Kesendirian kerap kali disandingkan dengan kesepian, seolah-olah menjadi situasi yang harus dihindari dalam menjalani kehidupan. Namun, bagi sebagian perempuan, kesendirian justru menjadi bentuk afirmasi atas keberadaan diri. Sebuah ruang jeda untuk bernapas, berpikir, dan menemukan ulang makna kehidupan di tengah tuntutan berbagai peran yang mengekang.
Pemaknaan ruang ini hadir secara gamblang dalam cerpen “To Room Nineteen” (1958) karya Doris Lessing. Lalu istilah Room 19 tersebut dipinjam dan dipopulerkan kembali lewat drama Korea Because This is My First Life (2017). Meski berasal dari konteks budaya dan medium yang berbeda, keduanya mengisahkan pergulatan perempuan dalam mencari ruang personal sebagai bentuk kebebasan dan keutuhan diri.
Kesendirian dan Kebutuhan Akan Ruang
Cerpen “To Room Nineteen” berkisah tentang Susan Rawlings, perempuan kelas menengah di Inggris tahun 1960-an yang sekilas tampak ‘memiliki segalanya’. Sebut saja suami, anak-anak, rumah yang nyaman, dan kehidupan yang mapan dan tertata.
Sehari-hari ia menjalani peran sebagai ibu rumah tangga, sementara suaminya bekerja. Namun, kehidupan domestiknya yang teratur itu justru membawanya pada kehampaan eksistensial. Ia merasa hidupnya tidak pernah terbebas dari tuntutan, entah perihal mengurus anak, rumah, atau berkoordinasi dengan pekerja rumah tangga (PRT).
Bahkan ketika sedang sendirian, tuntutan domestik dari suami, anak, dan PRT itu tidak pernah memudar dan ia merasa kehilangan dirinya sendiri, seakan hidupnya bukan miliknya semata. Satu hal penting ia sadari: dirinya benar-benar menginginkan dan membutuhkan kesendirian, tanpa interupsi siapa pun.
Susan kemudian menyewa kamar hotel kecil, Room 19, bukan untuk berselingkuh, tetapi untuk menyendiri. Ruang ini menjadi simbol perlawanan diam-diam terhadap ekspektasi masyarakat atas peran perempuan yang diidealkan, seperti menjadi istri yang setia, ibu yang sabar, atau pengatur urusan rumah tangga yang andal. Di Room 19, Susan untuk pertama kalinya merasa utuh sebagai dirinya sendiri, tanpa perlu memenuhi ekspektasi siapa pun.
Narasi serupa mengalir dalam kisah Yoon Ji-ho, tokoh utama perempuan dalam drama Because This is My First Life. Sebagai penulis naskah idealis yang hidup dalam masyarakat patriarkis dan dibelit tekanan ekonomi, Ji-ho memutuskan untuk tinggal bersama seorang pria dalam pernikahan kontrak. Pernikahan itu dibuat demi alasan praktis: agar bisa memiliki kamarnya sendiri dan membayar biaya sewa yang murah.
Baca juga: Klub Buku Sebagai Tempat Aman untuk Berdiskusi dan Berekspresi
Nam Se-hee, pasangannya, adalah seorang programer di perusahaan startup dengan kepribadian kaku, tetapi menghargai batasan. Hubungan mereka tidak dibangun melalui romantisme instan, melainkan lewat proses negosiasi ruang, batas, dan kebutuhan personal masing-masing.
Ji-ho tidak mencari cinta sebagai pelarian atau pernikahan demi status sosial, melainkan sebuah bentuk ‘persekutuan hidup’ yang memberinya ruang, baik secara harfiah maupun emosional. Di tengah kerasnya realitas sosial Korea Selatan, keputusan Ji-ho untuk menikah bukan bentuk kompromi. Melainkan cara untuk tetap memiliki ruang aman berupa kamar yang dapat ia klaim sebagai miliknya.
Perlawanan Diam-Diam dan Negosiasi Ruang
Susan dan Ji-ho sama-sama mengalami keterasingan dalam dunia yang mengharuskan perempuan mengisi peran tertentu. Namun, alih-alih bersembunyi dalam peran tersebut atau mencari pelarian dari luar, keduanya memilih jalan sunyi dengan membangun ruangnya sendiri. Dalam ruang itu, kesendirian tidak lagi berarti kesepian, melainkan proses menemukan kembali diri masing-masing.
Room 19 bagi Susan adalah tempat perlindungan sekaligus perlawanan. Begitu pula dengan kamar yang dihuni Ji-ho. Sebuah ruang kecil tempat ia bisa menulis, berpikir, dan menyusun ulang kehidupannya dengan cara yang ia pilih sendiri.
Dalam “To Room Nineteen”, Doris Lessing menuliskan kalimat yang menggetarkan, “She dreamed of having a room or a place, anywhere, where she could go and sit, by herself, no one knowing where she was”. (“Ia bermimpi memiliki sebuah kamar atau tempat, di mana saja, tempat ia bisa pergi dan duduk, sendirian, tidak ada seorang pun yang tahu di mana ia berada”).
Kalimat ini menggambarkan secara gamblang kebutuhan Susan akan pemisahan ruang dari kehidupan domestik yang menelannya habis. Keinginan akan ruang itu bukan hanya bentuk pelarian, tetapi upaya terakhir untuk mempertahankan kewarasan dan identitasnya. Akan tetapi, dunia tempat Susan hidup di masa itu tidak menyediakan ruang aman bagi perempuan yang ingin menyendiri, sehingga upayanya malah berakhir tragis. Ruang yang ia harapkan menyembuhkan, justru menjadi tempat ia mengakhiri hidup.
Baca juga: Novel ‘Keberangkatan’: Perempuan Itu Mestinya Merdeka Tentukan Hidup, Tanpa Kekangan
Berbeda dengan akhir tragis Susan, Ji-ho dalam Because This is My First Life diberi peluang untuk menegosiasikan ruang personalnya. Ia ingin menulis ulang akhir ceritanya sendiri, bukan dengan tragedi, tetapi dengan kesadaran penuh akan batas-batas dan kebutuhannya. Ji-ho tidak menginginkan pernikahan yang menyerap habis jati dirinya. Sebaliknya ia menginginkan pernikahan yang memungkinkannya tetap hidup sebagai individu yang utuh dan memiliki kendali atas setiap keputusan yang diambil. Hubungan yang ia bangun dengan Se-hee bukan berbasis ketergantungan, tetapi berdiri atas kesadaran akan hak untuk menentukan ruang hidupnya sendiri.
Room 19 dalam kisah Susan dan kamar kecil dalam kehidupan Ji-ho menjadi simbol universal atas kebutuhan perempuan akan ruang personal. Ruang ini bukan cermin egoisme, melainkan kebutuhan mendasar untuk menjaga kewarasan, kreativitas, dan eksistensi diri. Kisah mereka menunjukkan bahwa kesendirian bisa menjadi bentuk perlawanan paling sunyi, tetapi juga paling jujur terhadap sistem yang masih kerap gagal menyediakan ruang jeda bagi perempuan.
Dalam dunia yang makin gaduh oleh ekspektasi dan tuntutan, ruang yang paling pribadi, entah itu kamar hotel, kamar kos, kamar mandi, atau bahkan sudut kecil untuk menulis, bisa saja menjelma tempat berpulang para perempuan untuk menjadi dirinya sendiri sebelum kembali melangkah menghadapi dunia.
Foto: imdb.com
(Editor: Anita Dhewy)