Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.
Tanya:
Halo pengasuh Klinik Hukum Perempuan. Saya sering membaca di media sosial seperti X (Twitter) ada banyak korban yang spill kasus pelecehan seksual yang dialaminya. Ada yang menceritakan kasusnya dengan menyamarkan identitas terduga pelaku, tapi ada juga yang mengungkap secara jelas identitas terduga pelaku. Pertanyaan saya, mengapa sekarang ini banyak korban yang spill kasus pelecehan seksual yang dialaminya di media sosial? Apakah ada konsekuensi hukumnya apabila mengungkap identitas terduga pelaku pelecehan seksual di medsos? Karena saya sering dengar dan baca berita soal korban atau pengungkap identitas terduga pelaku pelecehan seksual yang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik atau fitnah. Mohon penjelasannya. (Rebeca, Yogyakarta)
Jawab:
Terima kasih Rebeca sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan.
Mengenai pertanyaan mengapa sekarang banyak korban yang spill kasus pelecehan seksual yang dialaminya di media sosial, kemungkinan ada beberapa alasan. Pertama, media sosial (medsos) mampu memberikan suara kepada para penyintas (korban) yang merasa sulit untuk mendapatkan keadilan hukum. Misal sudah melaporkan kasusnya ke institusi tertentu (seperti tempat pelaku bekerja, kampus, dan lainnya) tapi tidak ada dukungan dan penyelesaiannya. Atau sudah lapor polisi tapi prosesnya tersendat.
BACA JUGA: ‘No Viral, No Justice’: Viral Dulu di Media Sosial, Baru Korban Dapat Penanganan?
Kedua, korban menginginkan pelaku mendapatkan sanksi sosial dan meminta maaf secara terbuka. Ketiga, pelaku adalah tokoh atau pejabat negara yang sulit dijangkau hukum. Karena itu korban meyakini kasusnya harus diviralkan agar ada proses hukum yang dapat memberikan keadilan bagi korban (no viral, no justice).
Spill Jadi Gerakan Bersama Untuk Ubah Kebijakan
Spill atau mengungkap kekerasan seksual yang dialami melalui medsos (speak up) di banyak negara jadi salah satu cara agar perempuan (korban) kekerasan seksual mendapat keadilan. Salah satunya melalui gerakan Me Too yang sekarang sangat terkenal dan mampu membawa perempuan menerobos keadilan. Gerakan ini berawal dari speak up individu-individu korban kekerasan seksual, lalu menjadi gerakan bersama.
Di Amerika Serikat misalnya, gerakan Me Too awalnya fokus kepada pelaku kejahatan individu. Dalam perkembangannya kemudian menjadi gerakan advokasi untuk mengubah sistem peradilan pidana dan perdata. Ini dilakukan lewat usulan rancangan undang-undang yang berupaya menghilangkan hambatan bagi para korban dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Baik itu lewat sistem peradilan pidana bagi korban yang ingin menyelesaikannya secara pidana, maupun sistem peradilan perdata, bagi korban yang ingin menyelesaikannya secara keperdataan (ganti rugi materiil).
Di Indonesia kita sudah punya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang diatur secara khusus (lex specialis). Perlu dicatat, melalui UU TPKS, korban akan mendapatkan keadilan hukum sekaligus ganti rugi materiil (restitusi) melalui sistem peradilan pidana.
Kembali ke permasalahan spill/speak up, dapat disimpulkan bahwa spill yang dilakukan oleh banyak korban kekerasan seksual patut kita apresiasi. Suatu keberanian yang luar biasa ketika korban dapat mengungkapkan kekerasan seksual yang dialami. Dengan harapan pelaku mendapat sanksi hukum dan sosial atas perbuatannya. Karena itu bagi kami spill/speak up sangatlah penting. Bahkan seharusnya menjadi gerakan bersama agar UU TPKS dapat segera diimplementasikan.
Konsekuensi Hukum Membuka Identitas Terduga Pelaku
Selanjutnya, mengenai pertanyaan anda apakah ada konsekuensi hukumnya kalau mengungkap identitas terduga pelaku pelecehan seksual di medsos?
BACA JUGA: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Digital, Rebut Ruang Digital Menjadi Ruang Feminis
Pertama-tama perlu kami jelaskan bahwa kekerasan seksual merupakan tindak pidana murni yang diatur secara khusus melalui UU TPKS. Karena itu pemeriksaan untuk membuktikan pelaku secara sah dan meyakinkan bersalah hanya bisa dilakukan melalui putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Dengan begitu mengungkap identitas terduga pelaku kekerasan seksual di medsos berpotensi menimbulkan permasalahan hukum apabila belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Atau minimal kasus tersebut sedang dalam proses hukum di tingkat kepolisian. Permasalahan hukum yang bisa muncul sebagai berikut:
1. Melanggar Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Bunyinya, “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
2. Pencemaran Nama Baik
Perbuatan Pencemaran Nama Baik diatur dalam Pasal 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Bunyinya, “Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”
Tindak pidana dalam Pasal 27A UU ITE ini adalah tindak pidana aduan. Artinya tindak pidana ini hanya dapat dituntut kalau ada pengaduan dari korban atau orang yang terkena tindak pidana, dan bukan oleh badan hukum. Namun perbuatan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27A UU ITE tidak dapat dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum. Atau jika dilakukan karena terpaksa membela diri.
BACA JUGA: Dikriminalisasi Karena Posting Chat Perselingkuhan Suami Di Medsos, Apa Yang Harus Dilakukan?
Misalnya, korban atau pendamping korban, sudah melaporkan kasus kekerasan seksual tersebut kepada aparat penegak hukum (APH/polisi) tapi proses hukumnya tidak berjalan. Atau pelaporan sudah dalam tahap penyidikan dan pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka tapi tidak dilakukan penahanan. Lalu ketika kasusnya diviralkan di medsos, polisi baru memprosesnya. Kasus-kasus no viral no justice ini banyak dialami perempuan, seperti pada kasus-kasus KDRT dan kekerasan seksual.
3. Melanggar Perlindungan Data Pribadi
Mengungkap pelecehan seksual di medsos dengan membuka identitas terduga pelaku, berpotensi melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Misalnya saja di medsos diungkap nama lengkap, tempatnya bekerja atau informasi lain yang termasuk dalam data pribadi bersifat umum sebagaimana diatur dalam UU PDP.
“Rambu-Rambu” Spill Pelaku Kekerasan Seksual di Media Sosial
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan spill/speak up kasus kekerasan seksual di medsos yang tidak berpotensi menimbulkan permasalahan hukum adalah sebagai berikut:
1. Spill/speak up kasus kekerasan seksual dilakukan dengan tidak menyebutkan identitas lengkap atau informasi yang berkaitan dengan data pribadi. Kecuali sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Atau minimal kasus tersebut sedang dalam proses hukum di tingkat kepolisian atau diberitakan media.
BACA JUGA: Kalau Kamu Jadi Korban Kekerasan Seksual, Pilih Lapor Satgas TPKS Atau Polisi?
2. Terminologi untuk penyebutan nama pelaku jika proses hukum masih berjalan yakni harus memakai term “terduga” di depan nama pelaku. Apabila sudah ditetapkan sebagai tersangka, maka terminologi yang dipakai di depan nama pelaku adalah “tersangka”. Sementara kalau sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, terminologi yang dipakai di depan nama pelaku adalah “terpidana”.
3. Spill kasus kekerasan seksual untuk kasus-kasus yang sudah diberitakan media dapat dilakukan sebagai gerakan speak up agar menjadi perhatian APH. Dengan begitu APH tahu proses hukum yang sedang ditangani dipantau oleh masyarakat sehingga korban mendapatkan keadilan. Tindakan ini juga dapat menjadi gerakan untuk mendorong APH (khususnya polisi) agar mengonstruksi kasusnya dengan memakai UU TPKS. Walaupun belum ada peraturan turunan yang mengatur teknis penerapannya. Mengingat hukum acara khusus dari penerapan UU TPKS diatur secara materiil dalam UU TPKS sehingga penegak hukum dapat menerjemahkannya secara formil. Yaitu, menggunakan hukum acara pidana umum dengan memasukkan syarat-syarat khusus terkait formil penegakan UU TPKS.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat sebagai tambahan informasi bagi korban dan masyarakat dalam mengungkap visibilitas tindak pidana kekerasan seksual yang harus dicegah dan dihentikan. Sehingga akses keadilan bagi korban melalui penegakan UU TPKS dapat terpenuhi.
Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim LBH APIK Jakarta. Kamu bisa mengirimkan email Infojkt@lbhapik.org atau Hotline (WA Only) pada kontak +62 813-8882-2669.