Diskriminasi terhadap LGBT yang heteronormatif

Stigma LGBT ‘Tidak Normal’ dan ‘Menyimpang’: Ini Narasi Dominan Heteronormatif, Tolak!

Metanarasi dalam postmodernisme seakan ‘badai’ yang membawa perspektif masyarakat berpusing antara hal yang ‘normal’ dan ‘tidak normal’. Termasuk metanarasi heteronormatif, yang menerpa kelompok LGBT habis-habisan.

Saya mengenal seorang perempuan biseksual, sebut saja B. Sebagai bagian dari kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), ia kerap mengalami diskriminasi hingga stigma atas identitas gender dan orientasi seksualnya. Ketika B menceritakan pengalamannya, saya pun tergugah untuk membuat tulisan ini.

Diskriminasi yang dialami B juga terjadi pada individu LGBT lainnya. Kelompok LGBT masih menghadapi stigma, marginalisasi, dan kekerasan, baik secara fisik maupun psikologis. Semua itu semata-mata karena perbedaan orientasi seksual dan identitas gender mereka. Merujuk pada data yang dihimpun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Arus Pelangi (2016), hampir semua anggota kelompok LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan berkaitan dengan orientasi dan identitas gendernya. Pada tahun 2013, contohnya, sebanyak 89,3% LGBT di Indonesia mengalami kekerasan. Sementara 79,1% koresponden mengaku pernah mengalami kekerasan, 46,3 % mengalami kekerasan fisik, dan 26,3% lainnya mengalami kekerasan ekonomi.

Sedangkan pada 18 November 2024, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dalam rilis persnya menyebut individu LGBT sebagai salah satu kelompok yang rentan mendapatkan diskriminasi, kekerasan, dan persekusi. LBHM menerbitkan rilis pers tersebut merespon kajian Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) terkait LGBT. Mereka menyayangkan pernyataan Sekretaris Jenderal Wantannas, Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, pada Kamis (14/11/2024). Dalam RDP, Sekjen Wantannas menyebut isu LGBT sebagai, “Ancaman negara prioritas pada tahun 2025.”

Baca Juga: Film ‘Monster’: Kala Anak Hidup di Dunia yang Heteronormatif dan Salah Paham

Survei LBHM dan kelompok masyarakat sipil lainnya pada tahun 2022 menunjukkan, dari 401 responden LGBT, 40.4% pernah mengalami kekerasan fisik yang berakibat luka berat. Kemudian 35.4% mengalami perusakan tempat tinggal, 43.4% mengalami pemecatan akibat ragam identitasnya. Dan 78.8% berisiko tinggi mengalami serangan berupa doxing dan peretasan dengan maksud menghancurkan kredibilitas.

Pernyataan Sekjen Wantannas tersebut menjadi bukti bahwa diskriminasi terhadap LGBT hadir dalam berbagai bentuk. Individu LGBT seringkali menjadi korban pelecehan, kekerasan, dan penolakan dalam akses terhadap layanan esensial seperti kesehatan dan pendidikan. Stigma sosial yang kuat, memaksa banyak individu untuk hidup dalam ketakutan dan sembunyi-sembunyi. Keadaan ini menunjukkan betapa mendalamnya akar diskriminasi yang masih ada di masyarakat kita. 

Kembali lagi; pengalaman diskriminasi terhadap B dan individu LGBT lainnya membangkitkan pertanyaan dalam diri saya. Apa latar belakang terjadinya tindak diskriminasi terhadap sesama manusia? Padahal, hakikatnya mereka juga bagian dari realitas sosial yang memiliki hak, harkat, dan martabat yang wajib dihormati dan dilindungi.

Menjadi LGBT di Tengah Lingkungan Heteronormatif

Mry, seorang biseksual, juga membagikan cerita kepada saya. Menurutnya, ia menyadari bahwa dirinya menyukai perempuan dan laki-laki saat masih kecil.

“Aku sadar (kondisiku) dari kecil. Di mana saat aku nonton kartun aku bisa nge-crush sama kedua tokoh, baik itu cewek atau cowok,” tutur Mry dalam wawancara tahun 2024.

Mry juga berkisah tentang kesulitan dirinya mengungkapkan identitas dan orientasi seksualnya, khususnya kepada keluarga. Di satu sisi, dia paham bahwa ibunya ingin ia bahagia. Namun ‘bahagia’ itu, bagi sang ibu, adalah ketika ia menikah dengan laki-laki. Heteronormativitas begitu lekat dalam keluarganya.

“Ibuku pengin aku, anaknya, bahagia. Tapi dalam artian ‘menikah dengan lelaki yang baik dan punya anak’,” Mry berkata. “Sehingga kalau dia tahu (soal seksualitas Mry), pasti bakal ada usaha buat mengubah aku ke jalan yang benar. Sebagaimana dengan yang dia dan umumnya orang percaya.” 

Mry juga menceritakan berbagai stereotipe yang dia alami dengan identitasnya sebagai biseksual. Termasuk berbagai stigma salah yang selama ini banyak ditujukan kepada kelompok LGBT.

Baca Juga: Mengkaji Ulang Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia

“Sebagai seorang biseksual aku bisa mencintai cowok atau cewek. Tapi selama ini kita dipandang kayak, ‘Ah, kalau pacaran sama cowok, nanti di belakang selingkuh sama cewek’. Atau kalau nggak, kita dipandang kayak pasti ‘penganut poligami’,” ujar Mry. “Jadi kita langsung di-judge, ‘Pasti nggak tahan 1 (pasangan)’. Padahal kita LGBT tetap punya preferensi tertentu.”

Stigma lainnya yang kerap dihadapi Mry adalah narasi-narasi miskonsepsi ‘kolot’ terkait LGBT. Misalnya LGBT yang dianggap ‘berpenyakit’, menyukai orang dengan cara ‘memaksa’, dan sebagainya. Padahal, menurut Mry, hal-hal seperti itu kembali ke pribadi masing-masing.

“Mau non-LGBT sekali pun juga bisa (kena penyakit) kalau dia penganut seks bebas dan nggak bisa jaga diri (pakai alat kontrasepsi),” katanya.

Heteronormatif Sebagai Metanarasi Dominan dan Konsekuensi Lahirnya Kebenaran Tunggal

Salah satu ciri yang menandai kehidupan modern yakni adanya pemahaman atau pengetahuan yang mengemuka terkait suatu hal. Ini kemudian lebih sering dikenal sebagai ‘grand narrative (narasi besar atau metanarasi)’. Artinya, suatu cerita besar yang memiliki fungsi legitimasi sebab bersifat menyatukan, universal, dan total.

Jean Francois Lyotard, salah satu penggagas postmodernisme, menolak metanarasi. Penolakan narasi besar menurut Lyotard berarti penolakan terhadap cerita tunggal yang sangat totalitarian. Secara sederhana, Lyotard ingin mengatakan narasi besar sebagai sesuatu yang buruk. Sebaliknya, narasi kecil (narasi lokal) adalah sesuatu yang baik. Narasi besar sama halnya dengan program politik atau partai yang bersifat ‘top-down’ dan uniformitas. Sementara narasi kecil adalah kumpulan kreativitas lokal (beragam).

Salah satu wujud metanarasi yang berkaitan dengan gender dan seksualitas dalam kehidupan modern adalah paham ‘heteronormatif’. Paham ini meyakini heteroseksual sebagai orientasi seksual yang sah, alami, dan sepatutnya dimiliki oleh manusia. Kondisi tersebut kemudian menjadi konsekuensi terhadap pembentukan cara pandang masyarakat, hukum, dan norma sosial yang mengatur kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: ‘The Secret of Us’, Kisah Lesbian di Tengah Homofobia dan Kesenjangan Sosial

Alhasil, akan muncul hierarki serta lahirnya dua kelompok yang rentan bersinggungan. Yaitu antara kelompok dominan (‘normal’) dan kelompok minoritas (yang diklaim ‘tidak normal’). Hierarki yang terbentuk pun dilegitimasi dan dibenarkan melalui ideologi—atau sering disebut sebagai ‘mitos’ yang ‘melegitimasi’. Dalam hal ini, wujudnya berupa paham heteronormatif. Ideologi-ideologi tersebut berimplikasi akan menimbulkan keuntungan yang tidak proporsional antara kelompok dominan dibandingkan dengan kelompok minoritas atau subordinat.

Metanarasi heteronormatif menganggap hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai standar yang harus diikuti oleh semua orang. Akibatnya, narasi ini membentuk norma sosial yang sangat kaku. Identitas seksual dan orientasi gender yang berbeda dianggap menyimpang atau abnormal. G. M. Herek dalam penelitiannya (2016) menjelaskan, mereka yang memiliki perilaku di luar ideal heteronormatif—misalnya, laki-laki gay—dianggap lebih rendah. Perilaku tersebut pun digunakan untuk melegitimasi status mereka yang lebih rendah dibandingkan orang-orang ‘normal’ (heteroseksual).

Hal tersebut dialami sendiri oleh Mry. Ia memberi contoh kekerasan yang lazim dialami individu LGBT: dibilang ‘menyimpang’ hingga disebut ‘perlu diruqyah’. Padahal, tuturnya, “Aku rasa kita adalah orang-orang yang nggak punya pilihan lain selain mencintai orang yang sama jenis kelaminnya.”

Pembentukan norma sosial yang kaku ini menimbulkan cara pandang yang sempit dalam masyarakat. Identitas dan orientasi seksual yang tidak sesuai dengan norma heteroseksual sering kali diabaikan atau disingkirkan. Komunitas LGBT, misalnya, menghadapi marginalisasi karena keberadaan mereka tidak diakui sebagai bagian dari narasi besar yang berlaku. Masyarakat cenderung menginternalisasi keyakinan bahwa hanya heteroseksualitas yang benar. Sehingga individu LGBT tertekan untuk menyembunyikan identitas atau bahkan berusaha mengubah orientasi seksual mereka. Hal ini memperkuat siklus diskriminasi dan penolakan diri. Seperti yang dialami Mry, B, dan banyak individu LGBT lainnya di tengah metanarasi heteronormatif yang mengancam kelompok rentan di Indonesia.

Pluralitas Perspektif, Cara Menolak Metanarasi

Untuk mengatasi dampak negatif dari metanarasi ini, Lyotard menawarkan solusi. Menurutnya, mendukung pluralitas perspektif dapat membantu dalam penolakan metanarasi. Lyotard menyebut, tidak ada satu kebenaran universal. Kebenaran adalah relatif dan bergantung pada konteks. Dalam konteks identitas gender dan orientasi seksual, dengan demikian, masyarakat dapat mulai menghargai keberagaman gender dan seksualitas itu. Ini melibatkan pengakuan bahwa ada berbagai bentuk identitas dan orientasi seksual yang sama validnya dengan heteroseksualitas. Juga memberikan ruang bagi semua individu untuk mengekspresikan diri tanpa takut diskriminasi atau penghakiman. Selain itu, menghargai keberagaman pengalaman hidup individu dapat membantu mengurangi prasangka dan meningkatkan toleransi. 

Menantang norma-norma sosial yang sempit dan memperjuangkan keberagaman dapat membuka jalan. Agar kita menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil bagi semua individu, terlepas dari orientasi seksual dan identitas gender mereka.

Dengan menolak klaim-klaim otoriter dan universal dari narasi besar modernitas. Lyotard membuka ruang untuk refleksi kritis tentang keadilan, pluralitas nilai-nilai, dan etika komunikasi dalam masyarakat yang dipenuhi dengan konflik dan ketidakpastian. Pemikirannya tentang postmodernisme mengundang kita untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasar tentang kebenaran, keadilan, dan kekuasaan. Serta mempertimbangkan implikasi etis dari keragaman dan kompleksitas dalam dunia yang terus berubah.

Baca Juga: Ribut Mendebatkan Queer, Tetapi Pernah Gak Melibatkan Mereka dalam Forum Kamu?

Perbedaan orientasi seksual tidak menunjukkan bahwa seseorang jahat atau selamanya buruk. Sebaliknya, individu LGBT seringkali membutuhkan pemahaman dan dukungan untuk menghadapi tantangan yang diakibatkan oleh diskriminasi dan stigma.

Salah satu kritik utama terhadap modernitas adalah bahwa narasi besar tersebut tidak mampu mengakomodasi keragaman dan kompleksitas realitas sosial. Narasi-narasi tersebut seringkali bersifat homogen dan eksklusif. Mengabaikan pengalaman-pengalaman minoritas atau sudut pandang alternatif yang mungkin bertentangan dengan narasi dominan.

Maka menantang dan mendekonstruksi metanarasi yang merugikan, penting untuk menyikapi fenomena diskriminasi terhadap LGBT. Kita bisa merangkul pluralitas dan keberagaman perspektif. Ini memungkinkan kita untuk melihat melampaui narasi tunggal dan memahami kompleksitas identitas manusia. Dengan demikian, kita bisa mulai membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Setiap individu pun, terlepas dari orientasi seksual atau identitas gender mereka, dihargai dan diperlakukan dengan kemanusiaan yang seharusnya. Ini adalah langkah penting menuju penghapusan diskriminasi dan penciptaan dunia. Semua orang dapat hidup dengan martabat dan penghargaan yang layak mereka terima.

Editor: Salsabila Putri Pertiwi

Nita Putri Febriani

Mahasiswi Sosiologi Universitas Brawijaya sekaligus Asisten Praktikum (@laboratorium.sosiologiub) yang memiliki ketertarikan pada berbagai isu sosial serta budaya.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!