Kamu pernah punya pengalaman lucu, sedih, atau ngeselin soal jilbab? Kamu nggak sendirian lho. Ada aktivis cum penulis, Kalis Mardiasih misalnya yang punya segudang pengalaman soal jilbab. Dari yang creepy, bikin nangis, speechless, sampai jadi inspirasi tulisan.
Satu sore Kalis sedang makan sendirian di warung pecel lele sehabis capek bekerja seharian. Lagi asyik-asyiknya makan dengan lahap, satu tangannya menyuap nasi dan sepotong lele ke dalam mulut, tiba-tiba seorang muslimah yang juga berjilbab dan duduk tepat di depannya kasih komentar tanpa diminta.
“Mbak, rambutnya kemana-mana tuh. Jilbabnya nggak rapi,” katanya.
Kalis kaget. nggak nyangka bakal dapat komentar dari seseorang yang nggak dikenal soal penampilannya.
“Itu satu peristiwa yang creepy banget. Ada orang duduk di depan saya seolah-olah mengamati dan dia merasa nggak nyaman karena rambut saya keluar-keluar dari jilbab,” ujar Kalis.
Ia menuturkan dirinya punya karakteristik rambut yang membuatnya agak sulit buat tertutup sempurna oleh jilbab. Ini lantaran rambutnya tergolong jenis yang tebal dan lebat. Tambahan lagi di dahi dan sekitar telinganya banyak tumbuh anak rambut. Bahkan jarak antara anak rambut yang tumbuh di dahi dengan alis mata hanya selebar jari kelingking. Itu makanya sejak kecil ia cukup kewalahan merapikan jilbab.
Peristiwa lain ia alami saat membuat konten Instagram Reels. Ia membagikan video aktivitasnya hari itu lewat akun media sosialnya. Ia sama sekali tidak menyangka video yang menurutnya biasa-biasa saja hanya berbagi aktivitas keseharian tanpa “menyenggol” pihak manapun, tapi bisa mengundang komentar yang sempat membuatnya cukup emosional.
Baca juga: Kisah Pemaksaan Jilbab Terjadi di Banyak Tempat, Perempuan Selalu Jadi Korbannya
Ada satu pesan pribadi yang masuk dari seorang muslimah juga yang isinya mengomentari konten yang dibuatnya.
“Itu cara berjilbab apa sih mbak, anak rambut kemana-mana? Tolong ya followers Anda kan banyak, jangan ngajarin hal-hal yang nggak benar,” katanya.
Padahal kondisi rambutnya memang seperti itu, anak rambutnya tumbuh dengan masif memenuhi dahi hingga sekitar telinga. Walaupun saat ini ada banyak model jilbab, tapi tidak semua bisa dipakai oleh orang dengan karakteristik rambut atau dahi seperti dirinya. Varian model jilbab yang ada saat ini sebagian besar hanya untuk orang-orang dengan dahi lebar atau jenong. Sehingga orang dengan dahi dan karakteristik rambut seperti dirinya cukup kesulitan mencari jilbab.
“Jadi kayak bentuk dahi yang kotak dan nggak punya jidat ini tuh tidak diakomodasi oleh bentuk-bentuk ragam jilbab yang Malaysia, yang Melayu gitu loh. Jadi kayak sedih banget sih sebenarnya,” ungkap Kalis.
Berbagai cerita seputar jilbab ini ia bagikan saat peluncuran bukunya yang berjudul Esok Jilbab Kita Dirayakan, di kantor YLBHI di Jakarta pada Senin (10/3/25) lalu.
Yang Tak Dibicarakan Ketika Membicarakan Jilbab
Dari pengalaman-pengalaman itulah, Kalis merasa meskipun saat ini jilbab sudah dipakai oleh sebagian besar perempuan di Indonesia, tapi ada ragam pengalaman perempuan berjilbab yang jarang bahkan bisa dibilang tidak pernah dibicarakan. Yakni kerentanan fisik perempuan berjilbab.

Kalis menuturkan, sejak lima tahun terakhir kepalanya sering sakit karena pakai dalaman jilbab atau biasa disebut ciput. Rasa sakitnya sudah makin tak terkendali.
“Jadi dulu misalnya kalau lagi kerja, misalnya ada FGD atau workshop, biasanya waktu istirahat buat salat Zuhur itu aku bisa napas karena bisa ngelepas dalaman jilbab. Setengah jam itu kayak udah bikin enak banget,” papar Kalis.
“Tapi makin ke sini itu toleransi tubuhku terhadap rasa sakit gara-gara dalaman jilbab itu makin pendek. Jadi kayak 4 jam, 3 jam, bahkan 2 jam itu udah kerasa sakit sekali,” imbuhnya.
Pernah satu ketika Kalis sedang dalam perjalanan pulang selesai urusan kerja di Jakarta dengan kereta malam ke Yogyakarta. Di kereta rasa sakit karena dalaman jilbab sudah tak tertahankan. Ia akhirnya minta izin ke suaminya untuk buka jilbab di kereta karena rasa sakit yang menyerang.
Kalis mengaku sudah sering berkonsultasi ke dokter perihal keluhannya tersebut. Beberapa dokter menjelaskan tiap tubuh perempuan itu sangat unik dan khas kondisinya. Kalis misalnya, tubuhnya sensitif terhadap tekanan.
Sensitivitas tiap orang pun berbeda-beda. Ada yang sensitif dengan cahaya, udara, dan sebagainya. Istilah yang biasa dipakai adalah sensory sensitivity. Dari konsultasinya dengan dokter, solusi atas situasi yang ia hadapi adalah dengan mengurangi tekanan. Untuk kasus Kalis ini jadi cukup sulit karena dia tidak bisa pakai jilbab tanpa mengenakan ciput lantaran kondisi rambutnya.
“Jadi faktor orang berhasil pakai jilbab tuh banyak banget,” katanya.
Baca juga: Guru dan Aktivis Kecam Tindakan Cukur Rambut Karena Tak Pakai Ciput Jilbab
Kalis merasa situasi-situasi semacam ini jarang dibicarakan. Karena itu ia lantas memberanikan diri membagikan pengalamannya tersebut lewat story Instagram-nya. Tak disangka banyak sekali follower-nya yang memberikan tanggapan. Ada ribuan muslimah yang mengirim pesan pribadi (direct message/DM) lewat akun media sosialnya.
Pesan-pesan tersebut berisi curhat dan cerita perempuan-perempuan muslimah yang punya pengalaman mirip seperti dirinya. Ada perempuan yang kulitnya sensitif terhadap peniti misalnya, sementara ia mesti memakai peniti untuk mengaitkan kain jilbabnya. Akibatnya kulitnya sering luka dan menimbulkan bekas-bekas.
Ada juga perempuan yang bahkan sampai pingsan karena respons tubuhnya terhadap tekanan akibat memakai ciput. Sehingga ada perempuan yang akhirnya tidak lagi memakai ciput saat berjilbab dan ada juga yang memutuskan melepas jilbabnya.
Pengalaman-pengalaman personal yang ia rasakan juga pengalaman-pengalaman perempuan lain dengan jilbab ini kemudian ia dokumentasikan dalam bukunya yang kelima.
Di buku-buku sebelumnya, seperti Muslimah yang Diperdebatkan misalnya, Kalis banyak membahas aspek pengalaman-pengalaman sosial sebagai muslimah. Sementara di buku barunya Kalis lebih banyak mengeksplorasi ragam pengalaman personal muslimah berjilbab hari ini. Namun meskipun pengalaman personal, ia tak lepas dari konteks sosial, politik ekonomi masyarakatnya.
Berbagai Kepentingan Berkelindan
Data yang ada menunjukkan Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslimahnya memakai jilbab. Seperti dipaparkan Kalis, laporan penelitian Alvaro Research Center tahun 2019 berjudul “Indonesia Moeslem Report” menyebutkan muslimah berjilbab sudah meningkat di angka 74,9%. Sedangkan muslimah yang tidak memakai jilbab hanya sebanyak 25,1%. Artinya muslimah yang berjilbab kini menjadi mayoritas.
Kalis berpendapat ada banyak faktor yang berkontribusi. Industri fesyen bukan satu-satunya penentu meski ia berperan besar. Sejumlah faktor tersebut saling bertemu dan saling memberikan dukungan.
Tak dipungkiri masih ada ustaz-ustaz yang memberikan ceramah dengan pesan cenderung menakut-nakuti. Misalnya soal satu helai rambutmu yang terlihat oleh orang lain adalah satu langkah mengantarkan bapakmu ke neraka.
Di sisi lain, data-data yang menyebutkan adanya peningkatan jumlah kelas menengah Indonesia dan komposisi penduduk Indonesia yang mayoritas muslim ini kemudian direspons oleh industri fesyen. Saat ini sejumlah merek-merek besar di industri pakaian mengeluarkan scarf, baju-baju panjang yang dulu tidak pernah mereka produksi. Karena kalau merek-merek tersebut tetap bertahan dengan model-model baju yang mereka produksi sebelumnya, tidak akan laku untuk pasar Indonesia.
Sementara itu membahas jilbab di Indonesia juga tidak bisa lepas dari bahasan soal Hijabers Community. Komunitas ini punya peran mengubah persepsi orang soal jilbab yang dulu identik dengan pakaian yang tidak modis.
“Hijabers Community itu sebetulnya didirikan oleh pedagang dan desainer seperti Jenahara dan kawan-kawannya. Dia memberikan solusi gimana biar bisa pakai baju panjang tapi tetap cantik,” urai Kalis.
Baca juga: ‘Membenci Tubuh dan Menggunduli Rambut’: Orangtua Memaksaku Pakai Jilbab
Namun, Kalis menyanyangkan dan mengkritik cara-cara yang dipakai untuk menjual produknya dengan menggunakan ceramah-ceramah yang menakui-nakuti tadi. Kita bisa melacak pada tahun-tahun 2010-2015 berbagai media banyak menceritakan soal artis dan figur publik yang hijrah. Alasan yang disampaikan biasanya sangat sensasional.
Misalnya satu malam dia bermimpi ada api yang menyala-nyala dan menjilat-jilat tubuhnya. Karena itu dia merasa bahwa dia harus berjilbab, tubuhnya harus segera ditutup dan sebagainya. Cerita-cerita ini terus diproduksi selama bertahun-tahun dan disebarkan oleh berbagai media baik teks, suara maupun gambar hingga sampai ke basis massa yang populer.
Jadi tidak ada faktor tunggal untuk menjelaskan fenomena jilbab yang kini menjadi mayoritas. Ada berbagai kepentingan yang saling berkelindan. Hal-hal di atas dan banyak lainnya terkait jilbab dibahas dengan menarik oleh Kalis dalam bukunya.
Buku Esok Jilbab Kita Dirayakan menegaskan bahwa sebenarnya ada simbol kebebasan, identitas, dan pilihan bagi perempuan Muslim. Buku ini mengajak kamu untuk memahami bahwa jilbab bukan sekadar pakaian, tetapi juga ruang ekonomi dan politik.