Setiap tanggal 3 Mei, dunia memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia. Hari tersebut menjadi momen reflektif yang mengingatkan kita akan pentingnya peran pers dalam menjaga demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Sehari menjelang Hari Kebebasan Pers Sedunia, Reporters Without Borders (RSF) dalam laporan World Press Freedom Index 2025 yang dirilis Jumat (2/5) menyatakan kebebasan pers global mencapai “titik terendah sepanjang masa. RSF mengatakan indeks utama kebebasan pers telah mencapai peringkat terendah dalam 23 tahun terakhir.
Peringkat tersebut dibuat oleh para ahli berdasarkan jumlah insiden kekerasan yang melibatkan jurnalis di tiap negara, serta data lain yang relevan. Para ahli menilai situasi di sebuah negara atau wilayah dalam lima kategori yakni politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya dan keamanan.
Laporan tersebut juga mencatat tahun ini, indeks kebebasan pers di Indonesia kian merosot hingga ke posisi 127 dari 180 negara. Pada 2024, Indonesia berada di peringkat 111 di dunia dan pada 2023 di peringkat ke-108.
Kondisi ini dipengaruhi oligarki media yang berkaitan dengan kepentingan politik hingga mengarah pada peningkatan kontrol terhadap media kritis dan manipulasi informasi. Ini semua dilakukan lewat troll daring, influencer berbayar dan saluran media partisan.
Baca Juga: Jurnalis Perempuan di Asia Bersuara: Kekerasan Seksual sampai Doxing Jadi Ancaman
Dari indeks kebebasan pers yang merosot, teror kepala babi untuk jurnalis perempuan yang kritis, kekerasan jurnalis saat meliput aksi, hingga pembunuhan jurnalis perempuan menunjukkan bahwa media dan jurnalisme sedang tidak baik-baik saja.
Melalui siaran persnya, Nany Afrida, Ketua Umum AJI menyampaikan, “AJI percaya bahwa jurnalis adalah benteng kokoh bagi demokrasi yang sehat. Di tengah krisis demokrasi yang melanda Indonesia, Hari Kebebasan Pers Dunia bukan sekadar peringatan. Namun seruan untuk memperkuat solidaritas, bersatu untuk melawan represi, menciptakan jurnalisme yang bermutu, dan terus berpihak pada kepentingan publik. Hanya dengan pers yang bebas, independen, dan berkelanjutan, demokrasi bisa bertahan,”
Di tengah tantangan terhadap kebebasan pers, Indonesia juga menghadapi dinamika yang kompleks dalam menjaga independensi dan keberlanjutan media.
Pada (3/5/2025), Komite Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital Untuk Jurnalisme Berkualitas (KTP2JB) berkolaborasi dengan Indonesian Institute of Journalism (IIJ) menggelar serangkaian kegiatan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Di sana terlihat beberapa booth media berdiri rapi. Sementara di sisi lain, ada yang berdiskusi, bertemu rekan sesama jurnalis, menggelar kuis berhadiah, berjualan merchandise, dan sebagainya.
Baca Juga: Dikriminalisasi Hingga Dilecehkan, Perempuan Pembela HAM Hadapi Ancaman Berlapis di Indonesia
Mengusung tema “Media Sustainability: Strengthening Democracy and Public Trust,” acara ini menjadi wadah bagi jurnalis, pegiat literasi media, platform digital, dan pemerintah untuk berdiskusi dan mencari solusi atas tantangan yang dihadapi dunia pers saat ini.
Salah satu kegiatan yang dihadiri Konde.co, yaitu Diskusi dan Peluncuran Buku: “Masa Depan Media-Jurnalisme Alternatif di Indonesia”. Diskusi ini melibatkan media alternatif seperti Konde.co dan Project Multatuli, Dewan Pers, hingga akademisi.
Media Alternatif Menyuarakan Yang Tidak Terdengar
Pada suasana peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, media alternatif menegaskan kembali peran pentingnya dalam demokrasi. Yakni membuka ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan oleh media arus utama.
Seperti yang disampaikan oleh Luviana, Pemimpin Redaksi Konde.co, bahwa media alternatif lahir untuk menyuarakan suara yang tidak terdengar dan merupakan bagian dari gerakan aktivisme.
“Media alternatif itu memecah keheningan, melawan narasi dominan, mengubah kultur, aktivisme, dan sebagainya,” ucap Luviana.
Media alternatif di Indonesia, yang sebagian besar muncul dalam dua dekade terakhir, berangkat dari semangat aktivisme. Mereka tidak hanya menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan dan menyuarakan kepentingan publik, tetapi juga melakukan kritik terhadap standar jurnalisme konvensional yang cenderung elitis dan hanya untuk wacana tertentu.
Luviana menyebut, “Kami mengkritisi teori jurnalisme lama yang mengharuskan meliput tokoh besar atau peristiwa besar. Ini nggak sesuai dengan perspektif feminis. Narasumber kami tuh Sukinah, Suyatni, Sujilah, orang-orang yang tidak terkenal atau nggak dianggap orang.”
Baca Juga: Rully Mallay, Pengelola Rumah Aman Transpuan Mendapat SK Trimurti Award
Namun jalan yang ditempuh tidak pernah mudah. Dalam diskusi di TIM, Luviana menyoroti bahwasanya media alternatif masih sering dipandang sebelah mata, diragukan, harus memenuhi banyak syarat, hingga dituduh sebagai antek asing.
Salah satu contohnya adalah prosedur verifikasi Dewan Pers yang mensyaratkan aspek-aspek administratif. Seperti modal awal dan struktur organisasi yang kaku, yang sulit dipenuhi media independen berskala kecil. Ia merasa media alternatif sering di posisi bimbang, antara mempertahankan kualitas konten atau kuantitas konten.
Hal ini membuat pertanyaan soal keberlanjutan menjadi tantangan besar yang terus dihadapi. Dalam ekosistem media yang didominasi korporasi dan algoritma digital, media alternatif harus memikirkan ulang strategi hidupnya, dari model bisnis, pengelolaan redaksi, hingga pembiayaan.
“Untuk media kecil, cara hidup itu nggak ada bukunya,” tutur Luviana menunjukkan bahwa pengalaman media alternatif sering kali harus belajar sendiri dan mandiri.
Di sisi lain, Dewan Pers melalui Ketua Ninik Rahayu menyatakan bahwa perlindungan terhadap media alternatif tetap menjadi bagian dari agenda. Ninik menyampaikan bahwa pendataan media bukanlah kehendak sepihak Dewan Pers, melainkan bagian dari upaya membangun ekosistem pers yang kredibel.
Kekerasan Jurnalis dan PHK Di Mana-Mana: Wajah Paling Sunyi Dari Media
Bukan hanya media alternatif yang mengalami kesulitan di masa sekarang. Industri media secara global juga tengah mengalami krisis.
Selama beberapa bulan terakhir, sejumlah media besar di Indonesia melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap puluhan bahkan ratusan karyawannya. Prosesnya sering kali cepat, tidak transparan, dan minim dukungan terhadap jurnalis yang terdampak.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyorot fenomena PHK massal ini. AJI mencatat, krisis ekonomi yang melanda banyak perusahaan media telah berdampak pada kualitas liputan serta daya tahan redaksi dalam mempertahankan prinsip-prinsip jurnalisme.
Pada saat yang sama, para jurnalis yang kehilangan pekerjaan belum tentu bisa langsung pindah ke media lain. Hal ini mengingat industri media sedang menyusut, bukan berkembang, ditambah lagi dengan adanya gempuran artificial intelligence.
Kekerasan yang dialami jurnalis juga meningkat. Catatan AJI hingga 3 Mei 2025 ini, ada 38 kasus kekerasan jurnalis. Dua hari pertama Mei ini sudah tercatat 2 kasus kekerasan jurnalis. Adapun di April 2025 tercatat 8 kasus dan jumlah kasus tertinggi ada di Maret yakni 14 kasus kekerasan jurnalis.
Hal Yang Bisa Dilakukan: Ayo, Dukung Gerakan Jurnalisme Publik!
Dalam menghadapi tantangan ini, gerakan jurnalisme publik menjadi penting. Berbeda dari media arus utama yang sering terikat kepentingan korporasi, jurnalisme publik berfokus pada masyarakat.
Media alternatif di sini menjadi aktornya. Media alternatif menantang narasi dominan dan memberi ruang bagi suara yang terabaikan. Konde.co sebagai bagian dari gerakan jurnalisme publik perempuan terus melakukan kerja-kerja amplifikasi suara perempuan dan kelompok rentan.
Salah satunya, liputan Konde.co mengenai teman-teman transpuan yang tidak bisa mendapatkan BPJS memiliki dampak yang signifikan.
Teman-teman transpuan akhirnya mendapatkan hak mereka karena mendapat perhatian publik lewat liputan-liputan jurnalisme publik. Gerakan jurnalis publik seperti inilah yang memberdayakan kita semua, siapapun, untuk menjadi bagian dari cerita.
Baca Juga: Revisi UU Penyiaran Diskriminatif dan Berangus Pers, Aktivis Aksi di Berbagai Kota
Masih dalam rangka memperingati bulan kebebasan pers, perlu diingatkan kembali bahwa pers adalah tulang punggung demokrasi, tetapi pers sedang terancam.
PHK massal dapat melemahkan redaksi, kekerasan jurnalis membungkam suara, media arus utama memberitakan narasi besar, serta AI membawa tantangan etika baru. Tanpa tindakan, kita berisiko kehilangan akses terhadap informasi yang jujur dan suara yang beragam.
Gerakan jurnalisme publik tidak bisa berjalan sendiri. Ia membutuhkan dukungan kita semua. Baik dengan berlangganan media alternatif perempuan, membagikan ulang konten, mendukung keselamatan jurnalis, hingga menjadi jurnalis warga adalah cara-cara mendukung gerakan ini.
(Editor: Anita Dhewy)