Tsania Marwa (sumber foto: Instagram @tsaniamarwa54)

7 Tahun Terpisah dari Anak Meski Menang Hak Asuh: Cerita Tsania Marwa Tuntut Keadilan

Tsania Marwa mendesakkan petisi agar hak asuh atas anak-anaknya diakui dan dipenuhi. Ia menuntut adanya sanksi hukum bagi mantan suaminya, Atalarik Syach, yang tidak menjalani putusan pengadilan itu.

Tsania Marwa, seorang aktris dan model, masih berjuang untuk benar-benar mendapatkan hak asuh kedua anaknya. Meskipun Pengadilan Tinggi Jawa Barat telah memberikan putusan yang mengakui hak asuh Tsania atas anak-anak dari mantan suaminya, Atalarik Syach yang juga seorang aktor.

Tsania Marwa masih mengalami kendala untuk bertemu dengan kedua anaknya, Syarif dan Shabira. Ini karena Atalarik Syach tidak memberikan izin.

Ia mengungkapkan kekecewaannya, karena merasa tidak ada lembaga yang memberikan kepastian untuknya sebagai seorang ibu dengan kedua anaknya. Putusan pengadilan baginya menjadi rumit dan mengganggu kesejahteraan emosional anak-anaknya.

Haknya untuk bertemu dengan anak-anaknya telah direnggut selama bertahun-tahun. Saat itu, anaknya masih berumur 4 tahun dan 2 tahun. Sampai sekarang kedua anaknya sudah duduk di bangku sekolah dasar. Tsania masih juga terbatas dalam memberikan kasih sayang sebagai seorang ibu.

Dalam upayanya untuk mendapatkan dukungan, Tsania Marwa membuat petisi dengan judul “Buatlah Sanksi Hukum untuk yang Tidak Menjalani Putusan Hak Asuh Anak!”.

Dalam petisi tersebut, Tsania mengajak warga negara Indonesia, terutama perempuan dan ibu-ibu, untuk menandatangani dan menyebarkan petisi tersebut. Tsania berharap agar hak asuh anaknya dapat diakui dan dipenuhi.

Konde.co mewawancarai adik dari Tsania, Ghina Raihanah (7/11/2023). Pada kesempatan tersebut, Ghina menjelaskan kronologi dari tahun 2017.

Menurutnya, Tsania Marwa secara resmi mengakhiri pernikahannya dengan Atalarik Syach pada tanggal 15 Agustus 2017 setelah menjalani proses sidang perceraian di Pengadilan Agama Cibinong.

Setelah perceraian, Tsania sebetulnya memperoleh hak asuh atas kedua anaknya. Namun nyatanya, hingga saat ini Tsania belum bisa bersama dengan anak-anaknya.

Baca Juga: ‘Mrs. Chatterjee vs Norway’: Demi Hak Asuh Anak, Negara pun Ibu Lawan

“Setelah bercerai itu, kakakku Tsania pulang ke rumah orang tua bersama membawa anak-anak. Beberapa hari kemudian, mantan suaminya membawa pulang anak-anaknya ke rumahnya, kakakku ikut ke mobil. Tapi karena kakakku nggak mau masuk ke rumah itu, dia keluar dari mobil. Setelah itu, anak-anak tidak kembali ke kakakku. Pernah sekali ketemu di mal tapi cuma sekali,” jelas Ghina.

Karena tidak diperbolehkan untuk bertemu, Tsania pun sempat melakukan eksekusi penjemputan anaknya. Hal ini dilakukan pasca putusan Pengadilan Tinggi Agama Jawa Barat yang memutus hak asuh anak jatuh kepada Tsania. Namun, selama satu tahun menunggu, pihak Atalarik Syach masih belum menyerahkan anak-anak kepada ibunya.

“Sempat eksekusi membawa polisi, namun gagal. Belum ada lanjutan eksekusi berikutnya karena eksekusi pertama cukup traumatis. Selain itu, belum ada jaminan bisa dapat atau enggak“ ujar Ghina.

Selama tujuh tahun, Tsania beberapa kali mengunjungi sekolah anak-anaknya. Hal itu dilakukan karena tidak ada komunikasi dan kesempatan untuk bertemu.

“Setelah lama nggak ketemu, anak-anak canggung. Awal mereka ke sekolah, cukup kaget, kenapa uminya nggak ada? Jadi kakakku butuh effort bisa ngobrol lagi dengan anak-anaknya. Awalnya anak-anak agak dingin terhadap kakakku, makin kesini, sering visit jadi makin cair,” terang Ghina.

Tidak adanya kepastian hukum yang didapatkan Tsania untuk bersama anak-anaknya, memberikan dampak traumatis tersendiri. Pihak Tsania belum menginginkan menempuh eksekusi penjemputan berikutnya. Langkah membuat petisi pun diambil.

Ghina menjelaskan langkah ini adalah alternatif atas ketiadaan akomodasi bagi kakakknya.

“Secara hukum Indonesia belum mengakomodasi yang memenangkan hak asuh. Banyak Ibu-ibu di luar sana juga bingung. Mereka mengirim pesan kepada kakakku, juga menghadapi masalah yang sama, gimana caranya bisa bersama anak-anaknya kembali. Akhirnya karena kebuntuan itu, kami membuat petisi” lanjut Ghina.

Baca Juga: Cerai Karena KDRT, Ibu Yang Tak Bekerja Berhakkah Atas Hak Asuh Anak?

Ketidakpastian penegakan hukum bagi pemenang hak asuh ternyata banyak dialami, khususnya jika yang mendapat hak asuh adalah seorang ibu. Perempuan sebagai kelompok rentan lebih rawan untuk tidak mendapat kepastian hukum. Ghina menyebut adanya relasi kuasa yang dialami membuat putusan pengadilan diabaikan.

“Dari kami, yang dibutuhkan adalah kepastian hukum untuk memberikan hak kepada seseorang yang sudah dinyatakan menang. Data statsistik menunjukkan kasus seperti ini banyak menimpa perempuan. Mungkin ada relasi kuasa. Kami membuat petisi ini juga untuk menyadarkan bahwa kasus ini cukup urgent. Masyarakat mungkin tidak melihat, namun semua orang bisa terdampak, apalagi perempuan sebagai kelompok rentan. Semua bisa menyuarakan” tutup Ghina.

(Sumber foto: Instagram @tsaniamarwa54)

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!