Beberapa waktu lalu dunia maya dipenuhi dengan pemberitaan terkait KDRT yang dialami oleh seorang selebgram, Cut Intan Nabila. Kasus ini bermula ketika korban menyebarkan rekaman kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang ia alami di media sosial. Pelaku KDRT diduga suami korban.
Unggahan tersebut mendapat tanggapan luas dari warganet dan menjadi viral. Lantas portal media di Indonesia pun ramai-ramai ikut memberitakannya. Namun tampaknya, media terlalu latah meliput kasus KDRT terhadap Cut Intan Nabila tersebut. Sebagai akibatnya, pemberitaan yang bernada sensasionalisme menjadi muncul dimana-dimana.
Kalau kita merujuk data yang dilansir Komnas Perempuan, KDRT di Indonesia jumlahnya cenderung tinggi. Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan tren yang sama, bahwa kekerasan berbasis gender jamak terjadi di ranah personal. Dengan kata lain, sebagian besar korban mendapatkan kekerasan dari keluarga dan pasangan; orang-orang di lingkungan terdekat yang seharusnya memberikan perlindungan.
Baca Juga: ‘Paya Nie’: Belenggu Patriarki Perempuan Aceh Di Masa Konflik
Pada Catahu 2024, Komnas Perempuan dan lembaga layanan telah mendokumentasikan lebih dari 5 ribu kasus kekerasan berbasis gender di ranah personal pada tahun 2023, dengan jenis kekerasan terhadap pasangan mendominasi lebih dari setengahnya.
KDRT sendiri adalah fenomena yang kaya akan nilai berita, dan karenanya hampir tidak pernah absen mendapatkan sorotan pemberitaan. Perhatian media akan makin tinggi salah satunya ketika korban atau pelaku kebetulan adalah selebritas, pesohor internet, atau siapapun yang dikenal secara publik.
Sensasionalisme dalam Pemberitaan KDRT Pesohor
Dalam pemberitaan KDRT yang melibatkan pesohor, sensasionalisme salah satunya terlihat dari adanya fokus yang terlalu besar pada detail kekerasan. Pada konteks KDRT yang dialami Cut Intan Nabila, kita bisa menemukan banyak berita dengan judul bombastis. Ketika dibuka ternyata hanya menarasikan ulang terjadinya KDRT, baik dalam bentuk deskripsi yang mendetail, maupun menayangkan ulang video ketika korban mengalami kekerasan.
Sebelum itu, gaya pemberitaan yang tidak jauh berbeda lebih dulu merundung Lesti Kejora, selebritas yang mengalami dugaan KDRT oleh pasangannya. Serupa dengan Cut Intan Nabila, KDRT yang dihadapi Lesti sebelumnya terdokumentasikan di dalam rekaman CCTV yang tersebar secara publik. Media yang latah kemudian ramai-ramai mendeskripsikan kejadian kekerasan sembari menyebarkan ulang rekaman tersebut.
Perilaku lain yang juga cukup banyak dipraktikkan untuk membangun sensasionalisme adalah menghilangkan fokus terkait kasus kekerasan. Dalam kasus KDRT terhadap Cut Intan Nabila, banyak media yang menyajikan latar belakang pribadi milik korban, pelaku, bahkan anggota keluarga mereka.
Di berbagai portal media yang berbeda, terdapat pula pemberitaan yang mengungkit kembali kiriman-kiriman lama media sosial milik korban, menyajikan foto-foto “cantik” korban, hingga meromantisasi kisah percintaan korban dengan pelaku.
Baca Juga: Mengapa Influencer Kerap Sembunyikan Derita KDRT Demi Citra Bahagia Mereka?
Selain itu, beberapa media juga menyorot latar belakang pasangan korban sebagai tukang utang dan penyuka video porno, alih-alih fokus secara akurat menggambarkannya sebagai seorang pelaku kekerasan. Bahkan, komentar-komentar yang dilemparkan oleh sesama selebritas dan pesohor internet turut mendapatkan panggung pemberitaannya sendiri.
Kebiasaan buruk ini bukan hal yang baru. Media sudah terlihat melakoninya bahkan sejak 16 tahun yang lalu, saat KDRT yang dialami pesohor Manohara Odelia Pinot menarik perhatian publik. Saat ini, kita masih dapat dengan mudah menggali berita-berita lampau tentang Manohara dengan angle tidak relevan. Seperti pemberitaan yang membahas rumor pernikahan dini korban dengan pelaku, sampai status kebangsawanan keluarga korban.
Mengenal Sensasionalisme
Dalam konteks kerja jurnalisme, sensasionalisme sendiri merujuk pada praktik editorial yang melebih-lebihkan liputan peristiwa dengan tujuan mendapatkan lebih banyak jangkauan audiens (penonton, pembaca, pendengar). Sensasionalisme tidak hanya berlaku pada topik pemberitaan yang ringan dan sepele. Akan tetapi juga sering dipakai untuk melaporkan peristiwa serius, tentunya dengan cara yang sensasional.
Corak pemberitaan yang diproduksi menurut logika sensasionalisme bisa diidentifikasi lewat beberapa ciri. Seperti adanya dramatisasi; bersifat cepat, dangkal, dan terlalu sederhana; biasanya berfokus pada hal-hal personal dan keindahan fisikal. Ciri lain adalah lebih mengutamakan hiburan daripada substansi.
Karena itu beberapa diskursus menyebut sensasionalisme sebagai tabloisasi. Lantaran praktik ini memang mulanya lekat dengan tabloid sebelum ia ditiru oleh media massa yang bekerja untuk fakta.
Berkembangnya tren sensasionalisme juga tidak terlepas dari terintegrasinya media dengan sistem pasar. Akibatnya pemilik modal harus mendapatkan sebanyak mungkin audiens untuk memperoleh profit. Makin tinggi jumlah penonton, pembaca, dan pendengar, makin tinggi pula keuntungan yang bisa terakumulasi. Sensasionalisme, kemudian menjadi salah satu cara ampuh untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Lantas, berkaca dari cara media meliput kekerasan yang dialami Cut Intan Nabila, bagaimana sensasionalisme bekerja melalui pemberitaan seputar isu KDRT yang melibatkan pesohor?
Ketidakberpihakan pada Korban Sekaligus Jurnalisme
Cara memberitakan KDRT pesohor seperti di atas menyimpan banyak masalah. Kegemaran media dalam mengeksploitasi detail-detail kekerasan misalnya, menunjukkan minimnya empati terhadap korban. Hal tersebut sekaligus menandakan ketidakpedulian terhadap dampak traumatik lanjutan yang sangat mungkin dialami oleh korban, keluarga, maupun pembaca.
Selain itu, memberitakan topik-topik pemanis di luar konteks kekerasan juga tidak relevan dengan upaya memperjuangkan korban. Hal itu juga jauh dari kepentingan publik manapun. Yang terjadi justru konteks situasi kekerasannya menjadi hilang, dan penggambaran realitas tentang KDRT-nya seakan-akan direduksi begitu saja bagaikan konflik antara selebritas atau pesohor semata.
Lebih lanjut, pemberitaan KDRT pesohor yang bekerja dalam logika sensasionalisme juga melangkahi beberapa kode etik jurnalistik. Pasal 3 kode etik jurnalistik misalnya, salah satunya mewajibkan wartawan untuk tidak mencampurkan antara fakta dan opini yang menghakimi. Kemudian, pasal 9 juga mengatur wartawan untuk menghormati hak narasumber akan kehidupan pribadinya.
Baca Juga: Viral Influencer Alami KDRT, Sulitnya Perempuan Korban Lepas dari Belenggu Kekerasan
Dengan menuruti logika sensasionalisme, secara tidak langsung media turut membuka ruang terhadap penghakiman korban dan pelaku. Lebih dari itu juga tidak menghormati kehidupan pribadi mereka.
Dengan menjamurnya sensasionalisme dalam pemberitaan KDRT pesohor, perhatian publik yang seharusnya ditujukan untuk membela korban atau menyalahkan pelaku, menjadi rentan teralihkan kepada cerita-cerita dramatik yang tidak seharusnya menjadi konsumsi publik.
Pada akhirnya Cut Intan Nabila dan korban lainnya mengalami reviktimisasi, atau dengan kata lain menjadi korban untuk yang kedua kalinya. Mereka menjadi korban kekerasan domestik sekaligus korban objektifikasi dan komodifikasi oleh industri media.
Fokus pada Fakta & Pelan-pelan Kurangi Sensasi
Pemakaian logika sensasionalisme, terutama dalam memberitakan kasus KDRT, berpotensi merugikan korban, khalayak sekaligus juga kerja jurnalisme. Hanya karena salah satu dari korban atau pelaku adalah pesohor, bukan berarti media berhak menjadikannya komoditas untuk dieksploitasi melalui pemberitaan yang berlebih dan dangkal. Apalagi jika tujuannya hanya untuk mengundang lebih banyak klik.
Sebaliknya, media tampaknya harus lebih sering mempertimbangkan cara peliputan isu KDRT yang lebih berpihak pada korban. Tentunya dengan kualitas pemberitaan yang juga mengedukasi dan memberdayakan khalayak.
Sebagaimana meliput kasus kekerasan pada umumnya, berfokus pada fakta adalah kunci untuk menghasilkan pemberitaan yang lebih adil mengenai KDRT. Berfokus pada fakta di sini dapat diterjemahkan dalam bentuk produksi pemberitaan yang menaruh perhatian pada kekerasan yang terjadi, dampak yang dialami korban, dan kejahatan yang dilakukan pelaku.
Namun, hal tersebut bukan berarti mengulang terus-menerus detail terjadinya kekerasan. Sebagai bentuk dukungan dan keberpihakan kepada korban, sekaligus bentuk pertimbangan atas dampak psikologis khalayak, gaya pemberitaan semacam ini justru perlu dibatasi.
Baca Juga: ‘It Ends With Us’, Sorak-Sorai untuk Lily Bloom Yang Berani Memutus KDRT
Fokus pada fakta juga berarti tidak mencampuradukkan kasus kekerasan dengan berbagai cerita lain yang tidak berelasi dengan kepentingan publik apapun. Apalagi kalau kehadirannya hanya berpotensi meramaikan dramatisasi dan berujung pada pelanggaran privasi korban atau pelaku. Kehidupan pribadi, cerita masa lalu, serta komentar-komentar dari pihak yang kurang relevan, sebaiknya mendapatkan lebih sedikit ruang pemberitaan.
Lebih lanjut, akan lebih baik apabila media juga memanfaatkan pemberitaan isu KDRT sebagai sarana pendidikan publik dan memberdayakan khalayak. Media bisa menggunakan sumber dayanya dalam mengomunikasikan isu-isu yang selama ini terabaikan di dalam wacana isu KDRT. Seperti tips mengakses dukungan pemulihan korban, situasi kebijakan perlindungan korban kekerasan, persoalan struktural yang melegitimasi kekerasan, dan sebagainya. Liputan milik CNN Indonesia dan surat kabar Kompas berikut ini bisa menjadi contoh yang baik.
Selain itu, akan sangat baik apabila perusahaan media menginisiasi standar pemberitaan yang adil dan inklusif untuk peristiwa kekerasan, termasuk KDRT. Kebijakan redaksi ini bisa diiringi pula dengan peningkatan kapasitas kepada sumber daya manusia di perusahaan pers terkait isu kekerasan dan perspektif gender. Aspek lain adalah peningkatan kontrol editorial terhadap segala produk jurnalistik yang memberitakan kekerasan.





