‘Momoye, Mereka Memanggilku’: Militerisme dan Perbudakan Seksual di Era Perang Asia Timur Raya

Perang Asia Timur Raya mencatat sejarah militerisme dan jugun ianfu, perbudakan seksual yang dilegalkan tentara Jepang terhadap bangsa-bangsa jajahannya. Buku ‘Momoye, Mereka Memanggilku’ merangkum kisah kelam itu dari sudut pandang Mardiyem alias Momoye, salah satu penyintas jugun ianfu di Indonesia.

Namanya Mardiyem, seorang perempuan Indonesia. Ia kerap dipanggil dengan nama Jepang yang diperolehnya: Momoye. Kehidupannya adalah perjalanan menyaksikan dan mengalami perbudakan seksual yang dikenal dengan istilah jugun ianfu saat Jepang menjajah Nusantara dalam perang Asia Timur Raya. Kisah Mardiyem alias Momoye pun disajikan dalam buku ‘Momoye, Mereka Memanggilku’ karya Eka Hindra.

Perang merupakan manifestasi kekerasan sistemik yang berakar pada budaya patriarki. Sementara itu, patriarki sendiri kerap dipahami sebagai sistem sosial yang dicirikan oleh dominasi laki-laki atas perempuan. Hubungan kekuasaan disusun untuk mempertahankan otoritas dan kendali laki-laki di ranah publik dan privat. Hal ini sering diperkuat melalui norma budaya, lembaga keagamaan, sistem hukum, dan praktik sosial yang mengutamakan kepentingan laki-laki. Sistem kekuasaan semacam ini bertujuan untuk menundukkan otonomi perempuan.

Ideologi patriarki mendukung keyakinan bahwa laki-laki secara inheren lebih unggul daripada perempuan. Patriarki pun melegitimasi penggunaan kekerasan sebagai sarana untuk mempertahankan kendali. Ideologi ini tertanam dalam norma dan nilai masyarakat yang mendefinisikan relasi gender yang tidak adil dan sering kali menggambarkan agresi terhadap perempuan sebagai ekspresi ‘alami’ maskulinitas.

Berdasarkan catatan sejarah dan penelitian, jelas bahwa struktur patriarki berkontribusi signifikan terhadap berbagai bentuk kekerasan. Khususnya terhadap perempuan. Masyarakat patriarki kerap melihat kekerasan seksual sebagai metode untuk mengendalikan tubuh perempuan. Hal ini juga terjadi dalam militerisme dan peperangan. Kekerasan tidak berhenti pada serangan fisik menggunakan senjata.

Keterkaitan perang dan patriarki membuat perempuan cenderung lebih rentan menjadi korban. Upaya-upaya dilakukan untuk menguasai perempuan secara fisik, psikis, seksual, dan lebih luas pada konteks hak asasi perempuan. Buku ‘Momoye, Mereka Memanggilku’ hadir menampilkan realitas patriarki dan militerisme tersebut di Indonesia lewat perjalanan hidup Mardiyem.

Militerisme: Mesin Penindas Perempuan

Kisah dalam buku ‘Momoye, Mereka Memanggilku’ berlatarbelakang kekerasan seksual sistemik terhadap perempuan yang terjadi pada Perang Asia Timur Raya (1933 – 1945). Pelaku utamanya adalah militer Jepang yang pada periode itu menduduki sejumlah negara di Asia. 

Fenomena bermula dari militer Jepang yang terjangkit penyakit kelamin saat bangsa mereka melakukan invasi ke Cina. Rupanya penyakit itu muncul dari perlakuan kejam tentara Jepang terhadap rakyat setempat dalam upaya mengokupasi wilayah mereka. Saat itu, tanpa pandang usia, para tentara membunuh dan memperkosa sebagian besar perempuan di sana. Wabah penyakit kelamin pun menjangkiti militer Jepang.

Kondisi tersebut membuat militer Jepang akhirnya memutuskan untuk mendirikan rumah-rumah bordil untuk memenuhi hasrat seksual mereka. Dalihnya, kebijakan itu diterapkan untuk mencegah praktik pemerkosaan terhadap perempuan di wilayah jajahan Jepang. Menurut pandangan pihak militer Jepang, pendirian rumah bordil dimaksudkan untuk meminimalisir penyakit kelamin dan agar dampaknya tidak meluas.

Namun, rencana tersebut sama sekali tidak memuat aspek hak-hak dan perlindungan hukum bagi perempuan yang bekerja di sana. Kebijakan resmi pendirian rumah bordil tersebut pun menjadi gagasan yang sangat bermasalah secara etis.

Lebih dari itu, proses ‘rekrutmen’ perempuan yang akan dipekerjakan di rumah bordil tersebut umumnya dilakukan dengan cara menipu. Mereka diiming-imingi bekerja atau disekolahkan untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan, untuk sebagian kasus, proses ‘rekrutmen’ dilakukan dengan cara menculik dan membawa paksa mereka ke rumah-rumah bordil yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Pasalnya, tak ada satu pun perempuan yang ingin dipekerjakan di rumah bordil sebagai pemuas hasrat seksual. 

Jugun Ianfu, Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang

Para perempuan penghuni rumah bordil dilucuti hak-haknya dan direndahkan martabatnya. Mereka seakan-akan hanya menjadi ‘toilet umum’. Meskipun kesaksian setiap korban unik, mereka semua memiliki kesamaan: mengalami kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang brutal. Mereka berulang kali dipukuli dan dipaksa melayani seksual paling tidak 10 laki-laki pada hari-hari biasa, atau bahkan hingga 40 laki-laki pada hari-hari setelah pertempuran.

Tidak ada makanan, air, tempat tinggal yang layak, toilet, dan fasilitas mencuci yang cukup bagi mereka. Perawatan medis juga dibatasi untuk mengobati penyakit menular seksual, sterilisasi, dan aborsi paksa. Para perempuan disiksa jika mencoba melarikan diri atau menolak tentara yang hendak berhubungan seks dengan mereka. Selain itu, ancaman juga ditujukan kepada keluarga para perempuan yang mencoba bunuh diri.

Dalam bahasa Jepang, praktik itu populer dengan sebutan jugun ianfu. Istilah ini merupakan eufemisme yang secara harfiah berarti ‘perempuan yang menghibur’. Fenomena yang terjadi selama Perang Dunia II di Asia ini tercatat sebagai sejarah kelam militer Jepang yang memaksa ratusan ribu perempuan di Asia menjadi budak seks.

Baca juga: Ianfu, Luka Perbudakan Seksual Perempuan Indonesia Di Masa Penjajahan Jepang

Menurut perkiraan, sekitar 200 ribu hingga 400 ribu perempuan telah diperkerjakan sebagai budak seks oleh tentara Jepang di berbagai negeri yang mereka duduki. Sebagian dari para budak seks ini juga berasal dari negara di luar Asia yang kebetulan tidak sempat mengungsi ke luar negeri saat militer Jepang melancarkan invasi. Mereka antara lain berasal dari Australia, Burma, Tiongkok, Belanda, Filipina, Jepang, Korea, Indonesia, Timor Timur, Nugini, dan beberapa negara lain.

Di era pasca-Perang Dunia II pemerintah Jepang menyangkal keberadaan rumah-rumah bordil tersebut. Mereka juga menolak meminta maaf dan membayar ganti rugi. Penyangkalan ini dilatarbelakangi oleh motif para penguasa Jepang pasca-PD II untuk mempertahankan ‘reputasi’ Jepang di mata publik internasional.

Belakangan, terkuaklah berbagai catatan dokumen dan hasil riset tentang perilaku brutal militer Jepang terhadap perempuan semasa PD II. Ini membuat pemerintah Jepang mulai menyatakan permintaan maaf dan berupaya untuk memberikan kompensasi pada tahun 1990-an. Namun, permintaan maaf mereka dikritik karena disebut ‘tidak tulus’. Beberapa pejabat di pemerintahan Jepang juga masih terus menyangkal keberadaan jugun ianfu.

Kisah Mardiyem Menuntut Hak

Di Indonesia sendiri, sejarah mengenai jugun ianfu masih sangat samar terdengar. Pasalnya, pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap para penyintas jugun ianfu minim. Bak tenggelam dalam waktu, para penyintas yang masih hidup hingga saat ini tetap terus memperjuangkan hak-haknya. Mereka menuntut pemerintah Jepang untuk bertanggung jawab atas kejahatan masa lalunya. Sementara, sebagian besar dari mereka sudah lebih dulu berpulang, mengingat usia mereka yang sudah lebih dari 90 tahun.

Mardiyem (1929 – 2016), tokoh utama dalam buku ini, merupakan representasi dari penyintas jugun ianfu. Narasi yang tercakup di dalamnya menyebutkan bahwa Mardiyem yang kerap dipanggil Momoye—nama Jepang yang ia peroleh—ditipu oleh seorang agen dari bangsanya sendiri dengan janji untuk bekerja di grup sandiwara. Namun, perjalanan hidupnya akhirnya mengantarkan ia dan teman-temannya menjadi bagian dari sistem perbudakan seksual. Sama seperti rekan-rekannya di Asia, Mardiyem juga kerap menjadi korban kekerasan seksual dalam praktik jugun ianfu.

Selama empat dekade, praktik keji jugun ianfu tetap terselubung rapat. Keburukan ini baru mulai terungkap pada tahun 1991. Kala itu Kim Hak Soon, seorang penyintas asal Korea Selatan, dengan berani mengungkapkan kekejaman tersebut. Pengakuannya menjadi titik awal perjuangan para korban. Setelah itu, muncul keberanian dari korban lainnya. Seperti Rosa Hanson dari Filipina pada tahun 1992, Tumiah dari Indonesia pada tahun 1992, dan Mardiyem yang mulai menyuarakan pengalamannya pada tahun 1993.

Suara para penyintas akhirnya bergema di Asia. Satu demi satu memori kekerasan seksual yang dialami oleh para penyintas terungkap ke publik. Oleh karena itu, berbagai kalangan mulai melakukan penyelidikan tentang kejahatan seksual yang dilakukan oleh militer Jepang beberapa dasawarsa yang lalu, saat negeri itu menduduki Asia semasa Perang Dunia II.

Baca juga: Jugun Ianfu, Praktek Perbudakan Seksual Tentara  Jepang  Terhadap Perempuan Asia

Seperti halnya Mardiyem, pada era itu perempuan-perempuan yang disekap di berbagai rumah bordil diperlakukan secara keji. Mereka mengalami penyiksaan fisik dan mental. Termasuk pukulan dan tendangan terhadap para perempuan penghuni tangsi militer  yang enggan melayani hasrat seksual tentara Jepang. Hak dan martabat mereka sebagai perempuan telah dirampas secara paksa dan semena-mena.

Mardiyem menyatakan kisahnya dalam buku ‘Momoye, Mereka Memanggilku’. Sebutnya, ia dipaksa melakukan aborsi akibat kehamilan di rumah bordil. Mardiyem juga dipaksa 5-10 serdadu Jepang setiap hari. Saat itu Mardiyem dan beberapa perempuan muda lainnya ditempatkan di sebuah rumah bordil di daerah Telawang, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Usai Perang Dunia II, Mardiyem menemukan dirinya sebagai perempuan hampa dan tanpa harapan. Cita-citanya sebagai penyanyi telah dirusak secara brutal oleh keganasan militerisme Jepang. Kendati demikian, semangat Mardiyem mendorongnya untuk memperjuangkan hak-haknya dan menuntut kompensasi kepada pemerintah Jepang pasca-PD II.

Demi berbagi kisahnya, Mardiyem melakukan beberapa kunjungan ke Jepang. Upayanya untuk mencari keadilan akhirnya membawanya bertemu dengan dengan sejumlah penyintas yang berasal dari berbagai negara di Asia di Tokyo. Mereka berjumpa dalam  International Forum on War Compensation for The Asia Pacific Region, yang berlangsung pada tahun 1995. Mardiyem sendiri hadir melalui undangan LBH Yogyakarta. Untuk pertama kalinya, sejak setengah abad menghirup udara bebas menyusul kekalahan Jepang di tahun 1945, ia dapat bertemu langsung dengan sesama penyintas dan berbagi pengalaman getir mereka.

Dalam rangkaian kunjungannya, ia juga berbicara tentang pengalamannya di berbagai kampus Jepang. Menarik dan sekaligus mengharukan bahwa banyak mahasiswa yang ia temui merupakan anak atau cucu dari tentara Jepang di era Perang Dunia II yang terlibat dalam sistem perbudakan seksual. Ekspresi penyesalan dan permintaan maaf muncul dari para mahasiswa atas tindakan ayah atau kakek mereka atas tindakan militer Jepang di masa lalu.

Baca juga: Potret Gelap Perempuan Jugun Ianfu

Lebih dari itu, Mardiyem juga menerima pengakuan dan simpati dari sebagian masyarakat Jepang, terutama dari kalangan generasi muda pasca perang. Namun, perjalanan Mardiyem dan para penyintas perbudakan seksual untuk memperjuangkan keadilan dalam bentuk kompensai tidak berlangsung mulus.

Beberapa pejabat tinggi Jepang memang telah meminta maaf atas tindak kejahatan seksual yang dilakukan pihak militer. Namun, permintaan maaf itu hanya dinyatakan secara pribadi. Artinya, pemerintah Jepang sengaja menghindar dari kewajiban dan tanggung jawab internasionalnya untuk membayar ganti rugi atas penderitaan fisik dan mental para penyintas.

Disebutkan pula bahwa pemerintah Jepang menyuap lembaga swasta bernama Asian Women’s Fund (AWF). Tujuannya untuk memberikan ganti rugi uang tunai kepada penyintas jugun ianfu. Hal ini menuai kontroversi karena sumber dana ganti rugi bukan dari pemerintah Jepang, melainkan dari pengusaha dan masyarakat Jepang yang sama sekali tidak mengetahui masalah jugun ianfu. Pembentukan AWF dinilai berdasarkan tindakan pemerintah Jepang yang keluar dari tanggung jawab perang. Alhasil, para penyintas jugun ianfu menolak pembayaran ganti rugi dari AWF.

Di Indonesia, dana AWF ternyata diterima oleh pemerintah dan tidak secara langsung diserahkan kepada para penyintas. Oleh Kementerian Sosial RI, dana tersebut digunakan untuk membangun panti-panti sosial, Ini menimbulkan penentangan dari para penyintas jugun ianfu. Pemerintah Indonesia dinilai tidak  secara tuntas menyelesaikan permasalahan ini dan cenderung bersikap pasif. 

Baca juga: Tindak Pelecehan Youtuber Johnny Somali Terhadap Patung ‘Comfort Women’: Pentingnya Memahami Sejarah

Sebagaimana digambarkan dalam buku ini, Mardiyem bersama sekitar 400 ribu penyintas kini berangsur dimakan usia. Tidak mengherankan jika semakin sulit menemukan sosok mereka saat ini. Kalau pun para penyintas masih hidup, rata-rata usianya di atas 90 tahun. Sisa-sisa para penyintas hingga hari ini masih menanti pertanggungjawaban pemerintah Jepang. Wajah militerisme Jepang di era Perang Dunia II yang berakar pada budaya patriarki itu telah menyisakan tragedi kemanusiaan yang mengakibatkan ratusan ribu perempuan di Asia menjadi korban perbudakan seksual.

Data Buku

Judul: Momoye, Mereka Memanggilku

Penulis: Eka Hindra dan Koichi Kimura

Pengantar: Kim Young So

Penerbit: Dramaturi

Kota Penerbit: Pemalang, Jawa Tengah

Cetakan ke-2

Tahun: 2023

Tebal: 311 halaman

ISBN: 978-623-968311-4-6

Foto: Pitutur.id

(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)

Rahadi T Wiratama dan Alfisyahriin Chusnaini

Rahadi T Wiratama adalah Redaktur Prisma dan Senior Research Fellow LP3ES. Alfisyahriin Chusnaini adalah Publishing Staff LP3ES.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!