Buat kamu, laki-laki yang ketika berhubungan seksual hanya peduli sama kepuasanmu sendiri. Atau kamu, laki-laki yang tak pernah memikirkan bahkan sekadar menanyakan soal orgasme pasanganmu. Juga laki-laki yang tak mau belajar, soal tubuh dan seksualitas perempuan. Ya, film ‘Gowok: Kamasutra Jawa’ ini bisa jadi bakal menamparmu.
Edukasi seks yang mengenalkan tubuh perempuan, termasuk cara membantunya meraih orgasme dan ketentraman batin, ternyata sudah diajarkan ratusan tahun lalu. Sebelum akhirnya, bicara soal itu selalu dilekatkan sebagai hal yang tabu. Bahkan mungkin, sampai saat ini.
Kehadiran film ‘Gowok: Kamasutra Jawa’ patut diapresiasi terkait itu. Sebab film itu, berupaya menggali kembali sejarah tentang adanya sosok Gowok. Meski seiring perkembangan norma sosial dan agama yang diyakini oleh masyarakat, tradisi gowokan ini, akhirnya ditinggalkan.
Pada masanya, Gowok adalah ‘guru’ yang membekali para laki-laki remaja yang akan menikah agar bisa rukun berumah tangga dan merayakan seksualitas prima bersama pasangan. Dengan kata lain, seorang laki-laki (notabene keturunan bangsawan pada masanya), hidup serumah dengan perempuan Gowok. Biasanya dalam kurun beberapa hari sampai sepekan. Mereka melakukan aktivitas rumah tangga layaknya suami-istri, termasuk mempraktikkan hubungan seksual.
Baca Juga: Kenapa Pendidikan Seksual Penting? Anak Muda Indonesia Hadapi Isu-Isu Seksualitas
Gowok diambil dari nama perempuan Tionghoa, Go Wok Niang, yang pertama-tama membawa tradisi itu ke Nusantara. Dari film itu, didapati Ia datang ke tanah Jawa, bersamaan dengan Laksamana Cheng Ho pada era 1400-an. Para remaja laki-laki dari keturunan bangsawan adalah ‘murid’ dari Go Wok Niang. Berbagai sumber menyebut, tradisi Gowokan ini, langgeng dijalankan di daerah Banyumas.
Film ‘Gowok: Kamasutra Jawa’ yang disutradarai Hanung Bramantyo ini, mengambil latar waktu pada 1955-1965. Meski dalam beberapa scene, film ini melampaui tiga generasi yang menunjukkan latar waktu sebelum dan setelah itu.
Berbagai aktor kenamaan lintas generasi menjadi magnet yang menarik dalam film ini. Mereka adalah Lola Amaria (Nyai Santi), Alika Jantinia dan Raihaanun (Nyai Ratri), Devano Danendra dan Reza Rahadian (Denmas Kamanjaya), Djenar Maesa Ayu (Rahayu), Ali Fikri (Bagas), Aldy Bisl (Liyan), Nayla Purnama (Sri), Slamet Rahardjo (Haryo) dan lainnya.
Ide Hanung untuk mengeksplorasi cerita tentang Gowok di film ini, juga jadi “pintu gerbang” yang penting utamanya bagi generasi muda untuk belajar sejarah tentang seksualitas dan perempuan di Nusantara. Sejauh ini, eksplorasi pengetahuan sejarah seputar Gowok, tak banyak ditampilkan dalam perfilman secara eksplisit. Film ‘Sang Penari’ (2011) disebutkan menyinggung soal Gowok, meski adegan itu konon dihilangkan. Selebihnya, Gowok diceritakan dalam bentuk tulisan pada novel ‘Ronggeng di Dukuh Paruk’ (1982) hingga ‘Nyai Gowok’ (2014).
Baca Juga: 4 Orgasme Perempuan Yang Harus Kamu Tahu
Film ini tak dipungkiri membawa ‘angin segar’ terkait pemberdayaan perempuan termasuk soal seksualitas dan meraih impian. Kendati demikian, film ini juga tak lepas dari kritik terkait representasi bermakna kelompok minoritas.
Pada beberapa bagian film ini, juga diwarnai “bumbu-bumbu” yang, justru disayangkan malah mengaburkan pendalaman eksplorasi tentang sejarah Gowok dan situasi sosial budaya yang melingkupinya. Sebab, film ini justru melebar fokusnya pada intrik romansa sampai alur cerita yang terlihat “tak matang” penyajiannya saat dikaitkan dengan peristiwa 1965.
Sebelum menonton ‘Gowok: Kamasutra Jawa’ kamu juga sebaiknya dalam kondisi yang stabil secara mental. Sebab film ini, sedari awal sudah memuat adegan kekerasan yang traumatis (triggering).
Mendobrak Tabu Seksualitas Perempuan
Percakapan di atas dokar antara Kamanjaya muda dan orang tuanya menuju rumah Gowok Nyai Santi, menjadi awal yang menarik dalam film ini.
Inti percakapannya, “Memuaskan perempuan? Tidak terbalik?” Menjadi pemantik yang kuat tentang keberadaan Gowok yang berperan memberikan edukasi seks kepada para calon pengantin laki-laki. Bahwa perempuan itu tidak semestinya memang hanya diposisikan sebagai objek yang pasif dalam urusan seksualitas.
Ini menjadi menarik jika disandingkan dengan istilah Jawa yang selama ini banyak beredar justru mengobjektifikasi perempuan secara pasif pada ranah domestik. Seperti, “masak, macak, manak” (memasak, berdandan, dan melahirkan). Dengan ini, pengalaman seksualitas perempuan seolah direduksi hanya sebatas tuntutan mereproduksi keturunan, tanpa ada ruang merayakan kenikmatan.
Baca Juga: Keperawanan Perempuan Selalu Jadi Perdebatan, Padahal Keperjakaan Tidak
Ruang-ruang publik juga menutup para perempuan untuk membicarakan seputar seksualitas. Berbanding terbalik dengan laki-laki, yang bisa dengan leluasa membicarakannya, bahkan bisa mendaku dirinya “perkasa”. Sementara perempuan, bisa dicap jalang atau binal.
Mengetahui bahwa sejarah Nusantara ternyata ada Gowok, ini menjadi seperti ‘oase’. Bahwa edukasi seks bagi laki-laki ini bukanlah mitos. Sudah ada sejarahnya di masa lalu, dan bisa kita ambil pelajarannya sesuai konteks sosial dan budaya. Reproduksi narasi tentang seks itu adalah eksklusif milik dan hanya bisa diperbincangkan laki-laki, sudah mesti dikikis.
Rumah Gowok Nyai Santi, mempertemukan muda-mudi Kamanjaya (Devano) dengan Ratri (Alika) yang di kemudian hari justru menjalin kasih. Kamanjaya digambarkan sebagai karakter yang egaliter dan terpelajar. Dia menolak budaya Jawa yang saat itu sarat dengan patriarki dan feodalisme, membuatnya merasa harus dipandang “lebih tinggi”. Baik karena status sosial atau pun gendernya.
Itu dia tunjukkan salah satunya kepada Ratri, yang mengajak Ratri duduk dan berjalan secara setara. Dalam hal seksualitas pun, ditunjukkan Kamanjaya tak berupaya mendominasinya. Malahan, Ratri yang digambarkan memulai ciuman pertamanya saat di telaga.
Membongkar Bias Patriarki: Lelananging Jagad sampai Kanca Wingking
Sebagai orang Jawa tulen, saya tidak asing dengan istilah ‘lelananging jagad’ (lelaki utama jagad raya). Namun, saat kata itu diucapkan dalam film ‘Gowok: Kamasutra Jawa’ rasanya tetap saja menarik perhatian sekaligus pertanyaan. Terlebih, istilah itu diucapkan pada beberapa konteks saat membahas seputar seks.
Pada beberapa adegan film, ‘lelananging jagad’ dianggap sebagai capaian suami (bangsawan) yang “berhasil” memuaskan secara seksualitas istrinya. Itu misalnya tampak pada ucapan ayah Denmas Kamanjaya saat pertama berkunjung ke Nyai Santi. Lainnya lagi diucapkan pula oleh bapak mertua Denmas Kamanjaya, saat mengantarkan Bagas ketika mau nyantrik di rumah Gowok Nyai Ratri.
Pembacaan sekilas tentang ‘lelananging jagad’ pada film itu, seolah mengarahkan penonton untuk merujuk pada masyarakat yang melanggengkan patriarki dan feodalisme. Hal itu sarat dengan dominasi relasi kuasa. Dalam konteks seksualitas, perempuanlah yang “ditaklukkan”. Jika tidak, perempuan dijadikan objek sebagai “alat” pencapaian bagi laki-laki atas keperkasaannya dalam seksualitas.
Sebab, film itu berkali-kali hanya menyorot laki-laki dengan penyematan ‘lelananging jagad’. Namun, tak tampak dikonstruksikan pada gender lainnya.
Baca Juga: Jangan Lewatkan 5 Hal Penting Ini Saat Kamu Belajar Pendidikan Seksual
Padahal, epos Mahabharata dan pewayangan Jawa menyebutkan ‘lelananging jagad’ yang banyak digambarkan dari sosok Arjuna, tidak terpaku pada maskulinitas melalui tubuh dan ekspresi gender tertentu. Gelar ini juga tidak hanya menunjukkan keunggulan fisik, tapi juga kehalusan budi, kejeniusan strategi, spiritualisme hingga daya pikat seksual.
Borobudur Writers & Cultural Festival pernah menyorot, tradisi tari Jawa (Yogyakarta-Surakarta), karakter alusan (lembut, halus, tidak agresif) sangat menonjol dalam representasi Arjuna. Tubuh penari laki-laki dibentuk dengan penuh pengendalian diri dan gestur yang feminin. Penari Arjuna tidak berjalan tegap penuh otot, melainkan mengalir, menunduk, dan bersikap sumeleh (kepasrahan dengan sepenuh hati).
Sebagaimana konsep Judith Butler dalam Gender Trouble (1990) tentang gender sebagai performatif. Ini membantu menjelaskan bagaimana maskulinitas Arjuna bukanlah entitas tetap, melainkan hasil repetisi kultural yang dinamis. Representasi Arjuna, yang disebut ‘lelananging jagad’, mestinya pula bisa ditujukan kepada siapa saja, lelaki halus, perempuan bahkan tubuh transgender.
Beranjak dari ‘lelananging jagad’, penonton film ini akan disuguhkan dengan narasi peran perempuan sebagai ‘kanca wingking’. Itu diterangkan pada konteks, pembagian peran perempuan sebagai ‘kanca wingking’. Alasan mengapa penting suami mesti “memuaskan” secara seksual istrinya, ujung-ujungnya istri diharapkan jadi penyokong keharmonisan rumah tangga. Supaya lebih jauh, bisa mendukung kesuksesan suaminya yang adalah pejabat publik (bangsawan).
Sementara di satu sisi, domestikasi perempuan masih terus dilanggengkan. Dimana saat banyak digambarkan laki-lakilah yang memegang “jabatan penting” sebagai camat, bupati, hingga sosok yang diproyeksikan menjadi penerus tahta atau kekuasaan. Perempuan masih harus terus mengurusi pekerjaan domestik dan tanggung jawab perawatan.
Liyan Tetaplah (Menjadi) Liyan
Satu sosok menarik yang ada di dalam film ini, adalah Liyan. Dia adalah sosok transpuan yang dihadirkan dalam film itu. Dari namanya yang “Liyan”, Ia sedari awal seolah dianggap yang lain (the other). Namun, saya tidak menyangka, dia tetap di-liyan-kan sampai akhir film. Sebab tidak tampak representasi yang bermakna dari kehadirannya.
Liyan bersama Ratri adalah anak asuh dari Nyai Santi. Digambarkan bahwa Gowok itu tidak menikah dan tidak punya anak, makanya dia akan mengangkat ‘anak asuh’ yang salah satunya akan diproyeksikan sebagai Gowok penerusnya.
Jika asal muasal pengangkatan Ratri sebagai anak asuh diceritakan, Liyan tanpa muasal. Dia begitu saja ada bersama keingintahuannya yang besar, digambarkan sebagai sosok yang tertangkap basah “nguping” pembicaraan Nyai Santi. Hadirnya pula hanya sepintas-pintas, sesekali digunakan untuk mengundang tawa. Misalnya saat Kamanjaya duduk tertidur dan dikagetkan dengan kehadirannya.
Dalam sebuah percakapan Kamanjaya dan Ratri juga disebutkan, bahwa menjadi Gowok itu adalah “seleksi alam”. Intinya menyimpulkan, Liyan tidak akan bisa menjadi Gowok, karena Gowok hanya untuk perempuan. Dengan begitu, film ini tampak masih menegasikan terhadap ragam gender dan seksualitas.
Baca Juga: ‘Dear David’ Buktikan Jika Remaja Perempuan Bisa Mendobrak Tabu Seksualitas
Transpuan tidak diakui sebagai perempuan. Lalu muncul pertanyaan, untuk apa sebenarnya representasinya? Bukan saja kehadiran yang bermakna secara narasi, Liyan pun juga tidak diberi kesempatan “mengembangkan karakternya” dalam film ini. Sedari awal sampai akhir film, dia tetap menjadi orang yang “bantu-bantu” Nyai Gowok.
Bahkan dalam situasi kritis saat Nyai Ratri dewasa terancam keselamatannya, bukan Liyan, yang adalah saudara asuhnya yang membantu. Liyan justru digambarkan tak berdaya dan tak bisa berbuat apa-apa, selain ekspresi takut dan bingung. Ini seolah menggambarkan representasi ragam gender dan seksualitas dalam film ini, yang juga serba tanggung dan ragu-ragu (main aman) mengambil sikap.
Ben Murtagh dalam ‘There’s No Place For Us Here: Imagining Queer Spaces in Indonesia Cinema” memotret, secara historis penggambaran karakter LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer) dalam film di Indonesia ini, dianggap cerminan dari sikap masyarakat. Seringnya, masih meminggirkan sampai melabeli dengan stereotip yang merugikan.
Penjahat diberi karakteristik feminin, yang menyiratkan bahwa penyimpangan dari norma pada dasarnya jahat. Peran komedi seringkali mereduksi karakter LGBTQ menjadi sekadar bahan tertawaan, identitas mereka menjadi bahan lelucon.
Di sisi lain, tokoh-tokoh tragis digambarkan sebagai “jiwa yang terkutuk”, seksualitas atau identitas gender mereka menjadi sumber kemalangan bagi mereka. Penggambaran seperti itu tidak hanya mengabadikan kesalahpahaman, tetapi juga memperkuat prasangka masyarakat, menggambarkan komunitas LGBTQ sebagai orang luar, sebagai ‘yang lain’.
Baca Juga: The Voice: Pesona Charmed Circle dan Perkawinan Paksa Tunjukkan Hierarki Dalam Seksualitas
Representasi di media bukan hanya tentang mencerminkan realitas; tetapi tentang membentuk persepsi, mempengaruhi sikap, dan mendorong perubahan masyarakat. Representasi LGBTQ yang autentik tidak hanya menghibur; tetapi juga semestinya berfungsi sebagai alat pendidikan yang ampuh. Dengan menampilkan berbagai cerita dan pengalaman, representasi ini menantang stereotip, menghilangkan mitos, dan menumbuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang komunitas LGBTQ.
Murtagh juga memotret adanya tokenisme juga masih menjadi masalah yang meluas. Memperkenalkan karakter LGBTQ hanya untuk menandai “kotak keberagaman”, tanpa memberi mereka kedalaman atau tujuan, merugikan komunitas. Karakter-karakter ini sering kali tidak memiliki agensi, alur cerita mereka direduksi menjadi seksualitas atau identitas gender mereka, bukan penggambaran holistik kehidupan mereka.
Penggambaran semacam itu dapat terasa tidak autentik dan bahkan menggurui, memperkuat gagasan bahwa identitas LGBTQ hanyalah perangkat plot, bukan aspek integral dari pengalaman manusia.
(sumber foto: X @GowokFilm)