Siapa monster di kehidupan? Mungkin banyak dari kita akan berpikir, monster itu adalah seorang penjahat yang mengancam. Tapi, bagaimana jika kitalah monster yang ada di kehidupan orang lain?
Premis itulah yang diusung oleh Hirokazu Kore-eda dalam film terbarunya, ‘Monster’ (2023).
Film Jepang ‘Monster’ pertama kali tayang di Festival Film Cannes ke-76 pada 17 Mei 2023 silam. Sutradaranya Hirokazu Kore-eda, yang juga berada di balik film fenomenal ‘Broker’, sedangkan naskahnya ditulis oleh Yuji Sakamoto. Di Indonesia, film ini baru masuk layar lebar pada Januari 2024.
‘Monster’ adalah film yang menceritakan kehidupan dua anak laki-laki, Minato Mugino dan Yori Hoshikawa, serta para orang dewasa di sekitar mereka. Sepanjang film, penonton disodorkan berbagai kacamata untuk melihat peristiwa yang sama dari berbagai sudut pandang. Pada akhirnya, penonton pun menyadari bahwa dalam cerita orang lain, barangkali, kita menjadi monster.
Selain itu, film ‘Monster’ juga mestinya mampu membuka kesadaran: betapa dunia kita amat heteronormatif. Di usia dini, Minato dan Yori menghadapi berbagai kesulitan dan kesakitan gara-gara heteronormativitas yang secara sadar maupun tidak sadar diterapkan oleh orang dewasa di sekitar mereka.
Sinopsis Film ‘Monster’
Kebakaran yang melalap habis sebuah gedung dengan bar di lantai bawahnya, membuka cerita di film ‘Monster’. Malam itu, dari rumah mereka, sepasang ibu dan anak menyaksikan para petugas pemadam kebakaran berusaha memadamkan api yang membesar.
Babak pertama film ‘Monster’ adalah milik Saori Mugino. Ia seorang ibu tunggal yang tinggal dengan anak laki-lakinya, Minato Mugino, yang masih duduk di bangku kelas 5 SD.
Saori tahu Minato merindukan sang ayah yang sudah meninggal dan selalu berusaha memastikan anaknya baik-baik saja. Terutama setelah Minato bersikap aneh di rumah selama beberapa waktu terakhir.
Saori memergoki Minato memangkas rambutnya sendiri, pulang hanya dengan sebelah sepatu, dan mengalami sakit telinga. Ia bahkan pergi ke terowongan terbengkalai sendirian dan tiba-tiba melompat dari mobil yang sedang melaju.
Insting Saori sebagai ibu adalah curiga dan khawatir. Apakah Minato di-bully di sekolahnya? Ia menduga salah satu guru Minato, Hori Michitoshi, adalah pelakunya. Saori pun berkali-kali mendatangi sekolah Minato untuk mencari jawaban dan keadilan. Namun, yang didapatkannya adalah respon lambat pihak sekolah dan permintaan maaf Hori yang tidak tulus.
Apa lagi, Hori mengindikasikan bahwa Minato-lah yang merundung teman sekelasnya, Hoshikawa Yori.
Baca Juga: Serial ‘Bestie 2’ Buktikan Sisterhood Bisa Kuatkan Perempuan di Masa Tersulit
Meski Saori juga menemukan benda-benda mencurigakan di tas Minato yang memperkuat dugaan perundungan itu, ia tetap menuntut kebenaran. Perempuan itu pun menemui Yori dan menyadari bahwa anak laki-laki itu juga bersikap janggal. Tapi setidaknya, Yori tidak mengatakan bahwa Minato merundungnya.
Malah, menurut Yori, Minato kerap dirundung oleh Hori. Saori pun menuntut Hori dan sekolah itu lewat jalur hukum, sehingga guru itu meminta maaf dan mengatakan perbuatannya dalam sebuah forum. Ia juga dikeluarkan dari sekolah.
Namun hal itu tidak lantas mengubah perilaku Minato. Malah, Saori masih mendapati anaknya terbangun dari tidur sambil menangis dan bersikap murung. Hingga suatu hari, saat badai menerpa Jepang, Minato pergi dari rumah dan menghilang. Bukannya menemukan Minato, Saori malah mendapati guru yang merundung anaknya, Hori, berdiri melawan badai di depan rumah mereka.
Di babak kedua, penonton meminjam kacamata Hori Michitoshi. Rupanya ia hanya seorang guru baru yang berniat menjaga anak-anak didiknya. Hori, seperti pula Saori, menyadari bahwa Minato bersikap aneh selama di sekolah.
Beberapa kali ia memergoki Minato merusak dan melempar tas teman-teman sekelasnya, juga keluar dari toilet yang ternyata salah satu biliknya berisi Yori, yang terjebak di dalam. Ia menduga, Minato kerap bertengkar dan merundung Yori. Lelaki itu pun tidak sengaja melukai hidung Minato saat berusaha mencari tahu penyebab anak itu melakukan hal-hal janggal di kelas.
Baca Juga: Di Balik Romantis Film Ancika, Ada Bad Boy dan Maskulinitas Toksik
Hori juga berusaha mendatangi kediaman Yori untuk mengajaknya mengobrol. Namun, ia malah bertemu ayah Yori yang pemabuk dan pembual. Sang ayah berkali-kali mengatakan bahwa Yori adalah ‘monster’ dengan ‘otak babi’, dan ia yakin bisa ‘menyembuhkan’ anak laki-lakinya itu.
Berbagai prasangka Hori terhadap Minato malah membawanya pada pengujung kariernya sebagai guru SD. Ketika Saori menuntut keadilan bagi anaknya, Minato, Hori ditekan oleh pihak sekolah untuk mengakui tuduhan yang tidak dilakukannya. Nama baik sekolah itu serta kepala sekolah jadi taruhannya.
Maka, meski tidak merundung Minato, Hori menyatakan bahwa ia melakukan hal tersebut dalam forum orang tua siswa. Ia melihat Minato sebagai ‘monster’ yang membuatnya kehilangan segalanya, padahal ia tidak merasa berbuat salah kepada anak itu.
Suatu hari, Hori tidak sengaja membaca tulisan tangan Yori untuk tugas sekolah, dan ia segera menyadari bahwa dirinya salah memahami Minato. Hori pun mendatangi rumah Minato untuk meminta maaf, tapi anak itu tidak ada di sana. Bersama Saori, Hori menerobos badai dan longsor demi menemukan anak yang keliru dipandangnya itu.
Minato, Yori, dan Dunia yang Bukan untuk Mereka
Tentu saja film ‘Monster’ juga menyuguhkan perspektif anak-anak dalam alur ceritanya. Dalam hal ini, penonton diajak memahami Minato Mugino. Ibunya mengira ia dirundung. Gurunya menganggap ia merundung. Padahal, Minato justru menemani Yori Hoshikawa yang didiskriminasi oleh para siswa laki-laki di kelas mereka.
Minato tahu, Yori dijauhi oleh anak-anak laki-laki di kelasnya. Mereka memanggil Yori ‘alien’ dan menganggapnya ‘tidak bisa bereaksi’. Barang-barangnya juga sering dirusak dan disembunyikan. Padahal, Yori periang dan selalu menyapa Minato saat mereka berangkat ke sekolah.
Suatu hari, Minato mendengar dari Yori bahwa ayahnya menyebut Yori ‘sakit’. Ia menyadari bahwa Yori anak baik; tapi, ketika temannya itu menyentuh rambutnya, Minato merasakan sesuatu yang aneh. Ia pun menjaga jarak dan memangkas rambutnya yang telah dipegang oleh Yori.
Minato menyuruh Yori untuk menjauh darinya selama di sekolah. Tapi di luar itu, setidaknya hubungan mereka membaik. Minato dan Yori sering bermain dan tertawa bersama. Ketika Yori kehilangan sebelah sepatunya, Minato meminjamkan miliknya. Mereka juga menemukan terowongan di area rel kereta yang terbengkalai, serta gerbong kereta bekas yang mereka jadikan markas. Berdua, Minato dan Yori ‘kabur’ dari dunia penuh orang dewasa yang gagal memahami mereka.
Baca Juga: ‘Sehidup Semati’ Buktikan Perempuan Korban Bisa Melawan KDRT
Di sisi lain, mereka berdua dihadapkan pada dunia yang maskulin dan heteronormatif. Sebagai anak laki-laki, Minato kerap mendengar guru menyuruhnya untuk ‘kuat’ dan ‘bersikap jantan’. Ketika Minato berkata bahwa ia ingin ‘menjadi janda seperti ibunya’, teman-teman sekelasnya tertawa. Bahkan ibunya berharap di masa depan ia bisa melihat Minato ‘menikah’ dan ‘punya anak’. Tahu bahwa bukan itu yang diinginkannya, Minato merasa gagal sebagai anak, terutama bagi mendiang ayahnya.
Sedangkan bagi Yori, heteronormativitas itulah yang menyiksa dirinya. Ia yang berperawakan kecil dan lembut, membuat anak-anak laki-laki lain mengolok-oloknya. Yori juga menolak merendahkan anak perempuan seperti para bocah lelaki itu, sehingga ia dianggap aneh. Di rumah, Yori mendapatkan kekerasan dari ayahnya, yang menyebutnya ‘sakit’, ‘otak babi’, dan menyalahkannya atas kepergian sang ibu.
Minato sempat ketakutan karena merasakan perasaan yang aneh saat Yori berada sangat dekat dengannya. Namun suatu hari, ia sampai pada kesimpulan bahwa dirinya ‘menyukai seseorang’.
Baca Juga: Perlawanan Seksisme Dalam Serial ‘Merajut Dendam’
Saat hendak menyampaikan itu kepada Yori, ia malah berhadapan dengan kawannya itu dan ayahnya, yang menyatakan bahwa ‘Yori sudah sembuh’ dan ‘ia menyukai tetangga perempuannya’. Meski demikian, tak lama setelah itu, Yori langsung mengakui bahwa ia ‘belum sembuh’—yang berujung pada sang ayah menyeret Yori kembali masuk ke rumah dan menyiksanya, tepat di hadapan Minato.
Di lain kesempatan, Minato kembali ke rumah Yori dan terkejut mendapati temannya itu tergeletak lemas di bak mandi. Ia sendirian di sana. Ketika Minato menarik Yori keluar, terlihat lebam-lebam pada tubuh anak itu. Yang mereka inginkan hanya ‘kelahiran kembali’; mereka percaya, hal itu bisa terwujud usai kematian.
Maka Minato dan Yori menerobos hujan badai, memasuki terowongan, dan menantikan momen itu di dalam gerbong tempat mereka bersembunyi dari dunia. Usai longsor, keduanya keluar dari gerbong, menyongsong langit cerah dan bentangan rel bekas tanpa halangan dan rintangan apa pun sambil tertawa bahagia.
Monster Heteronormatif Itu adalah Kita
Rasanya aku tidak pernah tercenung begitu lama usai menonton film, seperti yang terjadi setelah ‘Monster’ selesai diputar. Perasaanku campuraduk. Berbagai emosi dan simpati datang silih berganti saat kita diajak berganti perspektif; dari Saori ke Hori, dari Hori ke kepala sekolah, dari kepala sekolah ke Minato dan Yori.
Banyak orang mengalami kesalahpahaman; lebih banyak lagi yang disalahpahami. Saori merasa pihak sekolah gagal memahami kekhawatirannya sebagai ibu. Padahal, ia juga keliru mempersepsi Hori sebagai guru tukang bully. Ditambah lagi, ia berusaha melindungi Minato, tapi juga terlanjur menaruh ekspektasi terhadap anaknya sesuka hati.
Di sisi lain, Hori tahu dirinya diperlakukan tidak adil oleh para orang tua murid, dan sekolah memanfaatkannya sebagai ‘tameng’. Tapi ia yang mengklaim peduli terhadap murid-muridnya, tidak mampu mengerti situasi Minato dan Yori sehingga ia mengira Minato berbuat buruk. Segala prasangka dan penghakiman akhirnya terjadi karena kita kerap melihat sesuatu dari satu bingkai saja.
Apakah kita kemudian peduli akan dampak setelahnya atau tidak, mungkin urusan belakangan. Sebab bagi kita, semua orang adalah monster; tapi bagaimana dengan diri kita sendiri?
Baca Juga: Film ‘La Luna’ Saat Toko Lingerie Jadi Ruang Aman Perempuan Korban Kekerasan
Tapi di luar semua itu, perasaanku lebih berkecamuk lagi karena aku pernah berada dalam situasi yang dialami Minato dan Yori. Apa lagi karena, beberapa waktu sebelum menonton ‘Monster’, aku melihat perdebatan soal film ini di media sosial. Rupanya ada penonton yang tidak terima dengan bagaimana orang lain mempersepsi hubungan Minato dan Yori secara romantis.
Mereka berkeras bahwa kedua bocah lelaki itu berada pada fase ‘brotherhood’; bahwa yang mereka rasakan adalah ‘afeksi antara sahabat’ atau semacamnya. Seakan-akan memvalidasi apa yang dipikirkan para orang dewasa di film itu sendiri: bahwa dua anak laki-laki tidak seharusnya merasakan tensi romantis dan seksual di antara diri mereka. Ironis, sebab berarti kitalah monster dalam cerita ini.
Salah satu pengalaman universal, barangkali, bagi komunitas queer yang muncul di film ‘Monster’ adalah ‘konversi’ dengan cara kekerasan. Hal itu dialami oleh Yori. Sang ayah tidak terima akan orientasi seksual anak kecil itu, lalu melakukan kekerasan. Hal itu dilakukan dalam rangka ‘menyembuhkan’ Yori dari ‘penyakit’.
Sama seperti stigma yang melekat sampai sekarang, homoseksualitas dan queerness dianggap sebagai ‘kelainan’ dan ‘penyakit’, bahkan meski berbagai penelitian dan temuan ilmiah menyatakan sebaliknya. Kemudian ‘kelainan’ tersebut dihadapi dengan kekerasan fisik, psikis, mental, dan sebagainya. Apa yang dialami Yori, aku tahu, pernah pula dialami teman-temanku sesama queer yang harus menjalani berbagai ritual ‘konversi’ atau ‘penyembuhan’ yang menyiksa mereka.
Baca Juga: ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’ Mungkin Cinta Tidak Harus Memiliki
Lagi-lagi, ada perasaan nyeri saat aku berusaha memahami situasi Minato dan Yori. Di usia sekecil itu, mereka mulai mengenal gender dan seksualitas—dan ditolak oleh dunia sebab hal itu tidak ‘hetero’, berarti tidak ‘normal’.
Kita mungkin sudah lebih kritis ketika mendengar obrolan soal pernikahan dan bersikap sesuai gender tertentu di usia remaja hingga dewasa. Namun, pernahkah kita memikirkan perasaan anak kecil saat lingkungan berharap ia memiliki pasangan lawan jenis dan beranak-pinak, padahal ia tidak senang akan hal itu?
Heteronormativitas membuat segala yang tidak hetero menjadi ‘aneh’. Kemudian label ‘aneh’ itu disematkan begitu saja pada anak yang bahkan belum memahami posisi mereka sendiri. Lalu anak itu tumbuh dengan pemikiran bahwa, ya, dirinya memang aneh, ‘sakit’, dan terkutuk.
Dalam film ‘Monster’, internalisasi homofobia yang berkelindan dengan heteronormativitas juga membuat Minato sempat menjadi bystander, membiarkan Yori dirundung oleh teman-temannya. Lalu anak tumbuh dengan penolakan untuk mengakui jati dirinya sendiri, lantas resisten terhadap hal tersebut.
Sadar atau tidak, dunia kita yang heteronormatif dan kerap menghakimi membentuk kita jadi ‘monster’. Menonton film ‘Monster’ mestinya membangunkan kita dari tidur panjang dan penolakan untuk mengakui hal tersebut.