Klub Buku Sebagai Tempat Aman untuk Berdiskusi dan Berekspresi

Klub buku menjadi ruang aman untuk berdiskusi dan berbagi pengalaman melalui kegiatan baca bersama. Yuk, kita lihat apa saja kegiatan yang bisa dilakukan disana.

Artikel ini akan mengulas perjalananku dalam mengikuti pertemuan rutin baca bersama di taman yang menyuguhkan suasana santai, serta klub buku feminis yang menyediakan wadah diskusi seputar isu perempuan. 

Selain itu, terdapat beberapa tips dari peserta klub buku bagi kamu yang belum pernah mengikuti klub buku.

Sabtu sore, 8 Februari 2025 Konde.co berkesempatan menghadiri pertemuan klub buku di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. Acara klub buku tersebut rutin setiap hari Sabtu, pukul 3 hingga 5 sore. Pertemuan kali ini diselenggarakan di dekat Masjid Amir Hamzah TIM. 

“Setiap hari Sabtu sepanjang tahun, jam 3 sampai jam 5 sore. Dan tamannya itu antara 2, seringnya tuh di Taman Lapangan Banteng atau di TIM Cikini,” ujar Dhia, ketua Book Clan Jakarta, mengenai jadwal rutin baca buku bersama.

Peserta yang berdatangan tampak perseorangan sambil membawa buku bacaan mereka. Ada pula yang datang bersamaan, berdua atau bertiga dengan teman lain misalnya.

Peserta disambut hangat oleh pengurus klub buku penyelenggara, Book Clan Jakarta. Penyelenggara klub buku tersebut telah menyediakan lapak tempat duduk berupa karpet berwarna merah kotak-kotak dan duduk melingkar ala piknik di taman. Setiap peserta disambut, baik yang sudah rutin datang atau baru pertama kali hadir. 

Sudah 14 orang, sekitar pukul 15.00 WIB kegiatan pun dimulai. Kegiatan dimulai dengan pengurus klub buku memperkenalkan Book Clan dan menjelaskan agenda hari itu. 

Baca juga: 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer, Mengingat Tulisannya Tentang Perempuan Revolusioner Sampai Pelarangan Buku

Selanjutnya, perkenalan sesama peserta dengan format nama, domisili, dan cerita singkat tentang buku yang sedang dibaca/dibawa. 

Buku yang dibawa peserta beragam. Ada yang membawa buku novel, self-improvement, sejarah, filsafat, dan lain-lain. Ada pula yang membawa buku elektronik. Sekiranya peserta tidak membawa buku, peserta bisa meminjamnya kepada pengurus klub buku tersebut.

Terdapat pula pertanyaan tambahan oleh pengurus yang tiap minggunya berbeda. Karena bulan Februari lekat dengan bulan kasih sayang, prompted question pertemuan kala itu terkait buku bertemakan cinta atau kriteria pasangan peserta seperti apakah pasangan harus seorang pembaca buku atau tidak. 

“Aku bukan pembaca buku romance sih, tapi aku ga suka kalo karakter pasangan di buku tuh umurnya jauh,” ucap salah satu peserta. 

Terkait pasangan, “Gak harus suka baca buku, tetapi harus curiousity-nya tinggi,” jawab yang lain. Perkenalan tersebut dilakukan secara bergantian dan singkat sesuai urutan duduk melingkar.

Peserta Book Clan Jakarta berfoto bersama usai acara membaca dalam diam. Foto: Gloria Sarah Saragih/Konde.co.

Seiring berjalannya perkenalan, jika ada yang baru datang bisa langsung bergabung di lingkaran duduk. 

Sekitar 40 menit berkenalan, agenda berikutnya adalah membaca dalam diam. Peserta diperbolehkan untuk tidak membaca di atas karpet yang sudah disediakan. Ada yang menjauh ke bawah pohon, tetapi harus kembali lagi ke titik kumpul sekitar pukul 16.45 untuk melakukan foto bersama. Sesudah foto bersama, peserta bubar namun ada pula yang masih mengobrol satu sama lain.

Inklusif Jadi Salah Satu Pilar Book Clan Jakarta

Book Clan didirikan pada Januari 2023 pasca pandemi. Komunitas ini berawal dari satu orang yang membaca buku di taman. Seiring waktu, semakin banyak orang bergabung, hingga akhirnya menjadi komunitas yang aktif mengadakan pertemuan mingguan.

“Kita punya banyak ruang publik, dan setelah pandemi ada kebiasaan baru di mana orang suka membaca buku,” ujar Dhia menjelaskan salah satu motivasi terbentuknya komunitas ini.

Book Clan memiliki dua nilai yang diangkat, nilai pertama adalah konsistensi. Menurut mereka konsistensi penting untuk meningkatkan minat baca masyarakat. 

“Menumbuhkan minat baca itu kan ga bisa instan prosesnya, pasti takes time. Menurut kami, untuk bisa menyukseskan minat baca masyarakat supaya lebih tinggi adalah kita konsisten,” ujar Dhia.

Selain menyelenggarakan baca bersama yang dikemas dengan tajuk “Membuka Halaman”, mereka juga menjalankan berbagai program kreatif. 

“Beberapa program Book Clan ada Book Blind Date, Tulalit untuk petualangan literasi, Teliti untuk telusuri toko buku, misal di Kwitang dan Blok M. Cakuta cakuti, baca buku di kereta dan baca buku di MRT, acara kolaborasi bersama penerbit, kolaborasi bersama penulis queer misalnya Kak Stebby Julionatan,” jelas Lara, program manager Book Clan.

Pilar selain konsisten, Book Clan mengusung nilai inklusivitas. Mereka memastikan tempat pertemuan mudah diakses, bahan bacaan yang beragam, dan lingkungan yang aman bagi semua gender.

“Nilai kedua yang dianut Book Clan adalah inklusif, baik dari akses tempat ramah transportasi umum, bahan bacaan, hingga ramah terhadap peserta ragam gender, seksualitas, ekspresi gender,” Ujar Dhia

Baca juga: Memotret Feminisme dalam Peluncuran Buku ‘Transformasi Feminisme Indonesia: Pluralitas, Inklusivitas dan Interseksionalitas’

Vi, salah satu peserta, mengapresiasi bahwa perbedaan genre buku yang ada di komunitas baca. Baginya, perasaan tanpa menghakimi topik buku bacaan menjadi penting dalam suatu klub buku.

“Di sini itu gak terlalu nge-judge. Misalnya buku genre ini jelek, buku genre ini gak bagus. Jadi kalau kamu suka baca apa aja, ya silahkan aja. Gak dipermasalahkan. Bahkan yang paling sering kena stigmatize, misalnya komik, di sini gak masalah. Karena komik kan juga literasi ya,” ujar Vi.

Bagi Vi, Book Clan adalah ruang aman untuk berekspresi, baik dalam hal identitas gender maupun minat baca. Vi mengatakan bahwa dirinya ekspresif, baik dalam mengekspresikan gender, seksualitas, dan pemikiran, sejauh ini dia tidak mengalami bentuk-bentuk kekerasan. 

“Walaupun ada beberapa yang ga cocok, tetapi belum ada gesekan. Dan menurutku, itu pun udah cukup sebagai safe space bagi aku untuk eksis di dalam klub buku ini,” ujar Vi.

Sebagai komunitas yang terbuka, Book Clan juga memiliki mekanisme untuk menangani permasalahan, kekerasan seksual misalnya. Pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual dilarang datang ke pertemuan luring dan harus keluar dari grup daring sebagai bentuk perlindungan bagi anggota lainnya. 

“Si oknum ini ga boleh masuk, di-banned istilahnya dari Book Clan. Lalu ada klarifikasi dan Book Clan mengecam perbuatan tersebut,” ujar Dilly, peserta Book Clan.

Sebagai klub buku yang konsisten, Book Clan menghadapi beberapa tantangan, seperti cuaca dan relawan. Contoh lainnya adalah akses terhadap taman-taman di Jakarta. 

“Banyak banget tempat umum yang melihat kita berkerumun. Mereka curiga. Jadi kita cukup sering bersinggungan dengan satpam atau penjaga tempat,” pungkas Lara.

Fembook Club Gathering: Klub Buku Feminis

Di tempat lain di Jakarta, terdapat Fembook Club Gathering sebagai Klub Baca Feminis oleh Artsforwomen yang menyelenggarakan kegiatannya di Perpustakaan Baca di Tebet, Jakarta Selatan pada (8/2/2025). 

Tidak hanya diskusi mengenai buku, pertemuan ini menjual buku-buku dengan hasil penjualannya yang akan didonasikan kepada korban kekerasan. Fembook Club didirikan oleh Olin Monteiro, seorang aktivis, feminis, pegiat literasi yang sudah berkecimpung dalam dunia komunitas buku sejak tahun 90-an. 

Kegiatan Fembook Club Gathering pada Februari 2025. Foto: Celine

Olin bercerita, sebagai seorang aktivis, hampir setiap hari terdapat korban kekerasan yang menghubunginya untuk mendapatkan bantuan. 

“Tiap hari ada korban yang mengontak aku. Karena mendampingi korban juga butuh biaya. Misal ke rumah sakit dan itu gak ada yang danai. Fundraising ini kita gunakan untuk biaya korban yang tidak memiliki uang pergi ke dokter. Karena banyak korban kekerasan yang juga tidak memiliki BPJS. Ini juga nanti jadi persoalan,” cerita Olin kepada Konde.co saat dihubungi pada (10/2/2024).

Fungsi klub buku menurut Olin adalah untuk membuka ruang diskusi mengenai tema-tema tertentu, bukan hanya membaca buku saja. 

“Di Indonesia kita tidak diajari untuk kritis dan menganalisis apa yang kita terima dan baca. Klub ini menjadi ruang aman untuk berdiskusi, membicarakan buku yang sedang dibaca dan mengapa penting membaca buku itu,” jelas Olin.

Celine, salah satu peserta, bercerita mengenai kegiatan klub baca feminis tersebut, seperti acara dimulai dengan pengurus Artsforwomen mengenalkan kolektif mereka, kemudian peserta diminta untuk menjelaskan buku yang sedang dibaca. 

Baca juga: Baca juga: Buku Santri Waria’: Patahkan Stigma Waria yang Kurang Taat Agama

“Mulai dari suasana ruangannya itu hangat banget, jadi kayak kita dikelilingi buku-buku, terus kita dikumpulin di suatu ruangan. Sebelum mulai acara, kita disuguhi preloved buku atau garage sale. Bukunya ada buku bekas, ada juga buku baru dari penerbit Artsforwomen, kalau ga salah nama penerbitnya PBP. Hasil penjualan tersebut untuk donasi pendampingan korban kekerasan dan untuk kerja-kerja Artsforwomen. Menariknya, kita juga disuguhi makanan dan teh, risol salah satunya. Setelah itu, kita duduk melingkar menggunakan kursi,” cerita Celine kepada Konde.co pada (9/2/2025)

Pertemuan Fembook Klub Gathering. Foto: Celine/Konde.co

Diskusi dalam klub buku ini terjalin ketika peserta menceritakan buku yang sedang dibaca. 

“Kadang kalau kita lagi ceritain sesuatu (isi buku) tiba-tiba ada pertanyaan. Kayak kemarin ada yang jelasin kalau dia lagi tertarik baca buku soal queer, lalu ada Ila (teman Celine) beri rekomendasi buku yang bertemakan queer juga,” tambah Celine. 

Fembook Club tidak hanya menjadi wadah bagi para pembaca perempuan, tetapi juga terbuka bagi semua gender. Perspektif feminisme yang diusungnya bukan hanya tentang perempuan semata, melainkan tentang membicarakan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok-kelompok yang terpinggirkan.

“Klub buku yang pernah aku ikutin ga spesifik bahas satu tema, jadinya temanya lebih luas. Sedangkan Fembook Club spesifik ada temanya. Jadi punya limitasi. Tapi limitasi ini tidak berarti membatasi kekayaan pembahasannya. Justru karena membahas isu perempuan saja, ternyata ketika dikulik dan diskusiin bareng-bareng, itu bisa bersinggungan dengan problem eksistensialisme, agama, budaya,” jelas Ila kepada Konde.co pada (9/2/2025).

Baca juga: Magdalena Sitorus, Penulis Kisah-Kisah Perempuan Penyintas 1965

“Meskipun pada praktiknya itu ga semua bahas buku dalam tanda kutip feminis, ada juga yang membahas buku yang ditulis oleh penulis perempuan. Ada juga yang membahas isu queer dan lingkungan,” tambah Ila .

Fembook Club menghadapi tantangan terutama dalam mempertahankan peserta agar tetap aktif. Karena sifatnya yang sukarela, tidak semua orang bisa hadir setiap minggu atau bulan. Hal ini berkaitan dengan jadwal rutinan pertemuan klub buku tersebut.

“Maunya dua bulan sekali, tetapi realitanya gak semua orang bisa. Ini kan bersifat relawan, siapa aja yang mau ikut silahkan. Kami ada grup Artsforwomen, isinya orang-orang yang pernah ikut event kita, udah lebih dari 60 orang. Tetapi belum tentu semuanya bisa. Biasanya sebelum acara aku tanya dulu, kalian (peserta grup) pada bisa tanggal berapa baru kita buat. Jadi lebih fleksibel dan gak dijadwalin-jadwalin banget,” pungkas Olin.

Tips Mengikuti Klub Buku dari Para Peserta

Mengikuti klub buku bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan sekaligus bermanfaat. Karena tidak hanya mendapat pengetahuan, klub buku bisa menjadi ajang mencari teman baru. 

“Sekedar tips, don’t be afraid. Jangan gugup untuk ketemu sama orang. Pay attention, perhatikan event-nya setiap hari apa, apakah ini cuma spesial event atau setiap minggu. And make friends, as always,” saran Dilly.

Ada pula yang menjadikan ruang aman sebagai kriteria memilih klub buku. Ruang aman di sini berarti klub buku sebagai tempat yang bebas dari diskriminasi. 

“Jika di tempat itu kamu bisa menjadi diri kamu sendiri, itu tempat yang cocok buat kamu. Karena di sini aku bisa berekspresi apapun lewat fashion-ku, bacaanku, seksualitasku. It’s a safe space for me,” tambah Vi.

Selain itu, jangan ragu untuk memulai datang di pertemuan klub buku. Ini karena pasti ada hal yang bisa diambil dari setiap pertemuan klub buku. 

“Ga usah takut, ga usah ngerasa masih baca dikit. Aku sempet ngerasa kaya gitu, tapi aku dateng aja karena hal yang menarik dari dateng ke klub buku adalah selalu mendapatkan hal baru dari bacaan orang-orang. Berpikirlah bahwa kita akan mendapatkan hal baru di sana,” ujar Ila.

“Banyak banget klub baca buku, yang penting trial and error. Kalau ga cocok dengan teknis suatu klub baca, ya berarti ga usah dateng lagi,” pungkas Ila.

(Editor: Luviana Ariyanti)

Gloria Sarah Saragih

Mahasiswi Universitas Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!