Bayangkan semesta alternatif ketika perempuan bisa melamar pekerjaan tanpa harus menghadapi pertanyaan, “Suamimu kerja apa? Anakmu berapa? Kok, kamu nggak mengurus rumah saja?” Dan laki-laki harus cemas atas hidupnya karena ia bisa jadi dibunuh oleh perempuan tak dikenal kapan saja, di mana saja. Apa jadinya dunia ‘terbalik’ seperti itu?
Platform media sosial seperti TikTok baru-baru ini kembali menjadi medan baru bagi perempuan untuk menyuarakan kritik sosial. Salah satunya lewat tagar #WomenInMaleFields. Para perempuan membuat konten yang isinya membayangkan dunia jika perempuan mendominasi ruang-ruang yang selama ini menjadi milik laki-laki.
Dalam tren ini, muncul video-video dengan caption seperti, “When I bring home a second husband without telling the first because my religion says I can (ketika saya membawa suami kedua pulang ke rumah tanpa memberitahu yang pertama sebab agamaku bilang aku bisa).” Atau, “I simply murder a man walking at night (saya dengan mudah membunuh laki-laki yang berjalan di malam hari).”
Bagi saya, tren ini jadi perlawanan halus terhadap norma-norma patriarki yang telah lama mendominasi. Ia mengundang kita untuk membayangkan dunia yang berbeda jika realitas bisa kita imajinasikan dengan jungkir balik—menyindir dengan humor. Ketidakadilan dan penindasan yang dialami perempuan dikemas dengan humor peran terbalik. Perempuan berhasil mengatasi traumanya dengan menggunakan komedi sebagai coping mechanism. Bukan karena penindasan adalah hal yang lucu. Alih-alih, perempuan mengubah trauma menjadi humor sebagai upaya membingkai ulang pengalaman menyakitkan agar terasa lebih ringan.
Peran Terbalik: Menggugat Hal yang Kita Anggap Normal
Fenomena membalik peran ini bukan hal baru. Pada 2014, Eléonore Pourriat merilis film pendek Majorité Opprimée (Oppressed Majority). Film itu menggambarkan kehidupan seorang laki-laki bernama Pierre di dunia yang didominasi perempuan. Di sepanjang film, Pierre menghadapi pelecehan verbal di jalan, pelecehan seksual, dan ketidakpercayaan dari polisi ketika melaporkan kekerasan. Adegan yang mencolok adalah ketika karakter utama, Pierre, menghadapi pelecehan di jalan dan tidak ada yang menolongnya.
Hal yang dialami Pierre adalah pengalaman sehari-hari perempuan di dunia nyata. Laki-laki tidak membawa ketakutan di pikiran dalam keseharian seperti perempuan. Mereka akan bingung ketika situasinya dibalik. Membalik peran ini, seperti tren di TikTok, adalah cara ampuh untuk menunjukkan bahwa norma yang kita anggap ‘biasa saja’ sebenarnya sarat dengan ketidakadilan.
Taylor Swift juga mengeksplorasi ide ini dalam lagu dan video klipnya The Man. Dengan lirik seperti, “They wouldn’t shake their heads and question how much of this I deserve, what I was wearing, if I was rude (mereka tidak akan menggelengkan kepala dan mempertanyakan seberapa pantas aku menerima ini, apa yang kukenakan, jika aku kasar).”
Baca Juga: Feminis Selalu Marah? Bagaimana Tidak, Pengalaman Hidup Perempuan Ditindas Patriarki
Swift memaparkan kerja standar ganda gender. Ia mengkritik standar yang menghambat perempuan. Dalam video klipnya, ia berubah menjadi laki-laki, tokoh yang digambarkan hidup tanpa konsekuensi meskipun berperilaku buruk. Laki-laki duduk mengangkang dengan santai di transportasi umum mengambil ruang duduk orang lain, atau bisa buang air kecil di sembarang tempat. Video ini tidak hanya menyindir, tetapi juga menggugat tatanan patriarki yang mempromosikan hak istimewa laki-laki sebagai hal wajar.
Patriarki tampak seperti sesuatu yang ‘alami’ karena ia ditanamkan begitu dalam ke dalam budaya, hukum, dan tradisi kita. Dari sistem pendidikan hingga tempat kerja, norma patriarki disusun untuk mendukung laki-laki.
Respon Laki-Laki Defensif, Proyeksi Kondisi Dunia Patriarki Saat Ini
Namun, tak semua orang menyambut tren #WomenInMaleFields dengan tawa. Laki-laki ‘kebakaran jenggot’ ketika dihadapkan pada tren itu, lantas malah memproyeksikan kondisi dunia patriarki dan misoginis lewat tren tandingan.
Ketika perempuan membuat tren #WomenInMaleFields, mereka menyentil isu serius seperti poligami atau kekerasan terhadap perempuan. Ini masalah yang nyata terjadi dalam dunia perempuan. Lalu, bagaimana respon laki-laki? Mereka membalas dengan tagar #MenInWomenFields.
Isinya? Konten dengan caption, “Selain donatur dilarang ngatur.” Atau video seperti, “Me keeping quiet and giving her silent treatment instead of communicating because if she loves me she would read my mind (Saya mendiamkan dan memberinya silent treatment alih-alih berkomunikasi karena jika ia mencintai saya ia akan membaca pikiran saya).” Tidak ada cerita tentang laki-laki dipaksa menerima istrinya menikah lagi atau dibunuh perempuan sembarang di jalanan.
Balasan ini terasa seperti olokan asal yang melewatkan inti persoalan. Alih-alih menyentuh isu struktural yang dialami perempuan, mereka hanya memproduksi lelucon defensif. Barangkali, karena sulit membayangkan realitas ketidakadilan saat sistem sudah menguntungkan mereka sejak awal. Tidak ada satu pun dari video itu yang menyentuh pengalaman menyakitkan seperti yang biasa dihadapi perempuan: pelecehan, diskriminasi, atau kekerasan sistemik.
Konten ini bisa menggarisbawahi perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan dalam melihat ketimpangan gender. Sindiran perempuan membidik sistem, sementara balasan laki-laki sering kali hanya menjadi permainan peran yang dangkal.
Gagal Memahami Makna #WomenInMaleFields
Ironisnya, laki-laki yang ikut dalam tren tandingan #MenInWomenFields kerap lupa sesuatu. Mereka telah lama menjadikan perempuan sebagai bahan olok-olok, dengan cara meniru atau melebih-lebihkan stereotipe perempuan. Parodi tentang perempuan yang ‘terlalu dramatis’, ‘bodoh’, atau ‘materialistis’ sering muncul dalam budaya pop, Mulai dari sketsa komedi hingga cuitan media sosial.
Namun, ketika perempuan membalas dengan membayangkan dunia patriarki dibalik, respon sebagian laki-laki berubah menjadi kemarahan dan defensif. Mereka merasa nyaman mengolok-olok, tetapi tidak siap menghadapi kritik yang menyentil privilese.
Contohnya pertunjukan komedi Chris Rock: Chris Rock Reveals How Housewives Play Their Husbands. Ia meniru dan mengatakan ibu rumah tangga sebagai sosok licik yang ingin menguasai rumah suaminya. Acara itu membuat stigma perempuan sebagai manipulator dan setelah menghina. Kemudian ia malah menasehati perempuan agar menjaga suaminya supaya tidak direbut perempuan lain.
Tentunya masih banyak lagi laki-laki yang menggunakan humor seksis menyindir perempuan untuk meraup uang dan tawa. Mulai dari komedian hingga laki-laki kebanyakan. Misalnya politisi yang menertawakan perempuan janda dan sebagainya.
Baca Juga: Cerita 3 Ojol Perempuan: Ditolak Penumpang Laki-laki karena Bukan Muhrimnya Sampai Bias Algoritma
Mirroring yang dilakukan perempuan dalam tren seperti #WomenInMaleFields tidak dapat disamakan dengan humor seksis yang sering kali dilakukan laki-laki. Ketika perempuan membalik peran gender, tujuan utamanya adalah menyoroti ketidakadilan sistemik dan menciptakan kesadaran akan bias gender yang mengakar dalam masyarakat. Sebaliknya, humor seksis biasanya berasal dari posisi kekuasaan dan digunakan untuk meremehkan atau mempertahankan hierarki yang sudah mapan.
Bagi perempuan, mirroring adalah alat perlawanan. Sementara humor seksis adalah cerminan dominasi. Ketika perempuan menggunakan humor untuk menunjukkan ketimpangan, mereka tidak menertawakan kelompok tertentu. Melainkan mengajak kita semua untuk merefleksikan sistem yang dianggap ‘normal’ dan tanpa sadar menguntungkan laki-laki.
Laura Bates membongkar ini dalam bukunya Men Who Hate Women. Di halaman pertama ia menulis:
“Imagine a world in which tens of thousands of women are raped, beaten, mutilated, abused or murdered every year, because of the simple fact that they are women. You don’t have to imagine that world – you already live in it. But perhaps you didn’t know, because we don’t like to talk about it. We don’t like to risk offending men.
(Bayangkan sebuah dunia ketika puluhan ribu perempuan diperkosa, dipukuli, dimutilasi, mengalami kekerasan atau dibunuh setiap hari, karena fakta sederhana bahwa mereka adalah perempuan. Kamu tak harus membayangkan dunia itu – kamu sudah hidup di dalamnya. Namun barangkali kamu tak tahu, sebab kita tidak suka membicarakannya. Kita tak suka risiko menyinggung laki-laki.)”
Laura menjelaskan, berbicara buruk tentang maskulinitas – menggambarkannya, dalam kondisi sosial saat ini, sebagai sesuatu yang bermasalah, akan dianggap sebagai serangan terhadap laki-laki secara pribadi. Mempertanyakan alasan beberapa laki-laki berperilaku dengan cara tertentu dipandang sebagai serangan terhadap semua laki-laki. Oleh karena itu, hal tersebut dianggap tidak dapat diterima. Laki-laki malah selalu membela diri dengan, “Tidak semua laki-laki itu brengsek,” daripada memikirkan solusi.
Bukan Sekadar Gender War
Ada juga yang menganggapnya sebagai konten gender war (perang gender). Mereka mungkin melihatnya hanya sebagai pertentangan permukaan antara perempuan dan laki-laki. Tanpa menggali lebih dalam mengenai konteks struktural dan sosial yang mendasarinya.
Misalnya, perempuan yang bekerja di bidang yang dominan laki-laki sering kali dihadapkan pada pandangan bahwa mereka ‘tidak seharusnya’ berada di sana. Ini bukan hanya soal ‘perempuan versus laki-laki’. Melainkan tentang masyarakat yang memperlakukan perempuan di bidang-bidang tersebut dan bagaimana mereka sering kali dihadapkan pada hambatan yang tidak dimiliki oleh rekan laki-laki mereka.
Misalnya dalam video #WomenInMaleFields yang dibuat seorang HR perempuan. Ia berkata, “Interviewed a man today and said, ‘What’s your wife do? Do you have any kids? Why are you working? (Saya mewawancarai laki-laki hari ini dan berkata, ‘Apa yang istrimu lakukan? Kamu punya anak? Kenapa kamu bekerja?’)” Laki-laki tidak akan menerima pertanyaan semacam itu ketika mereka melamar pekerjaan.
Banyak perempuan yang menantang peran tradisional atau memasuki ‘male-dominated fields (area yang didominasi laki-laki)’. Bukan karena berusaha untuk melawan laki-laki, tetapi menuntut pengakuan dan kesetaraan. Misalnya, perempuan dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) sering kali berhadapan dengan minimnya representasi, serta prasangka dan bias terhadap kemampuan mereka.
Tren seperti #WomenInMaleFields memberi kesempatan untuk menunjukkan bahwa perempuan dapat dan ingin berada di posisi-posisi yang secara historis tertutup bagi mereka. Tanpa merasa harus ‘menjadi laki-laki’ atau memenuhi ekspektasi gender yang ada.
Melihatnya sebagai perang gender, ketika satu pihak harus kalah untuk memberi ruang bagi pihak lain, adalah kesalahan pemahaman tentang kesetaraan. Ini kan, tentang kenyataan yang dialami banyak orang: perempuan dihadapkan pada hambatan yang tidak dihadapi laki-laki, begitu juga sebaliknya dalam beberapa bidang tertentu.
Sindiran Sebagai Alat Perlawanan
Mengapa tren seperti #WomenInMaleFields penting? Karena ia membuka ruang untuk refleksi. Perempuan yang terlibat dalam tren ini bukan hanya melampiaskan kemarahan. Tetapi juga menciptakan ruang percakapan untuk memahami bahwa ketimpangan gender adalah hasil dari konstruksi sosial, bukan kodrat.
Tren ini mengundang semua orang, baik perempuan maupun laki-laki, untuk melihat dunia dengan perspektif baru. Dengan video yang dibuat oleh perempuan kreatif ini kita bisa menyadari gaslighting, mengenali manipulasi, membantu mengembalikan logika, dan yang terpenting solidaritas sesama perempuan yang harus dirayakan.
Laki-laki yang merasa tersinggung atau marah mungkin melihat tren ini sebagai ancaman. Tetapi kenyataannya, tren ini menawarkan kesempatan untuk belajar. Jika mereka benar-benar mendengarkan, mereka mungkin akan melihat bahwa kritik ini bukan untuk menyerang, melainkan untuk membongkar sistem yang tidak adil bagi perempuan—dan kadang bagi laki-laki pula.
Tren #WomenInMaleFields, seperti halnya film Majorité Opprimée atau lagu The Man, adalah alat revolusioner yang menunjukkan absurditas patriarki. Namun, lebih dari sekadar menyindir, tren ini memicu percakapan yang mendalam tentang bagaimana kita bisa menciptakan dunia yang lebih setara.
Dunia yang ideal bukan tentang perempuan mengambil alih dan meniru laki-laki. Tetapi tentang membongkar struktur yang menindas dan menciptakan ruang ketika semua orang, terlepas dari gendernya, dapat hidup dengan adil. Perempuan tidak ingin menjadi seperti laki-laki yang mendominasi. Perempuan ingin dunia yang benar-benar setara, tidak ada yang dipaksa untuk merasa inferior, suara semua orang dihargai, dan kekuasaan tidak lagi didasarkan pada gender.