Aksi Buka Baju, Para Perempuan Dapat Stigma Seksis: Stop, Mereka Berjuang untuk Tanah yang Dirampas

Para perempuan membuka baju, menghadang ekskavator untuk mempertahankan tanah dan lingkungan mereka yang dirampas. Namun justru stigma seksis yang mereka rasakan, dianggap sulit diatur, dan buka baju hanya untuk sensasionalisme.

Dalam Edisi khusus perempuan ini, Konde.co merangkum cerita perlawanan para perempuan yang mempertahankan lingkungan dengan menanggung stigma seksis 

Di Jambi, aksi buka baju pernah dilakukan para perempuan di tahun 2020. Mereka hanya mengenakan pakaian dalam. 

Ini pernah dilakukan para ibu sebagai bentuk perlawanan terhadap Perusahaan PT. Wira Karya Sakti (PT WKS). PT WKS telah menggusur dengan alat-alat berat pondok dan kebun petani seluas 200 hektar di Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi pada tanggal 13 dan 26 September 2020. 

Dalam pemantauan Komnas Perempuan seperti tertulis dalam pernyataan pers Komnas Perempuan di tahun 2020, aksi baju ini dilakukan para perempuan paska penyelesaian konflik tanah adat yang merupakan salah satu konflik terbesar di tanah air ini yang berlangsung dengan cara-cara kekerasan dan tanpa pelibatan para petani pemilik lahan, khususnya perempuan. 

Dalam konflik tersebut, perempuan lalu mengambil bagian untuk mempertahankan tanah, bukan saja karena kepentingan ekonomi melainkan juga kelangsungan hidup komunitas dan budaya mereka. 

Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat yang pernah diwawancara Konde.co mencatat adanya kekhasan perlawanan perempuan yakni menjadikan tubuh mereka sebagai media perlawanan tanpa kekerasan. 

Baca juga: Mengapa Para Perempuan Berani Hidup di Lingkar Tambang?

“Penggunaan tubuh merupakan upaya terakhir setelah berbagai upaya dilakukan dan tidak memberikan keadilan untuk perempuan. Perempuan-perempuan di Kendeng, misalnya, membentuk pagar betis untuk membentengi lahan mereka dari penggusuran dan memasung kaki-kaki mereka dengan semen sebagai ungkapan perlawanan yang keras dan gigih,” kata Rainy Hutabarat

Komnas Perempuan juga mencatat tindakan buka  baju ini juga pernah dilakukan oleh  perempuan-perempuan adat di berbagai daerah di tanah air. 

Pada 2016, kaum perempuan di Tureng, Nusa Tenggara Timur, membuka  baju memprotes kehadiran perusahaan tambang di desa mereka yang mengancam kehidupan ekonomi, kultural maupun kesehatan. 

Tahun 2017 beberapa perempuan dari barisan perempuan warga Sukamulya membuka baju menentang pembebasan lahan mereka untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat. 

Perlawanan yang disertai shalawatan namun tak juga berhasil mengurungkan penggusuran. 

Membuka baju juga dilakukan sebagai bahasa perlawanan beberapa perempuan yang menolak eksekusi tanah keluarga oleh aparat keamanan dalam konflik tanah di Juma Deleng, Desa Sempa Jaya, Berastagi pada 2011.  

Pada September 2019, ibu-ibu di Sigapiton  melakukan hal sama ketika alat-alat berat memasuki tanah dan hutan mereka untuk membangun infrastruktur jalan. Pada Mei 2020, kaum ibu Pubabu membuka  baju menolak penggusuran paksa pemukiman mereka. Tampaknya ini yang kedua kalinya setelah perlawanan melawan tambang tahun 2011. 

Baca juga: Petaka Bagi Warga, Perempuan Wadas Tolak Pembangunan Tambang Dan Bendungan

Dalam pandangan Komnas Perempuan, Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa membuka  baju sebagai bentuk perlawanan tanpa kekerasan merupakan “suara paling keras” yang dapat dilakukan perempuan-perempuan dalam menyikapi penggusuran dan cara-cara yang kerap menggunakan kekerasan seperti intimidasi, teror, pukulan  atau tendangan. 

Di beberapa tempat, cara-cara kekerasan tersebut disaksikan oleh anak-anak. Tindakan ini merupakan “senjata” yang bisa dilakukan setelah upaya-upaya penyelesaian konflik dilakukan, walau sebagian memandang penggunaan tubuh sebagai alat perlawanan  sebagai perbuatan tak wajar, namun mereka melawan stigma ini.

“Tindakan membuka baju sebagai bentuk perlawanan tanpa kekerasan merupakan hak  perempuan yang dijamin oleh Konstitusi RI. UUD 1945 menjamin setiap warga negara berhak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani (Pasal 28E ayat 2),” kata Rainy Hutabarat

Soal perempuan yang menggunakan tubuhnya sebagai alat perlawanan menurut Mia Siscawati, Kepala Prodi Kajian Gender Universitas Indonesia bukan hal yang baru. Nai Sinta di Sumatra Utara sudah melakukannya pada tahun 80-an ketika melawan PT Inti Indorayon Utama.

Beberapa komunitas bahkan punya tradisi menggunakan tubuh untuk berkomunikasi ketika marah.

“Soal tubuh dan seksualitas dan bagaimana kemudian tubuh itu juga menjadi alat untuk berkomunikasi ketika marah dan sebagainya, itu bukan hal yang baru dan bukan Barat. Jadi ada juga di komunitas-komunitas kita, memang referensinya bukan Jawa Aristokrat, tapi Jawa di pedesaan atau Jawa pesisir,” katanya.

Mia menekankan aksi-aksi semacam ini perlu dilihat bukan sebatas teatrikal sehingga muncul anggapan aksi tersebut mempermalukan atau merendahkan perempuan itu sendiri. Melainkan perlu melihatnya sebagai sebuah proses.

Baca juga: Cerita Perempuan Terdampak Tambang Nikel: Sumber Penghidupan Hancur, Kesehatan Terancam

“Kalau kita mendengarkan langsung dari mereka dan melihat bagaimana prosesnya, Saya yakin banyak yang itu bukan bagian dari rencana mereka. ‘Oh, kita harus buka baju’, enggak begitu. Ada luapan emosi. dan lain sebagainya dan itu bukan seperti mengorbankan diri. Tapi bisa jadi ada pijakan secara kultural,” papar Mia.

Di wilayah-wilayah konflik akibat pertambangan, perkebunan  dan proyek-proyek pemerintah, perempuan-perempuan muncul di garis depan melakukan perlawanan dengan berbagai cara.

Perlawanan para ibu atau inang di Medan, tak hanya dilakukan disana. Pada selasa siang 11 Juni 2024, ketika hujan baru saja mengguyur Jakarta, mereka datang ke Mahkamah Agung Jakarta.

Jalanan di depan Gedung Mahkamah Agung (MA) di Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat masih basah. Puluhan warga Dairi, Sumatera Utara yang terancam tambang PT Dairi Prima Mineral (DPM) membentangkan spanduk, menggelar foto-foto dan membawa poster.

Mereka menggelar aksi menuntut majelis hakim yang menangani perkara kasasi izin lingkungan DPM dapat mengambil keputusan dengan mempertimbangkan keselamatan ruang hidup masyarakat. Sebelumnya mereka menggelar aksi di depan Kedubes Tiongkok di kawasan Mega Kuningan.

Di antara warga Dairi tersebut, ada Rainim Purba (63 tahun), Parulian Tambun (57 tahun) dan Dormaida Sihotang (46 tahun). Bagi Rainim, aksi di MA hari itu merupakan aksi keempatnya di Jakarta. Sebelumnya ia aksi di Pengadilan Tata Usaha Negara, Komnas Perempuan, Kantor Staf Presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ketiga inang tersebut melakukan aksi mangandung, yakni meratap dalam bahasa Batak. Mereka memohon pada majelis hakim agar berlaku adil dalam memutus perkara mereka. Sambil mangandung mereka membawa hasil kebun yang selama ini sudah mencukupi dan menyejahterakan hidup warga Dairi. Ada jagung, pinang, jeruk purut, lada dan kacang.

Baca juga: Aksi Lilitkan Kain ke Pohon, Perempuan Wadon Wadas Tolak Tambang Andesit

Mangandung adalah meratap dengan menangis, sebuah tradisi lisan masyarakat Batak Toba yang biasa dilakukan dalam upacara perkabungan. Para inang Dairi biasanya melakukan ritual mangandung setiap mereka menggelar aksi menolak aktivitas tambang PT DPM yang lokasinya dekat dengan desanya. 

Usai aksi sore itu kepada Konde.co, Rainim menjelaskan arti ratapan yang ia sampaikan saat mengandung.

“Artinya bagaimana nasib kami nantinya? Karena kami sudah mendengar berita kalau perusahaan Tiongkok (pemegang saham DPM) akan mendanai pertambangan DPM yang ada di Dairi. Jadi kami memohon, supaya dibatalkan pinjamannya,” tutur Rainim.

Dormaida menambahkan selama ini hasil kebun mereka sudah mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bahkan bisa untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mereka tidak ingin nantinya menjadi korban Lapindo kedua. Pasalnya hasil kajian para ahli menyebutkan wilayah Dairi rawan untuk ditambang dan dibangun bendungan tailing.

Kehidupan Rainim dan warga di desa-desa Dairi yang berkecukupan dari hasil bertani dan berkebun mulai terusik dengan kehadiran PT DPM. Perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan China, NFO dan perusahaan milik grup Bakrie ini menambang seng dan timah hitam. Material ini banyak digunakan dalam industri otomotif dan manufaktur.

Kontrak karya PT DPM dimulai pada 1998. Pada 2005 perusahaan mulai melakukan eksplorasi. Pada 2012 terjadi kebocoran limbah yang menyebabkan sumber air tercemar dan peternak ikan mas mengalami kerugian. Perusahaan akhirnya berhenti beroperasi pada 2017. Pada Desember 2018 terjadi banjir bandang yang merusak lahan pertanian dan mengakibatkan adanya korban yang meninggal dan hilang. Pada 2021 PT DPM kembali beroperasi. Di tahun 2022 keluar surat persetujuan izin lingkungan. 

Baca juga: Edisi Kartini: Pergi ke Morowali, Kutemui Para Perempuan Muda Pekerja Tambang

Rainim Purba adalah salah satu pihak pengadu dalam kasus menentang persetujuan lingkungan. Pada Agustus 2022, meskipun tahu bahayanya tambang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan persetujuan lingkungan. Warga Dairi mempertanyakan hal ini di PTUN Jakarta.

Proses persidangan di pengadilan tingkat pertama tersebut berpihak kepada pengaduan masyarakat dan memutuskan agar Persetujuan Lingkungan tersebut dibatalkan. Pengadilan mengakui bahwa area tambang DPM rawan bencana dan karenanya tidak cocok untuk tambang.

Menanggapi hasil putusan PTUN, PT DPM dan KLHK mengajukan banding ke PT TUN. Keputusan banding dimenangkan oleh DPM dan KLHK. Selanjutnya warga pengadu mengajukan peninjauan oleh Mahkamah Agung, yang saat ini tengah berjalan.

“Warga dan para penggugat bersepakat untuk mengajukan kasasi. Jadi pada Desember 2023 kita sudah mengajukan kasasi,” jelas Monica Siregar pendamping warga dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih kepada Konde.co, Selasa (11/6/224).

Rainim dan warga Dairi memilih perjuangannya lewat jalur hukum sekaligus menempuh upaya non litigasi. Langkah non litigasi yang dilakukan antara lain berupa kampanye, audiensi, menyebarkan hasil kajian-kajian para ahli bahkan menggelar aksi demonstrasi.

Selain para inang Dairi, di sejumlah wilayah lain perlawanan juga dilakukan perempuan terhadap korporasi tambang, perusahaan kelapa sawit, dan sebagainya. Seperti Kartini Kendeng di Kendeng, Jawa tengah, Wadon Wadas, di Purworejo, Jawa Tengah, ibu-ibu di Wae Sano, Flores, dsb.

Baca juga: Desa Tenggelam dan Hilang, Perempuan Setengah Mati Bayar Hutang: Akibat Banjir Rob

Di sejumlah wilayah perlawanan terhadap tambang atau sawit tidak selalu menggunakan jalur hukum. Ada juga sejumlah komunitas yang melakukan blokade dan pendudukan sebagai bentuk penolakan dan perlawanan. Misalnya dengan mengadang alat-alat berat perusahaan tambang sehingga perusahaan tidak bisa melakukan aktivitas penambangan.

Seperti yang dilakukan Elda Nenti di Desa Pasar Seluma, Bengkulu yang menolak penambangan pasir besi PT Faminglevto Bakti Abadi (FBA). Bersama para perempuan Desa Pasar Seluma, Elda berada di garis depan menyuarakan perlawanan.

“Desember 2021 kami ibu-ibu Desa Pasar Seluma menduduki lahan PT Faminglevto, mempertahankan desa kami agar tidak dimasuki perusahaan tambang,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta.

Elda mengatakan mereka menginap di lahan PT FBA selama 4 hari 5 malam. Mereka meninggalkan anak dan suami di rumah.

Begitu juga yang dilakukan ibu-ibu di Desa Sukarela Jaya, Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Mereka melakukan aksi pengadangan alat berat milik perusahaan tambang PT Gema Kreasi Perdana (GKP) anak perusahaan Harita Group.

Aksi ini terjadi pada 1 Maret 2022 di sekitar badan Sungai Tarmo Siu-Siu. Para ibu bersama warga desa mengadang aktivitas ekskavator untuk membuka jalan tambang. Semula ekskavator menerabas lahan milik salah satu warga. Namun karena mendapat perlawanan dari warga, excavator lalu memutar arah menuju Sungai Tamo Siu-siu.

Narasi Perlawanan Perempuan Bukan Hal Baru

Kalau kita tengok ke belakang, perlawanan perempuan terhadap penghancuran ruang hidup sudah ada sejak lama. Para perempuan ini berada di garda depan bahkan memimpin perlawanan. Kita bisa telusuri setidaknya dari masa Orde Baru.

1. Nai Sinta

Di tahun 80-an ada Lungguk Boru Sibarani biasa disapa Nai Sinta, perempuan dari Kampung Sugapa, Silaen, Toba Samosir, Sumatera Utara. Ia memimpin gerakan perlawanan perempuan Sugapa melawan PT Inti Indorayon Utama (IIU), perusahaan pulp dan kertas, yang merampas tanah warga.

Siscawati (2014) mencatat, PT IIU mendapat dua jenis izin dari pemerintah pusat. Yakni izin untuk membangun industri pulp dan kertas dan izin untuk membangun hutan tanaman industri (HTI). Perusahaan milik Sukanto Tanoto, taipan yang dikenal dekat dengan Soeharto—presiden kedua RI—tersebut mendapat konsesi di area yang menjadi sumber kehidupan warga.

Area konsesi tersebut merupakan wilayah pemukiman dan lahan garapan termasuk lahan penggembalaan ternak. Sejak awal warga memprotes keberadaan PT IIU karena mereka merasa tidak pernah menyerahkan lahannya kepada perusahaan. Ternyata ada manipulasi hukum adat dalam proses tersebut.

Menurut Savitri, Larastiti dan Luthfi (2022), perusahaan mengerahkan aparat keamanan baik tentara maupun polisi untuk mengancam warga yang menolak perampasan lahan. Nai Sinta menuturkan dampak dari kejadian ini adalah terpecah-belahnya saparadatan, sesama anggota keluarga di desa yang mempunyai garis keturunan sama.

Nai Sinta bersama sejumlah perempuan dari Kampung Sugapa juga warga Sugapa dan warga kampung-kampung sekitarnya melakukan perlawanan terhadap PT IIU.

Mia Siscawati kepada Konde.co pada Sabtu (22/6/24) mengungkapkan Nai Sinta menggunakan tubuhnya sebagai alat untuk melawan saat berhadapan dengan aparat. Dengan lantang Nai Sinta mengatakan pada orang-orang yang memegang senjata dan menghadang mereka.

Baca juga: Edisi Perempuan NTT: Walau Rajin Berladang, Tapi Pembangunan Meninggalkan Perempuan

“Kalau kalian mau tembak, tembak saja, tapi jangan tembak kepala kami. Tembak sini, dia menunjuk ke rahimnya, tembak sini, tempat kalian berasal,” seru Nai Sinta.

Mia menambahkan pada situasi ketika ruang hidup warga dirampas dan dirusak, perempuan akan melakukan berbagai upaya secara kreatif untuk menjaga ruang hidupnya.

Sementara aksi Nai Sinta bersama sembilan perempuan Sugapa mencabut bibit pohon eukaliptus yang ditanam PT IIU di atas tanah adat menyeret mereka ke pengadilan.

Savitri, Larastiti dan Luthfi (2022) mencatat bagi Nai Sinta aksi tersebut dilandasi keyakinan terhadap hukum adat Batak.

“Apapun yang tumbuh di atas tanah kita, menjadi milik kita. Si pemilik tanah berhak mengurus atau membuang tanaman tersebut,” tuturnya.

Tindakan itu membuat Nai Sinta dituduh anti pembangunan dan melawan pemerintah. Nai SInta dan sembilan perempuan Sugapa mengalami kriminalisasi karena mempertahankan tanah adat. Mereka dituntut dan diajukan ke pengadilan atas tuduhan merusak tanaman PT IIU.

Hakim Pengadilan Negeri Balige menjatuhkan vonis enam bulan masa percobaan. Situs web yang mendokumentasikan kejahatan yang dilakukan Toba Pulp Lestari—nama baru PT IIU—mencatat hukuman tersebut tidak dijalani dengan alasan kemanusiaan.

2. Yosepha Alomang

Sementara di Papua ada Yosepha Alomang, perempuan pemimpin gerakan perlawanan masyarakat adat Amungme di Papua. Perempuan yang biasa disapa mama Yosepha ini berjuang melawan perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia, PT Freeport Indonesia.

Yosepha tak tinggal diam melihat Gunung Nemangkawi—gunung keramat dalam keyakinan masyarakat Amungme, Kamoro, dan suku-suku lainnya—hancur akibat tambang. Bagi suku Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainnya, Nemangkawi adalah simbol hidup sakral yang membentuk identitas dan harga diri mereka.

Dalam satu kesempatan saat berorasi di tengah aksi, Yosepha menegaskan cara pandang masyarakat Amungme atas ruang hidupnya. Ia juga menunjuk pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas perusakan wilayah adat mereka, seperti disampaikan Shofwan (2023).

“Gunung Nemangkawi itu saya. Danau Wanagon itu saya punya sum-sum. Laut itu saya punya kaki. Tanah di tengah ini tubuh saya. Ko sudah makan saya. Mana bagian dari saya yang ko belum makan dan hancurkan? Ko sebagai pemerintah harus lihat dan sadar bahwa ko sedang makan saya. Coba ko hargai tanah dan tubuh saya,” serunya.

Freeport mulai beroperasi di Papua sejak 1967 lewat kontrak karya, atau dua tahun sebelum Papua menjadi bagian dari Indonesia. Masuknya Freeport ke Papua didukung dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

Baca juga: Petani Digusur Aktivis Dibungkam, Merdeka Harusnya Tidak Begini

Sejak mulai beroperasi Freeport memakai pendekatan keamanan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul. Termasuk ketika menghadapi perlawanan yang dilakukan mama Yosepha. Karena itu Yosepha kerap mendapat kekerasan bahkan beberapa kali ditahan.

Shofwan (2023) mencatat ada satu kejadian yang membuat Yosepha mendapat perlakuan yang merendahkan harkat kemanusiaan saat ditahan. Yosepha ditahan di bak WC berupa kontainer selama satu bulan karena tuduhan membantu tokoh Organisasi Papua Merdeka Kelly Kwalik, tahun 1994.

Perlawanan Yosepha terhadap perusahaan tambang juga ditempuh lewat jalur hukum. Shofwan menjelaskan Yosepha menggugat PT Freeport di pengadilan kantor pusatnya, New Orleans tahun 1996.

Gugatan yang diajukan berupa pencemaran lingkungan karena membuang limbah sembarangan di sungai Aijkwa dan memusnahkan vegetasi hutan tropik seluas 3.300 hektar. Limbah tersebut mengakibatkan sarana transportasi terhenti dan merusak sumber hidup suku Sempan.

Di tahun yang sama, Yosepha kembali menggugat PT Freeport dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Gugatan ini terkait tindakan penyiksaan yang dialami dua tahun sebelumnya berupa penyiksaan dan penyekapan di dalam kontainer kotoran manusia selama sebulan. Penyekapan dilakukan aparat keamanan yang dibiayai Freeport. Yosepha menang dalam gugatan ini.

3. Aleta Baun

Selanjutnya ada Aleta Baun, perempuan dari Desa Netpala, Kecamatan Molo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Aleta Baun biasa dipanggil mama Leta, memimpin gerakan perlawanan terhadap pertambangan batu marmer di desanya sejak 1996.

Perusahaan tambang batu marmer masuk ke Molo Utara dengan memperoleh izin pertambangan dari pemerintah. Pada 1994 pemerintah memberikan izin pada PT So’e Indah Makmur untuk menambang di wilayah itu. Izin kembali dikeluarkan pemerintah pada 1995 untuk PT Karya Asta Alam, perusahaan Thailand.

Perusahaan-perusahaan tambang ini menguasai wilayah hidup masyarakat Molo, termasuk tempat-tempat yang dianggap suci oleh masyarakat. Mereka bahkan tak segan membabat hutan untuk membuka jalan menuju gunung batu. Akibatnya sumber air berkurang dan air bersih sulit didapat. Padahal sebelum perusahaan datang masyarakat adat mudah memperoleh air untuk ternak dan kebutuhan mereka.

Siscawati (2014) menjelaskan bagi Aleta dan orang-orang Molo, bebatuan yang dianggap sebagai sumber tambang oleh perusahaan-perusahaan tambang punya makna tersendiri. Bagi mereka, batu, air, pohon, dan bukit-bukit batu adalah tanah-air yang dipercayai sebagai tempat asal usul nenek moyang mereka.

Tiap-tiap batu (fatu-kanaf), mata air (oe-kanaf), pohon besar (hau-kanaf) memiliki nama-nama yang merupakan nama-nama marga orang Molo. Tindakan negara mengambil alih penguasaan atas wilayah tersebut yang diikuti pemberian izin pertambangan membawa dampak ekologis, sosial, dan budaya.

Karena itu Aleta bersama beberapa perempuan tergerak untuk menghentikan penambangan. Ia memimpin perlawanan terhadap pertambangan batu marmer dengan beragam cara. Aleta mengawalinya dengan membangun kesadaran kritis, mengorganisir warga untuk berkumpul dan berembuk tentang langkah-langkah yang perlu diambil bersama.

Ia menumbuhkan kesadaran dengan mengingatkan mereka akan keyakinan masyarakat  Timor yang tak dapat hidup tanpa unsur-unsur dari alam. Ia juga mengingatkan para perempuan akan peran hutan sebagai sumber obat dan pewarna tenun.

“Batu adalah tulang, air adalah darah, tanah adalah daging, dan hutan adalah pori-pori. Karena itu alam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Molo,” katanya.

Baca juga: Kupatan Kendeng: Mengurai Konflik Akibat Tambang dan Ajakan Menjaga Ibu Bumi

Aleta juga mendorong para lelaki tetua adat untuk turut bergabung dalam perlawanan masyarakat Molo. Ia menemui para tokoh adat untuk menggalang dukungan. Strategi ini berhasil, masyarakat adat dari suku Amanuban, Amanatun, dan Molo memberikan dukungan.

Ia berkeliling dari satu rumah ke rumah, dari satu desa ke desa, melakukan pengorganisasian, mengajak warga bergabung dalam gerakan. Ia menghadapi intimidasi dan kekerasan bahkan ancaman pembunuhan dari preman yang dipakai perusahaan dan pemerintah daerah.

Kaki kanannya pernah kena bacokan parang preman yang mengejarnya hingga ia harus dievakuasi. Intimidasi dan kekerasan juga dialami warga desa. Tapi ini semua tak menyurutkan perlawanan warga.

Mama Leta berkeliling dari satu rumah ke rumah, dari satu desa ke desa, melakukan pengorganisasian, mengajak warga bergabung dalam gerakan. Ia menghadapi intimidasi dan kekerasan bahkan ancaman pembunuhan dari preman yang dipakai perusahaan dan pemerintah daerah. Kaki kanannya pernah kena bacokan parang preman yang mengejarnya hingga ia harus dievakuasi. Intimidasi dan kekerasan juga dialami warga desa. Tapi ini semua tak menyurutkan perlawanan warga.

Aleta mencoba strategi baru untuk melawan. Bersama para perempuan mama Leta menggelar aksi pendudukan kembali bukit-bukit batu. Sekitar 150 perempuan memprotes penambangan dengan menenun di lokasi tambang marmer. Protes ini untuk mempertahankan hutan karena bagi mereka jika hutan rusak perempuan tak dapat beraktivitas. Mereka bertahan di lokasi pendudukan selama sekitar satu tahun.

Saat protes sambil menenun, warga pun makin banyak yang ikut mendukung. Mereka mendampingi Mama Leta berkemah di hutan-hutan di wilayah operasional perusahaan, sebagian membawa anak, meninggalkan suami dan rumah.

Pada 2007, perjuangan panjang mereka mulai ada hasil. Aksi-aksi warga mulai jadi perhatian pemerintah. Pada 2010, karena menghadapi tekanan empat perusahaan tambang di Molo akhirnya berhenti.

Memahami Konteks dan Benang Merah Perlawanan Perempuan

Munculnya perlawanan dari para perempuan di tingkat akar rumput di sejumlah daerah ini dalam pandangan Mia Siscawati menarik untuk dikaji. 

Menurut Kepala Prodi Kajian Gender Universitas Indonesia tersebut, masing-masing daerah punya konteks yang membedakan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Meski begitu ada benang merah yang menghubungkan.

Menurut Mia perampasan yang dilakukan perusahaan tambang bukan sebatas sepetak dua petak tanah. Melainkan ruang hidup yang mencakup sumber kehidupan mereka. Sebagai bagian dari ruang hidup tersebut, perempuan tentu akan melawan ketika ruang hidup tersebut dirusak.

“Tentu saja perempuan kemudian melawan karena itu adalah ruang hidup dimana perempuan menjadi bagian dari ruang hidup tersebut. Dalam banyak kasus mereka bersama-sama yang laki-laki kemudian melawan,” ujar Mia kepada Konde.co Sabtu (22/6/24).

Sementara keputusan terkait perempuan yang berada di garda depan dalam perlawanan yang mereka lakukan, menurut Mia itu adalah hasil dari proses berembuk. Ini terjadi pada gerakan perlawanan yang sekarang maupun yang diinisiasi oleh Nai Sinta dahulu.

Ia menambahkan para perempuan di wilayah pedesaan adalah perempuan-perempuan yang cerdas. Jadi mereka tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan siapa. Proses ini dalam pengamatan Mia bahkan bisa terjadi tanpa perlu ada pendampingan dari LSM.

Dalam proses berembuk tersebut mereka akan berbagi tugas dengan yang laki-laki. Bahkan dalam konteks tertentu mereka bisa mengambil keputusan untuk berada di garda depan.

Baca juga: Edisi Khusus Feminisme: Ekofeminisme Perjuangkan Lingkungan Ramah Perempuan

“Jadi mereka berembuk, mereka akan berbagi tugas dengan yang laki-laki. Dan dalam konteks tertentu mereka bisa mengatakan pada yang laki-laki, ‘Kami saja yang maju karena kalau kalian yang maju, kalian akan langsung dihabisi,’” terang Mia.

Ini lantaran dalam banyak kasus perusahaan memakai preman untuk menghadapi warga. Atau kalau dalam konteksnya kasus Nai Sinta dulu, yang bisa menghabisi warga bukan cuma preman-preman yang dibayar perusahaan. Tetapi juga aparat keamanan negara yang melindungi perusahaan. Jadi para perempuan melihat lebih baik mereka yang maju karena bisa jadi hal itu akan membuat paramiliter, preman, dan sebagainya akan berpikir ulang.

Mia menambahkan para perempuan akar rumput juga paham soal dimensi gender. Artinya ada konstruksi sosial kalau laki-laki maju dan berhadapan dengan laki-laki bisa langsung terjadi pertempuran. Kondisi ini tentu akan berdampak merugikan keluarga mereka.

Karena itu Mia menjelaskan penting untuk memahami konteks dari masing-masing komunitas yang melakukan perlawanan. Bahkan menurutnya kita tidak bisa membuat suatu tipologi. Misalnya perlawanan terhadap korporasi tambang seperti ini, sedangkan perlawanan terhadap perusahaan kelapa sawit seperti ini.

Baca juga: Gerakan Chipko Menginisiasi Perempuan Untuk Menyelamatkan Lingkungan di India

Upaya tersebut justru akan membawa kita pada simplifikasi atau menyederhanakan gerakan yang dilakukan perempuan dan komunitas tertentu. Karena itu perlu untuk melihat secara mendalam dan dekat agar bisa memahami dinamika yang ada.

Ia mengatakan ada dimensi nilai-nilai adat, kelas, kesejarahan, dan sebagainya yang ikut memengaruhi strategi dan gerakan komunitas tersebut. Kesejarahan ini bukan cuma kesejarahan konflik tetapi termasuk kesejarahan komunitasnya. Misalnya interaksinya dengan pihak-pihak lain yang berperan dalam proses membangun kesadaran kritis, latar belakang perempuan yang mengambil peran sebagai penggerak, dan sebagainya.

Mia mencontohkan misalnya perlawanan yang dilakukan mama Yosepha yang memutuskan memimpin para perempuan Amungme melawan Freeport. Ketika itu Yosepha akhirnya tidak hanya melawan Freeport tetapi melawan juga para kepala adat Amungme. Ini lantaran menurut mama Yosepha dan para perempuan Amungme, para kepala adat inilah yang memberi jalan bagi Freeport.

Waktu itu yang dikritik mama Yosepha juga bukan hanya laki-laki pemimpin adat Amungme, tapi juga akhirnya termasuk mengkritik laki-laki Amungme. Di suku Amungme, perempuan tidak punya hak atas tanah. Mama Yosepha dan para perempuan Amungme mengkritisi juga laki-laki Amungme yang ternyata diam-diam menerima uang dari Freeport sebagai semacam ganti rugi. Mereka lalu menghabiskannya untuk mabuk-mabukan dan melakukan kekerasan terhadap perempuan Amungme.

Situasi semacam ini tidak terjadi di tempat lain yang perlawanannya lebih banyak diarahkan ke perusahaan. Atau misalnya perempuan adat di tempat lain tidak melawan para pemimpin adatnya. Lalu secara terburu-buru disimpulkan mama Yosepha berani sementara yang lain tidak berani. Mia menegaskan tidak bisa dilihat seperti itu melainkan harus melihat konteks dan kesejarahannya. 

Jadi artinya para perempuan di tiap komunitas akan punya alasan-alasan tersendiri atas gerakan yang dilakukan. Karena itu memahami konteks menjadi sangat penting.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!