Belum lama ini, tren ‘No Buy Challenge 2025’ viral di media sosial. Utamanya Tiktok. Kampanye ini mengajak partisipannya untuk tidak beli-beli barang atau jasa yang tidak esensial. Paling tidak, selama setahun ini.
Situasi ekonomi yang serba tidak pasti, harga-harga yang melambung tinggi, sementara gaji naiknya gak seberapa jadi alasan banyak partisipan bergabung dalam kampanye medsos ini. Terlebih, ada wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang ramai jelang awal tahun 2025 makin bikin cemas. Meskipun akhirnya dibatalkan dan hanya untuk barang mewah, tapi barang dan jasa ada yang sudah kadung naik.
Konde.co mewawancarai para perempuan yang turut serta dalam kampanye ‘No Buy Challenge 2025’ ini. Mereka adalah pekerja di Jakarta dan daerah penyangga (Jabodetabek) yang terus berupaya bertahan di tengah situasi ekonomi saat ini, yang serba tidak pasti dengan inflasi tinggi.
Di tahun ini, Marina Nasution, makin “mengencangkan ikat pinggang”. Dia memangkas pengeluaran-pengeluaran yang tidak jadi kebutuhan pokok. Sederet barang yang dia tidak akan beli di tahun 2025 (No Buy Challenge 2025) misalnya, sepatu olahraga, printilan-printilan alat olahraga, gantungan kunci, hiasan meja kerja, sampai action figure yang lucu-lucu.
“Tahun ini, gak nambah lagi. Pakai dulu apa yang ada,” ujar Marina, Pekerja di organisasi non-profit yang berbasis di Jakarta itu kepada Konde.co, Selasa (7/1).
Marina realistis dengan harga kebutuhan yang makin tinggi. Sedangkan, kenaikan gaji tak signifikan. Terlebih ketika ada wacana kenaikan PPN 12% kemarin, dia tak dipungkiri ada kekhawatiran. Dia membagikan keresahannya dengan rajin memposting meme yang mengkritik kebijakan yang makin mencekik kelas pekerja seperti dirinya itu.
Baca Juga: PPN Naik Jadi 12%: Bagaimana Pandangan Feminis Atas Pajak dan Kenapa Perlu Dorong Pajak Kekayaan?
Dalam postingan cerita (story) di Instagram-nya, Ia juga sering menyuarakan soal nasibnya sebagai kelas pekerja. Mulai dari kerentanan sampai ketidakadilan yang seringkali berkelindan. Terlebih, di era Cipta Kerja yang, kapanpun pekerja bisa lebih mudah kehilangan pekerjaannya.
Sementara saat ini, perempuan dengan seorang anak balita itu memiliki cicilan rumah dan menjadi generasi sandwich yang masih harus menanggung kebutuhan orang tua.
“Deep down pekerja punya keresahan yang sama. Kamu bisa tiba-tiba gak punya pekerjaan. Pasti ada rasa cemas pekerjaan bisa bertahan? Sampai kapan bisa support keluarga di kampung halaman?” kata perempuan asal Medan itu.
Untuk menutup kebutuhan di tengah situasi ini, dirinya mesti rela melakukan pekerjaan sampingan (side hustle) sana-sini. Meski dampaknya, bukan hanya kelelahan fisik tapi juga jadi burnout karena sering begadang.
“Mix feelings. Bawaannya mau cari side hustle terus. Apa yang bisa aku lakuin buat cari duit,” katanya.
Sementara di satu sisi, perempuan tiga puluh tahunan itu, paling tidak terima, rakyat yang sudah bayar pajak dengan kerja keras, tapi tidak banyak manfaat yang dia dapatkan. Menurutnya tak masuk akal, dalih soal wacana kenaikan pajak yang “dibandingkan” dengan yang terjadi di negara-negara maju lain seperti Scandinavia.
“Kualitas hidupnya setara gak? Timbal baliknya setara gak? Loe kan kalau mau tarik pajak harus gaining trust. Instead of memajaki orang kaya, malah naikin PPN. Sebenarnya ada banyak kran, tapi mereka (pemerintah) justru ambil kebijakan yang menindas,” ujar dia.
Marina menyebut riset terbaru Center of Economic and Law Studies (CELIOS) soal dampak kenaikan PPN 12%. Berdasarkan laporan CELIOS, jika kenaikan PPN 12% itu dilakukan, kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 354.293 per bulan. Sementara, kelompok miskin bertambah pengeluarannya sebesar Rp 101.880 per bulan. Per Tahun Gen Z juga harus membayar Rp 1,75 juta lebih mahal karena selisih tarif PPN dibanding tahun sebelumnya.
Baca Juga: Bagaimana Kenaikan PPN 12 Persen Mencekik Perempuan?
Ia menyesalkan, selama ini pejabat pemerintah kualitasnya kureng dengan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Selain juga bermental korup, yang didukung oleh penegak hukum yang tidak adil. Koruptor triliunan rupiah, hanya diganjar dengan beberapa tahun ancaman penjara.
“Capek banget sih kerja, tapi pejabat kualitasnya kayak gitu,” katanya.
Syahar Banu, pekerja lepas yang berdomisili di Depok Jawa Barat, juga merasakan kegelisahan yang sama. Situasi ekonomi yang sulit dan harga-harga yang makin mahal, bikin dia mesti ekstra berhemat tahun ini.
Baginya, ‘No Buy Challenge 2025’ yang dia terapkan bisa berupa tidak membeli produk viral. Dia pun membatasi anggaran untuk beli-beli hal yang bukan kebutuhan pokok. Misalnya, dia membatasi membeli kopi tidak lebih dari Rp 20 ribu sampai makan steak hanya setahun sekali di momen spesial ulang tahun.
Dia juga tidak lagi mau membeli baju-baju baru yang mahal. Ia memilih untuk membeli baju thrifting termasuk dari lembaga yang mendonasikannya kepada perempuan korban kekerasan. Jika pun harus membeli yang baru, dia berupaya untuk mencari baju dengan kualitas baik di bawah harga Rp 100 ribu.
“Saat ini, masih dalam mode ngerem (rem),” katanya sebagai pekerja industri kreatif dengan penghasilan tidak menentu itu.
Baca Juga: Perempuan Bukan Biang Keladi Konsumerisme, Melainkan Industri Patriarki
Sama halnya dengan Marina, Banu memfokuskan anggaran untuk menambal kebutuhan dan persiapan tabungan pendidikan anak. Selain juga nutrisi sehari-hari anak dan penunjang tumbuh kembang seperti buku dan mainan yang makin mahal karena inflasi dan pajak.
Terlebih, kebijakan publik yang tidak sensitif gender dan polusi, membuat biaya menjadi orang tua lebih mahal. Contohnya dalam hal penyediaan ruang terbuka publik sebagai tempat bermain anak yang sehat minim. Sehingga, orang tua mesti merogoh kocek lebih dalam untuk anak bisa bermain di mal.
“Yang awalnya (main di mal) kemewahan di zaman dulu, sekarang (seolah) bukan kemewahan. Karena ruang gerak (terbuka hijau) sempit, jadinya mainnya ke mal” kata dia.
Banu menyiasati membengkaknya pengeluaran kebutuhan dengan belanja saat diskon. Juga belanja ke tempat-tempat yang menawarkan harga grosir. Prinsipnya, sebisa mungkin, cari yang paling murah. Alih-alih menggunakan transportasi pribadi atau ojek online, dia juga sebisa mungkin menggunakan transportasi umum.
Sementara itu, Wiwit Aussy mengikuti ‘No Buy Challenge 2025’ juga berguna untuk menjaga dirinya bisa tetap mindful dan tidak impulsif beli-beli. Supaya gajinya bisa cukup untuk mengumpulkan dana darurat, di tengah situasi ekonomi yang serba tidak pasti ini.
Kampanye itu, bagi perempuan berdomisili di Bogor itu, juga menambah semangatnya belajar menerapkan konsep hidup minimalis.
Baca Juga: Selamat Hari Bumi: Lelah Lihat Kerusakan Lingkungan? Mulailah Dari Dirimu Sendiri
Hal-hal yang sudah setop dia beli seperti skincare viral dan printilan-printilan barang rumah tangga dan anak yang lucu. Dia mengubah fokusnya, pada kegunaan dan umur panjang barang.
“Pakai sampai habis,” katanya kepada Konde.co, Selasa (7/1).
Seperti halnya Marina, Banu, Wiwit tak menyangkal harga kebutuhan kian waktu semakin naik. Apalagi, sebagai keluarga muda yang kini punya cicilan rumah dan persiapan tanggungan pendidikan anak seperti Wiwit.
“Menahan impulsif beli barang-barang mahal karena pasti ada pajak. Kita juga menghadapi ketidakpastian finansial,” kata pegawai yang berkantor di Jakarta itu.
Untuk mengerem keinginan beli-beli yang impulsif, Wiwit membagikan tips agar tidak mudah tergiur oleh ajakan influencer ataupun akun online shop. Salah satu cara yang bisa ditempuh dengan mengurangi potensi terpapar dari mereka.
“Follow akun mindfulness dan setop follow akun influencer dan olshop yang impulsif,” kata dia.
Masalah Struktural Yang Bikin Perempuan Makin Rentan
Apa yang dirasakan oleh para perempuan kelas pekerja yang menyuarakan ‘No Buy Challenge 2025’ itu valid. Berbagai keresahan dan kecemasan dihadapi oleh mereka karena situasi ekonomi yang tidak pasti. Ini adalah bentuk agensi dari para perempuan untuk bertahan dan bersiasat. Tapi, itu semua tak bisa serta-merta dilepaskan dari tanggung jawab pemerintah.
Dosen Cultural Studies & Media, Universitas Gadjah Mada, Ratna Noviani mengungkapkan fenomena semacam ‘No Buy Challenge’ ini sebetulnya bukan hal baru. Beberapa tahun ke belakang termasuk saat pandemi, dengan situasi ekonomi sulit, muncul gerakan digital untuk menahan pembelian. Pada tahun ini, momentumnya kembali hadir saat ada wacana kenaikan PPN 12% di situasi ekonomi yang tidak pasti.
“Kalau di dalam kajian konsumsi itu kita menyebutnya voluntary simplifiers. Jadi orang atau individu konsumen kemudian secara sukarela menjadi downshifter gitu. Belanjanya dikurangi, yang tadinya boros jadi nggak boros,” ujar Ratna dihubungi Konde.co, Selasa (7/1).
Masifnya kampanye ‘No Buy Challenge 2025’ menurutnya, tak lepas dari kecemasan yang kini utamanya tengah melanda kelas menengah. “Mostly kalau kemudian yang dibahas adalah gaya hidup dan konsumsi adalah kelas menengah,” kata dia.
Baca Juga: Serial ‘Pay Later’: Ketika Perempuan Jadi Objek Konsumerisme dan Seksualitas
Namun di sini, menurut Ratna, pelimpahan tanggung jawab atas kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja seolah hanya kepada konsumen. Mereka yang harus merasakan dampak, mereka juga yang harus waspada, dan menyelesaikan masalah. Padahal, ini masalah struktural.
Jika dihubungkan dengan situasi buruk ekonomi dan kenaikan pajak yang ditengarai turut memunculkan kampanye ‘No Buy Challenge 2025’, Ratna menyoroti, perempuan termasuk yang paling direntankan. Mulai dari kebijakan diskriminasi pink tax sampai ketimpangan gender dalam urusan domestik yang membuat kenaikan pajak bisa lebih berdampak besar pada perempuan.
Di satu sisi, dampak kenaikan pajak juga terjadi pada perempuan yang melakukan kerja perawatan (care work). Seperti pengasuhan anak, perawatan keluarga, dan pengelolaan rumah tangga. Masalahnya, kerja-kerja perawatan sering kali tidak berbayar.
Padahal sebagian besar waktu perempuan digunakan untuk itu. Kenaikan harga akibat PPN dapat meningkatkan beban kerja perempuan dalam hal ini. Sebab, perempuan mungkin harus mencari cara alternatif untuk menghemat pengeluaran keluarga.
“Perempuan dalam kultur patriarki tidak dianggap sebagai orang yang mendapatkan uang (bekerja). Tapi dia yang harus menjaga, mengatur keuangan keluarga. Sehingga, ketika kemudian pajak tinggi, harga-harga naik, yang kemudian menjadi beban besar, harus bisa mengatur keuangan kan jadi istri atau ibu atau perempuan. Jadi, harus bisa hemat, harus bisa ini, harus bisa itu,” terang dia.
Sementara di sisi lain, perempuan terus mendapatkan stereotip “doyan belanja” “konsumtif” dan menjadi target objektifikasi kapitalisme. Sehingga, mereka terus menerus dijadikan objek jualan. Belum lagi, minimnya perlindungan konsumen termasuk perempuan yang minim karena diintai kriminalisasi ketika speak up di medsos tentang pengalamannya terhadap suatu produk.
“Secara struktural kan itu sudah gak fair buat perempuan,” pungkasnya.