Diskursus Kesetaraan Gender di X : Laki-laki Defensif Karena Merasa Diserang? Padahal Perempuan Bicara Pengalamannya

Di media sosial X atau Twitter, setiap perbincangan tentang kesetaraan gender hampir selalu berujung pada pola yang sama: perempuan berbicara tentang pengalaman mereka, lalu laki-laki datang dengan sikap defensif. Apakah ini sekadar kebiasaan debat kusir di internet, atau ada pola lebih dalam yang perlu kita cermati?

Hampir setiap kali membuka platform X atau Twitter, selalu ada drama ketika membahas peran domestik. Misalnya soal hubungan suami-istri, dan segala macam dinamika heteronormatif lainnya. 

Tulisan ini akan dimulai dari cerita (yang ternyata karangan belaka) tentang pasangan yang cerai hanya karena istri nggak pernah “menyendokkan nasi” ke suaminya, sampai ada opini yang menyatakan bahwa perempuan Indonesia baru akan menuntut kesetaraan jika nikah dengan sesama orang Indonesia. Tapi, begitu nikah sama bule, mereka siap kerja kerasa memasak kayak lagi persiapan Idul Fitri. Belum lagi wacana tentang suami ideal yang “nggak patriarki”, tapi tetep harus nafkahin keluarga istri dan dilarang urusin ibunya sendiri. Ada apa sebenarnya? 

Nyaris semua narasi ini punya benang merah yang sama: laki-laki diposisikan sebagai korban feminisme dan tuntutan kesetaraan yang dianggap nggak masuk akal. Dalam perspektif ini, laki-laki selalu digambarkan sebagai pihak yang kalah, baik dalam pernikahan maupun kehidupan sosial. Kalau mereka mempertahankan peran tradisional, langsung dicap patriarki. Tapi kalau menerapkan kesetaraan, mereka merasa nggak adil karena harus cari nafkah, berbagi peran domestik, dan harus memperhatikan keluarga dua belah pihak. 

Tapi, apa memang benar laki-laki selalu dirugikan? Atau jangan-jangan mereka cuma lagi kaget sama perubahan yang mengharuskan mereka menyesuaikan diri dengan realitas baru?

Standar yang Bergeser: Dari Privilese ke Kesetaraan

Sebenarnya, masalahnya bukan karena laki-laki jadi korban dan dirugikan, tapi karena standar yang selama ini menguntungkan mereka mulai bergeser. 

Dulu, patriarki memberi laki-laki privilege: dihormati sebagai kepala keluarga, dibebaskan dari pekerjaan domestik, dan nggak perlu ngurus kerja emosional. Sekarang, dengan semakin banyaknya perempuan yang bekerja dan menuntut kesetaraan, laki-laki seperti kesulitan menerima peran baru yang lebih setara.

Padahal, selama ini perempuan sudah menjalankan semua peran itu: kerja, ngurus rumah, ngurus anak, perhatian pada keluarga suami, tanpa ditanya capek atau nggak, tanpa keluhan, dan tanpa apresiasi. Tapi, begitu laki-laki diminta berbagi tanggung jawab yang sama, tiba-tiba itu dianggap beban yang tidak adil. Seolah-olah pekerjaan yang selama ini dianggap “wajar” buat perempuan, jadi sesuatu yang terlalu berat kalau harus dilakukan laki-laki.

Nah, ketika perempuan marah, laki-laki malah bingung. Dari sudut pandang mereka, tuntutan ini seperti nggak ada habisnya. Dulu cuma perlu cari nafkah, sekarang harus memasak, bersihin rumah, ngurus anak, sampai menjaga hubungan harmonis sama keluarga dua belah pihak.

Buat laki-laki, mereka seperti mendapatkan pergeseran aturan yang mendadak. Karena selama ini mereka tumbuh dalam sistem yang tidak pernah mengajarkan bahwa pekerjaan domestik itu merupakan tanggung jawab bersama. Jadi, pas mereka akhirnya ikut membersihkan rumah atau masak, banyak yang merasa lagi “bantu istri”, bukan “ambil tanggung jawab bersama”. Dalam benak mereka, pekerjaan domestik tetap dianggap sebagai tugas utama perempuan, sementara keterlibatan mereka cuma bentuk kebaikan hati.

Laki-laki sering kali tidak menyadari betapa banyak pekerjaan domestik yang dilakukan karena hasilnya langsung terlihat, tetapi prosesnya tidak. Rumah yang bersih, makanan yang tersedia, dan pakaian yang rapi tampak seperti sesuatu yang “terjadi begitu saja”. Ini karena mereka jarang melihat seluruh prosesnya. Mirip dengan bagaimana orang sering meremehkan kerja di balik layar. Kalau sudah selesai dan rapi, orang tidak sadar seberapa banyak usaha yang dibutuhkan.

Perbedaan Ekspektasi Peran Gender

Ekspektasi bahwa istri harus “melayani” suami kayak nyendokin nasi atau menyiapkan segala kebutuhan suami tanpa diminta juga sering jadi sumber konflik yang tidak disadari. 

Buat sebagian laki-laki, ini dianggap sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian dari istri, sesuatu yang mereka lihat dari ibu atau lingkungan sejak kecil. Tapi, buat banyak perempuan, ini adalah beban domestik tambahan. Apalagi kalau istri juga bekerja di luar rumah, dan punya tanggung jawab lain.

Jadi, ketika istri tidak melakukan ekspektasi peran itu, suami merasa diabaikan atau tidak dihargai. Perempuan melihatnya sebagai permintaan yang terus menumpuk diatas beban lain yang lebih besar, sementara laki-laki melihatnya sebagai tanda bahwa istri “egois” atau “kurang perhatian”. Di sinilah perbedaan ekspektasi yang mulai bikin ketegangan.

Banyak juga laki-laki yang langsung defensif dan berkomentar.

 “Tapi aku juga udah melayani istri. Aku bawain tas, bukain pintu”. 

Nyendokin nasi itu cuma satu contoh kecil dari banyaknya beban domestik yang sering dianggap “wajar” buat perempuan. Sementara, tindakan kayak bawain tas atau bukain pintu itu lebih bersifat simbolis dan nggak dilakukan setiap hari. Padahal, kalau mau adil, mestinya laki-laki juga bisa ikut berperan aktif dalam hal-hal kecil kayak nyiapin makanan atau nyendokin nasi. Apalagi kalau kita balik pertanyaannya: apakah suami yang juga bekerja juga nyendokin nasi ke piring istri?

Baca juga: Kamus Feminis: di Mana Ada Bias Gender, di Situ Terjadi Diskriminasi Terhadap Perempuan

Masalah semakin rumit ketika suami tidak mengkomunikasikan keinginannya secara langsung, tetapi memilih untuk menggerutu di belakang. Laki-laki kesulitan mengekspresikan kebutuhan mereka secara verbal bukan karena mereka tidak memiliki kebutuhan tersebut, tetapi karena mereka tidak dibiasakan untuk melakukannya sejak kecil. Dalam banyak budaya, laki-laki dibesarkan dengan cara yang menekankan kemandirian dan ketegasan, tetapi tidak mengajarkan mereka bagaimana mengartikulasikan kebutuhan emosional dan domestik mereka dengan baik.

Konsep ini sangat selaras dengan pemikiran bell hooks, terutama dalam bukunya The Will to Change: Men, Masculinity, and Love. Dalam buku ini, bell hooks membahas bagaimana laki-laki dibesarkan dalam budaya yang menekan ekspresi emosional mereka, mengajarkan untuk tidak menunjukkan kelemahan, dan menghindari komunikasi emosional yang terbuka. Laki-laki sering kali tidak memiliki keterampilan untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka melalui kata-kata, yang mengarah pada perilaku agresif atau ledakan kemarahan yang tidak terkendali.

Ketika akhirnya mereka meminta dan istri tidak melakukannya, hal ini tidak seharusnya dianggap sebagai perlawanan atau bentuk kurangnya perhatian, tetapi sebagai tanda bahwa ada ketimpangan dalam hubungan yang perlu dikomunikasikan lebih lanjut. 

Apakah istri merasa beban rumah tangga tidak seimbang? Apakah ada ekspektasi yang berbeda tentang peran masing-masing? Hubungan yang sehat seharusnya memungkinkan kedua pihak untuk meminta sesuatu tanpa takut dianggap lemah atau egois. Jika laki-laki merasa tidak bisa meminta dengan jujur dan istri merasa keberatan ketika diminta sesuatu, maka itu adalah pertanda bahwa keseimbangan peran dalam hubungan masih perlu didiskusikan dan diperbaiki.

Feminisme Pilih-Pilih?

Opini bahwa perempuan Indonesia nuntut kesetaraan kalau nikah sama laki-laki Indonesia, tapi siap masak kayak Idul Fitri kalau nikah sama bule, sering dijadikan argumen bahwa feminisme cuma berlaku “selektif”. 

Padahal, faktanya, banyak perempuan Indonesia tetep masak dan mengurus rumah tangga, tidak peduli siapa pasangannya. Masalahnya adalah dalam pernikahan sama sesama orang Indonesia, perempuan sering menghadapi ekspektasi keluarga besar, di mana tugas domestik dan kewajiban mengurus suami dianggap sebagai hal yang melekat pada peran istri.

Sementara itu, kalau menikah sama bule, ekspektasi dari keluarga dan lingkungan sosial cenderung lebih longgar, jadi perempuan bisa lebih memilih gimana mereka mau berkontribusi dalam hubungan. Jadi, masalahnya bukan pada perempuan yang “pilih-pilih kapan mau setara”, tapi pada bagaimana relasi gender dibentuk dalam konteks budaya yang berbeda. Sistem patriarki lokal yang membuat perempuan harus memperjuangkan haknya untuk hidup lebih setara.

Wacana tentang suami ideal yang nggak patriarki tapi tetap harus nafkahin keluarga istri dan dilarang ngurusin ibunya sendiri merefleksikan betapa kompleksnya ekspektasi dalam pernikahan modern. Di satu sisi, laki-laki diharapkan jadi pasangan yang setara: nggak mendominasi istri, berbagi pekerjaan domestik, dan dukung karir istri. Tapi, di sisi lain, mereka masih dituntut untuk tetap menjalankan peran tradisional sebagai pencari nafkah utama, bahkan buat keluarga istri, sambil membatasi keterlibatan mereka sama orang tua sendiri.

Permintaan yang kayak nggak masuk akal ini tidak dianut sama semua perempuan. Bicarakan dengan pasangan dan keluarganya jika memang ekspektasi ini berat buat kamu. Begitu juga dengan menghindari konflik antara ibu dan istri, yang lagi-lagi berakar dari hasil tuntut menuntut dari patriarki juga harus dibicarakan. Kalau perempuan tidak mau dikendalikan sama keluarga suami, maka laki-laki juga baiknya ikut menentukan batasan yang sehat dalam hubungannya dengan orang tua.

Baca juga: #WomenInMaleFields, Tren TikTok Perempuan Menertawakan Absurdnya Patriarki

Jadi, jangan menyalahkan feminisme, karena sebenarnya, bukan feminisme yang merusak keluarga. Tetapi sistem patriarki yang membuat hubungan laki-laki dan ibunya menjadi rumit. 

Dalam The Reproduction of Mothering, Nancy J. Chodorow menjelaskan bahwa anak laki-laki dibesarkan dengan ketergantungan emosional terhadap ibu mereka. Dalam banyak budaya, anak laki-laki memiliki hubungan yang sangat erat dengan ibunya. Tetapi hubungan ini tidak berkembang dari pengasuhan kanak-kanak ke dewasa. Seiring bertambahnya usia, laki-laki didorong untuk menjauh dari kedekatan dengan ibu dan membangun identitas yang lebih maskulin.

Proses ini sering kali tidak terjadi secara alami, melainkan dipaksakan oleh norma sosial yang menekankan bahwa laki-laki harus mandiri, kuat, dan tidak bergantung secara emosional pada perempuan. Mereka akan meniru ayahnya, dan ketika peran ayah absen, mereka mencari model maskulin sendiri. Namun, karena ibu sering kali menjadi satu-satunya sosok pengasuh utama, laki-laki tetap memiliki ketergantungan emosional yang terselubung pada ibu mereka.

Masih menurut catatan psikoanalisis feminis, Nancy Chodorow, seorang ibu yang mengalami penurunan kehadiran suami di rumah telah mengakibatkan ibu mengalihkan kasih sayang kepada anak laki-laki. Ketika anak laki-laki menikah, ibu sering kali merasa kehilangan peran pentingnya dalam kehidupan anaknya. Ini yang sering jadi ketegangan antara menantu dan mertua. Dinamika antara istri, suami, dan mertua bukan hanya masalah pribadi. Tetapi cerminan dari bagaimana masyarakat membentuk laki-laki dan perempuan sejak kecil.

Jadi, kalau ada yang bilang feminisme merusak keluarga, sebenarnya yang merusak adalah sistem patriarki yang membuat kita punya ekspektasi gender yang kaku. Ingat: istri, ibu, dan kamu sendiri bukan musuh satu sama lain.

Baca juga: Memotret Feminisme dalam Peluncuran Buku ‘Transformasi Feminisme Indonesia: Pluralitas, Inklusivitas dan Interseksionalitas’

Alih-alih mendengar dan memperbaiki diri, laki-laki di X malah ngotot berdebat dan menganggap mereka adalah korban dari feminisme. 

Perilaku defensif dan menggerutu tadi sudah dijabarkan di atas. Sejak kecil, banyak laki-laki diajarkan bahwa mereka harus kuat, dominan, dan tidak boleh terlihat salah atau lemah. Mereka dibesarkan dengan mentalitas bahwa mengakui kesalahan berarti kalah, sedangkan mendebat memberi mereka kendali dalam percakapan.

Akhirnya terjadi pola yang berulang: perempuan menyuarakan pengalaman, laki-laki merasa diserang. Hingga akhirnya alur diskusi berubah menjadi ajang pembelaan diri laki-laki daripada refleksi kolektif. Setiap argumen seolah harus dimenangkan, bukan dipahami. 

Selama masih ada upaya untuk mempertahankan posisi dominan, maka debat di media sosial hanya akan berputar-putar  di tempat.

(Editor: Luviana Ariyanti)

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!