Kabinet Mangkir, Isu Perempuan Tak Hadir: Riset 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran

Konde.co melakukan survei tentang dampak 100 hari kebijakan Prabowo-Gibran terhadap perempuan dan minoritas gender. Hasilnya, kinerja kabinet gemuk Prabowo-Gibran dinilai menghasilkan kebijakan yang berdampak buruk bagi mereka.

Riset ini merupakan bagian dari Edisi Khusus Perempuan

Trigger Warning: Artikel ini mengandung pembahasan tentang kekerasan terhadap perempuan yang mungkin sensitif bagi beberapa orang.

Salah satu kritik yang mengemuka yang didapatkan dalam survei ini adalah minimnya perhatian pemerintah terhadap kelompok perempuan, minoritas gender, dan kelompok rentan lainnya.

Survei yang dilakukan oleh Konde.co mengungkap, sekitar 79 persen responden tidak mengetahui isu perempuan yang sedang dijalankan pemerintah, sementara kinerja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dinilai buruk.

Lambannya perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan kelompok pekerja informal seperti Pekerja Rumah Tangga (PRT) turut dinilai menjadi tanda merah dalam 100 hari kabinet merah putih.

Selain itu, berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar dan kesejahteraan sosial pembatasan subsidi energi, food estate, dan kebijakan bersifat populis seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapatkan kritik tajam karena dinilai justru memperberat beban ekonomi masyarakat.

Pola lain yang mengkhawatirkan adalah meningkatnya keresahan masyarakat sipil terhadap kebebasan berpendapat di sela-sela melebarnya peran militer dalam pemerintahan sipil. 

Survei Konde.co yang melibatkan 72 responden perempuan cis, trans, dan non-biner dari berbagai wilayah di Indonesia dengan teknik accidental sampling menunjukkan bahwa banyak kebijakan pemerintah dalam 100 hari pertama masih jauh dari harapan kelompok rentan.

Kami membagi hasil temuan berdasarkan 5 kategori berikut:

1. Kebijakan Berdampak Buruk, Tak Berpihak Pada Perempuan dan Kelompok Rentan

Dalam survei ini didapatkan sebanyak 236 tanggapan terhadap 20 kategori kebijakan publik di Indonesia yang mengungkap gambaran suram mengenai persepsi mereka terhadap berbagai keputusan strategis pemerintah untuk perempuan.

Mayoritas besar tanggapan menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam, sebanyak 89 persen responden menilai kebijakan pemerintah berdampak buruk atau sangat buruk bagi perempuan. 

Tabel Analisis program berdampak

Dari data tersebut, tampak jelas bahwa kebijakan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar dan kesejahteraan sosial mendapatkan kritik paling tajam. 

Pembatasan subsidi energi menjadi keluhan utama, dengan kebijakan pembatasan gas elpiji 3 kg sebagai kebijakan paling banyak disoroti. Sebanyak 46 dari 48 tanggapan menilai kebijakan ini berdampak negatif, mencerminkan keresahan masyarakat terhadap akses energi murah yang semakin terbatas. Begitu pula pemangkasan subsidi transportasi umum yang mendapat 43 tanggapan negatif dari total 47 responden, memperlihatkan kekhawatiran bahwa kebijakan ini membebani perempuan kelas proletar yang bergantung pada transportasi publik untuk aktivitas sehari-hari.

Kebijakan bersifat populis seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga tidak terhindar dari kritik. Sebanyak 87 persen tanggapan terhadap program ini menyatakan dampak buruk atau sangat buruk. Alih-alih memberikan manfaat nyata, program tersebut justru dianggap tidak efektif dan tidak menyentuh kebutuhan esensial masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan populis yang digadang-gadang sebagai solusi sering kali gagal diimplementasikan secara merata atau tidak sesuai kebutuhan di lapangan.

Pola lain yang terlihat adalah meningkatnya kekhawatiran terhadap kebijakan yang memperluas peran militer di ruang sipil. Kebijakan multifungsi TNI/Polri dan pendekatan militer dalam pemerintahan mendapat penolakan mutlak. Semua tanggapan terhadap kedua kebijakan ini menilainya sebagai langkah yang merugikan dan mengancam kebebasan sipil. Kecenderungan ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya model pemerintahan otoriter yang membatasi ruang demokrasi dan mengikis prinsip supremasi sipil.

2. Peminggiran Perempuan dan Minoritas Gender dalam Program Kerja

Berbagai kebijakan publik yang diterapkan dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan pola yang konsisten: berdampak berat bagi perempuan dan minoritas gender, seperti beban ekonomi yang semakin berat, layanan publik mengalami kerentanan, dan kepercayaan terhadap pemerintah terus merosot yang meminggirkan perempuan dan kelompok minoritas.

Tabel Dampak Program Terhadap Perempuan dan Minoritas Gender (1)

Persepsi terhadap kebijakan seperti wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%, pembatasan gas elpiji 3 kg, pemangkasan subsidi transportasi, serta pemangkasan anggaran di sektor pendidikan dan kesehatan mengungkap hubungan sebab-akibat yang memperparah ketidakadilan sosial. 

Kebijakan tersebut tidak hanya berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari, tetapi juga mempengaruhi kelompok rentan secara tidak proporsional, terutama perempuan dan masyarakat berpenghasilan rendah.

Tabel Dampak Program Terhadap Perempuan dan Minoritas Gender (2)

Kebijakan ekonomi menjadi salah satu pemicu utama ketidakstabilan dalam kehidupan masyarakat. Wacana kenaikan PPN 12% meskipun tidak terealisasi, dirasakan responden menciptakan efek domino berupa kenaikan harga kebutuhan pokok. Kenaikan harga ini menekan daya beli dan memperbesar defisit dalam pengeluaran rumah tangga. Bagi kelompok berpenghasilan menengah ke bawah, kebijakan ini memperparah kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.

Dampaknya juga memperlemah kepercayaan publik terhadap pemerintah yang dianggap mengambil keputusan tanpa kajian mendalam. Kebijakan ini memunculkan persepsi bahwa pemerintah mengabaikan realitas ekonomi yang dihadapi warga, terutama di kalangan pekerja informal dan perempuan sebagai penanggung beban domestik.

Selain kenaikan harga akibat wacana PPN, pembatasan distribusi gas elpiji 3 kg memperburuk situasi rumah tangga dan usaha mikro. Banyak keluarga mengalami kesulitan dalam aktivitas mendasar seperti memasak, sementara usaha kecil yang sangat bergantung pada gas bersubsidi menghadapi gangguan kuat. Perempuan yang memiliki kedekatan dalam urusan rumah tangga, merasakan dampak ini secara langsung. Lebih jauh, keterbatasan akses terhadap gas bersubsidi menciptakan tantangan tambahan bagi usaha kecil, terutama di sektor informal yang menopang sebagian besar ekonomi rumah tangga.

Baca juga: Catatan 100 Hari Kerja Prabowo–Gibran Dari Perspektif Perempuan dan Keadilan Sosial: Kesetaraan Ditakluk, Populisme Menyunduk 

Pemangkasan subsidi transportasi menambah lapisan kesulitan bagi masyarakat, terutama mereka yang bergantung pada transportasi umum. Biaya perjalanan meningkat, dan mobilitas menjadi lebih sulit, terutama bagi perempuan yang sering kali mengandalkan transportasi umum untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Pemangkasan ini juga menambah risiko keamanan karena perempuan terpaksa menggunakan moda transportasi pribadi yang sering kali lebih mahal dan kurang aman. Kekhawatiran ini diungkap oleh seorang responden yang menyatakan, dengan biaya hidup yang terus meningkat, pengurangan subsidi justru memperparah kondisi kelompok rentan yang membutuhkan akses transportasi murah dan aman.

Seorang responden mengungkapkan bahwa dalam situasi ekonomi yang semakin sulit, pemangkasan subsidi justru memperburuk kondisi perempuan yang sudah menghadapi ancaman kekerasan seksual di ruang publik, hal ini memperlapis ketidakadilan struktural yang mereka alami.

“Pemangkasan subsidi transportasi khawatirnya membuat perempuan rentan jadi korban kejahatan,  contohnya pemerkosaan oleh tukang ojek, penculikan oleh supir taksi online, perampokan di jalan, dan lainnya.”

Di sektor pendidikan, pemangkasan anggaran menimbulkan dampak berlapis yang dirasakan oleh mahasiswa, guru honorer, dan dosen. Mahasiswa menghadapi kenaikan biaya pendidikan di tengah ketidakpastian ekonomi, yang mengancam hak mereka untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak. Guru honorer, yang gajinya sudah minim, merasa keberlangsungan pekerjaan mereka semakin terancam. 

“Gaji sudah kecil, mau dipangkas jadi berapa lagi gaji saya?,” kata salah satu responden.

Bagi dosen, ketidakpastian tunjangan kinerja di tengah meningkatnya biaya hidup menambah tekanan finansial yang berdampak pada kualitas pengajaran dan penelitian. Situasi ini menunjukkan bagaimana pemangkasan anggaran di sektor pendidikan memperburuk ketidaksetaraan akses dan memperlemah infrastruktur pengetahuan di Indonesia.

Pemangkasan anggaran di sektor kesehatan memperbesar jurang ketidakadilan dalam akses layanan kesehatan, terutama bagi kelompok perempuan dan masyarakat di daerah terpencil. Pengurangan anggaran menyebabkan berkurangnya layanan kesehatan gratis dan membatasi distribusi alat kontrasepsi. Responden dari daerah terpencil mengeluhkan bahwa selama berbulan-bulan masyarakat tidak menerima distribusi alat kontrasepsi secara gratis. 

Menurut responden, “Masalah pengiriman alat kontrasepsi yang sudah hampir tiga bulan tidak ada. Ini sangat serius.” Responden tersebut bekerja sebagai petugas lapangan Keluarga Berencana (PLKB) honorer di sebuah desa terpencil. Masalah serius di desa itu adalah angka pernikahan di bawah umur yang tinggi. Sebagai PLKB, responden menilai adanya alat kontrasepsi gratis dapat membantu upayanya untuk mencegah kehamilan berisiko (terlalu muda). “Saya percaya, jauh dari lubuk hati mereka (para perempuan di sana) mereka tidak ingin menikah secepat itu. Hanya saja tuntutan orang tua yang membuat mereka tidak bisa menolaknya.”

Maka dari itu, ia menyatakan keresahannya terkait pemerintah, yang selalu menggembar-gemborkan program KB dengan slogan “Dua anak sehat dan cukup” tapi tidak mampu menyediakan hal yang seharusnya masyarakat dapatkan, yaitu alat kontrasepsi gratis.

“Masyarakat di desa tempat saya bekerja itu, mereka dikasih gratis saja susah dan tidak mau memakai alat kontrasepsi. Apa lagi jika mereka harus bayar dengan nominal yang cukup mahal. Kata mereka, lebih baik uangnya dipakai untuk makan daripada dipakai untuk suntik KB setiap bulan.”

Gangguan ini berdampak langsung pada program kesehatan reproduksi, yang sangat penting bagi perempuan di daerah dengan akses terbatas. Selain itu, pemangkasan anggaran juga menimbulkan rasa tidak aman dalam mengakses produk kesehatan dasar seperti obat pengurang rasa sakit, terutama di kalangan perempuan yang membutuhkan jaminan kualitas produk kesehatan.

Baca juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Pantau ‘Asta Cita’ dalam 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran

Kebijakan pemangkasan anggaran yang juga diterapkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) justru menimbulkan kekhawatiran baru bagi perempuan terkait keamanan produk yang mereka gunakan sehari-hari.

Pengurangan anggaran berisiko melemahkan pengawasan terhadap obat-obatan dan kosmetik, sehingga meningkatkan kemungkinan beredarnya produk yang tidak aman di pasaran. Kasus gagal ginjal akibat tercemarnya parasetamol dengan senyawa kimia berbahaya dikeluhkan responden sebagai bukti nyata bahwa lemahnya pengawasan dapat mengancam kesehatan perempuan, terutama mereka yang mengandalkan obat pereda nyeri saat menstruasi. Selain itu, kurangnya pengawasan terhadap produk kosmetik juga memperbesar risiko paparan zat berbahaya yang dapat berdampak negatif bagi kesehatan dalam jangka panjang.

“Efisiensi anggaran BPOM membuat perempuan tidak merasa aman menggunakan kosmetika atau obat pengurang rasa sakit saat menstruasi, merujuk pada kasus tercemarnya parasetamol.”

Di luar persoalan ekonomi dan layanan publik, kebijakan pemerintah yang dianggap tidak tepat sasaran menambah rasa frustasi di kalangan masyarakat. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), misalnya, dikritik karena menambah beban finansial bagi siswa dan orang tua melalui pungutan tambahan di sekolah. Salah seorang responden asal Jawa Tengah menuturkan pengalaman langsung yang dialami oleh anggota keluarganya.

“Kebijakan MBG menimbulkan pungli di sekolah. Saya merasa terdampak karena adik saya harus membayar uang ke sekolah untuk membeli kotak makan.”

Kebijakan yang tidak melalui kajian matang dan implementasi yang tidak transparan menciptakan beban tambahan di sektor pendidikan, memperburuk ketimpangan akses dan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah.

Dampak jangka panjang dari Proyek Strategis Nasional (PSN) juga menimbulkan kekhawatiran serius terkait kerusakan lingkungan dan ketidakpastian ekonomi lokal. Proyek ini, yang dijalankan di lahan-lahan sensitif seperti gambut, meningkatkan risiko bencana ekologis seperti banjir dan gagal panen.

Seorang responden asal Kalimantan Tengah menyoroti bencana ekologis yang telah terjadi akibat proyek Food Estate di Kalimantan Tengah yang, menurutnya, gagal total. “Belum lagi bencana ekologis (banjir, heatwave) akibat Food Estate Kalteng yang gagal total. Dan calon bencana ekologis yang disebabkan oleh kekeraskepalaan untuk membuka lahan baru di lahan gambut (wetland) tanpa mempertimbangkan bahwa lahan gambut adalah penopang ekosistem sekaligus daerah serapan air dan sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Kalimantan sudah food sufficient tanpa ‘swasembada pangan’ yang tidak lain dan tidak bukan adalah monokultur dengan pendekatan pola monokonsumsi yang tidak sustainable.”

Selain merusak ekosistem, proyek besar semacam ini juga dirasa mengganggu ekonomi lokal dengan mengubah lahan produktif menjadi zona proyek yang tidak selalu memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sekitar.

Keseluruhan tanggapan menunjukkan bahwa kebijakan publik yang diterapkan tanpa kajian mendalam dan partisipasi masyarakat berisiko menciptakan lingkaran ketidakpastian yang memperburuk kondisi ekonomi dan sosial. Kenaikan biaya hidup, pengurangan layanan esensial, dan kebijakan yang tidak tepat sasaran menimbulkan beban berat bagi masyarakat, khususnya perempuan dan kelompok berpenghasilan rendah. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali pendekatan kebijakan ekonomi dan sosial dengan lebih memperhatikan dampak nyata di lapangan. Tanpa perubahan arah kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis kebutuhan masyarakat, ketidakpuasan publik akan semakin membesar, berpotensi mengancam stabilitas sosial di masa depan.

3. Tak Ada Kebijakan UU Untuk Perempuan: UU TPKS dan RUU PPRT

Survei menunjukkan bahwa mayoritas responden jarang atau sangat jarang mendengar perkembangan terkait implementasi UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) dan RUU PPRT (Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga). 

Grafik jawaban responden atas pertanyaan, “Seberapa sering Anda mendengar perkembangan turunan dan implementasi UU TPKS?”

Penilaian terhadap kemajuan kedua kebijakan tersebut secara konsisten mendapat respons buruk hingga sangat buruk, mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap lambatnya implementasi dan minimnya transparansi pemerintah dalam menindaklanjuti isu-isu yang berdampak besar pada kelompok rentan, terutama perempuan.

Grafik penilaian responden atas perkembangan dan implementasi UU TPKS

Grafik jawaban responden atas pertanyaan, “Seberapa sering Anda mendengar perkembangan RUU PPRT?”

Grafik penilaian responden terhadap perkembangan RUU PPRT

Responden yang menjawab kadang-kadang hingga sangat sering mendengar perkembangan kedua produk hukum tersebut menilai, perkembangan implementasi UU TPKS dengan rata-rata 4,5 dan RUU PPRT dengan rata-rata 3,8, keduanya masuk dalam kategori buruk.

Respon negatif ini menyoroti adanya ketidakseriusan struktural dalam melindungi hak-hak perempuan dan pekerja rumah tangga, dua kelompok yang historis mengalami marginalisasi di ruang hukum dan kebijakan publik. Minimnya sosialisasi mengenai UU TPKS menunjukkan bahwa meskipun kebijakan ini telah disahkan, akses informasi yang terbatas membuat korban kekerasan seksual kesulitan memahami hak dan mekanisme perlindungan yang tersedia. Hal ini menciptakan hambatan institusional yang memperpanjang ketidakadilan dan memperkuat budaya impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual.

“Seratus hari pemerintah tidak hanya lambat membahas kebijakan turunan UU TPKS, justru muncul kebijakan yang melanggengkan ketidaksetaraan relasi tersebut. Kita menjauh dari upaya perlindungan perempuan dan kelompok rentan,” kata Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi dalam diskusi berjatuk “100 Hari Pemerintahan Baru, Negara Masih Tak Berpihak Kepada Korban Kekerasan Seksual” di bilangan Cikini Jakarta, Kamis (13/2/2025).

Tabel analisis soal UU TPKS dan RUU PPRT

Situasi serupa terjadi pada RUU PPRT yang hingga kini belum disahkan. Penilaian buruk terhadap perkembangannya mencerminkan ketidakberpihakan negara terhadap kerja reproduktif yang sering kali dianggap tidak bernilai ekonomi. Pekerja rumah tangga, mayoritas di antaranya adalah perempuan, tetap terjebak dalam kondisi kerja yang eksploitatif, tanpa perlindungan hukum yang memadai. Sikap lamban pemerintah dalam memprioritaskan RUU PPRT mencerminkan bagaimana kerja domestik perempuan diabaikan dan tidak diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Baca juga: #OkeGasAwasiRezimPrabowo: Kantin Sepi, Perempuan dan Layanan Publik Kena Dampak MBG dan Pemangkasan Anggaran

Secara struktural, respons publik terhadap kedua kebijakan ini mencerminkan adanya kesenjangan kekuasaan di mana kepentingan kelompok rentan diabaikan demi agenda politik yang lebih dominan. Ketidakmampuan negara dalam memberikan perlindungan efektif bagi perempuan dan pekerja rumah tangga menciptakan kerapuhan hukum yang membiarkan kekerasan berbasis gender dan eksploitasi ekonomi berlangsung tanpa konsekuensi yang nyata.

4. Kementerian Tanpa Kebijakan Pro-Perlindungan Perempuan

Lebih dari setengah responden (53,75%) menyatakan bahwa “tidak ada” kementerian yang dianggap buruk dalam membawa program terkait isu perempuan. Namun temuan ini sejalan dengan tingkat ketidaktahuan yang tinggi di kalangan responden (79,17%) terhadap program spesifik terkait isu perempuan yang dijalankan oleh kementerian. Kondisi ini mencerminkan adanya invisibilitas kebijakan berbasis gender di tingkat kelembagaan dan menunjukkan bagaimana minimnya informasi berdampak pada persepsi publik.

Di sisi lain, penyebutan terhadap kinerja Kementerian Hukum dan Kementerian HAM yang secara dominan menunjukkan adanya ketidakpuasan publik terhadap sistem hukum yang gagal menjamin perlindungan efektif bagi perempuan, terutama dalam penanganan kasus kekerasan berbasis gender.

Kementerian HAM dikeluhkan responden masih menunjukkan kelemahan dalam perlindungan hak asasi perempuan, terutama dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender (KBG). Tidak adanya program spesifik yang secara khusus melindungi hak perempuan mencerminkan kurangnya perhatian institusional terhadap isu ini.

Selain itu, pelayanan terhadap korban KBG masih jauh dari memadai, baik dari segi aksesibilitas maupun efektivitas dalam memberikan perlindungan dan pendampingan. Pada Kementerian Hukum, penegakan keadilan terhadap kasus kekerasan yang dialami perempuan juga diresahkan responden masih belum berpihak kepada korban, dengan banyaknya kasus yang berlarut-larut tanpa kepastian hukum atau berakhir dengan impunitas bagi pelaku.

Penyebutan terhadap kinerja Kementerian Pertahanan menandakan kritik terhadap militerisasi kebijakan yang secara historis dan struktural bersifat maskulin. Maskulinisasi dalam institusi ini memperkuat pendekatan represif yang mengabaikan kebutuhan dan pengalaman perempuan, terutama dalam kebijakan keamanan dan perlindungan sosial. 

Selain itu, kritik terhadap Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menunjukkan, bahwa pendekatan berbasis keluarga yang diusung oleh kementerian tersebut masih berpusat pada peran domestik perempuan, yang membatasi hak dan otonomi perempuan di luar lingkup rumah tangga. 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sebagai lembaga yang secara langsung bertanggung jawab atas isu perempuan, juga turut dianggap buruk. Hal ini menandakan ketidakpuasan publik terhadap kinerja kementerian yang sangat dekat dengan isu kelompok rentan. 

Kemen PPPA sering kali hanya berfokus pada program yang bersifat simbolis atau berbasis kebutuhan jangka pendek tanpa menyentuh akar persoalan struktural yang menyebabkan ketidakadilan gender. Kritik ini menegaskan bahwa kementerian yang bertanggung jawab langsung atas pemberdayaan perempuan harus melampaui pendekatan reaktif dan beralih pada agenda kebijakan yang progresif dan transformatif.

Baca juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Pemberian Amnesti, Gimmick Politik Prabowo di Tengah Hukum yang Bias Gender?

Kritik yang diarahkan pada keseluruhan kementerian menunjukkan bahwa kegagalan struktural ini tidak dapat diselesaikan melalui kebijakan simbolis atau program berbasis karitas semata. 

Reformasi kelembagaan yang komprehensif diperlukan untuk memastikan bahwa pengalaman perempuan diintegrasikan dalam seluruh tahap perumusan, implementasi, hingga evaluasi kebijakan. Langkah ini meliputi penguatan akuntabilitas lembaga negara terhadap hak-hak perempuan, desentralisasi kekuasaan patriarkal di dalam birokrasi, serta penerapan pendekatan berbasis hak dan pengalaman korban dalam kebijakan hukum dan sosial. Tanpa perubahan struktural yang mendasar, kementerian akan terus gagal memenuhi kebutuhan perempuan secara adil dan menyeluruh.

Sebanyak 92% responden menilai bahwa kementerian harus memiliki program pemberdayaan perempuan dengan tingkat urgensi yang sangat tinggi, ini menunjukkan bahwa kementerian ini harus bekerja keras mewujudkan program ini.

5. Ruang Aman dan Kekerasan Berbasis Gender

Riset menunjukkan bahwa responden mengalami ancaman berbasis gender di ruang digital dan fisik, dan ini masih menjadi masalah serius. 

Sebanyak 60% responden melaporkan bahwa mereka pernah menyaksikan orang lain mengalami ancaman seperti doxxing, ujaran kebencian, atau pelecehan berbasis identitas dalam 100 hari terakhir. Bahkan, 29% responden mengaku pernah mengalami ancaman tersebut secara langsung.

Penggunaan pendengung (buzzer) di media sosial juga menjadi perhatian utama. Sebanyak 75% responden menyatakan bahwa mereka sangat sering melihat aktivitas buzzer di berbagai platform digital, dengan 21% lainnya merasa sering melihat aktivitas pendengung. Hanya 4% yang merasa jarang terpapar buzzer. Kehadiran buzzer ini kerap memperkeruh diskusi publik dan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap isu-isu sensitif, termasuk hak perempuan dan kelompok minoritas gender.

Mayoritas responden merasa bahwa kebijakan pemerintah dalam 100 hari terakhir belum menciptakan ruang yang lebih aman dan adil bagi perempuan serta kelompok minoritas gender. Sebanyak 57% responden menyatakan bahwa tidak ada perubahan signifikan dalam perlindungan dan kebebasan berekspresi, sementara 43% lainnya bahkan merasa ruang sipil semakin terbatas dan rentan bagi kelompok-kelompok rentan ini.

Pandangan Aktivis tentang Kebijakan Perempuan dalam 100 Hari Kerja

Kami kemudian melakukan wawancara dan hadir dalam diskusi  dengan sejumlah aktivis perempuan tentang situasi dan kondisi 100 hari Pemerintahan Prabowo- Gibran.

Para aktivis mengatakan, alih-alih jadi prioritas, perempuan dan kelompok marginal malah kian terpinggirkan dengan minimnya program dan kebijakan yang adil untuk perempuan. Padahal, salah satu dari delapan poin Asta Cita Prabowo Gibran adalah ingin memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas.

Namun dari 100 hari ini, para aktivis melihat jumlah menteri perempuan yang minim jumlahnya, yaitu hanya 13%, lalu fraksi di DPR yang mengurus isu perempuan ternyata laki-laki semua dan tidak ada track record perjuangan mereka untuk perempuan. Hal itu disampaikan aktivis digital, Kalis Mardiasih, dalam acara diskusi 100 hari kerja Prabowo-Gibran yang diadakan oleh Yayasan Humanis pada 30 Januari 2025.

Sedangkan Budhis Utami, Direktur KAPAL Perempuan mengkritik tidak terlihatnya isu perempuan dalam 100 hari kerja pertama Prabowo-Gibran. 

“Isu perempuan itu menurut saya juga belum terlihat. Salah satunya KemenPPPA itu, kan, nggak bergerak apa pun,” celetuk Budhis kepada Konde.co, Kamis (20/2/2025).

Bahkan sampai sekarang, menurut Budhis, Renstra (Rencana Strategis) juga belum dibuat. 

“Saya sempat menanyakan, Renstra-nya bagaimana? Karena kita dulu pernah memberikan rekomendasi hasil musyawarah nasional perempuan dan kelompok marginal itu kepada Ibu Menteri (MenPPPA). Meskipun Ibu Menteri yang lama, ya. Tapi yang namanya risalah kebijakan itu kan, pasti ada sampai sekarang. Karena itu memang dimandatkan untuk penyusunan RPJMN yang kemudian diturunkan ke Renstra. Itu belum ada.”

Lanjut Budhis Utami, di masa pemerintahan sebelumnya, ada mandat bagi lembaga seperti KemenPPPA pada isu-isu tertentu, misalnya pada isu menghentikan kekerasan seksual, serta ekonomi dan pemberdayaan perempuan. Sedangkan di masa kepemimpinan yang baru ini, mandat dari presiden untuk ini tidak ada.

Baca juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Viral Patwal Mobil Raffi Ahmad, Feodalisme di Kalangan Pejabat

“Tapi kalau dilihat di 8 program hasil terbaik cepatnya itu, memang nggak ada isu-isu pemberdayaan,” tegas Budhis. Tuturnya, program-program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) serta bantuan gizi untuk balita dan ibu hamil hanya sekadar karitatif. Sebab, selain fokus berlebihan pada MBG, program-program lainnya justru tidak diperhatikan sedemikian rupa.

“Kemudian program-programnya itu sebenarnya tidak mengacu kepada aspek pemberdayaan. Seperti Ruang (Bersama) Merah Putih itu dulu menggantikan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak. Sekarang diganti apa lagi, saya lupa, tapi enggak ada hal-hal yang dilakukan. Jadi aspek melihat konteks perempuan, perempuan, kelompok marginal, disabilitas itu tidak ada.”

Padahal, menurut Budhis Utami, hal-hal tersebut seharusnya sudah masuk dalam RPJMN. 100 hari kerja pertama Prabowo-Gibran tampak belum mengacu ke sana. Oleh karena itu, ia mengatakan masih ingin mengecek akomodasi di dalam RPJMN. Sementara, mengingat RPJMN di awal belum dapat menjadi acuan, penilaian berdasarkan Asta Cita untuk 100 hari kerja.

“Jadi kayak hanya karikatif; kasih gizi gratis pada ibu hamil. Apakah hanya itu?,” kata Budhis Utami.

Optimiskah kita melihat ini semua? Mutiara Ika Pratiwi dari Perempuan Mahardhika dan Budhis Utami dari Institut KAPAL Perempuan juga menyuarakan pesimisme mereka. Menurut Mutiara Ika, dari 100 hari kerja pertama Prabowo-Gibran, tak ada gebrakan signifikan terkait berbagai permasalahan perempuan dan kelompok marginal. 

“Jangankan menjadi prioritas, perempuan dan marginal justru kian tersisih.”

Kini kekecewaan atas kinerja 100 hari pertama rezim baru pun bereskalasi menjadi demonstrasi besar-besaran di banyak daerah di Indonesia. Mahasiswa, perempuan, dan elemen rakyat cair turun ke jalan menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan Prabowo-Gibran.

Direktur Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK), Emmy Astuti melihat tentang bagaimana kebijakan ekonomi dalam 100 hari kerja ini telah meminggirkan perempuan. 

Baca juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Makan Bergizi Gratis Dimulai, Sayur Kecut dan Program Tuai Kritik

Bagi perempuan pelaku usaha kecil mikro (UKM), gas elpiji 3 kg adalah kebutuhan utama dalam menjalankan usaha kuliner, produksi rumahan, dan berbagai sektor lainnya. Keterbatasan akses terhadap gas ini menyebabkan keterlambatan dalam proses produksi. Sebab perempuan pelaku UKM harus antre berjam-jam untuk memperoleh gas elpiji 3 kg. Setelah antrian dan memperoleh gas, barulah mereka memproduksi. Hal tersebut  membuat keterlambatan dalam pelayanan ke konsumen.

“Bahkan ada pelaku UKM yang tidak dapat berjualan karena tidak memperoleh gas elpiji 3 kg.  Itu artinya  mereka tidak memperoleh pendapatan pada hari tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah UMKM di Indonesia 65,5 juta orang, 64,5% dikelola oleh Perempuan pelaku usaha kecil  mikro,” kata Emmy Astuti pada Konde.co.

Sementara itu, bagi ibu rumah tangga, kebijakan ini menambah beban kerja perempuan karena harus antri berjam-jam. Mereka juga sering kali bertanggung jawab atas kebutuhan domestik seperti memasak, mengurus anak, dan mengatur kebutuhan rumah tangga. 

Tidak hanya beban kerja yang bertambah, kebijakan ini juga menyita waktu, meningkatkan biaya operasional akibat tambahan ongkos transportasi. Selain itu, sistem distribusi yang belum sepenuhnya siap menyebabkan antrian panjang dan keterbatasan stok di berbagai daerah, memperparah kesulitan yang dialami oleh kelompok rentan ini.

“Kami merasa kebijakan ini tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap kelompok perempuan dan pelaku usaha kecil,” tutur Emmy Astuti. 

“Pemerintah seharusnya memastikan kesiapan infrastruktur distribusi terlebih dahulu sebelum menerapkan aturan yang justru memperburuk kesejahteraan masyarakat.”

Hal itu diamini oleh Nelly Agustina, salah satu responden survei Konde.co sekaligus jurnalis di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Menurutnya, bahkan sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan, gas 3 kg sudah langka di pasaran, harganya pun melonjak. Jika Menteri ESDM Bahlil pernah terkejut karena penjualan gas di eceran bisa di-markup sampai 20 ribu Rupiah, sebut Nelly, harga gas di tempatnya bahkan bisa mencapai 50 ribu.

Baca juga: Manifesto Politik Perempuan Kritik Rezim Prabowo-Gibran Di Hari Pergerakan Perempuan

“Jadi kalau kebijakannya harus pengecer, gitu, sebenarnya baik untuk, misalnya, ngomongin harga,” kata Nelly kepada Konde.co, Rabu (19/2/2025). 

“Tapi (dampaknya) kepanikan dari kebijakan itu. Akhirnya banyak orang yang menimbun gas. Banyak orang yang kebingungan, bisa nyari itu sampai berapa. Kalau di sini kan, memang jaraknya cukup jauh-jauh, ya. Dalam satu kabupaten tuh kan, kayaknya cuma berapa puluh agen gasnya; itu (harganya) naik. Paling akhirnya harus mencari berkilo-kilo.”

Sementara Budhis Utami dari KAPAL Perempuan menyatakan, macam-macam kebijakan di rezim baru ini terang-terangan tidak berpihak pada warga miskin dan disabilitas.

Kata Budhis Utami saat dihubungi Konde.co, Kamis (20/2/2025), bahkan kebijakan-kebijakannya kemudian membuat perempuan harus meninggal karena antri gas. Karena apa? Dalam masyarakat patriarki seperti Indonesia ini, seluruh kebutuhan, pekerjaan-pekerjaan, dan pemenuhan kebutuhan di dalam keluarga yang sifatnya domestik, itu masih dibebankan pada perempuan.

“Memang ada laki-laki yang ikut antre, gitu. Tapi kan lebih banyak perempuan. Itu kan harus melihat seperti itu.”

ASPPUK kemudian meminta kepada pemerintah untuk segera memastikan distribusi gas subsidi agar tetap mudah dijangkau oleh masyarakat kecil, serta menyediakan mekanisme penyaluran gas elpiji 3 kg yang tidak membebani perempuan UMKM dan ibu rumah tangga dalam mendapatkan gas subsidi. Lalu membuat aturan/kebijakan yang ramah pada perempuan. Khususnya perempuan pelaku usaha kecil mikro dan ibu rumah tangga. Serta melakukan sosialisasi yang lebih matang di tingkat masyarakat sebelum menerapkan kebijakan tersebut.

Pada sektor layanan publik seperti transportasi, kebijakan pengurangan subsidi semakin menyulitkan masyarakat, terutama mereka yang bergantung pada transportasi umum. Kenaikan biaya perjalanan membatasi mobilitas, khususnya bagi perempuan yang kerap mengandalkan transportasi publik untuk menjalankan aktivitas harian mereka.

Pemangkasan subsidi transportasi menambah lapisan kesulitan bagi masyarakat, terutama mereka yang bergantung pada transportasi umum. Biaya perjalanan meningkat, dan mobilitas menjadi lebih sulit, terutama bagi perempuan yang sering kali mengandalkan transportasi umum untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.

Pemangkasan ini juga menambah risiko keamanan karena perempuan terpaksa menggunakan moda transportasi pribadi yang sering kali lebih mahal dan kurang aman. Kekhawatiran ini diungkapkan oleh seorang responden yang menyatakan, “Pemangkasan subsidi transportasi umum mengakibatkan perempuan harus ambil transportasi pribadi yang membuat rentan jadi korban kejahatan (contohnya pemerkosaan oleh tukang ojek, penculikan oleh supir taksi online, perampokan di jalan).”

Dengan biaya hidup yang terus meningkat, pengurangan subsidi justru memperparah kondisi kelompok rentan yang membutuhkan akses transportasi murah dan aman.

Baca juga: Demokrasi Hari Ini, Mengapa Para Aktivis Laki-laki Bergabung di Pemerintahan Prabowo?: Wawancara Made Tony Supriatma

Di sektor pendidikan, seperti sudah diterangkan pada temuan survei, pemangkasan anggaran berdampak luas bagi mahasiswa, tenaga pengajar honorer, dan dosen. Mahasiswa menghadapi lonjakan biaya pendidikan di tengah ketidakpastian ekonomi, yang mengancam akses mereka terhadap pendidikan yang layak. Sementara itu, guru honorer yang penghasilannya sudah terbatas semakin merasa tertekan akibat pengurangan anggaran yang memengaruhi keberlanjutan pekerjaan mereka.

“Pemangkasan anggaran pendidikan akan mengancam pekerjaan saya sebagai guru honorer. Gaji sudah kecil, mau dipangkas jadi berapa lagi gaji saya?” tulis salah satu responden.

Terkait efisiensi anggaran dan pendidikan, menurut Nelly, setidaknya ada 241 guru honorer yang dirumahkan di Penajam Paser Utara. Hal itu mengguncang dunia pendidikan di sana.

“Itu jadi kebingungan, baik dari dinasnya, baik dari sekolahnya,” ungkap Nelly. Dampaknya terasa, salah satunya, oleh sekolah filial di perbatasan antar kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Barat. Jalan dan akses menuju sekolah itu susah. Sekolah filial tersebut juga hanya punya tiga guru untuk enam kelas; satu merupakan guru P3K, sedangkan dua lainnya adalah guru honorer. 

“Nah, yang dua guru honorer ini dirumahkan dengan alasan tadi. Ada undang-undang ASN tahun 2023 dan juga Kemenpan-RB, alasannya gitu,” Nelly melanjutkan. “Tapi sisi lain juga, bicara tentang efisiensi anggaran juga. Akhirnya guru-guru itu harus swadaya untuk membayar satu guru honorer, untuk mengakomodir enam kelas misalnya. Walaupun muridnya sebenarnya, secara keseluruhan, dari 6 kelas itu cuma 47-an—kalau nggak salah. Tapi kan, ada enam kelas. Ya, tetap saja proses dan materi juga berbeda.”

Terang Nelly, kondisi hanya satu orang guru yang bekerja membuat segalanya tidak terakomodir. 

“Belum lagi (guru) P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, red.). Di sini yang harusnya mau dinaikkan itu ada 3 ribuan orang. Itu nggak bisa dengan alasan efisiensi anggaran, pemotongan anggaran memang nggak cukup sebenarnya, kayak gitu.”

Sementara bagi dosen, ketidakpastian tunjangan kinerja di tengah meningkatnya biaya hidup menambah tekanan finansial yang berdampak pada kualitas pengajaran dan penelitian. Situasi ini menunjukkan bagaimana pemangkasan anggaran di sektor pendidikan memperburuk ketidaksetaraan akses dan memperlemah infrastruktur pengetahuan di Indonesia.

Baca juga: #KaburAjaDulu Tunjukkan Ekspresi Publik Yang Muak Pada Pemerintah

Gangguan ini berdampak langsung pada program kesehatan reproduksi, yang sangat penting bagi perempuan di daerah dengan akses terbatas. Selain itu, pemangkasan anggaran juga menimbulkan rasa tidak aman dalam mengakses produk kesehatan dasar seperti obat pengurang rasa sakit, terutama di kalangan perempuan yang membutuhkan jaminan kualitas produk kesehatan.

Menanggapi persoalan itu, Budhis Utami mengiyakan bahwa pemerintah dan isu kesehatan perempuan jadi semakin berjarak. 

“Semakin pelayanan itu menurun,” ujarnya. “Jadi nggak usah yang layanan kesehatan menurun—terlebih di wilayah-wilayah yang jauh. Jadi memang itu, memfokuskan pada ‘gizi’.”

Ia juga memaparkan penurunan perlindungan sosial khususnya bagi masyarakat miskin. Alokasi dana bantuan tidak lagi dikirimkan secara reguler per bulan, tetapi jadi dua bulan sekali. Kemudian anggarannya dipotong dari 400 ribu per lansia menjadi 200 ribu untuk satu lansia.

“Itu untuk lansia miskin ya, dari 400 (ribu). Di Jakarta nih ya, dari 400 ribu menjadi 200 ribu. Alasannya supaya semua mendapatkan… Lebih banyak orang yang mendapatkan. Jadi pada isu perlindungan sosialnya pun ada pemotongan gitu. Apa lagi KB; lebih tidak dianggap.”

Di luar persoalan ekonomi dan layanan publik, kebijakan pemerintah yang dianggap tidak tepat sasaran menambah rasa frustasi di kalangan masyarakat. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), misalnya, dikritik karena menambah beban finansial bagi siswa dan orang tua melalui pungutan tambahan di sekolah.

Kebijakan yang tidak melalui kajian matang dan implementasi yang tidak transparan menciptakan beban tambahan di sektor pendidikan. Serta memperburuk ketimpangan akses dan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah.

MBG juga dinilai gagal menyentuh nasib pemberdayaan perempuan. Alih-alih, ada potensi pengambilalihan program ini oleh purnawirawan TNI, seperti yang disampaikan Nelly berdasarkan kondisi di daerahnya di Penajam Paser Utara. 

Baca juga: Jadi Finalis Pemimpin Terkorup, Aktivis Tuntut Pengadilan Publik untuk Jokowi

“Bisa dicek, misalnya, banyak uji cobanya itu diambil sama purnawirawan TNI,” Nelly berkata. “Malah terkesannya itu jadi kayak ngambil… Apa, ya? Kayak rebutan proyek. Kebijakan dia justru semakin membuat perempuan semakin terkucilkan.”

Dampak jangka panjang dari Proyek Strategis Nasional (PSN) juga menimbulkan kekhawatiran serius terkait kerusakan lingkungan dan ketidakpastian ekonomi lokal. Proyek ini, yang dijalankan di lahan-lahan sensitif seperti gambut, meningkatkan risiko bencana ekologis seperti banjir dan gagal panen.

Selain merusak ekosistem, proyek besar semacam ini juga dirasa mengganggu ekonomi lokal dengan mengubah lahan produktif menjadi zona proyek yang tidak selalu memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sekitar.

Salah satu mega-PSN yang ramai dibicarakan adalah Ibu Kota Nasional (IKN) di Kalimantan. 

Nelly memaparkan situasi terkini di IKN dan masyarakat yang awalnya hidup di lahan tersebut. Sekitar sebulan yang lalu, para warga perempuan menggelar aksi di IKN terkait ketidakjelasan nasib tanah mereka yang dijadikan Bandara VVIP. Menurutnya, tanah bandara tersebut berada di bank tanah dan sampai sekarang Kementerian ATR-BPN justru malah meninjau kembali lahan tersebut.

“Bank Tanah ini kan, jadi bandara VVIP. Itu dulu lahannya dipakai untuk sawit gitu ya, punya negara lah, bahasanya,” jelas Nelly. 

“Nah, tapi karena perusahaan itu merugi, jadi mereka nggak di situ lagi. Karena ada warga di situ, dikelola semua warga. Sudah 10 tahun, 20 tahun gitu ya, sawit-sawitnya udah gede. Tiba-tiba ada kebijakan bandara VVIP ditaruh di tiga kelurahan: Jenebora, Gersik, dan Pantai Langok. Jadi Bandara VVIP itu kan butuh, pokoknya, proyeknya negara ini butuh 4 ribuan hektare. Jadi lahan-lahan warga itu digantikan tanam tumbuhnya dan rencananya akan digantikan lahan baru.”

Lanjutnya, proses bank tanah sebetulnya sudah seperti pendataan warga untuk penggantian tanah. “Tapi karena kementerian baru lagi, Nusron Wahid juga terlihat seperti itu—maksudnya kayak tidak peduli juga. Akhirnya sekarang kalau ditanya ke bank tanah, gimana? ‘Ya masih ditinjau, masih ke ATR-BPN lagi’, gitu.”

Nusron Wahid adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Sementara itu, Badan Bank Tanah dibentuk di bawah Kementerian ATR/BPN di era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi). Bank Tanah kemudian dilanjutkan di era Prabowo untuk lahan food estate dan Proyek Strategis Nasional (PSN) di IKN.

Kondisi itu pun membuat warga semakin kebingungan. Para warga perempuan juga mengeluh tentang nasib warisan untuk masa depan anak-anak mereka di tengah ketidakjelasan status tanah tersebut.

Baca juga: Nasib Kesetaraan Gender di Era Prabowo Makin Pesimis, Apakah Ada Harapan?

“Jadi ada ibu-ibu ngomong kayak gitu, yang kayak, ‘kami udah rela nih, tanah kami diambil dan dijanjikan digantikan. Sampai sekarang tidak ada. Sedangkan masih ada keluarga kita yang harus terus dibiayai’, kayak gitu,” ujar Nelly. 

Mereka akhirnya kehilangan ruang hidupnya. Awalnya, mereka bisa menghasilkan dan hidup dari lahan tersebut. Kini hal itu direnggut dari mereka. 

“Nggak bisa sama sekali ketika, misalnya, mereka mau nanam lagi di lahan yang baru. Masih belum jelas juga apa-apanya, kepemilikannya. Jadi kayak, kita sekadar mau nanam pisang sama singkong aja jadi susah. Mereka mengeluhkan itu.”

Selain proyek Bandara VVIP, banyak kemelut lainnya di sekitar proyek IKN yang berkaitan dengan penghidupan perempuan. Secara umum, pembangunan IKN sendiri telah membumihanguskan ruang hidup perempuan. Proyek yang merupakan lanjutan dari rezim Jokowi tersebut sudah berdampak panjang bagi kehidupan perempuan adat hingga perempuan pesisir di Kalimantan. Alih-alih mensejahterakan, perempuan justru tersingkir dari tanahnya sendiri.

“Dan IKN itu juga, maksudnya dia proyek lanjutan dari rezim sebelumnya, kira-kira gitu ya,” imbuh Nelly. “Dan dampaknya berarti sudah berkepanjangan dan terlalu banyak masalah. Terlalu banyak masalah yang dihadapin. Ruang hidup perempuan pesisir juga kan juga semakin tergerus. Jadi banyak yang terjadi. Yang memang justru membuat perempuan itu semakin tersingkir dari ruang-ruang hidupnya.”  

“Terutama perempuan dalam hal ini, misalnya perempuan adat. Karena, kan, mereka pengelola tanah, mereka yang punya tanah.”

Masalah-masalah tersebut menggambarkan bahwa kebijakan publik tanpa kajian mendalam dan partisipasi masyarakat berisiko menciptakan ketidakpastian yang memperburuk ekonomi dan sosial. Kenaikan biaya hidup, berkurangnya layanan esensial, dan kebijakan tak tepat sasaran membebani masyarakat, terutama perempuan dan kelompok berpenghasilan rendah. Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan ekonomi dan sosial dengan lebih mempertimbangkan dampak nyata. Tanpa pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis kebutuhan, ketidakpuasan publik dapat meningkat dan mengancam stabilitas sosial.

Mutiara Ika dari Perempuan Mahardhika menyatakan, ada 4 masalah terkait perempuan yang tak selesai dalam 100 hari pemerintahan ini. Yaitu maraknya kasus femisida, merebaknya praktik dan kebijakan diskriminatif perempuan, mundurnya RUU Perlindungan PRT dan kriminalisasi, serta intimidasi perempuan pembela HAM. Namun, justru Prabowo malah pergi mengurus food estate.

“Kriminalisasi pada Septia, pada perempuan pembela HAM lingkungan. Korban diminta berjuang sendiri, tidak ada keinginan dari pemerintah dan gebrakan yang dilakukan.”

Baca juga: Putusan MK Jadi Peluang Gibran Maju Pilpres 2024, Jokowi Disebut Mirip Suharto?

Ika mengajak publik bersama gerakan perempuan untuk bekerja bersama melihat pemerintah jika terus-menerus tidak ada gebrakan seperti ini. Seperti mengajak untuk membuat posko pembelaan perempuan, sosialisasi ke akar rumput, menagih janji pemerintah dan perusahaan atau korporat.

Sedangkan Novita dari Forum Pengada Layanan/ FPL melihat dari sisi implementasi pelaksanaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual/ TPKS, ia melihat bahwa 4 peraturan pelaksana UU TPKS belum diselesaikan dalam 100 hari ini dan masih ada 3 di Setneg dan belum diselesaikan, harusnya selesai di akhir April atau 3 tahun sejak UU TPKS disahkan, namun 3 aturan pelaksana ini tak juga diselesaikan.

“Jadi belum ada progress atas aturan pelaksana ini dalam 100 hari pemerintahan Prabowo Gibran.”

Korban kekerasan seksual misalnya, sampai saat ini masih menunggu layanan terpadu dan ini berlaku di pusat dan daerah. Saat ini baru ada pelayanan pelaksana di pusat dan belum ada di daerah.

“Jadi mekanisme layanan terpadu ini belum bisa dilaksanakan. Padahal mandatnya, 3 tahun UPTD PPA ini harus terbentuk, artinya sampai akhir April 2025 harus ada.”

Efisiensi atau pemangkasan anggaran berdampak lebih luas hingga kepada penanganan kasus kekerasan seksual. Menurut Ajeng Gandini, Manager Institute for Criminal Justice (ICJR), kasus kekerasan seksual meningkat setiap tahun. Namun negara kerap tidak berpihak pada korban.

“Hal ini diperburuk dengan kebijakan efisiensi anggaran di 100 hari pemerintahan baru,” ujar Ajeng dalam media briefing ‘100 Hari Pemerintahan Baru, Negara Masih Tak Berpihak Kepada Korban Kekerasan Seksual’, Kamis (13/2/2025) di Cikini, Jakarta Pusat. “Karena ironisnya, hampir 90% korban kekerasan seksual masih belum mendapatkan penanganan penuh dan hak atas pemulihan yang komprehensif dari negara. Sebagaimana amanat Pasal 70 ayat (1) UU TPKS termasuk kompensasi.”

Dalam acara tersebut, Konsorsium Percepatan dan Penguatan Advokasi dan Implementasi UU TPKS (ASAP!) yang terdiri dari Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), bersama dengan Perempuan Mahardhika, Forum Pengada Layanan (FPL), dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menyayangkan ketiadaan progres bermakna penghapusan kekerasan seksual dan implementasi UU TPKS. Peraturan turunan terkait Dana Bantuan Korban (DBK) juga belum dikeluarkan.

Baca juga: Catatan Hitam Hari HAM: Ada Femisida dan Kekerasan Aparat di Tengah Politik Dinasti dan Oligarki

Padahal, data SIMFONI Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sudah menunjukkan peningkatan kasus kekerasan seksual. Angkanya mencapai 13.156 pada tahun 2023. Sedangkan persentase korban yang mendapatkan perlindungan tertinggi hanya sebesar 8% pada tahun yang sama. Artinya, lebih dari 90% korban kekerasan seksual masih belum mendapatkan penanganan penuh dan pemulihan komprehensif sebagaimana tertuang pada Pasal 70 ayat (1) UU TPKS dalam hal pemberian hak restitusi dan/atau kompensasi. Sementara itu, negara masih tidak menggubris dan menganggap hal tersebut sebagai urgensi dan tanda bahaya.

Pemotongan anggaran pun berimbas pada kinerja Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pagu alokasi anggaran LPSK, yang semula berada di angka sekitar 229 miliar Rupiah, sempat akan dipangkas hingga menjadi 85 miliar Rupiah. Setelah itu, Komisi XIII DPR mengabulkan rekonstruksi efisiensi anggaran yang diajukan LPSK. Sehingga kini mereka mengamankan budget sebesar Rp 122.220.952.000. Mereka menyebut akan mengoptimalkannya untuk penanganan dan perlindungan saksi dan korban.

Di sisi lain, pemotongan anggaran hingga 62% tersebut dinilai amat berat untuk kerja-kerja terkait penanganan saksi dan korban. “Koordinasi antara LPSK dengan UPTD terkait di daerah-daerah juga, itu kan pasti butuh cost juga. Itu termasuk 85 (miliar), yang di sini tuh kecil banget. Ketika SDM-nya nggak ada, apa yang bisa dilakukan sama negara?”

Secara struktural, respons publik terhadap UU TPKS maupun RUU PPRT mencerminkan adanya kesenjangan kekuasaan. Kepentingan kelompok rentan diabaikan demi agenda politik yang lebih dominan. Ketidakmampuan negara dalam memberikan perlindungan efektif bagi perempuan dan pekerja rumah tangga menciptakan kerapuhan hukum yang membiarkan kekerasan berbasis gender dan eksploitasi ekonomi berlangsung tanpa konsekuensi yang nyata.

Situasi serupa terjadi pada RUU PPRT yang hingga kini belum disahkan. Penilaian buruk terhadap perkembangannya mencerminkan ketidakberpihakan negara terhadap kerja reproduktif yang sering kali dianggap tidak bernilai ekonomi. Pekerja rumah tangga, mayoritas di antaranya adalah perempuan, tetap terjebak dalam kondisi kerja yang eksploitatif, tanpa perlindungan hukum yang memadai. Sikap lamban pemerintah dalam memprioritaskan RUU PPRT mencerminkan bagaimana kerja domestik perempuan diabaikan dan tidak diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Periset: Luthfi Maulana Adhari
Tim Redaksi: Salsabila Putri Pertiwi & Luviana Ariyanti
Asisten periset: Laras Ciptaning Kinasih
Grafis: Ardiles & Fiona Wiputri

Artikel ini merupakan bagian dari fellowship liputan ‘Program 100 Hari Kerja Pemerintahan Prabowo-Gibran’ yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI Indonesia).

Salsabila Putri Pertiwi Luthfi Maulana Adhari, dan Luviana

Redaktur, Manajer Riset dan Pengembangan, Pemimpin Redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!