Di tengah perubahan sosial yang melanda masyarakat saat ini, wacana gender jadi topik yang banyak dibicarakan.
Pasalnya, seiring dengan gejolak sosial yang makin kompleks, pertanyaan-pertanyaan seputar peran, hak, dan kesetaraan individu, khususnya gender, menjadi makin mendesak.
Namun, di tengah dinamika ini, konsep empowerment atau pemberdayaan masih sering menjadi subjek perdebatan. Sebagian melihatnya sebagai sarana untuk mengangkat martabat dan kapabilitas individu, sementara yang lain masih menganggapnya sebagai sumber kontroversi dan konflik nilai.
Penting untuk memahami bahwa konsep pemberdayaan tidak hanya mengenai pemberian kekuatan kepada individu. Tetapi juga kemampuan menghadapi kritik dan pertentangan dalam pelaksanaannya.
Disinilah pentingnya memahami wacana gender terletak pada kemampuan untuk membuka ruang diskusi tentang peran, harapan, dan hak setiap individu di masyarakat.
Sementara itu, kita juga diharapkan untuk memahami bagaimana gejolak sosial memainkan peran kunci dalam dinamika ini, membentuk persepsi dan implementasi konsep gender dalam masyarakat yang terus berubah.
Dengan demikian, kita dapat membuka pintu menuju perubahan yang lebih mendalam tentang apakah pemberdayaan merupakan solusi nyata ataukah sumber kontroversi menuju perjalanan kesetaraan gender yang utuh.
Pemberdayaan: Transformasi Positif
Empowerment (pemberdayaan), dalam esensi yang paling mendasar, merupakan proses pemberdayaan individu atau kelompok untuk mengembangkan keterampilan, pengetahuan, dan kepercayaan diri.
Dalam konteks gender, pemberdayaan merujuk pada pemberian hak, tanggung jawab, dan akses yang setara kepada semua individu, terutama perempuan. Hal ini mencakup pemberian akses pendidikan, pekerjaan, kesehatan, serta memberikan hak dan keputusan yang setara sehingga mereka dapat mengambil peran aktif dalam masyarakat.
Konsep ini melibatkan redistribusi kekuasaan dan upaya untuk menciptakan lingkungan dengan setiap individu memiliki kontrol atas nasib mereka sendiri. Sejumlah studi kasus memperlihatkan bahwa implementasi pemberdayaan telah membawa perubahan positif yang signifikan.Misalnya, proyek pemberdayaan perempuan di Indonesia membantu meningkatkan taraf hidup perempuan melalui pelatihan keterampilan, pemberian modal usaha, dan dukungan psikososial. Perusahaan yang menerapkan kesetaraan gender juga menunjukkan adanya peningkatan produktivitas dan inovasi yang memberikan dampak positif bagi mereka.
Dampak positif pemberdayaan tidak hanya dirasakan oleh individu yang secara langsung terlibat, tetapi juga dirasakan masyarakat secara menyeluruh. Perempuan yang berdaya memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mendukung pendidikan anak-anak mereka. Selain itu juga menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan positif bagi generasi selanjutnya.
Meningkatnya partisipasi perempuan dalam keputusan publik dapat membawa perspektif yang beragam dan solusi yang lebih holistik dalam menanggapi tantangan sosial. Dengan demikian, pemberdayaan bukan hanya sebuah konsep tetapi menjadi landasan konkret yang memberikan dorongan positif pada individu secara khusus. Termasuk juga membangun fondasi untuk perkembangan masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.
Perubahan Paradigma: Apakah Pemberdayaan Selalu Positif?
Meskipun konsep pemberdayaan pada dasarnya memiliki tujuan yang positif, sejumlah tantangan dan kritik muncul dalam praktiknya.
Beberapa kritikus berpendapat ketika seseorang fokus kepada pemberdayaan justru dapat mengabaikan struktur ketidaksetaraan yang mendasarinya, Seperti norma sosial dan sistem kelembagaan yang tidak mendukung. Selain itu, pemberdayaan sering kali diarahkan kepada individu tanpa memperhatikan faktor struktural yang membatasi akses kesetaraan.
Pertanyaan mendasar soal apakah pemberdayaan selalu membawa dampak positif atau tidak, menciptakan perubahan paradigma dalam wacara gender. Beberapa ahli berpendapat dalam beberapa kasus, pemberdayaan dapat menciptakan ketidaksetaraan yang baru. Misalnya, dalam konteks pekerjaan, peningkatan peran perempuan di tempat kerja sering kali diikuti dengan munculnya peran ganda yang berakibat pada multi beban yang harus ditanggung perempuan.
Karena itu pemberdayaan tidak bisa hanya menyasar perempuan tanpa diikuti dengan upaya menumbuhkan sensitivitas dan perspektif gender pada semua pihak. Kita tidak bisa misalnya memberdayakan perempuan dengan mendorong mereka masuk ke wilayah publik tanpa diikuti upaya menarik laki-laki untuk masuk juga ke ranah domestik. Artinya pemberdayaan perlu diikuti dengan perubahan paradigma semua pihak terkait peran dan pembagian kerja berbasis gender.
Baca juga: Diskursus Kesetaraan Gender di X : Laki-laki Defensif Karena Merasa Diserang? Padahal Perempuan Bicara Pengalamannya
Sampai di sini kita bisa melihat bahwa pemberdayaan perlu diikuti dengan upaya mengatasi persoalan struktural yang menjadi penyebab ketidakadilan gender. Dimensi struktural dari ketimpangan gender mengacu pada pembagian kekuasaan dan sumber daya yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Persoalan dasar ini perlu diatasi sejalan dengan upaya pemberdayaan terhadap perempuan. Dengan begitu kesetaraan gender bisa terwujud.
Di sisi lain konflik nilai muncul ketika interpretasi wacana gender bersentuhan dengan nilai-nilai yang berbeda dalam masyarakat. Beberapa kelompok atau individu menolak konsep kesetaraan gender berdasarkan keyakinan budaya atau agama mereka.
Oleh karena itu, terdapat ketidaksepakatan dalam menentukan norma dan nilai-nilai yang seharusnya mendukung wacana gender. Karena itu penting untuk memahami bahwa perdebatan ini bukanlah tantangan yang merugikan, melainkan sebuah ruang untuk refleksi lebih mendalam. Dengan mempertimbangkan perubahan paradigma serta menavigasi konflik nilai, masyarakat dapat memperkuat wacana gender untuk menjadi lebih inklusif.
Peran Media dan Teknologi dalam Perubahan Sosial terkait Gender
Gejolak sosial sebagai refleksi perubahan dan ketidakpastian dalam masyarakat, memiliki dampak signifikan terhadap wacana gender. Perkembangan politik, perubahan budaya, dan pergeseran nilai-nilai sosial dapat membentuk cara kita dalam memahami gender. Misalnya, perubahan norma sosial terkait pekerjaan atau kebijakan publik dapat menciptakan peluang baru sekaligus menghadirkan hambatan dalam mewujudkan kesetaraan gender.
Media dan teknologi memainkan peran sentral dalam membentuk persepsi gender. Gambaran perempuan dan laki-laki yang disajikan oleh media dapat memengaruhi pandangan masyarakat terhadap peran gender itu sendiri. Terlebih lagi, platform media sosial bisa menjadi ruang yang memperkuat stereotipe gender. Oleh karena itu, peran media dan teknologi dalam membentuk citra gender tidak hanya mencerminkan gejolak sosial tetapi dapat menjadi agen perubahan yang begitu kuat.
Meskipun gejolak sosial dapat menciptakan momentum untuk perubahan, menggalang dukungan sosial untuk kesetaraan gender tetap menjadi sebuah tantangan. Adanya resistensi terhadap perubahan, terutama dari mereka yang merasa terancam oleh pergeseran dalam tatanan sosial dapat menghambat sebuah kemajuan.
Dalam menjelajahi dinamika gejolak sosial, penting untuk mengenali bahwa perubahan sosial bukanlah proses linier. Dengan memahami pengaruh gejolak sosial serta mengkritisi peran media dan teknologi, kita dapat mengetahui kompleksitas perubahan gender dalam masyarakat yang selalu berubah.
Karena itu pemahaman kita tentang gender perlu terus berkembang seiring dengan gejolak sosial yang terus berubah. Keterlibatan media dan teknologi dalam membentuk persepsi gender menegaskan perlunya kritisisme dan literasi gender yang lebih serius. Selain itu penting untuk menjembatani antara upaya pemberdayaan dengan penghapusan persoalan struktural terkait ketimpangan gender.
Langkah-langkah menuju kesetaraan gender harus mempertimbangkan konteks gejolak sosial yang terus berubah, serta membangun landasan yang kuat untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Hanya dengan upaya bersama, pemikiran progresif, dan kesadaran yang terus berkembang, kita dapat membuka jalan menuju masa depan yang adil gender.
Referensi
Musdah Mulia, Siti. Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
Anwar, Etin. Wacana Gender dan Feminisme di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006.
Idrus, Nurul Ilmi. Perempuan dan Pemberdayaan: Perspektif Indonesia. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2012.
Marcoes-Natsir, Lies. Gender dan Kekuasaan: Teori dan Praktik. Jakarta: Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.
(Editor: Anita Dhewy)