Sering dengar orang ngomong ‘anjay’? Atau ‘ytta’ alias ‘yang tau-tau aja’? Sepuluh tahun lalu, dua istilah ini belum ada. Tapi kini jadi obrolan sehari-hari.
Bahasa memang dinamis, terus berubah seiring perkembangan zaman dan teknologi. Terlebih di kalangan generasi Zilenial yang hidup di era digital.
Mereka tidak hanya menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi. Tetapi juga membangun identitas dan interaksi sosial di berbagai platform seperti TikTok, Instagram, X (dulu Twitter), serta WhatsApp.
Zilenial bisa dibilang sangat berjasa terhadap penyebaran budaya populer dengan gaya bahasa mereka. Penelitian menunjukkan bahwa Gen Z mampu menciptakan variasi bahasa Indonesia ketika mengekspresikan diri menggunakan bahasa gaul di media sosial.
Baca Juga: Riset: Dompet Digital Bikin Gen Z Lebih Konsumtif, Pentingnya Jaga Gaya Hidup
Namun, studi yang dilakukan tahun 2024 terhadap 22 mahasiswa menunjukkan bahwa anak muda yang terbiasa menggunakan bahasa gaul cenderung mengalami penurunan keterampilan menulis dan berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai kaidah.
Ini menunjukkan perlunya keseimbangan dalam penggunaan bahasa Indonesia di dalam keseharian, baik itu melalui pembelajaran di kelas maupun paparan media sosial.
Ciri khas bahasa Zilenial
Zilenial adalah generasi yang lebih banyak berinteraksi secara digital daripada tatap muka langsung. Alhasil, mereka memiliki gaya berbahasa yang khas, yaitu:
1. Ekspresif dan komunikatif
Kentalnya interaksi digital membuat gaya bahasa Milenial dan Gen Z menjadi lebih santai, luwes, dan cenderung tidak formal—sehingga lebih ekspresif dan komunikatif. Ini terlihat dari banyaknya istilah gaul, singkatan, serta percampuran dengan bahasa asing atau bahasa daerah.
Zilenial menggunakan istilah gaul (slang), akronim (pemendekan istilah) dan singkatan sebagai bagian dari percakapan sehari-hari. Kata-kata seperti ‘bestie’ (teman dekat), ‘bucin’ (budak cinta), ‘pansos’ (panjat sosial), dan ‘gaskeun’ (ayo lakukan) sering muncul dalam interaksi mereka di media sosial.
Selain itu, mereka juga menggunakan singkatan seperti ‘afk’ (away from keyboard), ‘pap’ (post a picture), dan ‘vc’ (video call) untuk mempercepat komunikasi.
2. Modifikasi sesuai tren
Zilenial sering memodifikasi kata-kata agar lebih unik dan humoris, misalnya dengan mengubah kata ‘santai’ menjadi ‘santuy’, ‘malas gerak’ menjadi ‘mager’, atau ‘gak jelas’ menjadi ‘gaje’.
Imbuhan tidak baku juga mewarnai gaya komunikasi mereka, seperti dalam kata ‘ngelike’ untuk menunjukkan kegiatan menyukai sesuatu dan ‘kepencet’ yang menyatakan kondisi tidak sengaja melakukan sesuatu.
Kata ‘ngelike’ memiliki imbuhan -nge yang merupakan imbuhan dari bahasa jawa dipadukan dengan kata ‘like’ yang berasal dari bahasa Inggris. Sedangkan kata ‘kepencet’ menggunakan imbuhan -ke dalam bahasa Indonesia diikuti kata dasar ‘pencet’ dari bahasa Jawa. Secara baku, imbuhan -ke digunakan untuk menunjukkan arah atau tempat tetapi dalam kata tersebut, awalan -ke diikuti dengan kata kerja.
Baca Juga: Alasan Kenapa Gen Z Ogah Jadi Manajer di Kantor
Tren media sosial juga sangat memengaruhi gaya bahasa mereka. Kata-kata seperti ‘anjay’, ‘goks’, atau sultan menjadi populer karena sering digunakan dalam meme, video TikTok, atau cuitan di X.
Tak heran, istilah yang viral saat ini bisa tergantikan dengan istilah baru dalam hitungan bulan.
3. Campur-aduk bahasa
Pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris atau bahasa daerah juga lazim dijumpai dalam gaya komunikasi Zilenial. Frasa seperti “Gue literally gak ngerti sama vibes tempat ini,” atau “Kayaknya aku overthinking deh, fix banget,” adalah contoh bagaimana mereka mengombinasikan berbagai bahasa dalam satu kalimat.
Fenomena ini tidak lepas dari pengaruh globalisasi dan paparan budaya luar melalui internet. Pasalnya, perubahan bahasa merupakan suatu keniscayaan ketika penggunanya melakukan kontak dengan bahasa atau budaya asing.
Kreativitas yang mengancam?
Berbahasa Indonesia ala Zilenial dapat berdampak pada menurunnya kualitas menulis yang baik dan benar, berkurangnya kemampuan dalam berkomunikasi secara resmi, dan penggunaan bahasa asing secara ekstrem.
Selain itu, penggunaan bahasa gaul atau frasa dari suatu bahasa asing secara terus menerus, akan membuat bahasa tersebut masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sehingga menjadi standar bahasa Indonesia. Ini mengubah fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa standar; yakni sesuai kamus, tata bahasa baku dan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Pemakaian bahasa asing atau Inggris berpotensi menghilangkan dialek-dialek daerah yang selama ini menjadi sumber pengembangan. Data yang dihimpun dari Balai Bahasa Provinsi Maluku menunjukkan bahwa salah satu fungsi bahasa daerah adalah sebagai sumber kebahasaan yang memperkaya bahasa Indonesia. Namun, fungsi ini semakin dikuasai oleh bahasa gaul.
Terbukti, sebanyak 200 ribu kosakata baru—yang sebagian besar berasal dari istilah gaul—telah diadopsi ke dalam KBBI.
Belajar menjaga keseimbangan dari suku Nage
Mengintegrasikan pendidikan formal dan informal merupakan salah satu cara yang efektif untuk melestarikan bahasa Indonesia. Ini berkaca dari pengalaman masyarakat adat Nage di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Masuknya bahasa Nage ke dalam kurikulum sekolah membuat masyarakat Nage terus menggunakan bahasa mereka sehingga mencegah bahasa tersebut dari kepunahan. Selain itu, masyarakat Nage juga menyelenggarakan kursus yang berfungsi memperkuat pengetahuan tentang bahasa Nage.
Dalam lingkup bermasyarakat, masyarakat Nage kerap mengadakan pertunjukkan musik dan tari tradisional dengan bahasa Nage sebagai media komunikasi. Masyarakat Nage juga mendokumentasikan serta mengarsipkan segala hal yang berkaitan dengan bahasa Nage agar bahasa ini mudah dipelajari dan diteliti secara offline.
Baca Juga: Liburan Versi Gen Z dan Millennial: Keluar Kota untuk Refreshing dan Family Time
Mengacu pada cara-cara yang telah dilakukan oleh masyarakat suku Nage. Selain memasukkan bahasa Indonesia ke dalam kurikulum pembelajaran, pemerintah dapat menggandeng influencer media sosial untuk membuat konten dengan bahasa Indonesia yang baik benar. Riset menunjukkan, sebanyak 85% responden yang berusia 18 hingga 25 tahun mengaku terpengaruh oleh bahasa yang digunakan oleh influencer di media sosial.
Artinya, influencer dapat berperan sebagai aktor kunci untuk mengajak generasi muda menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pemerintah juga bisa memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengadakan pertunjukan seni menggunakan bahasa Indonesia baku. Melalui pertunjukan seni, pembelajar tidak hanya belajar suatu bahasa secara kosakata, tata bahasa dan pelafalan. Tetapi memahami konteks dalam dunia nyata.