Tren #deinfluencing

Tren #Deinfluencing: Katanya Mengakhiri Konsumsi Berlebihan, Padahal Kapitalistik Juga

Tren #deinfluencing di TikTok dan media sosial lainnya sebut diri 'melawan' tren konsumerisme. Padahal, praktiknya juga kapitalistik.

Konsumerisme jadi marak karena massifnya iklan hingga konten para selebritas atau influencer yang berseliweran di media sosial. Unggah haul atau borongan belanja, mempromosikan diskon dan potongan harga, lalu sadar atau tidak, jemari kita sudah bergerak ke tombol ‘checkout’ usai menyaksikan konten mereka. Fenomena itu pun memantik respon kontradiktif yang terwujud dalam bentuk tren #Deinfluencing.

Tagar #Deinfluencing sempat ramai di khalayak sosial media seperti TikTok. #Deinfluencing merupakan ‘gerakan’ atau ajakan dari para (de)influencer—membalikkan istilah influencer yang kerap berperan dalam mempromosikan konsumerisme—kepada warganet untuk hati-hati dalam membeli barang. Klaimnya, tren tersebut digunakan untuk mengatasi konsumerisme yang berlebihan. Katanya, #Deinfluencing ingin melawan budaya influencer: orang-orang di internet yang mengajak khalayaknya membeli barang, melakukan kegiatan sesuatu, atau memiliki apa pun yang influencer tersebut lakukan.

Menurut para de-influencer, sosok influencer kerap mengajak warganet untuk menggunakan produk dan menjebak mereka pada konsumsi berlebihan. Video haul jadi salah satu contoh tren influencing yang hendak mereka lawan. Tren haul membawa masyarakat membeli barang ‘borongan’ atau sebanyak-banyaknya pada waktu bersamaan. Pembeli lalu mengunggah video belanjaannya untuk membagikan kesan bahwa penontonnya juga harus melakukan yang sama. Sebab, iming-imingnya, produk-produk tersebut wajib untuk dibeli.

Baca Juga: FOMO Godaan Belanja Diskon ‘Tanggal Kembar’? Belanjalah dengan Kesadaran!

Biasanya, tren video haul tersebut marak dilakukan pada momen tanggal kembar. Platform e-commerce sering memberikan diskon besar-besaran kepada penggunanya. Tren ini juga bisa muncul ketika, misalnya, sebuah brand fesyen, kosmetik, atau skincare menyelenggarakan acara luring maupun daring.

Maka #Deinfluencing hadir di TikTok dan media sosial lain melalui ajakan-ajakan untuk membeli produk secara lebih teliti dan berhati-hati. Melalui tren ini, de-influencer—sebutan sosok yang mengajak de-influencing) dapat memaparkan pertimbangannya terhadap harga dan kualitas suatu produk. Ini untuk membantu khalayak menentukan worth it (layak) atau tidaknya produk itu untuk dibeli. De-influencer sendiri biasanya merupakan sosok individu yang belum memiliki pengikut sebanyak influencer atau selebritas besar lainnya.

Tentang #Deinfluencing dan Fast Fashion

Apakah tren deinfluencing juga berpengaruh pada minat terhadap fast fashion, yang selama ini dikritik karena eksploitatif dan merusak lingkungan?

Penelitian yang dilakukan oleh Jolien Wallbaum dalam disertasinya, ‘TikTok’s recent deinfluencing trend and  its effect on fast fashion versus slowfashion brand valuations’,  bertujuan untuk memahami pengaruh tren deinfluencing ini terhadap nilai merek. Terutama dalam perbandingan antara merek fast-fashion dan slow-fashion.

Penelitian tersebut menemukan bahwa #deinfluencing lebih efektif dalam membentuk persepsi konsumen dibandingkan dengan influencing tradisional. Konsumen cenderung lebih mempercayai sosok influencer yang secara jujur memberikan pendapat mereka. Baik itu berupa kritik terhadap produk maupun rekomendasi terhadap alternatif yang lebih baik.

Salah satu temuan utama dalam penelitian ini adalah bahwa deinfluencing memiliki dampak signifikan pada citra keberlanjutan dan persepsi etika merek. Dalam konteks fast-fashion, yang sering dikritik karena praktik produksinya yang merusak lingkungan dan eksploitasi tenaga kerja, deinfluencing dapat memberikan pukulan besar terhadap reputasi merek-merek ini.

Baca Juga: Lari (Tidak Lagi) Murah, Dampak Konsumerisme dalam Olahraga

Sebaliknya, bagi merek slow-fashion yang menekankan produksi etis dan berkelanjutan, deinfluencing justru dapat menjadi alat yang menguntungkan. Pasalnya, kritik terhadap fast-fashion seringkali diikuti dengan promosi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Ini sering kali termasuk dalam kategori slow-fashion.

Mungkin kamu sering menemui macam-macam bentuk de-influencing di internet. Misalnya, penjelasan bahwa produk A lebih layak dibeli daripada produk B, atau rekomendasi produk dupe (alternatif produk yang lebih murah dengan kualitas yang sama dari suatu produk yang dinilai mahal). Atau alternatif produk ramah lingkungan serta rekomendasi-rekomendasi produk yang worth to buy, dan lain sebagainya.

Namun, tanpa disadari, tindakan ini sering cukup cerdik. Sambil mendorong orang untuk membeli barang yang lebih ‘layak’, (de)influencer yang menggunakan tagar #deinfluencing justru memberikan ulasan negatif tentang produk yang menurut mereka tidak sebanding dengan harganya.

Tak hanya itu, mereka kerap menyarankan produk lain yang lebih baik untuk dibeli sebagai penggantinya. Maka para deinfluencer tersebut sebetulnya tetap lekat dengan konsumerisme, dengan memperkenalkan produk lain agar dibeli oleh penontonnya.

‘Cek Keranjang Kuning!’: Deinfluencing Tetap Merawat Kapitalisme

Tiktok membuat deinfluencing ini semakin menarik dan paradoks. Saat deinfluencer ingin mengakhiri budaya overkonsumerisme di Tiktok, Tiktok ‘mendukungnya’ melalui fitur keranjang kuning.

Kalau kamu familier dengan TikTok, tentu kamu tidak asing bukan, dengan jargon, “Cek keranjang kuning!”? Menilik Vox, ketika deinfluencing agak mereda, TikTok malah mengeluarkan fitur belanja yang sangat mudah diakses. Mulanya hanya aplikasi berbasis video, TikTok kini membuat fitur keranjang di pojok setiap video dan membuka akses transaksi jual-beli komersil di platform-nya. 

Keranjang tersebut terhubung ke e-commerce mereka yang menyediakan barang apa pun. Harapannya, pengguna TikTok jadi lebih mudah untuk membeli produk sambil menonton video, tanpa meninggalkan aplikasi. 

Iklim yang dibangun di TikTok adalah trik membuat pengguna bisa melihat suatu produk, lalu chekcout dengan mudah. Trik ini yang dikuasai pasar melalui influencer. Polanya, influencer menggunakan produk, kemudian memberikan ulasan baik terhadap produk tersebut. Sehingga alam bawah sadar penonton mengarah pada keranjang yang bisa menampung produk yang digunakan influencer tersebut dan tersedia di e-commerce mereka. Barang pun akhirnya dibeli penonton.

Baca Juga: Serial ‘Pay Later’: Ketika Perempuan Jadi Objek Konsumerisme dan Seksualitas

Terminologi baru seperti gatekeeping juga mendukung. Dalam konteks ini, gatekeeping berkonotasi negatif, yaitu situasi ketika seseorang tidak mau memberitahu produk, barang, atau tempat yang sedang digunakannya. Budaya rekomendasi membuat orang saling bertukar informasi mengenai barang yang worth to buy. Lantas, jika tidak memberitahu, maka orang tersebut adalah gatekeeper.

Jika semangat dari deinfluencing adalah untuk membantu menangani over-consumerism (konsumerisme berlebih), maka ia mestinya tidak sekonyong-konyong mendorong masyarakat untuk mengganti atau membeli produk. Memang, alasan seseorang mengganti produk juga terdengar baik. Misalnya karena produk pengganti lebih ramah lingkungan. Akan tetapi, dengan menggantinya saja sehingga tetap menambah produk yang dimiliki, berarti kamu tetap terjebak dalam logika pasar yang kapitalistik.

Belajar dari Film ‘Buy Now! The Shopping Conspiracy

Kemudahan dalam membeli menjadi alasan masyarakat untuk membeli produk lebih banyak. Jika dulu masyarakat harus menjangkau transportasi untuk mencari barang, pergi ke toko, melihat rak, pulang ke rumah, dan sebagainya, sekarang akses yang diberikan tempat belanja daring sangat mempermudah. Singkatnya, pesan malam ini, besok barangnya sudah sampai di depan rumah. Bahkan, bisa sampai pada hari yang sama pula.

Seseorang mungkin butuh rekomendasi saat hendak membeli suatu produk. Alasan-alasan rekomendasi pun beragam, mulai dari produk yang sensitif dengan isu lingkungan, lebih modis, lebih murah, dan sebagainya. Meski ada beragam alasan rekomendasi, kita harus tahu, hal tersebut juga dikendalikan oleh perusahaan.

Film dokumenter ‘Buy Now! The Shopping Conspiracy’ (2024), di Netflix, yang disutradarai oleh Nic Stacey, memberitahu 5 pelajaran penting untuk memaksimalkan keuntungan. Salah satunya adalah, “Sell more! (Jual lebih banyak!)”. Sebab, menjual adalah kunci kesuksesan produk. Sedangkan di sisi lain, konsumen butuh motivasi konstan untuk meningkatkan jumlah pembelian.

Baca Juga: Pacaran Tidak Harus Kirim Bunga, Rasa Sayang Lebih Dari Itu

“Tak ada yang butuh hoodie baru, tak ada yang butuh kaos baru. Tak ada yang butuh sepatu baru. Jumlahnya banyak, dan mayoritas kita punya lebih dari cukup. Yang anda butuh adalah alasan kuat untuk membeli produk itu,” Ucap Eric Liedtke, eks-presiden merek Adidas dalam ‘Buy Now! The Shopping Conspiracy’.

Maren Costa, perempuan pekerja Amazon juga diwawancarai dalam dokumenter ini. Ia merupakan seorang former user experience designer di Amazon, e-commerce terbesar di dunia. Dia bercerita bagaimana tujuan desain dari Amazon adalah untuk mempermudah setiap proses perbelanjaan agar mengurangi kekritisan dalam berbelanja secara tidak sadar.

“Dan itulah intinya, yaitu untuk mengurangi waktu yang kamu habiskan hanya untuk berpikir sedikit lebih kritis tentang pembelian yang ingin kamu lakukan,” Ucap Maren.

Menjadi Pembeli yang Baik dan Bijak

Menjadi pembeli yang baik di era modern berarti menyadari bahwa setiap tindakan konsumsi pasti menghasilkan limbah. Sadarlah bahwa produk akan menjadi sampah di kemudian hari. Di beberapa wilayah tercatat lebih dari 200 ton sampah plastik dihasilkan setiap harinya.

Menjadi pembeli yang bijak tidak hanya tentang mencari produk alternatif yang menggunakan plastik daur ulang, melainkan tentang mengurangi penggunaan plastik secara keseluruhan dan menahan diri untuk tidak membeli produk berplastik secara berlebihan.

Di balik setiap keputusan pembelian, terdapat motif yang mendasari keinginan tersebut. Tidak semua produk yang diklaim ramah lingkungan benar-benar mendukung keberlanjutan. Fenomena greenwashing, di mana perusahaan menggunakan citra alam atau bahkan menampilkan anak-anak dalam iklan untuk menciptakan kesan etis, seringkali menipu konsumen.

Penting bagi kita untuk meneliti dengan seksama apakah produk yang hendak dibeli berasal dari industri yang memproduksi barang dengan prinsip keberlanjutan atau hanya sekadar strategi pemasaran semata. Kita perlu mempertimbangkan apakah produk tersebut merupakan hasil dari industri cepat yang menghasilkan barang sekali pakai atau merupakan produk yang diciptakan dengan memperhatikan dampak sosial dan lingkungan.

Baca Juga: Cerita Frugal Living ala Claudya-Samuel, Hemat Bukan Berarti Nggak Bahagia

Dalam konteks ini, pendekatan deinfluencing menawarkan alternatif yang menarik. Dengan menolak pengaruh pesan-pesan konsumtif yang berlebihan, tren deinfluencing mendorong konsumen untuk menjadi lebih kritis terhadap pembelian yang tidak perlu/tidak layak.

Hal tersebut pada gilirannya dapat menjebak kita pada bentuk kapitalisme lain yang berfokus pada membeli produk lainnya. Alih-alih terpengaruh oleh promosi deinfluencer yang sering kali mendorong konsumsi juga, lebih baik menahan diri dan mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya.

Maka, belilah produk lebih sedikit. “Jika merasa butuh sesuatu, masukkan ke keranjang daring dan biarkan di sana selama satu bulan. Jika kamu masih menginginkannya, itu mungkin yang kamu perlu,” pungkas Maren.

(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)

Gloria Sarah Saragih

Mahasiswi Universitas Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!