‘Women Supporting Women’: Menelusuri Mitos dan Celah Kesenjangan Sosial Diantara Perempuan

Gerakan women supporting women mestinya bukan sekadar slogan. Karena itu penting untuk menyadari selain sistem gender ada persoalan kelas, ras/etnisitas, usia, dan sebagainya yang berkelindan dan berkontribusi terhadap ketertindasan perempuan.

Istilah women supporting women telah menjadi mantra dalam gerakan feminisme modern dan kampanye pemberdayaan perempuan. Di berbagai platform digital dan ruang publik, narasi ini digaungkan sebagai seruan bagi perempuan untuk saling mendukung dalam menghadapi diskriminasi gender dan ketidaksetaraan.

Namun, di balik slogan tersebut, terdapat paradoks yang menunjukkan bahwa dukungan antarperempuan tidak selalu bersifat universal. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua perempuan merasakan solidaritas yang sama, baik dalam dunia kerja, komunitas sosial, maupun dalam berbagai aspek kehidupan lainnya. Ada kesenjangan yang nyata antara perempuan dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya, yang sering kali tidak mendapatkan perhatian yang cukup dalam diskusi tentang pemberdayaan perempuan.

Di sisi lain kita juga mendengar atau mengenal istilah Queen Bee Syndrome atau sindrom ratu lebah. Narasi seputar sindrom ratu lebah ini kerap dipakai untuk mempertentangkan perempuan satu sama lain alih-alih melihat persoalan struktural sebagai penyebab ketimpangan gender. Akibatnya kita digiring untuk percaya bahwa solidaritas dan sisterhood atau persaudaraan diantara perempuan tidak bisa diwujudkan.

Tantangan dan Mitos Terkait Solidaritas Perempuan

Di dunia kerja, perempuan sering kali menghadapi tantangan yang kompleks dalam membangun solidaritas. Banyak perempuan yang berhasil menduduki posisi tinggi di perusahaan atau organisasi harus beradaptasi dengan budaya maskulin yang mendominasi. Adaptasi ini tidak jarang mengarah pada pengadopsian gaya kepemimpinan yang lebih otoriter dan kompetitif, yang dalam beberapa kasus justru mengurangi dukungan bagi perempuan lain.

Fenomena ini dikenal sebagai Queen Bee Syndrome, fenomena ketika perempuan dalam posisi kepemimpinan memilih untuk berjarak dari rekan-rekan perempuan mereka, baik karena tekanan untuk mempertahankan posisinya maupun karena ingin membuktikan bahwa mereka setara dengan laki-laki dalam lingkungan kerja yang kompetitif.

Namun para feminis mengajak kita untuk melihat lebih dalam fenomena tersebut. Pasalnya narasi ini membawa kita untuk lebih menyoroti perilaku individu perempuan ketimbang menyingkap persoalan struktural. Seperti seksisme dan diskriminasi yang berkontribusi pada ketidakadilan gender di tempat kerja. Karena itu bagi feminis perilaku ratu lebah ini hanyalah mitos.

Feminis berpendapat fenomena yang disebut sebagai sindrom ratu lebah ini sebagai stereotipe gender yang berbahaya. Ini lantaran narasi semacam ini cenderung menyalahkan perempuan karena tidak saling mendukung. Alih-alih mengakui adanya hambatan sistemis yang dihadapi perempuan. Jadi seolah-olah perempuan pada dasarnya kompetitif dan mementingkan diri sendiri. Padahal tindakan tersebut bisa jadi merupakan respons atas peluang yang terbatas dan praktik-praktik simbolis atau tokenisme.

Baca juga: Kamus Feminis: Apa Itu Feminisme Interseksional? Pentingnya Perspektif Kelas dalam Membela Perempuan

Beberapa feminis juga berpendapat sindrom ini merupakan konsekuensi dari internalisasi norma-norma patriarki. Yakni perempuan mungkin merasa perlu menjauhkan diri dari perempuan lain agar dianggap kompeten dan sukses dalam lingkungan yang didominasi laki-laki.

Sikap kritis ini bukan berarti mengabaikan atau menutup mata atas fakta bahwa ada orang-orang dengan perilaku toksik di lingkungan kerja terlepas dari identitas gendernya, entah itu laki-laki, perempuan atau ragam gender lainnya. Perilaku toksik ini tentu perlu ditangani. Namun lebih dari itu penting untuk menghindari penggunaan label-label yang justru menjauhkan kita dari upaya menumbuhkan dan memperkuat solidaritas.

Kesenjangan Sosial Diantara Perempuan

Di luar dunia kerja perempuan juga menghadapi hambatan berupa kesenjangan sosial antarperempuan. Perempuan dari latar belakang kelas ekonomi yang lebih tinggi sering kali memiliki lebih banyak akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan yang berkualitas, dan peluang karier yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan dari kelompok ekonomi bawah.

Kondisi ini membuka kesempatan yang lebih luas bagi para perempuan yang berprivilese untuk membangun jaringan yang eksklusif. Jaringan semacam ini akan sulit ditembus oleh perempuan yang kurang beruntung secara ekonomi.

Tidak hanya faktor ekonomi, perbedaan generasi juga memengaruhi tingkat solidaritas antarperempuan. Perempuan dari generasi yang lebih awal cenderung memiliki ekspektasi yang berbeda mengenai peran perempuan di masyarakat. Dalam beberapa kasus, perempuan kelompok ini mungkin memiliki pandangan konservatif yang kurang mendukung perempuan muda yang mencoba mendobrak norma sosial. Hal ini menciptakan ketegangan antar generasi yang menghambat terbentuknya solidaritas yang kuat dan inklusif.

Selain itu, dalam konteks budaya, perempuan dari kelompok minoritas sering kali menghadapi tantangan ganda. Mereka tidak hanya harus berjuang melawan diskriminasi gender, tetapi juga menghadapi diskriminasi berbasis ras atau etnisitas. Sayangnya, gerakan solidaritas perempuan sering kali masih berpusat pada pengalaman perempuan dari kelompok mayoritas. Akibatnya isu-isu yang dihadapi oleh perempuan dari komunitas marginal sering kali terpinggirkan.

Membangun Solidaritas yang Inklusif

Dari paparan di atas penting untuk menyadari ada banyak lapisan persoalan yang membuat perempuan mengalami ketertindasan. Selain sistem gender, ada persoalan kelas, usia, ras atau etnis, dan sebagainya yang saling berkelindan dan berkontribusi terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan.

Meskipun ada tantangan yang signifikan, ada berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk membangun solidaritas perempuan yang lebih inklusif dan merata. Salah satu strategi yang terbukti efektif adalah penguatan program mentorship dan networking yang melibatkan perempuan dari berbagai latar belakang untuk saling berbagi pengalaman dan membangun koneksi profesional. Dengan adanya program ini, perempuan yang memiliki privilese lebih besar dapat berkontribusi dalam membuka peluang bagi perempuan lain yang memiliki akses lebih terbatas terhadap dunia profesional.

Selain itu, transformasi budaya organisasi juga menjadi langkah penting dalam meningkatkan dukungan antarperempuan. Perusahaan dan institusi harus mulai menghapus bias gender yang menghambat perempuan untuk berkembang, serta menciptakan lingkungan kerja yang lebih kolaboratif dibandingkan kompetitif.

Studi oleh Frontiers in Psychology (2023) menunjukkan bahwa solidaritas perempuan di tempat kerja dapat meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas kerja secara signifikan. Temuan ini menunjukkan pentingnya dukungan kolektif dalam mendorong kesuksesan perempuan.

Gerakan women supporting women tidak boleh hanya menjadi slogan kosong. Solidaritas perempuan harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang inklusif dan berkelanjutan. Mitos seperti Queen Bee Syndrome, eksklusivitas dalam gerakan feminisme, serta kesenjangan sosial antarperempuan harus diakui dan diatasi. Dengan begitu setiap perempuan, tanpa memandang latar belakang mereka, dapat merasakan manfaat dari dukungan sesama perempuan.

Dengan membuka ruang bagi semua perempuan dan membangun sistem yang lebih inklusif, gerakan solidaritas perempuan dapat menjadi lebih dari sekadar tren media sosial. Ia dapat menjadi kekuatan transformatif yang mampu menciptakan kesetaraan gender yang sesungguhnya. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa tidak ada perempuan yang tertinggal dalam perjuangan menuju kesetaraan dan pemberdayaan.

(Editor: Anita Dhewy)

Inun Fariha Nuhba

Mahasiswi Magister Sekolah Pascasarjana Program Kajian Wanita Universitas Brawijaya.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!