Patung Namboru Nantinjo (sumber foto: ebatak.com)

Namboru Nantinjo Si Dua Jambar: Figur Sakral dalam Narasi Ragam Gender Masyarakat Batak Toba

Di balik keindahan Danau Toba, tersembunyi kisah yang jarang dibicarakan. Nama namboru Nantinjo, adalah kontradiksi yang melekat: ia sakral, tetapi juga tabu; ia dihormati, tetapi hampir dilupakan.

Pada Agustus 2024, Cangkang Queer menerbitkan buku penelitian berjudul Si Dua Jambar Pemahaman Masyarakat Batak Toba Tentang Gender dan Seksualitas. Buku ini menggali lapisan-lapisan tersembunyi dalam budaya Batak Toba, menelusuri jejak gender dan seksualitas melalui sosok legendaris: namboru Nantinjo. Buku ini ditulis oleh Darwita Hasiani Purba, Sahat Martua Lumbantobing, Amek Adlian, dan M Donri berdasarkan penelitian yang mereka kerjakan.

Dalam mitologi Batak Toba, Nantinjo berdiri di ambang dua dunia. Nantinjo adalah anak dari Tatea Bulan keturunan Raja Batak, leluhur manusia. Ia diberi takdir sebagai Si Dua Jambar: manusia dengan dua jenis kelamin. Meskipun begitu, silsilah tetap menggolongkannya sebagai perempuan, menghadirkan ironi dalam masyarakat yang begitu terstruktur.

Tatea Bulan memiliki 10 anak kembar hasil dari perkawinannya dengan Tattan Debata yang berasal dari kayangan. Namboru Nantinjo adalah anak ke-10. Ibu mereka, Tattan Debata harus kembali ke kayangan saat Nantinjo masih remaja. Ibunya kembali ke kayangan karena dipaksa menari manortor oleh suaminya, Tatea Bulan. Di dalam legenda, yang mengetahui bahwa namboru Nantinjo memiliki dua jenis kelamin hanya ibunya, Tattan Debata. Ibunya tidak memberitahukan kepada siapapun karena tidak ingin Nantinjo mendapat perlakuan berbeda.

Intrik, Kekerasan, dan Perjuangan Nantinjo

Setelah kematian ayahnya, Nantinjo tinggal bersama saudara-saudaranya yang penuh intrik dan kekerasan. Saudara laki-lakinya, Saribu Raja, menikahi adik kembarnya sendiri, memicu rencana pembunuhan oleh saudara-saudara lainnya. Dalam kekacauan ini, Nantinjo mengalami berbagai kekerasan, termasuk dipaksa bekerja di ladang dan beternak–tugas yang biasanya dilakukan oleh laki-laki.

Dalam keheningan deritanya, Nantinjo menerima wahyu dari Debata Mula Jadi Na Bolon: dirinya akan tetap cantik, tak termakan usia. Tak tahan dengan kekerasan, ia akhirnya melarikan diri ke Malau, tempat saudara kembarnya, Silau Raja, tinggal. Di sana, ia menenun ulos, menciptakan harmoni dalam hidup yang terbagi: siang sebagai perempuan, malam sebagai laki-laki yang memancing di Danau Toba.

Kemudian suatu hari namboru Nantinjo dipaksa kawin dengan laki-laki dari seberang danau. Keluarganya mengatakan adalah aib jika perempuan tidak menikah. Desakan keluarga untuk menikah menjadi titik genting. Nantinjo sadar, tubuhnya sebagai Si Dua Jambar akan menjadi stigma. Untuk melindungi martabatnya, ia menetapkan syarat mustahil bagi laki-laki yang mau menikahinya: ia harus memberikan satu sampan penuh dengan emas, satu sampan ringgit, dan satu sampan perak. Ternyata Raja Sihaloho, laki-laki yang menyukainya menyanggupi persyaratan tersebut.

Baca Juga: Serial ‘Induk Gajah Season 2: Tekanan Ekspektasi Sana-Sini dalam Kehidupan Perempuan Batak

Tiba saatnya namboru Nantinjo akan dijemput oleh keluarga calon suami. Pergumulan batin namboru Nantinjo terus terjadi selama perjalanan menuju Tigaras, tempat calon suaminya. Pada saat di tengah Danau Toba, ia bersuara keras dan berdoa agar diberi angin besar. “Oloi pangidoanhu Ompung Debata Mula Jadi na Bolon, asa unang maila angka ibotongki saluhutna. Nion ma demban tiar asa bahen ma pangidoanki” (Terimalah permintaanku, Tuhan. Agar saudara-saudaraku tidak mendapat malu. Inilah daun sirih sebagai persembahanku, dan kabulkanlah permintaanku). Namboru Nantinjo pun tenggelam di tengah Danau Toba, sedangkan Raja Sihaloho meneruskan perjalanannya karena mereka tidak satu sampan.

Setelah namboru Nantinjo tenggelam, keluarganya akhirnya mengetahui bahwa Nantinjo berjenis kelamin perempuan dan laki-laki sekaligus atau Si Dua Jambar. Mereka mengetahuinya dari roh Nantinjo yang datang kepada mereka.

Namun, kisahnya tidak berhenti di situ. Roh Nantinjo hadir dalam narasi masyarakat Batak sebagai penjaga Danau Toba. Kesaktiannya dihormati, dan bagi sebagian orang, ia masih nyata. Namun, generasi muda mulai kehilangan jejak cerita ini, membiarkan sosoknya tenggelam bersama gelombang modernitas.

Kesaktian Nantinjo dalam Tradisi Batak
Masyarakat lokal berdoa di depan patung Namboru Nantinjo. (sumber foto: Buku Si Dua Jambar Pemahaman Masyarakat Batak Toba tentang Gender dan Seksualitas)
Masyarakat lokal berdoa di depan patung Namboru Nantinjo. (sumber foto: Buku Si Dua Jambar Pemahaman Masyarakat Batak Toba tentang Gender dan Seksualitas)

Bambu-bambu besar di sekitar Bulu Turak menjadi simbol kehadiran Nantinjo. Patungnya digambarkan sedang menenun ulos, sebuah penghormatan kepada kehidupannya yang penuh makna. Ritual tahunan masih dilakukan oleh keturunan Guru Tatea Bulan untuk memohon perlindungan kepada roh Nantinjo. Saat tragedi tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba tahun 2018, doa-doa dipanjatkan kepada Nantinjo agar para korban ditemukan.

Peran namboru Nantinjo sangat dihormati karena kesaktiannya, apa saja yang dimintanya akan diberikan oleh Mula Jadi na Bolon. Pada masa dulu, hanya laki-lakilah yang berperan sebagai datu (orang sakti). Namun Nantinjo sebagai Si Dua Jambar dapat melakukan peran lebih dari seorang datu laki-laki. Nantinjo dihormati bukan karena identitas gendernya, tetapi karena peran spiritualnya.

Konsep Si Dua Jambar di kalangan masyarakat Batak menyisakan interpretasi yang beragam. Ada yang memaknainya sebagai individu dengan dua jenis kelamin, ada pula yang mengaitkannya dengan waria atau ekspresi gender tertentu. Namun, perbincangan mengenai seksualitas tetap menjadi tabu, meskipun sosok Nantinjo dihormati karena peran spiritual dan kesaktiannya.

Tabu dan Penghormatan: Perdebatan Tentang Si Dua Jambar dalam Masyarakat Batak

Saat peneliti menanyakan apakah benar Nantinjo memiliki dua jenis kelamin atau Si Dua Jambar? Mereka memperlihatkan wajah terkejut, hati-hati dan mengucapkan kata “satabi” (maaf) ketika mengucapkan Si Dua Jambar.

Pengertian Si Dua Jambar juga beragam dalam pemahaman masyarakat Batak. Ada yang menyebut memiliki dua jenis kelamin, ada yang mengatakan waria, tapi ada juga yang menganggap ekspresi gender saja sebagai laki-laki. Karena itu sulit menentukan posisi Nantinjo dalam Dalihan Na Tolu, sistem kekerabatan dalam budaya Batak. Percakapan tentang Si Dua Jambar tidak mudah, karena Nantinjo dianggap sebagai tokoh yang dihormati, tetapi pembicaraan tentang seksualitas adalah tabu.

Peneliti menilai bahwa kisah namboru Nantinjo membongkar pemahaman superior laki-laki yang diberi penghormatan karena gendernya. Masyarakat menghormati Nantinjo karena merasakan pertolongan baik untuk melindungi mereka dari celaka, memberkati ladang, menyembuhkan dari sakit, dan sebagainya. Masih banyak masyarakat yang berkunjung ke Bulu Turak untuk meminta permohonan mereka dikabulkan.

Keberadaan ragam gender dan seksualitas adalah sesuatu yang tidak terbantahkan. Mereka ada dan hidup menjadi bagian yang melekat dalam budaya Indonesia. Ada Basir pada kebudayaan Dayak Kalimantan, To Burake pada kebudayaan Toraja, Warok Gemblak pada kebudayaan Ponorogo, Gandrung di Bali, dan Bissu di Bugis.

Baca Juga: Aksi Buka Baju, Para Perempuan Dapat Stigma Seksis: Stop, Mereka Berjuang untuk Tanah yang Dirampas

Sebagai bagian dari suku Pakpak, saya merasa tertarik sekaligus terkejut mengetahui bahwa kisah Namboru Nantinjo, yang disebut sebagai salah satu figur penting dalam budaya Batak, belum pernah sampai ke telinga saya sebelumnya. Buku ini menjadi pintu masuk untuk memahami bahwa narasi keragaman gender dan seksualitas dalam budaya Batak, termasuk suku Pakpak, sering kali tersembunyi di balik narasi dominan laki-laki. Membaca kisahnya bukan hanya memperkaya pemahaman saya tentang sejarah Batak, tetapi juga membangkitkan rasa ingin tahu yang mendalam tentang bagaimana figur seperti namboru Nantinjo membentuk nilai-nilai yang kita warisi hingga kini.

Kisah namboru Nantinjo adalah pengingat betapa kompleksnya identitas budaya kita dan bagaimana banyak cerita keragaman gender dan seksualitas dalam budaya Batak dan mungkin dalam banyak budaya lain terabaikan atau bahkan dihapus dari narasi sejarah. Fakta bahwa saya sendiri belum pernah mendengar tentang namboru Nantinjo hingga membaca buku ini menunjukkan betapa narasi dominan sering kali tidak memberi ruang bagi tokoh perempuan. Kisah seperti ini memicu pertanyaan: mengapa tokoh seperti Nantinjo tidak dijadikan pusat dalam tradisi lisan atau catatan sejarah? Apakah karena cara pandang patriarki yang cenderung lebih mengutamakan tokoh laki-laki dalam mitos, sejarah, dan budaya?

Baca Juga: Delima Silalahi: Aktivis Lingkungan Peraih The Goldman Environmental Prize

Perempuan dianggap sebagai penjaga adat tetapi jarang diberi ruang untuk menjadi pengambil keputusan utama. Dalam sistem adat Batak yang menganut garis patrilineal, perempuan sering kali hanya diingat dalam konteks perannya sebagai ibu atau saudara yang mendukung laki-laki, bukan sebagai individu dengan kepemimpinan yang otonom. Perempuan sering kali dijadikan simbol kekuatan dalam mitos, tetapi kekuatan itu jarang diterjemahkan ke dalam peran nyata dalam struktur adat.

Salah satu bagian buku yang relevan adalah pembahasan tentang “namboru,” yang dalam konteks Batak merujuk pada saudara perempuan ayah. Namboru memiliki posisi terhormat dalam keluarga besar, tetapi penghormatan itu sering kali bersifat simbolis dan tidak disertai dengan kekuasaan nyata. Kisah namboru Nantinjo dalam buku ini menantang stereotipe tersebut dengan menggambarkannya sebagai figur yang mengambil tindakan langsung untuk melindungi masyarakatnya.

Baca Juga: Mama Aleta, Yosepha Alomang, dan Delima Silalahi: Pejuang Lingkungan Berperspektif Perempuan

Demikian juga dengan ulos, yang ditenun namboru Nantinjo. Ulos kain tradisional Batak yang sering kali dikaitkan dengan peran perempuan. Dalam adat Batak, perempuanlah yang menenun ulos, tetapi makna simbolis ulos dalam upacara adat sering kali dikendalikan oleh laki-laki. Analisis ini menggambarkan bagaimana perempuan menjadi “penjaga budaya” yang sebenarnya tetapi tidak mendapatkan pengakuan penuh atas kontribusi mereka.

Buku ini tidak hanya menarik dari perspektif budaya, tetapi juga memunculkan diskusi penting tentang gender dan seksualitas. Bagaimana tokoh seperti namboru Nantinjo diposisikan dalam struktur adat Batak yang terkenal patriarki? Apakah ia dihormati sebagai figur yang kuat, atau justru keberadaannya dibingkai dalam narasi yang tetap subordinatif?

Kisah namboru Nantinjo sebagai figur dengan dua jenis kelamin mengungkapkan bahwa masyarakat adat Batak, seperti banyak masyarakat tradisional lainnya, pernah memiliki pandangan yang lebih cair tentang gender. Dalam buku ini, penulis menggambarkan bagaimana namboru Nantinjo tidak hanya berperan sebagai pelindung tetapi juga sebagai sosok yang mengatasi batas-batas gender.

Hal ini memberikan pelajaran penting bahwa sistem adat di Indonesia, termasuk dalam budaya Batak, mungkin pernah lebih inklusif terhadap keragaman gender daripada yang kita kira saat ini. Namun, seiring dengan pengaruh kolonialisme dan agama, pandangan yang lebih cair ini tampaknya tergeser oleh norma-norma patriarki yang lebih kaku. Kisah namboru Nantinjo mengingatkan kita bahwa sejarah gender di Indonesia jauh lebih kaya dan kompleks daripada yang sering diajarkan. Lebih dari itu budaya tradisional kita sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi inspirasi inklusivitas di era modern.

Editor: Anita Dhewy

(sumber foto: ebatak.com)

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!