lingkungan

Mama Aleta, Yosepha Alomang, dan Delima Silalahi: Pejuang Lingkungan Berperspektif Perempuan

Ada sejumlah pejuang perempuan internasional dan nasional yang telah berjuang untuk menyelamatkan lingkungan sebagai sumber kehidupan. Mereka adalah pejuang ekofeminisme.

Di Indonesia, gerakan ekofeminis telah melahirkan tokoh-tokoh perempuan yang gigih melawan eksploitasi lingkungan alam dan melindungi hak-hak perempuan. Beberapa tokoh yang mencuat adalah Yosepha Alomang, Mama Aleta dan Delima Silalahi.

Kerusakan lingkungan secara sistematis berdampak pada perempuan dan alam, menjadikan perspektif ekofeminis semakin relevan. Prinsip kesetaraan, ketergantungan, dan pemeliharaan hidup dalam ekofeminisme mengungkapkan bahwa kerusakan ekologi dan penindasan gender saling terkait. Perempuan sebagai penjaga alam sering kali menghadapi beban yang lebih berat akibat deforestasi, polusi, dan perubahan iklim. Mereka juga menjadi korban kekerasan, migrasi paksa, dan ketidakadilan sosial. Dalam pandangan ekofeminis, perlindungan alam dan kesejahteraan perempuan tidak bisa dipisahkan. Upaya kolektif untuk mengatasi kerusakan lingkungan harus mengintegrasikan perspektif ekofeminis agar mampu menghasilkan solusi berkelanjutan dan inklusif.

Di Indonesia, banyak perempuan yang secara tidak langsung telah melakukan tindakan-tindakan yang memiliki nilai ekofeminis, meskipun mereka mungkin tidak memahami teori ekofeminisme secara eksplisit. Mereka secara intuitif menyadari pentingnya hubungan erat antara perempuan dan alam, serta pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.

Baca juga: Mengapa Para Perempuan Berani Hidup di Lingkar Tambang? 

Masuknya tambang sering dianggap sebagai bagian dari pembangunan karena diharapkan dapat memberikan penghasilan dan keuntungan ekonomi sebagian orang. Tambang dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan daerah, dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Namun, dampak negatifnya jauh lebih besar.

Tambang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, mencemari air dan udara, merusak ekosistem, dan mengancam keberlanjutan lingkungan hidup. Konflik lahan sering muncul antara perusahaan tambang karena masyarakat kehilangan akses ke sumber daya alam penting. Kehadiran tambang juga membawa perubahan sosial dan budaya yang mengganggu tatanan sosial dan nilai-nilai budaya yang ada.

Sejumlah perempuan pejuang lingkungan tersebut antara lain:

Mama Aleta

Mama Aleta, seorang perempuan yang lahir di Sa’u, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 16 Maret 1965. Hutan di Mollo, adalah tempat Mama Aleta hidup. Di sana ia bermain, belajar tentang alam sampai bercocok tanam. 

Namun, kehidupan Mama Aleta dengan alam mulai berubah pada tahun 1980-an ketika pemerintah kabupaten memberikan izin kepada perusahaan pertambangan untuk melakukan pengambilan batu marmer dari pegunungan di Mollo, tempat tinggal Mama Aleta. Izin tersebut diberikan secara ilegal tanpa melakukan konsultasi dengan penduduk setempat. Aktivitas penggundulan hutan dan  pertambangan tersebut berdampak pada tanah longsor, pencemaran air, dan menimbulkan kesulitan bagi penduduk desa yang mengandalkan mata pencaharian dari alam.

Mengutip dari ciptamedia.org, Mama Aleta mulai berdiskusi, memberi contoh, dan mengajak mereka untuk melawan kerusakan lingkungan yang mereka saksikan. Kala itu, dirinya dan masyarakat lain menduduki tambang marmer dengan menenun selama dua bulan di desa Fatumnasi dan Kuanoel. Mereka menuntut penghentian tambang marmer milik pengusaha Jakarta. Penolakan dengan menenun karena tenun menjadi identitas adat orang timur. Namun, perusahaan tambang masih bergeming.

Baca juga: Mama Aleta, Perempuan yang Bersetia Menenun Gunung Batu

Mama Aleta memutuskan untuk melanjutkan pendidikan formalnya karena ingin mempelajari isi undang-undang dan izin-izin yang diberikan oleh pemerintah terkait kerusakan lingkungan dan kehancuran budaya. Oleh karena itu, Mama Aleta memilih untuk mengambil jurusan hukum.

Sejak tahun 1996, dalam perjuangannya menolak tambang marmer, Ia dianggap sebagai ‘musuh’ oleh perusahaan dan pemerintah daerah saat itu, bahkan nyawanya pun terancam. Ada upaya untuk memberikan imbalan kepada siapa pun yang dapat membunuh Mama Aleta. Mama Aleta sempat melarikan diri dan bersembunyi di hutan bersama bayinya. 

Mama Aleta terus mengorganisir aksi damai dengan melibatkan ratusan warga desa, mereka menduduki tempat-tempat penambangan marmer sambil melakukan protes. Berkat ketekunan mereka selama belasan tahun, akhirnya pada tahun 2007, Mama Aleta dan warga berhasil menghentikan kerusakan tanah hutan yang dianggap sakral di Gunung Mutis. Perusahaan-perusahaan tambang PT. Soe Indah Marmer dan PT. Karya Asta Alam akhirnya angkat kaki dari bumi Mollo.

Dunia melihat perjuangannya dan pada April 2013 Mama Aleta menerima penghargaan The Goldman Environmental Prize di San Francisco, California, Amerika Serikat. Tidak hanya itu, Mama Aleta juga mendapat penghargaan dari Yap Thiam Hien Award pada 2016.

Yosepha Alomang

Yosepha Alomang tinggal di Gunung Nemangkawi, gunung suci Suku Amungme dan Kamoro tempat emas dan tembaga bersemayam. Gunung Nemangkawi membentuk identitas, harga diri, roh dan inspirasi hidup marga-marga Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainnya selaku pemilik sekaligus penghuni lereng Nemangkawi. 

Mengutip dari validnews.id pada tahun 1967, sesudah Forbes Wilson menemukan kandungan emas di Nemangkawi atau beberapa waktu setelah Soeharto dilantik sebagai Presiden pada 7 April 1967, eksploitasi dimulai. Hal ini didukung dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang disahkan pada 10 Januari 1967. Kontrak antara pemerintah dan PT. Freeport tersebut tanpa persetujuan dari suku Amungme dan Kamoro sebagai pemilik hak atas tanah, hutan, gunung dan air.

Puncaknya saat PT. Freeport memasuki lembah suci Waa dan Banti untuk membangun helipad, masyarakat melakukan protes. 

Pada tahun 1991, Yosepha mengorganisir aksi unjuk rasa di bandara Timika selama tiga hari. Ia menyalakan api di landasan udara sebagai bentuk protes terhadap kehadiran Freeport dan pemerintah Indonesia. Tujuannya adalah agar penderitaan rakyat Alomang dapat didengar. Pada tahun 1994, Yosepha bersama aktivis perempuan disana, Mama Yuliana ditahan dengan tuduhan membantu Kelly Kwalik, seorang tokoh Organisasi Papua Merdeka/OPM. Mereka dikurung dalam tempat penampungan kotoran manusia.

Baca juga: Jalan Hidup Yosepha Alomang: Perempuan Pejuang Dari Papua

Dua tahun paska penangkapan tersebut, Yosepha mengajukan tuntutan perdata atas Freeport McMoran Copper & Gold di Amerika Serikat dan menuntut ganti rugi atas dirinya serta kerusakan lingkungan yang diakibatkan selama Freeport beroperasi. Gugatan itu berhasil ia menangkan.

Perjuangan Yosepha mendapat penghargaan The Goldman Environmental Prize dan Yap Thiam Hien. Yosepha mendirikan YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan). Melalui ini Yosepha bekerja bagi masyarakat adat dan HAM hingga kini.

Delima Silalahi

Nenek moyang orang di Sumatera Utara telah lama membudidayakan pohon-pohon kemenyan Sumatera. Catatan sejarah menunjukkan bahwa getah ini digunakan untuk pembuatan parfum dan obat-obatan. Getah kemenyan telah dipanen dan diperdagangkan setidaknya sejak abad ke-8. Ketika dibudidayakan secara berkelanjutan di dalam hutan, getah kemenyan dapat diekstraksi dari pohon selama 60 tahun. Getah ini telah menjadi sumber penghasilan masyarakat batak secara turun-temurun.

Pulau Sumatera adalah satu-satunya tempat di bumi di mana badak, orangutan, harimau, dan gajah hidup bersama di alam liar. Saat ini, destruksi habitat mengancam spesies yang terancam punah secara kritis ini. Salah satu yang paling terancam adalah harimau Sumatera: populasi tersisa sebanyak 500 ekor merupakan populasi harimau terakhir di Indonesia.

Sejak 30 tahun terakhir, perusahaan pulp (pengolahan kayu sebelum jadi kertas) dan kertas bernama Toba Pulp Lestari (TPL) merambah hutan-hutan di Sumatera Utara yang secara tradisional dimiliki oleh komunitas lokal. Mereka membabat hutan-hutan yang kaya biodiversitas ini dan menggantinya dengan perkebunan eukaliptus monokultur yang besar. Tanaman eukaliptus ini menyerap banyak air sehingga mengeringkan sungai di sekitarnya.

Baca juga: Delima Silalahi: Aktivis Lingkungan Peraih The Goldman Environmental Prize

Delima dan timnya di KSPPM memperjuangkan hak-hak masyarakat setempat dan melakukan protes terhadap TPL. Pada tahun 2013, putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia mengkonfirmasi bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. 

Delima melakukan perjalanan dari desa ke desa. Ia mengedukasi komunitas tentang hak-hak mereka dan mengorganisir pemetaan partisipatif hutan dengan setiap komunitas untuk mendokumentasikan wilayah asli mereka. Mereka mengorganisir protes terhadap TPL di tempat-tempat di mana perusahaan tersebut beroperasi. 

Pada bulan Februari 2022, pemerintah Indonesia akhirnya memberikan keenam komunitas Tano Batak kekuatan hukum atas 17.824 hektar hutan adat mereka mereka. Keenam komunitas ini telah memulai restorasi hutan dan penanaman kembali. Suatu kemenangan untuk ketahanan iklim, keanekaragaman hayati, dan hak-hak masyarakat.

Atas dedikasinya tersebut, Delima Silalahi dianugerahi The Goldman Environmental Prize. Penghargaan ini diberikan kepada individu yang telah melakukan upaya berkelanjutan dan signifikan untuk melindungi dan meningkatkan lingkungan alam, seringkali dengan risiko pribadi yang besar. 

Sumber foto: ciptamedia, own talk, tempo.co

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!