dengan tuntutan pembebasan sipil dan perempuan, kini hanya menjadi momen simbolik.

Tapi Ibu,
Kami tahu itu bukan dirimu.
Kami tahu kau adalah perempuan yang lebih besar dari sekadar kerangka yang dipaksakan padamu.

Mengingat Para “Ibu” di Hari yang Dicuri

Di tengah gemuruh parade perayaan Hari Ibu dengan gegap gempita karangan bunga plastik, panggung-panggung buatan, dan kiasan penguasa yang berbicara tentang kasih yang hampa, ada ibu-ibu yang tak pernah diundang ke panggung kehormatan. Nama mereka jarang muncul di berita utama atau pidato pejabat. Mereka adalah ibu-ibu yang suaranya dituduh terlalu lantang, langkahnya dianggap terlalu mengganggu, dan tuntutannya disebut “terlalu berbahaya” bagi stabilitas negara.

Salah satu dari mereka adalah Ibu Sumarsih, ibu yang namanya terukir dalam sejarah perlawanan yang mungkin tak pernah dicatat di buku pelajaran sekolah. Setiap Kamis, ia berdiri tegak di depan Istana Negara bersama polusi juga polisi yang berdiri di hadapannya sambil membawa poster anaknya—Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan. Wawan, seorang mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta, tewas ditembak aparat dalam Tragedi Semanggi I. Sebuah peluru yang dilepaskan dari senjata negara merampas nyawa anaknya. Namun peluru itu gagal membungkam suara ibunya.

Baca Juga: 22 Desember: Merayakan Kontribusi Gerakan Perempuan Mendobrak Domestifikasi Perempuan

Setiap Kamis, dalam Aksi Kamisan yang kini menjadi simbol ketabahan dan keadilan, Ibu Sumarsih berdiri bersama ibu-ibu lainnya. Di bawah bayang-bayang hitam payung kecil, mereka membawa wajah-wajah anak, saudara, dan suami yang dihilangkan atau dibunuh tanpa sebab yang pantas. Mereka membawa tuntutan sederhana tetapi mematikan bagi penguasa: keadilan. Keberanian mereka menjadi ancaman bagi negara yang menutup mata pada sejarah kelam, yang mengingkari dosa-dosa masa lalu, yang berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja.

Ibu Sumarsih tidak sendirian. Di barisannya ada ibu-ibu korban penghilangan paksa, yang selama puluhan tahun menyusuri lorong gelap untuk mencari kepingan jawaban tentang anak-anak mereka yang “hilang” di tangan aparatus negara. Ada ibu-ibu penyintas tragedi 1965, yang bertahan dari stigma dan kekerasan yang diwariskan lintas generasi. Mereka adalah perempuan-perempuan yang tubuhnya diperkosa, ditelanjangi martabatnya, lalu dicap sebagai perempuan tak bermoral oleh propaganda rezim yang ingin menutup borok kekuasaannya. Hingga kini, trauma itu mereka bawa dengan sunyi, tetapi kepala mereka tegak karena tahu: mereka tidak salah. Negara yang bersalah.

Baca Juga: 22 Desember Disebut Hari Ibu Atau Hari Gerakan Perempuan? Kepentingan Politik Ubah Maknanya

Di sana juga ada ibu-ibu buruh yang berjuang mendapatkan upah layak untuk menyambung hidup keluarganya, tetapi justru dibayar dengan kekerasan dan penggusuran. Mereka bangun sebelum matahari terbit dan pulang ketika malam hampir habis, tetapi negara hanya melihat mereka sebagai angka yang tidak begitu berarti, bukan sebagai manusia yang layak dihormati. Di antara mereka, ada ibu yang kepayahan membeli susu untuk anaknya esok pagi, sementara perusahaan tempatnya bekerja meraup keuntungan triliunan.

Dan, jangan lupa: ada pula ibu-ibu petani yang tanahnya dirampas oleh korporasi yang didukung aparat bersenjata. Mereka berdiri di garis depan konflik agraria, menggenggam cangkul dan spanduk tuntutan, meski senapan mengarah pada tubuh ringkih mereka. Melawan bukan hanya demi ladang tempat mereka menanam hidup, tetapi demi generasi yang akan datang. Demi lestarinya ajaran hidup menghidupi dengan alam yang mereka jaga.

Mereka adalah perempuan-perempuan yang tidak diinginkan negara. Dianggap duri dalam harmoni palsu yang dijanjikan. Mereka disingkirkan, distigmatisasi, dan sering kali dilupakan.

Bagi Ibu Sumarsih dan para ibu lainnya, menjadi ibu bukan berarti berdiam diri dalam ketundukan. Bukan pula berarti menunggu keajaiban datang dalam harmoni palsu yang dikhotbahkan oleh negara melalui propaganda ibuisme. Mereka adalah perempuan-perempuan yang tahu bahwa mencintai bukan berarti menyerah pada keadaan.

Menjadi ibu, bagi mereka, adalah tentang keberanian untuk berkata tidak pada ketidakadilan, bahkan ketika itu berarti harus berjalan sendirian. Mereka tidak punya panggung megah, tidak ada sorotan kamera yang mengabadikan setiap langkah mereka, tetapi keberanian mereka jauh lebih terang daripada perayaan-perayaan kosong yang hanya menghias kalender tahunan.

Baca Juga: Dear Presiden dan Ketua DPR, Beri Pernyataan Dukungan Pada PRT di Hari Ibu

Ketika ibu-ibu ini berdiri, mereka tidak hanya berdiri untuk anak-anak mereka. Mereka berdiri untuk kita semua. Para perempuan ini berdiri untuk kemanusiaan. Mereka berdiri untuk memastikan bahwa tidak ada lagi anak yang terbunuh oleh negara, tidak ada lagi perempuan yang diperkosa oleh kekuasaan, tidak ada lagi tanah yang dirampas, tidak ada lagi suara yang dibungkam hanya karena dianggap terlalu keras.

Ibu Sumarsih dan perempuan yang menolak diam adalah bukti bahwa sejarah tidak selalu ditulis oleh penguasa. Mereka adalah catatan kaki yang perlahan menjadi paragraf utama. Mereka adalah pengingat bahwa keadilan tidak akan pernah datang jika kita hanya duduk diam.

Hari ini, kita mesti bertanya: Mengapa Ibu Sumarsih dan ibu-ibu lainnya tidak pernah dijadikan simbol dalam perayaan Hari Ibu? Mengapa panggung-panggung itu selalu diisi oleh perempuan yang “patuh,” perempuan yang digambarkan sempurna dalam balutan kebajikan domestik, tetapi kosong dari perlawanan?

Jawabannya jelas, karena perlawanan adalah ancaman bagi harmoni palsu yang diciptakan oleh negara. Karena ibu-ibu seperti Ibu Sumarsih mengingatkan kita bahwa negara masih belum selesai dengan dosa-dosa masa lalunya.

Maka, di tengah perayaan yang penuh dengan puisi-puisi manis dan pesta simbolis, kita harus memilih untuk berdiri bersama mereka. Kita harus memilih untuk mengingat bahwa menjadi ibu bukan hanya tentang mengasuh anak-anak dalam diam, tetapi juga tentang keberanian untuk melawan ketika ketidakadilan terjadi.

Ibu,
Hari ini adalah milikmu yang tubuhnya pernah dipenjara,
Milikmu yang suaranya pernah dibungkam,
Milikmu yang dipaksa menerima peran yang tak kau pilih.

Hari Ini Adalah Hari Gerakan Perempuan

Hari di tanggal 22 Desember bukanlah milik kata-kata romantis kosong pejabat atau lomba memasak. Ini adalah hari untuk mengenang perempuan-perempuan yang berani melawan, perempuan Sarekat Rakyat, perempuan Isteri Sedar, perempuan Gerwani. Ini adalah hari untuk mengenang bahwa kemerdekaan bangsa ini juga ditopang oleh perempuan.

Kita harus merebut kembali hari ini, Ibu. Kita harus mengingat bahwa perempuan bukan sekadar “ibu” dalam makna sempit yang direkayasa negara. Perempuan adalah pejuang, adalah pemimpin. Perempuan adalah sejarah yang selama ini sengaja dihapus.

Aku menulis surat ini sebagai pengingat bahwa perjuanganmu tak akan sia-sia. Hari ini, Hari Gerakan Perempuan, akan selalu kita ingat sebagai simbol perlawanan. Kita akan terus bersuara untuk keadilan, untuk kebenaran, dan untuk semua perempuan yang namanya tak pernah disebut dalam buku sejarah.

Terima kasih, perempuan yang melawan. Terima kasih karena telah mengajarkan kami keberanian; terima kasih karena tak pernah lelah meski dunia memintamu untuk menyerah.

Selamat Hari Gerakan Perempuan.

Dengan cinta yang tak akan padam,

Dari kami yang masih belajar di bawah payung hitam.

Artikel ini merupakan kerja sama antara INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI dengan Konde.co sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.

Luthfi Maulana Adhari

Staf program Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!