Pemaksaan jilbab di Indonesia kerap terjadi. Perempuan jadi korban kebijakan diskriminatif.

Kisah Pemaksaan Jilbab Terjadi di Banyak Tempat, Perempuan Selalu Jadi Korbannya

Kisah-kisah pemaksaan penggunaan jilbab terjadi di banyak tempat di Indonesia. Korbannya tentu saja perempuan. Sejumlah kasus mencuat atas pemaksaan jilbab ini. Para aktivis perempuan menyebut, kondisi ini disebabkan karena adanya kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan

Khalida Zia, Direktur The Leader di Aceh, pernah menulis pengalaman salah satu temannya yang bernama Anisa (bukan Muslim dan bukan nama sebenarnya) di Konde.co. Anisa kerap diarahkan untuk memakai jilbab meski bukan Muslim lantaran dirinya tinggal di Aceh.

Selama ini, Anisa sering menerima lontaran seperti ini:

“Kamu cantik kalau kamu pakai jilbab.”

Lontaran ini sering Anisa terima, padahal Anisa bukan Muslim. Tapi ia sesekali harus memakai jilbab untuk beradaptasi dengan kebiasaan lingkungan di Aceh. Maka orang-orang di sekitarnya mulai membanding-bandingkan wajah Anisa: antara cantik atau tidak cantik jika Anisa pakai jilbab.

Sejak dulu memang ada banyak sekali pertanyaan yang ditujukan pada Anisa soal ini. Juga pertanyaan tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas agama di Aceh karena Anisa bukan Muslim. Sedangkan di Aceh, hampir semuanya Muslim. Jilbab akhirnya digunakan Anisa untuk beradaptasi di lingkungan mereka.

Di Yogyakarta, Rini Widiastuti juga pernah mengalaminya. Rini adalah orang tua murid di Gunung Kidul, Yogyakarta yang merasakan dejavu atas kejadian dugaan pemaksaan pemakaian jilbab di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Pemberitaan tentang kasus ini membawa pada memori pengalaman serupa yang juga dialaminya beberapa tahun lalu. Sebagai wali murid, Rini pernah mendampingi anak dan cucunya yang juga memiliki pengalaman terkait kewajiban memakai jilbab di sekolah negeri. Namun ketika itu Rini mengaku, dirinya tidak berani untuk terlalu frontal bicara. Mengingat persoalan ini cukup sensitif.

Ada juga konten Zavilda TV yang memaksa para perempuan mengenakan jilbab. Seorang perempuan menyatakan sebagai korban Youtube Zavilda TV yang membongkar kejadian dalam konten tersebut. Ia dipaksa melepas hijabnya lalu berpura-pura merokok oleh pemilik kanal tersebut demi konten.

Baca Juga: Jilbabisasi paksa: Ketika Sedang Menutupi, Sebenarnya Ini Sedang Mengekspos

Pemaksaan penggunaan jilbab ada di banyak tempat di Indonesia, ini bisa berujud aturan resmi atau norma yang disebarkan di lingkungan mereka.

Laporan Human Rights Watch (HRW) tentang pemaksaan pakaian perempuan di tahun 2021 menulis soal Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif yang dibuat oleh pemerintah daerah di Indonesia. Jumlahnya lebih dari 410 Perda. Menurut laporan tersebut, dampak dari peraturan-peraturan ini terlihat dalam keterangan pribadi para perempuan – sebagai siswi, guru, dokter, dan lainnya – yang dikumpulkan dalam laporan ini.

Berbagai pemerintah daerah di Indonesia telah mengeluarkan keputusan wajib jilbab mulai tahun 2001 di tiga kabupaten. Yaitu Indramayu dan Tasikmalaya (Provinsi Jawa Barat), dan Tanah Datar (Sumatra Barat). Aturan daerah yang membatasi tersebut muncul dan menyebar dengan cepat selama dua dekade terakhir, menekan jutaan anak perempuan dan perempuan di Indonesia untuk mulai memakai jilbab. Kita mengenal jilbab sebagai penutup kepala perempuan yang menutupi rambut, leher, dan dada. Biasanya dipadu dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang.

Baca Juga: ‘Membenci Tubuh dan Menggunduli Rambut’: Orangtua Memaksaku Pakai Jilbab

Para pejabat yang mengeluarkan keputusan tersebut berpendapat, jika jilbab wajib bagi perempuan Muslim untuk menutupi ‘aurat’ yang mereka anggap rambut, lengan, dan kaki, kadang juga bentuk tubuh perempuan. Perempuan dan anak perempuan menghadapi tekanan sosial dan ancaman sanksi kecuali mereka mematuhi peraturan.

Data HRW di tahun 2021 juga menyebut: hampir 150.000 sekolah di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim di Indonesia saat ini memberlakukan aturan wajib jilbab berdasarkan peraturan daerah dan nasional. Di beberapa daerah Muslim konservatif seperti Aceh dan Sumatra Barat, bahkan pelajar perempuan non-Muslim juga dipaksa untuk memakai jilbab.

Konde.co menghubungi Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang pada 27 Juli 2023. Ia menyatakan, untuk kondisi sekarang Komnas Perempuan mendata, masih terdapat 441 kebijakan diskriminatif. Tapi yang masih berlaku saat ini 305 kebijakan.

Secara garis besar, Perda diskriminatif ini terbagi menjadi 3 kategori. Yaitu Perda diskriminatif pada perempuan, pada kelompok minoritas, dan pada minoritas agama.

Baca Juga: Solidaritas Untuk Mahsa Amini Mengalir Dari Negara-Negara di Dunia

“Pada perempuan misalnya, selain pelarangan berbusana, ada aturan soal moralitas. Ada juga aturan seperti wajib baca tulis Al Quran,” kata Veryanto

Selama ini Komnas Perempuan sudah membawa kebijakan diskriminatif ini dalam rapat-rapat koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta membawa isu ini di sidang HAM PBB. Namun perjuangannya memang tidak semudah itu.

“Sidang HAM PBB di tahun ini menyebutkan laporan penting Komnas Perempuan tentang Perda diskriminatif ini. Namun kita memang masih memperjuangkan ini hingga sekarang.”

Di Indonesia, ini bukan perjuangan mudah, apalagi perjuangan pada identitas. Contohnya perjuangan pada Perda anti LGBT. Saat ini terdapat 11 Perda yang melarang LGBT. Selebihnya, pelarangan untuk agama minoritas juga merupakan sesuatu yang masih sulit dipahami pemerintah. Apalagi di tahun-tahun politik.

“Apalagi di tahun 2024 nanti, pasti banyak politikus yang menggunakan politik identitas untuk meyakinkan para pendukungnya. Ini akan jadi tahun yang sulit.”

Aturan busana terkait identitas agama di lingkungan pendidikan ini telah beberapa kali mencuat di masyarakat. Seperti pernah terjadi di Bali (2014), Jawa Barat (2016), Banyuwangi (2017), Jakarta (2017), Riau (2018), Manokwari (2019) dan Jogjakarta (2017, 2018, 2019). Kondisi itu rekat dengan berlarutnya persoalan kebijakan diskriminatif atas nama agama, moralitas, dan otonomi daerah.

Baca Juga: Ini Sudah Terjadi Berulangkali: Cerita Ibu Yang Anaknya Dipaksa Pakai Jilbab

Pemantauan dan kajian Komnas Perempuan di tahun 2021 juga menunjukkan bahwa kelahiran kebijakan daerah yang diskriminatif ini terkait dengan penguatan politik identitas primordial, terutama agama dan etnis, sejak reformasi bergulir di tahun 1998. Juga, bertaut dengan percepatan otonomi daerah tanpa mekanisme pengawasan yang mumpuni. Serta demokratisasi yang lebih bersifat prosedural daripada substantif.

Dalam kebijakan yang lahir di situasi ini, kelompok minoritas diperintahkan untuk ‘menyesuaikan diri’. Yang berarti, tunduk pada pengaturan yang mengunggulkan identitas tunggal kelompok ‘mayoritas’.

Dalam hal ini, minoritas mencakup mereka yang berbeda agama/keyakinan ataupun seagama tetapi berbeda pandang dengan kelompok pengusung kebijakan itu.

Akibat konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai target kontrol moralitas dan simbol komunitas, maka kebijakan yang diskriminatif ini memiliki dampak kerugian yang tidak proporsional bagi perempuan, sebagaimana jelas tampak dalam pelaksanaan kebijakan yang mengatur tentang busana dengan identitas agama.

Apa Upaya Pemerintah?

Pemerintah Indonesia selama ini melakukan penyikapan dengan meletakkan upaya pencegahan dan penanganan kebijakan diskriminatif melalui desain RPJMN dua periode pemerintahan baik di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Jokowi 2015-2019 hingga saat ini.

Namun pada upaya pencegahan dan penanganan kebijakan diskriminatif, ditemukan banyak sekali hambatan serta kelemahan pada tingkat pemahaman, komitmen dan konsolidasi. 

Misalnya, pada Juni 2016, Kementerian dalam Negeri (Kemendagri) telah membatalkan 3.143 Perda terkait retribusi dan pajak, sementara hingga 2019 hanya ada 38 dari 421 (9%) dari kebijakan daerah yang diskriminatif yang diklarifikasi. Upaya sistemik pada awal tahun 2021 melalui SKB tiga menteri (Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama RI) mendapatkan perlawanan dari masyarakat dan tidak didukung oleh Mahkamah Agung, yang menggambarkan lemahnya konsolidasi penghapusan diskriminasi di tingkat penyelenggara negara.

Komnas Perempuan dan Lemhannas RI sejak 2020 lalu melakukan kajian pada persoalan kebijakan diskriminatif dalam kerangka otonomi daerah dan langkah-langkah yang telah dilakukan, sehingga dapat mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk terus bahu-membahu dan mengkonsolidasikan percepatan secara sistemik penanganan dan pencegahan kebijakan diskriminatif dan menangani urgensi percepatan penanganan kebijakan diskriminatif dalam kerangka ketahanan nasional

Melalui diskusi terfokus pada dua wilayah, lima diskusi terfokus dengan ahli, kajian ini memberikan langkah-langkah rekomendasi yang perlu ditindak lanjuti oleh pemerintah secara serius dalam memastikan upaya sistemik melakukan penanganan dan pencegahan kebijakan yang memuat dan berdampak diskriminasi pada warga negara khususnya perempuan.  

Elaine Pearson dari HRW menyatakan bahwa pemerintah harus membatalkan aturan daerah yang diskriminatif ini.

“Presiden Joko Widodo harus segera membatalkan keputusan daerah yang diskriminatif dan melanggar hak perempuan dan anak perempuan,” kata Elaine Pearson, penjabat direktur Asia di Human Rights Watch.

“Keputusan-keputusan ini merugikan dan bermasalah, praktis hanya bisa diakhiri dengan tindakan pemerintah pusat.”

Peliputan ini mendapatkan dukungan dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!