Male gaze dalam pemberitaan media soal kekerasan seksual

Stop Male Gaze, Bagaimana Seharusnya Media Memberitakan Kekerasan Seksual?

Sadar atau tidak, media kerap menggunakan male gaze dalam pemberitaan kekerasan seksual. Korban pun mengalami reviktimisasi.

Kesadaran mengenai urgensi kekerasan seksual semakin kuat di kalangan masyarakat. Namun, bagaimana ia ditampilkan di media? Kenapa kita masih sering menemukan headline berita terkait kasus kekerasan seksual yang bias gender dan menyudutkan korban?

Kasus kekerasan seksual di Indonesia kini menjadi sorotan utama. Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), angka kasusnya terus meningkat hingga menempatkan Indonesia pada keadaan darurat kekerasan seksual. Pada tahun 2023, tercatat sebanyak 29.883 kasus kekerasan, dengan 13.156 di antaranya adalah kekerasan seksual. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 11.682 kasus kekerasan seksual. Data ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi di Indonesia.

Fakta lain terkait tingginya angka kasus kekerasan seksual di Indonesia adalah perempuan menjadi korban terbanyak. Pada tahun 2023, sebanyak 24.701 kasus kekerasan terjadi pada perempuan; 12.056 di antaranya merupakan kekerasan seksual. Artinya, meskipun ada upaya untuk meningkatkan kesadaran terhadap masalah kekerasan seksual, prevalensinya tetap tinggi. Maka penting untuk menyadari bahwa kekerasan seksual bukan hanya masalah individu, tetapi juga merupakan refleksi dari budaya dan struktur sosial yang lebih besar.

Media dan Bias Gender dalam Pemberitaan Kekerasan Seksual

Lantas, bagaimana media memberitakan kekerasan seksual selama ini?

Media massa memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dan mengangkat isu kekerasan seksual ke permukaan. Pemberitaan berkala dari media dapat memberikan informasi yang mendalam tentang situasi kekerasan seksual, termasuk menciptakan wacana dan membongkar akar permasalahan.

Namun, media juga seringkali terjebak dalam pola pemberitaan yang tidak etis dan justru memperburuk keadaan. Pemberitaan kerap mengutamakan sensasionalisme dengan fokus pada unsur seksual yang berujung pada objektifikasi korban.

Hamad Ibnu (2004) menyebutkan, media tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga mengonstruksi realitas berdasarkan fakta yang ada. Dalam konteks kekerasan seksual, media sering kali mengemas berita dengan cara yang memicu minat pembaca. Namun, di saat bersamaan, hal itu berpotensi merugikan korban. Konsep ‘bad news is a good news’ mencerminkan tendensi media memanfaatkan isu kekerasan untuk meningkatkan oplah, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi korban dan masyarakat.

Baca Juga: Sensasionalisme Media Ikut Mereviktimisasi Artis Korban KDRT

Media juga sering kali menyoroti aspek fisik dan situasi di sekitar korban kekerasan seksual. Misalnya, dengan mendeskripsikan secara rinci tentang penampilan fisik korban, pakaian yang dikenakan, dan konteks kejadian. Hal ini sejalan dengan penjelasan Laura Mulvey dalam esainya ‘Visual Pleasure and Narrative Cinema’ (1992). Menurut Mulvey, hal itu menciptakan pola male gaze. Perempuan ditempatkan sebagai objek yang dilihat, sementara laki-laki menjadi subjek yang mengendalikan pandangan. Konsekuensinya, perhatian publik dapat teralihkan dari isu inti kekerasan dan ketimpangan kekuasaan yang ada. Mereka justru lebih fokus pada aspek visual yang memperkuat stereotipe gender.

Bukan hanya memperkeruh kasus, hal itu juga mempertegas posisi perempuan sebagai objek visual. Serupa dengan konstruksi imaji perempuan di narasi film untuk konsumsi laki-laki. Penyajian ini menciptakan ruang bagi voyeurisme, yaitu kepuasan psikologis melalui pengamatan terhadap tubuh atau penderitaan orang lain. Pemberitaan yang bersifat voyeuristik ini menciptakan ruang bagi eksploitasi psikologis terhadap tubuh dan penderitaan orang lain.

Dalam banyak kasus, media tidak hanya mengabaikan suara dan pengalaman korban, tetapi juga menempatkan mereka dalam posisi yang mempertegas stereotip dan stigma. Penekanan pada elemen visual dapat memperkuat pandangan negatif tentang perempuan, memperburuk stigmatisasi, dan pada akhirnya menghambat upaya penyelesaian masalah kekerasan seksual secara lebih efektif.

Reviktimisasi dalam Media: Korban (Bukan) Sosok Pasif

Media juga kerap memposisikan korban kekerasan seksual sebagai sosok pasif yang menderita dan tidak berdaya. Sama halnya dengan konsep pasifitas perempuan dalam male gaze. Perempuan tidak memegang kendali atas narasi tetapi menjadi titik fokus bagi pandangan laki-laki. Pemberitaan semacam ini memperkuat narasi patriarkal bahwa kekerasan seksual adalah kisah yang berpusat pada laki-laki—baik sebagai pelaku maupun penegak hukum—yang akhirnya menentukan jalannya keadilan.

Sementara itu, pelaku kekerasan sering kali digambarkan dalam pemberitaan. Tak jarang, narasi difokuskan pada aspek-aspek seperti motif pribadi, latar belakang psikologis, atau tekanan sosial yang dialami pelaku. Narasi ini menunjukkan bahwa pelaku masih mendapatkan ruang sebagai subjek yang aktif dan kompleks, berlawanan dengan representasi korban sebagai objek statis. Dalam kerangka male gaze, pelaku diperlakukan dengan simpati yang tidak proporsional. Sementara penderitaan korban diabaikan atau dikomodifikasi.

Media juga cenderung menghindari peliputan yang menekankan struktur kekuasaan yang lebih luas. Seperti patriarki dan ketidakadilan sosial, yang memungkinkan kekerasan seksual terus berlanjut. Fokusnya lebih pada sensasi dan personalisasi cerita yang sejalan dengan male gaze. Sebab, narasi yang disajikan tidak berusaha menggugat tatanan sosial, melainkan menegaskan kembali posisi subordinat perempuan.

Pentingnya Perspektif Korban

Berbagai tantangan tersebut menekankan sangat pentingnya mendorong pendekatan pemberitaan yang lebih berempati dan mengedepankan perspektif korban. Kode Etik Jurnalistik di Indonesia menyerukan kepada wartawan untuk melindungi korban kejahatan asusila dan memberikan perlindungan terhadap privasi dan martabat mereka. Wartawan juga diharapkan tidak terjebak dalam perlombaan untuk mencari viralitas. Misalnya, dengan menonjolkan kasus kekerasan seksual secara sensasional tanpa mempertimbangkan dampak yang mungkin timbul.

Untuk mengubah narasi media yang bias, diperlukan kolaborasi antara jurnalis, pembuat kebijakan, dan masyarakat. Media perlu diberdayakan untuk melakukan investigasi yang lebih mendalam, memberikan konteks yang relevan, dan berfokus pada pencegahan serta pendidikan mengenai kekerasan seksual. Dengan pendekatan yang lebih humanis, media didorong membantu menciptakan kesadaran yang lebih besar tentang kekerasan seksual dan mendorong perubahan sosial yang positif.

Selain itu, edukasi tentang kekerasan seksual dan gender juga harus dimulai dari tingkat pendidikan dasar. Masyarakat perlu dilibatkan dalam diskusi mengenai masalah ini, untuk membangun pemahaman yang lebih baik tentang konsekuensi dari kekerasan seksual dan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak setiap individu. Melalui pendidikan yang tepat, generasi mendatang diharapkan dapat lebih sadar akan isu-isu kekerasan seksual dan berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi semua.

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Male Gaze? Objektifikasi Perempuan di Media untuk Penuhi Hasrat Laki-Laki

Penanganan masalah kekerasan seksual di Indonesia juga memerlukan kerjasama berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan media. Perlu dilakukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan supaya angka kekerasan seksual dapat menurun dan masyarakat dapat lebih memahami pentingnya perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Di masa depan, penting untuk memastikan bahwa setiap berita yang disampaikan oleh media tidak hanya informatif, tetapi juga mendukung upaya penanggulangan kekerasan seksual dan memberdayakan korban untuk berbicara tentang pengalaman mereka.

Langkah-langkah tersebut diharapkan membuat Indonesia melangkah menuju perubahan yang lebih baik dalam menghadapi masalah kekerasan seksual. Kesadaran kolektif dan aksi nyata dari semua elemen masyarakat adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil bagi setiap individu.

Editor: Salsabila Putri Pertiwi

Shela Kusumaningtyas

Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Universitas Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!