Keperawanan Perempuan Selalu Jadi Perdebatan, Padahal Keperjakaan Tidak 

Keperawanan selalu jadi isu yang dibicarakan dimana-mana, dalam pencarian pekerjaan, dalam tes di kepolisian, juga di masyarakat. Tapi herannya, keperjakaan tak pernah jadi bahan perbincangan dan perdebatan.

Keperawanan juga selalu dikaitkan dengan nilai-nilai moral, agama, budaya, dan pribadi seseorang. Seolah setiap orang memiliki hak untuk menentukan kapan dan dengan siapa mereka ingin melepas keperawanan mereka, asalkan mereka melakukannya dengan penuh kesadaran, persetujuan, dan tanggung jawab. 

Pasti kita sering mendengar percakapan cukup pedas tentang pertanyaan yang menyudutkan perempuan soal keperawanan ini. Pertanyaan dengan tendensi yang dilontarkan untuk menggiring opini, mengerucutkan jawaban. Serta pula menanamkan doktrin yang tidak benar tentang memilih pasangan perawan dan tidak perawan. 

Titik awal keperawanan tradisional sudah usang. Terutama di tengah ekspresi dan pembebasan seksual, pemberdayaan perempuan melawan harapan patriarki, dan perluasan norma gender.

Konsep keperawanan dari dulu tidak dapat dipisahkan dari budaya patriarki yang terkonstruksi secara sosial karena manusia menemukan sistem pertanian sebagai sebuah cara hidup. Dahulu konsep berburu dan meramu dilakukan secara komunal dan bersama-sama. Abad ke-19 perubahan teknologi dan gaya hidup menjadi benih-benih awal munculnya sistem kapitalisme. Hal ini menggeser peran perempuan dalam sistem pertanian (yang tenaga kerjanya didominasi oleh laki-laki) yang dianggap punya tenaga produktif. Sedangkan, perempuan tenaga untuk keperluan reproduksi.  

Baca Juga: Stigma Pada yang Perawan

Perempuan pada zaman tersebut diarahkan untuk peran lain seperti menjaga rumah, menjaga anak, dan peran-peran lain yang tidak berkaitan langsung dengan produktivitas komunitas masyarakat. Pergeseran peran inilah yang menjadi asal usul budaya patriarki yang sedemikian kuatnya tertanam dalam masyarakat sampai sekarang ini.

Dari konstruksi ini, ada satu tabu tetap dipegang teguh oleh para perempuan yang memilih untuk tetap perawan. Mereka menghadapi stigma luar biasa dari lingkungan kerja dan keluarga dan bahkan diejek atau malah dicurigai. Waupun di kalangan luas juga pedas mengkritik tidak baik terhadap perempuan yang mempunyai terlalu banyak pasangan.

Dalam artian tertentu, keperawanan adalah suatu status spesial yang memiliki muatan. Keperawanan seolah jadi suatu konsep yang tidak dapat dipisahkan dari cara menjalani kehidupan seorang yang memenjarakan perempuan.

Konsep kesucian keperawanan yang dapat ditelusuri dengan jelas hingga Eropa abad pertengahan. Ini dapat menjadi contoh dari relasi antara laki-laki dan perempuan yang telah lama menjadi hegemoni. Yaitu, kepantasan perempuan untuk pernikahan bergantung dengan sangat tinggi terhadap kemampuan reproduksi dan seksualitasnya.

Bukan sebagai manusia lain yang memiliki kompleksitas dan karakteristik manusiawi yang patut dihargai, namun hanya sebuah objek untuk tujuan tertentu. Perempuan perawan lalu dianggap suci dan diagung-agungkan dalam berbagai ajaran agama dan budaya.

Ada banyak alasan mengapa perempuan tetap bertahan mempertahankan keperawanan. Ada penelitian di negara-negara asia dimana norma agama masih terpelihara dengan baik. Pendidikan agama menjadi alasan utamanya.

Tidak mudah untuk tetap suci, karena ini adalah pilihan yang anomali. Bagi orang lain ini bagai rintangan yang mungkin tampak tidak dapat diatasi.

Dampak terhadap Perempuan

Konsep kesucian keperawanan yang dapat ditelusuri dengan jelas hingga Eropa abad pertengahan dapat menjadi contoh dari relasi antara laki-laki dan perempuan yang telah lama menjadi hegemoni; kepantasan wanita untuk pernikahan bergantung dengan sangat tinggi terhadap kemampuan reproduksi dan seksualitasnya. Bukan sebagai manusia lain yang memiliki kompleksitas dan karakteristik manusiawi yang patut dihargai, namun hanya sebuah objek untuk tujuan tertentu. 

Dampak psikologis adanya “label” dari masyarakat akibat adanya konsep keperawanan juga tidak main-main. Seorang perempuan yang kehilangan keperawanannya, khususnya bagi yang mengalaminya pra-nikah, umumnya akan merasa bahwa harga dirinya hilang bersamaan dengan keperawanannya itu (studi Lipman dan Moore, 2016)

Terciptanya perbedaan pendapat antara golongan konservatif terhadap budaya (termasuk patriarki dan pentingnya konsep keperawanan di Indonesia) dan golongan yang progresif (khususnya remaja yang lebih terbuka terhadap paparan budaya lain), menjadikan konsep keperawanan menjadi sebuah polemik. Dengan hal ini, konsep keperawanan juga sudah semakin kurang relevan karena tidak memiliki kegunaan apapun selain melabeli perempuan dengan standar dan stigma di masa lampau.

Baca Juga: “Tes Keperawanan” Membuat Kami Mengalami Trauma Panjang

Berangkat dari salah satu prinsip ekonomi “rational people think at the margin”, tidak adanya manfaat dari konsep keperawanan dan menderunya arus globalisasi yang masuk ke Indonesia menyebabkan konsep keperawanan menjadi tidak relevan dewasa ini.

Ada sebuah survei yang dilakukan oleh Relationship Australia, beberapa alasan utama orang untuk menikah diantaranya adalah untuk cinta, untuk memiliki orang yang akan menemani hidup, untuk membuat sebuah komitmen seumur hidup, untuk memberikan keamanan bagi anak, alasan keagamaan, dan alasan-alasan lain. Alasan-alasan tersebut dapat dikatakan alasan “modern” yang tidak menjustifikasi objektifikasi manusia sebagaimana dilakukan di masa lalu, terlebih di abad pertengahan.

Pada akhirnya keperawanan hanyalah sebuah konstruksi sosial yang antik, dan berlandaskan nilai-nilai pra-modern. Dalam peradaban dewasa ini, konsep keperawanan jelas tidak lagi memiliki kegunaan dan justru berdampak negatif, khususnya bagi perempuan. 

Globalisasi telah meleburkan batas-batas budaya antarbangsa, sehingga gerakan-gerakan penghapusan stigma dan penegakkan hak keadilan atas “virginity” bagi kedua gender bisa muncul dan hidup. 

Harapannya, kita dapat saling menghargai sesama atas kualitas substantif yang memberi makna dalam sebuah hubungan romantis, dan bukan karena keberadaan (atau tidak adanya) sebuah membran pada vagina seorang perempuan.

Evi Susanti

Pemerhati Lingkungan dan Gender
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!