Kreator konten

Kreator Konten Juga Perlu Edukasi Literasi Digital, Tidak Hanya ‘Followers’

Pesatnya pertumbuhan industri kreator konten perlu awas terhadap penyebaran hoaks. Program edukasi literasi digital dapat membantu kreator mengembangkan keterampilan dan menciptakan komunitas.

Siapa kreator konten favoritmu? Apa kamu yakin dia—dan juga sebagian besar ‘follower’nya—sudah memiliki literasi digital yang baik?

Data dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menunjukkan bahwa hanya 6,84% masyarakat Indonesia yang sudah terliterasi. Sementara itu, indeks literasi digital di Indonesia tahun 2022—yang mengukur tingkat pemahaman dan keterampilan masyarakat dalam menggunakan teknologi digital—masih berada pada tingkat menengah, yaitu 3,54 dari rentang 1-5.

Gerakan Nasional Literasi Digital yang diinisiasi oleh Komdigi pada tahun 2021 memang merupakan inisiatif positif. Namun, gerakan ini tidak cukup. Masyarakat, khususnya pembuat (kreator) konten, memerlukan edukasi literasi digital.

Baca Juga: Banyak Kreator Konten, Namun Tak Peka Isu Kemanusiaan
Kreator konten = pelaku aktif

Pertumbuhan kreator konten di Indonesia sangat pesat. Berdasarkan data dari penyedia platform influencer marketing Famous Allstars (FAS) tahun 2022, nilai pasar industri kreator konten di Indonesia bisa mencapai Rp4 triliun hingga Rp7 triliun. Nilai tersebut bahkan dapat meningkat lima kali lipat di tahun 2027.

Pertumbuhan yang pesat ini menuntut para kreator konten untuk melek literasi digital, karena mereka bukan lagi pasif melainkan aktif membuat konten dalam bentuk tulisan, musik/ suara, gambar, foto maupun video. Selain membuat konten, mereka juga memiliki kemampuan untuk menyebarkan pesan sehingga memengaruhi pengikutnya.

Artinya, mereka membutuhkan kompetensi literasi digital, yaitu kemampuan untuk mengakses, memahami, mengintegrasikan, mengomunikasikan, mengevaluasi secara kritis, dan menciptakan informasi dengan tepat dan aman melalui teknologi digital. Sehingga, mereka tidak menggunakan kompetensi tersebut untuk hal negatif seperti menyebarkan atau bahkan membuat berita palsu.

Bagaimana caranya?

Pada 2018, Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) merumuskan kompetensi literasi digital yang dikompilasi dari berbagai sumber, yaitu: mengakses, menyeleksi, memahami, menganalisis, memverifikasi, mengevaluasi, mendistribusikan, memproduksi, partisipasi, dan kolaborasi.

Kompetensi ini dapat diturunkan ke dalam bentuk program edukasi yang berkelanjutan. Edukasi ini berupa pelatihan media sosial dengan metode yang serupa inkubasi bisnis, yaitu program pembinaan dan pengembangan kemampuan menciptakan konten yang dirancang khusus untuk membantu kreator konten mengembangkan akun media sosial.

Baca Juga: Religious Trauma dan Sulitnya Melawan Pola Pikir Patriarkis Atas Nama Norma dan Agama

Program edukasi ini dijalankan dalam periode waktu tertentu, misal delapan kali pertemuan dalam empat minggu. Lalu, program ini juga menyediakan layanan seperti mentoring, pelatihan, dan kesempatan berjejaring—bahkan memperoleh pendanaan dari sponsor.

Berikut adalah gambar pola edukasi berkelanjutan literasi digital untuk kreator konten.

Apa saja yang diperlukan dalam edukasi tersebut?

1. Pembelajaran kolaboratif

Di era digital, pengajar dapat memberikan materi kepada peserta dengan saling berkolaborasi interaktif dalam berbagai media pembelajaran. Cara ini memungkinkan peserta untuk belajar dari mana saja. Pengajar pun dapat memberikan tugas yang diberikan kepada peserta untuk dikerjakan secara berkolaborasi di dalam kelompok.

2. Pendampingan kelompok dan personal dari pendamping yang berkomitmen

Pola program inkubasi melekat erat pada mentoring atau pendampingan. Pendampingan ini tidak hanya dilakukan secara berkelompok, tapi juga personal untuk peserta yang membutuhkan. Pendamping atau mentor atau fasilitator mengamati proses pembelajaran dari peserta satu per satu, seperti pemahaman materi, dan pengerjaan tugas yang diberikan.

Ini membutuhkan fasilitator yang mau menemani dan memberikan umpan balik. Sehingga, mereka dapat belajar dari konten yang dievaluasi dan mengembangkannya menjadi lebih baik.

Program ini juga membutuhkan fasilitator yang mampu membangun ikatan emosional dengan peserta. Sebab, fasilitator memegang peran kunci dalam membangun kekompakan dan rasa memiliki atas komunitas.

3. Ruang kritis untuk tumbuh

Peserta juga diberi ruang kritis untuk saling belajar satu sama lain di dalam kelompok. Sehingga, sesama peserta dapat saling menginspirasi dan memberikan masukan atau melakukan edukasi dengan pendekatan teman sebaya.

Dalam ruang kritis ini, peserta juga berlatih nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan komitmen melalui tugas-tugas dan pembatasan waktu yang diberikan.

Misalnya, program ini memberikan tenggat waktu pengumpulan tugas kemudian merekomendasikan peserta untuk melakukan pertemuan kelompok sebelumnya, dengan agenda memaparkan draft tugas. Ini memungkinkan sesama peserta di dalam kelompok dapat saling memberikan umpan balik, bahkan memotivasi, karena mereka bisa saling sharing tantangan mengelola akun. Di sinilah peserta dapat saling menumbuhkan daya berpikir kritis dan membangun rasa kebersamaan.

4. Peserta sebagai kreator dan pengguna

Pendekatan edukasi ini berpusat pada kebutuhan peserta, seperti mencari cara terbaik agar peserta memahami pembelajaran. Contohnya melalui dialog di dalam kelompok, memecahkan kasus bersama, menekankan pada pengolahan keterampilan menciptakan konten, dan mengajak peserta untuk menciptakan konten melalui tugas yang diberikan.

Keterampilan setiap peserta, seperti mengedit gambar, video, copywriting, atau konseptor, diakomodasi dalam pelatihan ini. Semua materi yang diajarkan memperdalam kemampuan tersebut. Kemudian, tugas yang dihasilkan dapat menjadi blueprint atau kerangka kerja dalam menjalankan akun media sosial.

Sebagai contoh, peserta diberi materi umum ke khusus, yaitu strategi hingga teknis implementasi. Ini termasuk materi strategi menganalisis situasi akun, membuat target audiens, tujuan akun, pilar atau tema konten, hingga diterjemahkan ke dalam konten gambar dan video. Tugas yang diberikan pun menggunakan akun mereka sebagai contoh, sehingga dapat berguna setelahnya.

5. Regenerasi

Setelah pelatihan, para peserta yang hadir penuh dan mengerjakan semua tugas dapat direkrut menjadi pendamping angkatan berikutnya. Pendekatan ini tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga membentuk komunitas: ruang untuk berinteraksi, berefleksi secara kritis dan membangun dialog. Dengan begitu, mereka secara bersama-sama dapat menciptakan ruang kelas yang berkelanjutan.

Saat ini, kreator konten menjadi profesi yang kian diminati, khususnya di kalangan anak muda. Survei yang dilakukan oleh perusahaan mainan LEGO pada anak-anak berusia 4-12 tahun di Amerika Serikat (AS) dan Inggris, membuktikan bahwa kreator konten menjadi profesi impian mereka di masa depan.

Adanya program pelatihan literasi digital yang berkelanjutan untuk kreator konten akan melahirkan pemimpin baru di akar rumput yang membuat gerakan literasi digital semakin masif dan menjangkau lebih banyak masyarakat.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Lisa Esti Puji Hartanti

Full Lecturer at the School of Communication, Atma Jaya Catholic University of Indonesia., Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!