Rezim Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah lebih dari 100 hari berjalan. Seiring dengan itu, banyak hal digarisbawahi dari catatan 100 hari pemerintahan di bawah rezim mereka. Salah satunya, tingginya partisipasi kalangan militer dalam program-program prioritas pemerintahan Prabowo.
Dalam 100 hari pertama masa kepemimpinannya, Prabowo mulai membuka akses luas bagi pihak militer untuk terlibat secara signifikan dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Bahkan sejumlah jabatan kunci dalam kabinet Prabowo-Gibran didominasi kalangan militer.
Militerisme yang terang-terangan berlangsung hari ini seperti membangkitkan Orde Baru kembali. Di tubuh Republik Indonesia, Orde Baru menanamkan kegilaan pada baris-berbaris; seolah kita terjebak dalam lakon wayang yang tiada akhir. Dalangnya berganti, namun senjata sunyi tetap menghantui. Kini pengesahan Revisi UU TNI yang hendak melegitimasi kembali praktik dwifungsi ABRI, bukan hanya mengisyaratkan nostalgia otoritarianisme. Melainkan juga membuka jalan bagi rezim Neo Orde Baru yang mengancam prinsip kedaulatan sipil.
Baca Juga: ‘Momoye, Mereka Memanggilku’: Militerisme dan Perbudakan Seksual di Era Perang Asia Timur Raya
Di balik panggung kekuasaan yang kian dimiliterisasi, deretan kasus kekerasan seksual oleh aparat keamanan tumbuh bagai rumput liar di tanah subur impunitas. Sejak rezim ini berdiri, laporan-laporan tentang pelecehan, pemerkosaan, hingga eksploitasi seksual yang melibatkan oknum militer dan polisi kerap muncul. Akan tetapi, kabar-kabar itu segera tenggelam dalam samudera pengabaian. Korbannya kebanyakan adalah perempuan dan kelompok marginal, yang harus hidup di antara taruma tak tersuarakan dan sistem peradilan yang membisu. Mereka bukan hanya berhadapan dengan pelaku. Tetapi juga dengan struktur kekuasaan yang melindungi ‘seragam’ di atas kemanusiaan.
Habis Gelap Tak Kunjung Terang: Militerisasi Kekuasaan dan Bayang-Bayang Impunitas
100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran diwarnai oleh gelombang kritik terhadap menguatnya peran militer dalam struktur kekuasaan. Gejala ini dikenali sejak pembentukan Yonif Penyangga Daerah Rawan di lima wilayah Papua untuk mengamankan Food Estate Merauke. Serta kolaborasi BP Batam dengan Korem 003 dalam proyeng Rempang Eco City. Dari dominasi jabatan strategis kabinet hingga keterlibatan aktif Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), langkah ini mengingatkan pada praktik dwifungsi ABRI di era Orde Baru. Padahal, pasca reformasi 1998, ruang politik seharusnya dikembalikan sepenuhnya ke tangan sipil sebagai prinsip dasar demokrasi.
Namun, UU TNI yang baru saja disahkan mengusung perluasan peran militer. Ini tidak sejalan dengan semangat Reformasi. Saat itu, Reformasi memosisikan TNI sebagai tentara profesional yang berfokus pada pertahanan negara. Sesuai amanat konstitusi dan prinsip demokrasi. Alih-alih memperkuat mandat tersebut, revisi yang disusun oleh DPR-RI dan presiden berpotensi mengembalikan TNI ke peran politik-sosial dan aktivitas ekonomi-bisnis, seperti pada masa Orde Baru. Sebuah langkah yang telah terbukti bertentangan dengan prinsip negara hukum, supremasi sipil, serta merusak tatanan demokrasi. Lebih jauh, revisi ini berisiko menggerogoti independensi peradilan dan memperkuat impunitas bagi anggota TNI. Sekaligus menciptakan hukum yang melindungi mereka dari pertanggungjawaban.
Baca Juga: Kenapa Perempuan Harus Tolak Revisi UU TNI? Ancaman Militerisme dari Perspektif Feminis
Di sisi lain, deretan kasus kekerasan seksual yang melibatkan aparat keamanan terus terjadi. Ini menjadi bukti nyata, betapa budaya impunitas masih melekat pada institusi negara. Komnas Perempuan mencatat, sepanjang tahun 2024 terdapat 445.502 kasus kekerasan berbasis gender; sebanyak 244 pelaku berasal dari orang-orang yang diharapkan menjadi pelindung, teladan dan perwakilan negara. Seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), Guru, Dosen, Aparat Penegak Hukum (APH), Pemerintah, Polisi, TNI, Tenaga Medis/Kesehatan, dan Pejabat Publik/Negara. Laporan kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat keamanan, mayoritas korban berasal dari kelompok marginal seperti perempuan, anak, dan masyarakat di wilayah konflik.
Logika Militer di Atas Logika Sipil dan Kekerasan Berlapis Bagi Korban
Di republik yang konon menjunjung tinggi supremasi sipil, ada sebuah paradoks. Kekerasan seksual oleh aparat keamanan kerap berakhir di lorong gelap impunitas. Sementara korban terpaksa berjalan sendiri dalam labirin hukum yang tak pernah berpihak. Kasus-kasus ini bukan sekadar pelanggaran moral individu. Melainkan bukti nyata bahwa logika militer masih menguasai logika sipil sebuah warisan kelam Orde Baru yang belum sepenuhnya hilang. Seragam bukan sekadar simbol pelayanan publik, melainkan tameng kebal yang melindungi pelaku dari jerat hukum. Sementara korban dipaksa berdamai dengan luka yang tak pernah sembuh, negara justru sibuk merawat budaya impunitas yang melanggengkan kekerasan berlapis.
Kekerasan oleh aparat tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu disertai lapisan-lapisan penderitaan yang saling bertaut, membentuk rantai opresi yang sulit diputus. Ketika korban berani melaporkan, mereka bukan hanya berhadapan dengan ketiadaan mekanisme hukum yang jelas. Tetapi juga menghadapi risiko counter-reporting; sebuah taktik licik. Antara lain, pelaku atau institusi yang seharusnya membela korban justru melaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik atau makar. Di sini, hukum berubah fungsi. Dari yang awalnya menjadi alat keadilan kini menjadi senjata balik untuk mengintimidasi. Korban yang semula mencari perlindungan, malah terjerat dalam jeruji yang sama yang seharusnya mengamankan pelaku.
Baca Juga: Kamus Feminis: Pandangan Feminisme Terhadap Oligarki dan Militerisme Yang Abaikan Kesetaraan
Lapisan berikutnya adalah kerugian material. Korban seringkali kehilangan akses ekonomi akibat tekanan sistematis. Misalnya, perempuan yang dipecat secara tidak adil dari pekerjaan karena dianggap, “Mengganggu ketertiban.” Atau keluarga korban yang dipaksa menjual aset hanya untuk membiayai perjuangan hukum yang berlarut-larut. Di tengah biaya pengobatan fisik dan psikologis yang membengkak, negara absen hadir. Tak ada skema kompensasi yang memadai, tak ada program pemulihan yang inklusif. Yang ada hanyalah janji-janji kosong yang terperangkap dalam birokrasi tanpa ujung.
Namun, kekerasan paling brutal justru datang dari ruang-ruang non-fisik: stigma sosial. Korban dipermalukan, dianggap sebagai aib yang merusak citra institusi ‘terhormat’. Di media, narasi yang dibangun seringkali bias: korban disalahkan karena ‘menggoda’, sementara pelaku dibela sebagai ‘pahlawan yang tersandung kesalahan kecil’. Bahkan di tingkat komunitas, korban dikucilkan dan dituduh sebagai pengkhianat bangsa hanya karena menuntut keadilan. Stigma ini tidak hanya melukai mental, tetapi juga memutus akses korban ke jaringan dukungan sosial. Mereka dikepung oleh kesepian, sementara pelaku tetap leluasa bergerak dalam lingkaran kekuasaan yang melindunginya.
Budaya impunitas TNI dan aparat keamanan lain tidak bisa dipisahkan dari sistem yang memeliharanya. Dari doktrin dwifungsi hingga regulasi seperti UU TNI yang mengaburkan batas kewenangan sipil-militer, negara secara struktural memberi ruang bagi kekerasan berulang. Data yang tidak transparan tentang kasus kekerasan oleh aparat adalah buktinya. Tanpa klasifikasi khusus, kasus-kasus ini dengan mudah ‘menghilang’ dari catatan resmi, seolah-olah tidak pernah terjadi. Padahal, ketiadaan data adalah bentuk kekerasan epistemik cara halus untuk menghapus jejak penderitaan korban dan mengubur sejarah kelam ini dalam ketidaktahuan kolektif.
Baca Juga: Kegilaan pada Mayor Teddy di TikTok: Bentuk Pengidolaan pada Militer di Media Sosial
Lantas, di mana letak supremasi sipil yang digadang-gadangkan? Ketika korban harus berjuang sendirian melawan raksasa institusi yang didukung anggaran negara, sementara hukum diam seribu bahasa. Yang terjadi bukanlah demokrasi, melainkan militokrasi sebuah sistem. Logika komando dan kekerasan lebih dominan daripada prinsip keadilan. Kasus-kasus seperti kematian Marsinah, kekerasan di Papua, atau pelecehan seksual di asrama militer hanyalah puncak gunung es dari sebuah rezim yang masih memuja kekerasan sebagai alat kontrol.
Korban tidak butuh belas kasih. Mereka butuh sistem yang berpihak: pengadilan independen yang tidak takut membongkar tembok impunitas, mekanisme pelaporan yang melindungi saksi, dan pendampingan holistik dari negara. Lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma: mengembalikan militer ke barak. Juga menegaskan bahwa supremasi sipil bukanlah retorika, melainkan harga mati demokrasi. Selama seragam masih lebih sakral daripada nyawa, selama itu pula kita semua adalah korban dari sebuah republik yang gagal belajar dari luka sejarahnya sendiri.






