‘Buen Vivir’: Belajar Dari Amerika Latin tentang Filosofi Hidup Yang Melampaui Kapitalisme

Ketika ekonomi ekstraktivisme menjadi andalan sistem ekonomi Indonesia, sebuah upaya untuk melampaui sistem yang merusak dilakukan negara-negara di Amerika Latin. Seperti Bolivia yang memasukkan buen vivir, filosofi 'hidup dengan baik' dalam konstitusi negaranya.

Ruang publik kita beberapa hari terakhir ramai dengan polemik soal tambang di Raja Ampat, Papua. Isu ini mencuat seiring dengan protes aktivis lingkungan terhadap aktivitas tambang yang dilakukan PT Gag Nikel di Pulau Gag yang berada di Raja Ampat. Kepulauan Raja Ampat selama ini dikenal sebagai kawasan wisata bahari.

Video protes tersebut diunggah di media sosial dan menjadi perbincangan warganet. Tagar #SaveRajaAmpat ramai disuarakan berikut desakan agar pemerintah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) nikel sejumlah perusahaan tambang di sana.

Aktivitas tambang di Raja Ampat adalah satu dari sekian banyak aktivitas tambang di berbagai wilayah di tanah air. Hingga kini tercatat ada 365 IUP nikel di Indonesia, dengan total luas area konsesi mencapai 3,1 juta hektar.

Kebijakan penghiliran nikel digulirkan pemerintah sejak 2014 dan berlaku resmi pada awal 2020. Sejak itu investasi besar-besaran dalam eksplorasi dan pengolahan nikel dibuka lebar-lebar. Aktivitas penambangan nikel di daerah yang kaya cadangan nikel seperti Sulawesi, Maluku dan terakhir Papua, pun gencar dilakukan.

Model ekonomi yang berbasis pada ekstraktivisme seperti dipraktikkan pemerintah Indonesia ini diprotes sejumlah masyarakat dan aktivis lingkungan. Pasalnya klaim-klaim pemerintah dan korporasi soal kesejahteraan masyarakat tidak dirasakan terutama oleh masyarakat adat dan lokal yang terdampak aktivitas tambang. Namun pemerintah tetap bersikukuh menerapkan model ekonomi yang eksploitatif tersebut.  

Di sisi lain, negara-negara di Amerika Latin bergerak ke arah yang berlawanan. Mereka mulai meninggalkan sistem ekonomi yang menindas dan kembali pada prinsip-prinsip yang dipegang dan dipraktikkan masyarakat adat.

Situasi Negara-Negara Amerika Latin

Secara historis Amerika Latin menjadi korban ekstraktivisme dari negara-negara “maju” karena perampasan sumber daya alam yang dimilikinya. Alberto Acosta (2017) menjelaskan konsep ekstraktivisme dengan meminjam definisi dari ahli biologi sekaligus penulis Eduardo Gudynas. Yakni kegiatan yang mengambil sumber daya alam—yang berjumlah terbatas—dalam bentuk dasarnya, dengan jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan di negara-negara sentral.

Definisi Gudynas tidak hanya mencakup sumber daya alam seperti hasil tambang saja, melainkan juga hasil panen, perikanan, hingga turisme eksploitatif. Dengan begitu Gudynas merujuk pada ekstraktivisme sebagai jamak, atau extractivisms. Ketergantungan negara-negara Amerika Latin terhadap sistem ekstraktif dan ekspor ini punya implikasi sistem ekonomi mereka rawan terhadap fluktuasi pasar global.

Keresahan terhadap kondisi ini mendorong negara-negara Amerika Latin untuk mengadopsi sistem ekonomi neoliberal pada tahun 1970–1980-an (Rodríguez, 2021). Langkah reformasi neoliberal ini didasari keyakinan bahwa dengan penguatan industrialisasi di negaranya, mereka akan dapat membebaskan negaranya dari ketergantungan terhadap negara lain dan juga dari eksploitasi sumber daya alamnya.

Kegagalan neoliberalisme di Amerika Latin secara garis besar digambarkan dalam artikel Duncan Green (1996). Menurut Green, reformasi neoliberalisme di Amerika Latin terjadi lewat campur tangan IMF (International Monetary Fund). IMF mengimplementasi reformasi ekonomi di Amerika Latin melalui 3 tahap.

Pertama, menangani inflasi yang dianggap menghambat pertumbuhan. Kedua, membentuk ekonomi yang didorong oleh pasar dengan cara mengurangi distorsi harga pasar (menghilangkan tarif, batas harga, dsb). Ketiga, mengurangi peran pemerintah dalam ekonomi. Reformasi ini memperkuat ketergantungan ekonomi kepada sumber eksternal melalui bentuk investasi, sehingga mengurangi kemandirian negara.

Baca juga: Argentina Sahkan Aborsi, Aktivis Sambut Pro Choice Perempuan

Kegagalan reformasi neoliberal ini mendorong pergerakan negara-negara Amerika Latin kepada gagasan kiri. Kondisi ini dipicu oleh banyaknya partai dan presiden berorientasi politik kiri yang menjadikan rakyat kecil atau miskin sebagai fokus kampanyenya.

Tidak hanya berdampak negatif terhadap ekonomi, ekstraktivisme juga memiliki dampak yang sangat besar terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat secara langsung. Terutama bagi masyarakat adat. Campur tangan IMF membuka pintu kepada industri ekstraktif yang meningkat (Ødegaard & Andia, 2019). Dorongan dari sistem kapitalis pasar internasional mengakibatkan eksploitasi terus-menerus terhadap sumber daya alam Amerika Latin yang bersifat terbatas.

Perampasan alam ini merupakan antitesis dari budaya dan filosofi hidup penduduk asli di wilayah Amerika Latin. Di negara-negara yang memiliki proporsi penduduk masyarakat adat yang besar, industri dan kebijakan yang melanggengkannya ini menjadi poin kontestasi besar antara masyarakat adat, NGO, dan juga negara.

Bolivia merupakan negara di Amerika Latin yang sebagian besar dari penduduknya merupakan masyarakat adat. Menurut International Work Group for Indigenous Affairs atau IWGIA (n.d.) berdasarkan sensus nasional Bolivia 2012, jumlah masyarakat adat mencapai 41%. Dalam dokumen lain seperti dalam karya Thomas Fatheuer (2011), angka tersebut bahkan sempat meraih 55% dari total populasi.

Buen Vivir Diadopsi dalam Konstitusi Bolivia

Dengan dukungan Presiden Evo Morales dan partai petahana yang sangat berpihak pada hak dan kepentingan masyarakat adat, Bolivia berhasil meresmikan konsep ‘Buen vivir’ atau ‘hidup dengan baik’ dalam konstitusi negara pada 2009.

Penambahan konsep ini dalam konstitusi negara sebagai orientasi masa depan didorong oleh keresahan masyarakat terhadap ancaman pemanasan global. Ancaman ini menjadi krusial bagi masyarakat adat karena filosofinya yang mendorong mereka untuk hidup secara harmonis dan berdampingan dengan alam. Filosofi ini sangat bertentangan dengan industri ekstraktif yang justifikasinya berakar pada pandangan Barat yang bertolak belakang dengan kepercayaan penduduk lokal.

Buen vivir yang telah menjadi dokumen resmi negara di Bolivia bukan sekadar ajakan bagi negara dan masyarakat untuk menjalani hidup yang lebih hijau dan sehat. Menurut Thomas Fatheuer (2011) yang mengenalkan konsep ini ke masyarakat di luar Amerika Latin, buen vivir punya beberapa poin penting. Pertama menjauhkan diri dari pandangan Barat mengenai “pertumbuhan” ekonomi. Hal ini sangat penting karena pandangan Barat mengenai ekonomi dan pertumbuhan hanya melihat lingkungan sebagai sumber daya alam yang dapat dikuasai oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

Sementara buen vivir dengan tegas menyatakan dalam kehidupan, manusia atau masyarakat harus memiliki hubungan harmonis dengan lingkungan sebagai bagian darinya. Fokus terhadap mempererat hubungan antara manusia dan alam juga ditekankan oleh Regina Cochrane (2014). Ini artinya buen vivir mengecam tindakan ekstraktivis secara lantang akibat sifat inherennya yang eksploitatif.

Fatheuer (2011) juga menjelaskan bahwasanya buen vivir secara konsep menentang kapitalisme. Ini lantaran dalam budaya dan filosofi masyarakat adat yang menjadi dasar dari konsep ini, mereka hidup bukan untuk mengumpulkan atau menimbun kekayaan. Melainkan mereka hanya mengambil yang dibutuhkan dengan secukupnya. Penolakan terhadap pandangan kapitalis tentang pertumbuhan sosial yang harus didampingi pertumbuhan ekonomi ini merupakan pemisahan diri dari nilai-nilai yang diwariskan semenjak penjajahan Barat di abad yang lalu.

Baca juga: 17 Tahun Masyarakat Adat, Bangkit dan Menagih Janji Nawacita

Filosofi ini mengangkat pentingnya pluralisme dalam bermasyarakat dan signifikansi komunitas sosial. Masyarakat adat di Bolivia terdiri dari berbagai suku dengan latar belakang budaya dan gaya hidup yang berbeda. Buen vivir menekankan bahwa pluralisme tersebut bukan hanya hal yang terjadi secara natural, tetapi sesuatu yang harus diutamakan dan dirayakan. Harmoni di dalam masyarakat yang plural dan juga penekanan terhadap hidup dalam kolektif ini menolak sentimen pertumbuhan yang bersifat individualis. Dan menggantikannya dengan dorongan untuk bersatu dalam komunitas yang hidup bersama (Fatheuer, 2011).

Tidak hanya berbicara mengenai aspek bermasyarakat dan komunitas, menurut feminis Magdalena Leon seperti dikutip Regina Cochrane (2014), harmoni juga harus diwujudkan antara manusia dengan alam. Ini dilakukan dengan membatasi pengambilan dari alam agar ekosistem tidak terganggu. Untuk memastikan pengambilan sumber daya alam tidak berlebihan, diperlukan kerja sama dan kesepakatan kolektif sebagaimana fondasi dari filosofi buen vivir. Pandangan ini meletakkan alam dan manusia dalam posisi setara. Ini berbeda dengan pandangan ekonomi sebelumnya yang memusatkan manusia dan menempatkan alam sebagai alat atau korban dominasi.

Dengan penekanannya terhadap pentingnya alam, buen vivir juga memberikan hak legal terhadap alam atau bumi pertiwi (Fatheuer, 2011). Hak legal yang dimiliki bumi pertiwi sebagaimana tertulis dalam konstitusi Bolivia adalah hak untuk hidup. Hak ini mencakup keselamatan dan perlindungan dari ancaman, salah satunya ancaman dari eksploitasi ekstraktivisme.

Belajar Dari Amerika Latin

Secara singkat, Buen vivir bukan hanya gerakan prolingkungan yang lahir karena ancaman pemanasan global saja. Melainkan ia juga bentuk upaya pembebasan diri Bolivia. Ia merupakan upaya penjauhan diri dari nilai bawaan yang diturunkan kolonialisme pada abad ke-15 yang masih mencemari kehidupan sehari-hari. Sekaligus pemisahan dari kolonialisme baru di abad ke-21 yang mengancam eksistensi gaya hidup masyarakat adat yang dekat dengan bumi pertiwi. Implementasi buen vivir tidak akan terjadi dengan mudah dan singkat. Pasalnya nilai-nilai penting di dalamnya merupakan antitesis dari ide-ide yang telah berlaku hampir di seluruh dunia selama ratusan tahun.

Berkaca dari Amerika Latin, Indonesia sebagai negara yang makin hari sumber daya alamnya makin menipis, perlu untuk melakukan perubahan. Apalagi kalau melihat beberapa kemiripan Indonesia dengan Amerika Latin. Seperti sejarah kolonialisme, industri ekstraktif yang sangat besar, dan ratusan masyarakat adat yang menempati berbagai pulau. Karenanya penting agar masyarakat adat dan masyarakat sipil menyadari eksploitasi yang mereka alami mirip seperti yang terjadi di Amerika Latin.

Sudah saatnya Indonesia belajar dari Amerika Latin. Melihat kembali ajaran yang telah ada sebelum datangnya penjajah dan mengambil nilai-nilai positifnya untuk dijadikan orientasi pertumbuhan alternatif negara.

Referensi

Acosta, A. (2017). Post-extractivism: From Discourse to Practice—Reflections for Action. In G. Carbonnier, H. Campodónico, & S. Tezanos Vázquez (Eds.), Alternative Pathways to Sustainable Development: Lessons from Latin America. Brill.

https://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctt1w76w3t.12 AYLWIN, J.

(n.d.). Bolivia. IWGIA. https://iwgia.org/en/bolivia.html

Cochrane, R. (2014). Climate Change, Buen Vivir, and the Dialectic of Enlightenment: Toward a Feminist Critical Philosophy of Climate Justice. Hypatia, 29(3).

Fatheuer, T. (2011, Juni). Buen Vivir A brief introduction to Latin America’s new concepts for the good life and the rights of nature (Heinrich Böll Foundation 2011 & J. Hayduska, Eds.). Publication Series on Ecology, 17.

Green, D. (1996). Latin America: neoliberal failure and the search for alternatives. Third World Quarterly, 17(1).

Introduction: Indigenous Peoples, Extractivism, and Turbulences in South America. (2019). In C. V. Ødegaard & J. J. Rivera Andía (Eds.), Indigenous Life Projects and Extractivism: Ethnographies from South America. Springer International Publishing.

Rodríguez, J. P. (2021, Februari 23). The politics of neoliberalism in Latin America: dynamics of resilience and contestation. Sociology Compass, 15(3). https://doi.org/10.1111/soc4.12854

(Editor: Anita Dhewy)

Almaz Alia Kirana

Mahasiswi Universitas Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!