Kasus kekerasan seksual di Kemenkop UKM

Ingat Kasus Kekerasan Seksual di Kemenkop UKM? Penyidik Polresta Bogor Kena Sanksi Demosi

Masih ingat kasus kekerasan seksual di Kemenkop UKM pada 2019 silam? Menurut kabar terbaru, tiga penyidik Polresta Bogor yang menangani kasus tersebut didemosi karena sikap dan perilaku saat laporan dibuat, sampai kasus dihentikan pada 2020.

Tiga penyidik Polresta Bogor yang menangani perkara perkosaan berkelompok (gang rape) di Kemenkop UKM mendapat sanksi demosi. Ketiga penyidik tersebut adalah FH, TH dan WF.

Mereka bertugas sebagai penyidik dan penyidik pembantu di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Sat Reskrim Polresta Bogor Kota saat menangani kasus tersebut. 

Selama pemeriksaan oleh propam Polda Jabar, FH bertugas sebagai Kanit Lantas di salah satu Polsek, sedang TH dan WF masih bertugas di Polresta Bogor Kota.

Pada 5 Juli 2023, Propam Polda Jabar mengeluarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pemeriksaan Propam (SP2HP2) setelah kuasa hukum korban, LBH APIK Jabar mengirim surat permintaan salinan putusan. Konde.co mendapat salinan SP2HP2 pada pertengahan Juli 2023 kemarin dari pendamping korban.

SP2HP2 menyebutkan, Sub Bidang Pertanggungjawaban Profesi Bidang Profesi dan Pengamanan (Subbid Wabprof Bid Propam) Polda Jabar telah melakukan pemeriksaan, pemberkasan dan sidang kode etik profesi.

Ketiga penyidik diduga melakukan pelanggaran berupa tidak melaksanakan tugas secara profesional, proporsional dan prosedural pada saat penanganan perkara nomor: LP/577/XII/2019/JBR/POLRESTA BOGOR KOTA atas nama pelapor N. Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) pada Selasa 23 Mei 2023 menetapkan ketiga penyidik terbukti melanggar kode etik.

“Terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan pelanggaran,” demikian kutipan dari SP2HP2.

Baca Juga: Perkosaan Gang Rape Terjadi di Kemenkop UKM: Aktivis Temukan Rekayasa Kasus 

Sidang KKEP menjatuhkan sanksi berupa sanksi etika dan sanksi administratif. Sanksi etika mewajibkan pelanggar untuk pertama meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan.

Kedua mewajibkan pelanggar untuk mengikuti pembinaan rohani, mental dan pengetahuan profesi selama satu bulan. Sedang sanksi administratif berupa demosi.

“Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pasal 109 ayat (1) huruf a Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Republik Indonesia berupa mutasi bersifat demosi.”

Merujuk pada Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 19 tahun 2012, demosi merupakan sanksi internal di kepolisian. Peraturan ini menyebutkan demosi adalah mutasi yang bersifat hukuman berupa pelepasan jabatan dan penurunan eselon serta pemindahtugasan ke jabatan, fungsi, atau wilayah yang berbeda. Selain itu Peraturan Polisi Nomor 7 tahun 2022 menyebutkan mutasi bersifat demosi adalah pemindahan anggota dari satu jabatan ke jabatan lain yang tingkatnya lebih rendah.

Korban dan Keluarga Laporkan Penyidik ke Propam Polda Jabar

Kasus ini awalnya terjadi ketika N, pegawai honorer Kemenkop UKM telah diperkosa oleh 4 rekan kerjanya pada 6 Desember 2019 saat rapat di luar kantor. Pemerkosaan terjadi di hotel tempat rapat berlangsung. 

Empat pegawai Kemenkop UKM yang memperkosa yaitu: ZP, WH, MF, dan NN. Sedang 2 orang (A dan T) menjaga pintu dan 1 orang (E) ikut sampai lokasi.

N dan keluarganya melaporkan perkosaan yang dialaminya ke Polresta Bogor dan diterima penyidik UPPA pada 20 Desember 2019. Korban kemudian dirujuk untuk melakukan visum. Polresta Bogor menindaklanjuti laporan korban dengan menetapkan 4 orang pegawai Kemenkop UKM sebagai tersangka (ZP, WH, MF, dan NN).

Keempatnya kemudian dikenai pasal 286 KUHP, yakni melakukan persetubuhan terhadap perempuan di luar perkawinan dalam kondisi perempuan tersebut pingsan atau tidak berdaya. Pada 14 Februari 2020 polisi menangkap dan menahan keempat tersangka.

Setelah korban melapor ke polisi, para terduga pelaku dari Kemenkop UKM mendatangi orang tua korban dan mendesak agar proses hukum tidak dilanjutkan. Mereka beralasan ZP akan menikahi N. Pelaku juga mengajak keluarganya ketika mendatangi rumah korban. Bahkan seorang pejabat Kemenkop UKM yang punya kekerabatan dengan seorang terduga pelaku juga mendatangi rumah korban dan menawarkan penyelesaian kasus secara “persaudaraan”.

Ketika keempat terduga pelaku ditahan, Kanit PPA Polresta Bogor ikut memfasilitasi upaya penyelesaian kasus secara damai melalui pernikahan. Karena desakan banyak pihak, maka pada 3 Maret 2020 dibuat perjanjian bersama antara pelaku dan korban, yang difasilitasi penyidik di ruang kepolisian.

Korban disuruh masuk ke ruangan tersebut tanpa didampingi orang tua dan diinterogasi. Penyidik mengetik sesuatu, lalu menyodorkan berkas. Korban tidak paham bahwa berkas itu ternyata memuat soal pencabutan laporan karena dia tidak pernah ditanyakan soal pencabutan laporan.

Baca Juga: Tak Dapat Bantuan Rektorat, Satgas PPKS UI Berhenti Menerima Laporan Kekerasan Seksual

Setelah perjanjian damai dibuat, pada 6 Maret 2020 orang tua korban kembali dipanggil. Di dalam ruang kerjanya, Kanit PPA Polresta Bogor 2019-2020 menyerahkan uang sebesar 40 juta Rupiah kepada ibu korban. Uang ditaruh di dalam kantong kresek dan dikatakan sebagai biaya pernikahan.

Pernikahan berlangsung pada 13 Maret 2020 di KUA Jakarta Selatan. Beberapa hari setelah pernikahan korban dan orang tua mengantarkan foto pernikahan seperti permintaan Kanit. Hari itu juga keempat pelaku dibebaskan dari tahanan. Mereka hanya dikenakan wajib lapor.

Polresta Bogor mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) pada 18 Maret 2020. Alasan penghentian penyidikan tindak pidana karena restorative justice (RJ) kepada 4 orang tersangka.

Polresta Bogor juga mengeluarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) ditujukan pada korban pada 19 Maret 2020. Dalam SP2HP disebutkan penyidik perkara tidak cukup bukti sehingga penyidikan dihentikan.

Korban melalui pendamping hukumnya, LBH APIK Jabar melaporkan tindakan penyidik ke Propam Polda Jabar pada 18 November 2022. Hal yang dilaporkan mencakup sikap dan perilaku penyidik saat laporan dibuat pada 20 Desember 2019 sampai kasus dihentikan pada 18 Maret 2020. Termasuk juga sikap dan perilaku penyidik ketika korban mempermasalahkan kembali kasus ini pada Desember 2021 hingga Maret 2022.

Proses Persidangan Komisi Kode Etik Polri

Pada 23 Mei 2023, korban dan keluarganya menjadi saksi dalam sidang KKEP yang berlangsung di aula sidang bidang propam Polda Jabar. Sebelumnya korban dan keluarga sudah menjalani pemeriksaan dua kali.

“Pertama pemeriksaan pendahuluan waktu itu di Bogor (Polresta Bogor). Lalu pemeriksaan inti di Propam (Polda Jabar Bandung) waktu itu,” kata Ratna Batara Munti, pendamping hukum korban kepada Konde.co, Jumat (26/5/2023).

Hari itu berlangsung dua sidang. Sidang pertama dengan terperiksa FH dimulai jam 10.00 sampai 14.00. Sidang kedua dengan terperiksa TH dan WF dimulai jam 15.00. Korban dan keluarganya menjadi saksi pada sidang pertama. 

Pada sidang kedua korban dan keluarga tidak wajib hadir karena keterangan mereka pada sidang pertama dianggap sudah cukup. 

Ratna menuturkan, selain ketiga terperiksa, pihaknya juga melaporkan penyidik Polresta Bogor berinisial NK. Tapi dari pemeriksaan yang dilakukan, penyidik propam menganggap NK tidak termasuk karena yang bersangkutan belum bertugas di unit PPA saat kejadian. Jadi pemeriksaan difokuskan pada penyidikan yang berlangsung pada 20 Desember 2019 hingga 18 Maret 2020 saat SP-3 keluar.

“Jadi semua ditanyain oleh pimpinan sidangnya yang tiga orang itu. Ditanya kejadiannya gimana dan langsung dikonfrontasi pada saat itu,” kata Ratna Batara Munti.

Ia menjelaskan sidang membahas soal uang sebesar 40 juta dari pelaku yang diserahkan oleh FH kepada keluarga korban. Dibahas juga soal uang sebesar 10 juta yang diminta FH ke keluarga korban untuk operasional penangkapan tersangka.

Ratna Batara menuturkan, di persidangan TH mengakui bahwa mereka salah karena menganggap pasal 286 KUHP adalah delik aduan. TH juga mengakui mereka memfasilitasi perjanjian damai. Sementara FH menolak semua tuduhan termasuk tuduhan memfasilitasi pemberian uang pada keluarga korban.

Baca Juga: Perkosaan di Kemenkop UKM: Praperadilan Dikabulkan, Pelaku Perkosaan Tak Lagi Jadi Tersangka

Ratna menjelaskan ketika itu penyidik mendorong korban dan keluarganya untuk membuat perjanjian damai dan segera menikahkan korban dengan pelaku. Lantaran saat itu masa penahanan para tersangka hampir habis. Sementara kalau masa tahanan habis maka posisi dan status para tersangka harus jelas. Apakah mereka dibebaskan atau dilimpahkan ke kejaksaan untuk diproses selanjutnya.

Menurut Ratna sebenarnya tidak ada alasan bagi penyidik untuk tidak melimpahkan perkara tersebut ke kejaksaan karena alat buktinya sudah cukup. Jadi penyidik sudah melakukan gelar perkara dan diputuskan bahwa alat buktinya sudah cukup. Antara lain ada hasil visum yang menyebutkan ada robek selaput dara.

Lalu ada CCTV yang memperlihatkan bahwa korban tidak berdaya, sempoyongan dan digandeng oleh ZP. Di situ juga terlihat ada MF, WH, dan NN. Jadi mereka keluar dari lift, lalu berjalan ke lorong dengan menggandeng N karena sempoyongan. Mereka lalu terlihat masuk ke kamar. Selain itu keterangan para saksi dan tersangka juga menunjukkan adanya kesesuaian.

Oleh karena sudah ada gelar perkara dan sudah cukup bukti, maka tidak ada halangan untuk dilimpahkan ke kejaksaan. Tapi Ratna mengungkapkan penyidik berstrategi dengan membikin perjanjian damai sehingga para tersangka dapat dikeluarkan dari tahanan.

Selanjutnya diterbitkan SP3 untuk ditutup kasusnya dengan dasar sudah melakukan pendekatan RJ dengan perjanjian damai. Itu sebabnya pernikahan dilakukan dengan segera sehingga SP3 bisa keluar dan para tersangka dilepas sebelum masa tahanannya habis.

Ratna menjelaskan persidangan juga membahas prosedur penyidikan yang dilanggar. Seperti proses panggilan kepada korban untuk pemeriksaan disampaikan hanya melalui aplikasi WhatsApp (WA) atau telepon lewat keluarganya tanpa ada surat panggilan resmi.

Baca Juga: Nikahkan Korban Dengan Pemerkosa: Restorative Justice Yang Begitu Merugikan

“Biasanya di kepolisian itu memang iya lewat WA, telepon, tapi nanti ada surat panggilannya. Jadi secara prosedural itu harus ada surat panggilan. Itu ditekankan (dalam persidangan). Jadi persidangan itu lebih ke melihat kode etik dan prosedur yang dilanggar,” kata Ratna.

Soal SP3 juga disorot oleh pimpinan sidang. Mereka mempertanyakan adanya gelar perkara yang menetapkan sudah cukup alat bukti tapi alasan keluarnya SP3 karena adanya RJ. Sementara di SP2HP disebutkan alasan terbitnya SP3 karena kurang alat bukti.

Ratna menilai putusan sidang KKEP menunjukkan upaya korban dan keluarga melaporkan penyidik ke propam membuahkan hasil. 

“Ya sukseslah kalau menurut saya, berhasil. Putusannya itu penyidik dapat sanksi demosi, dia dimutasi dengan diturunkan jabatannya selama 3 tahun,” ungkap Ratna.

Ia menjelaskan berdasarkan keterangan dari penuntut propam, untuk terperiksa FH karena pangkatnya perwira, jadi Polda yang nanti akan menindaklanjuti sanksi tersebut. Sementara untuk TH dan WF sanksi akan ditindaklanjuti oleh Polresta Bogor Kota.

Konde.co menghubungi salah satu penuntut Propam Polda Jabar untuk melakukan konfirmasi dan menanyakan salinan putusan sidang KKEP pada Sabtu (27/5). Sekitar seminggu kemudian (5/6) Konde.co dihubungi via telepon dan diminta untuk mengirimkan surat permohonan. Pada Selasa (6/6) Konde.co mengirim surat tapi hingga berita ini diturunkan belum ada konfirmasi dari Propam Polda Jabar.

Situasi Psikologis Korban Perlu Dipertimbangkan

Kuasa hukum korban, Ratna Batara Munti juga menyoroti kondisi psikologis korban selama proses persidangan yang kurang diperhatikan. Ia mengaku N sempat tidak mau bicara. Dalam persidangan pada Selasa (23/5), pendamping hukum tidak bisa duduk dekat korban untuk mendampingi. Ada meja yang memisahkan posisi korban dan pendamping hukum.

Ratna mengatakan dirinya sempat mengutarakan kepada majelis hakim agar pendamping hukum bisa duduk dekat korban untuk menguatkan. Ia merujuk pada Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk menguatkan argumennya. Tapi permintaannya ditolak dan dikatakan bahwa di internal kepolisian belum ada aturan seperti itu.

“Bahwa korban itu oke dia jadi saksi, tapi dia kan korban perkosaan gang rape yang pasti trauma itu ada. Aku kasihan banget lihat korban,” ungkap Ratna.

Ia menambahkan prinsip dari Perma Nomor 3 Tahun 2017 terkait pendamping bukan hanya sekadar hadir dalam persidangan. Tapi pendamping juga bisa menjalankan perannya untuk menguatkan korban. Ratna berharap hal serupa dapat diterapkan pada persidangan di luar perkara pidana seperti sidang komisi kode etik yang melibatkan korban.

Baca Juga: Diancam Pacar Sebar Konten Intim Non-Konsensual? Jangan Panik, Lakukan Hal Ini

“Nah aku itu berusaha tetap minta supaya dekat dengan N karena N sempat ngomong, ‘Gimana bu, aku nanti ngomong apa. Bu aku nggak usah ngomong ya.’ Aku bilang, udah kamu sampaikan aja yang kemarin kita omongin, bahwa kamu nggak cabut laporan, kamu disuruh tanda tangan tapi nggak dijelasin isinya. Pokoknya kamu sampaikan aja yang dirasakan,” papar Ratna.

Pada akhirnya N bisa memberikan kesaksian dan menjawab pertanyaan hakim. Meskipun ia sempat merasa mulas dan menolak membuka masker selama persidangan. Ratna sempat mengkhawatirkan kondisi N karena harus berhadapan dengan para penyidik yang mereka laporkan. Belum lagi ruangan sidang yang penuh dengan polisi. Ditambah pula ia mesti menjawab pertanyaan dari majelis hakim yang suaranya kencang dan tegas.

Soal pendamping, selain Perma Nomor 3 Tahun 2017, terdapat aturan lain yang mengatur soal ini. Seperti UU TPKS dan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 9 Perma Nomor 3 Tahun 2017 memastikan kalau perempuan yang berhadapan dengan hukum mengalami hambatan fisik dan psikis sehingga butuh pendampingan, hakim dapat mengabulkan permintaan tersebut. 

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!