Pernah nggak sih, kalian merasa tiba-tiba kesal tatkala mendengarkan lagu yang liriknya cukup bertentangan dengan apa yang kalian yakini? Atau kalian pernah tiba-tiba terbesit rasa ironi karena menemukan lirik lagu yang menyudutkan salah satu gender tertentu?
Setidaknya perasaan di atas sempat aku rasakan tatkala mendengarkan sebuah lagu yang liriknya seksis. Bukannya, meningkatkan mood kita untuk membantu menghadapi hari-hari yang menyebalkan. Namun, aku malah merasa sangat kesal.
Buat kalian pecinta lagu berbahasa Jawa, pasti tau lagu yang judulnya ‘Mendung Tanpo Udan’. Lagu ini milik Kukuh Prasetyo yang aslinya dinyanyikan dengan aliran musik ballad. Namun, makin laku keras di pasaran setelah dijadikan dangdut koplo oleh Ndarboy Genk.
“Awak dewe tau nduwe bayangan/Mbesok yen wis wayah omah-omahan/Aku moco koran sarungan/Koe blonjo dasteran.”
Baca Juga: Peran Gender dalam Hubungan Asmara Itu Seksis, Perlu Ada Kesetaraan
Jika diterjemahkan, sepenggal lirik bahasa Jawa itu berarti: Kita pernah mempunyai angan-angan. Nanti jika kita berumah tangga, aku membaca koran memakai sarung, kamu belanja (ke pasar) memakai daster.
Dari penggalan lirik itu, amat terang bahwa pembakuan peran gender yang patriarkis itu masih langgeng. Lagi-lagi, pekerjaan domestik dalam rumah tangga seperti mengurusi dapur dengan belanja ke pasar, dibebankan pada perempuan. Sedangkan laki-laki, bisa “leyeh-leyeh” dengan bersantai membaca koran.
Menyoal penampilan, konstruksi perempuan yang menggunakan daster dalam lagu ini juga masih syarat dengan domestikasi. Perempuan berdaster seolah dilekatkan dengan urusan dapur, sumur dan bahkan kasur.
Padahal, urusan domestik itu mestinya tidak mengenal gender. Sebab itu adalah tanggung jawab bersama baik istri ataupun suami. Selain itu, aktivitas “intelektual” seperti membaca koran itu bukan hanya milik gender tertentu.
Lebih lanjut, stereotip gender ini bisa menimbulkan diskriminasi yang merendahkan gender tertentu atau seksisme.
Baca Juga: 9 Pertanyaan Seksis Tes Pegawai KPK Yang Diprotes Aktivis Keberagaman
Dengan terbitnya lagu-lagu yang melanggengkan bias patriarki seperti ini, bisa jadi menjadi cerminan relasi lelaki dan perempuan terjalin di masyarakat. Hal yang menakutkan dari maraknya lirik lagu yang memuat unsur patriarki ialah menjadi penegasan bagi seseorang untuk merendahkan orang lain berdasarkan gendernya.
Stop Stereotip Gender ‘Perempuan Pasif, Lemah, Menye-menye’
Putu Tiwi, dalam bukunya yang berjudul Melawan Bahasa Patriarki, guna mengetahui bagaimana pola pikir masyarakat mengenai patriarki dapat dilihat melalui karya seni dan sastra. Ia memberikan contoh bahwa publikasi musik dalam sudut pandang perempuan, kisah yang disampaikan tak jauh-jauh dari ketidakberanian menyampaikan perasaan, dan selalu menjadi perempuan yang penuh akan penantian.
Dalam kacamata lelaki sebaliknya, biasanya akan bercerita tentang bagaimana ia berjuang untuk memiliki perempuan, dan memiliki keberanian yang tinggi untuk menyampaikan perasaan.
Dia mencontohkan penggalan lirik lagu dari Vierratale yang berjudul ‘Terlalu Lama’. Terdapat penggalan lirik seperti, “Sadarkah kau, ku adalah wanita, aku tak mungkin memulai.”
Sikap pasif seperti ini sebenarnya amat merugikan perempuan, karena ia menjadi tidak bebas untuk melakukan hal yang terkadang kurang sesuai dengan pandangan beberapa orang. Seperti perempuan akan dipandang “terlalu agresif” tatkala ia akan melontarkan perasaan cintanya pada orang yang ia sukai.
Baca Juga: Dari Lagu “Imagine” John Lennon, Saya dan Tetangga Terinspirasi Pesan Perdamaian
Barangkali seperti, “Kok kamu ngejar dia terus, sih, agresif banget” terdengar biasa saja. Namun, di balik kalimat itu secara tidak langsung memberikan sinyal pada perempuan, bahwa ia tidak memiliki porsi lebih untuk memulai atau mengejar orang yang ia kagumi berkali-kali.
Dari lirik tersebut tampak jelas bahwa tidak hanya lelaki saja yang mampu menundukkan perempuan, melainkan perempuan itu sendiri juga dapat menjadi pelaku dalam mendukung ketidakberdayaan perempuan secara tidak langsung.
Fenomena lirik lagu yang memiliki tendensi patriarki juga dapat kita lihat melalui pendekatan semiotik. Maksud dari pendekatan ini ialah, sebuah usaha guna merasakan “hal-hal aneh” ketika kita sedang membaca atau mendengar sesuatu.
Selain itu, lirik lagu juga termasuk dalam pesan verbal, karena komunikasi dalam bentuk verbal dilakukan dengan menggunakan kata-kata. Ini merupakan elemen dasar dari bahasa sekaligus berfungsi sebagai simbol yang merepresentasikan gagasan atau pikiran.
Baca Juga: Normalisasi Bahasa Jawa Lewat Lagu Dangdut Koplo Denny Caknan
Jika kita kaitkan antara pendekatan semiotik dengan lagu yang bertendensi patriarki, maka tiap kata yang termuat di dalamnya merupakan pandangannya terhadap bagaimana sosok “ideal” bagi lelaki maupun perempuan hidup di masyarakat.
Salah satu efek yang menakutkan dari banyaknya penikmat lagu tendensi patriarki ini ialah legitimasi melalui karya seni. Perilaku perempuan dapat dilekatkan dengan bagamana lirik lagu tersebut berusaha menyampaikan pesan bahwa perempuan harusnya seperti ini dan seperti itu.
Apalagi jika kita bertemu dengan lirik lagu yang terkesan melecehkan perempuan. Dalam lirik lagu ‘Buka Sitik Joss’, misalnya. Sangat terang terjadi pengulangan lirik, “Sukanya, Abang ini lihat-lihat bodiku yang seksi, senangnya, Abang ini intip-intip ku pakai rok mini.”
Lirik tersebut seolah menyampaikan pesan bahwa perempuan sebenarnya rentan untuk menjadi korban pelecehan. Sayangnya, pelecehan seperti itu justru menjadi guyonan bahkan “alat hiburan” yang sebenarnya merugikan korban.
Mendukung Lagu Menjunjung Kesetaraan dan Adil Gender
Kita memang tidak bisa menghadang lirik-lirik bias patriarki seperti ini, untuk tidak diproduksi dan dinyanyikan musisi. Namun, kita mulai sekarang bisa lebih kritis dan sensitif gender. Lalu, menyebarkan narasi tanding untuk itu.
Kita juga bisa terus mendukung karya-karya lagu yang liriknya adil gender. Termasuk, lagu itu memperjuangkan perempuan dan korban kekerasan. Lagu karya Destiny’s Child yang berjudul survivor, misalnya. Mengisahkan kehidupan dari para perempuan dari band yang pantang menyerah tatkala dihadapkan dengan beragam masalah.
Atau lagu yang berjudul I Love You 3000 karya Stephanie Poetri. Lagu tersebut berusaha untuk memberitahukan pada kita bahwa perempuan tidak hanya manusia yang pasif dalam ranah perasaan, melainkan mereka juga berhak untuk memulai suatu hubungan.
Baca Juga: Lirik Lagu Cengeng Mendominasi Pasar Lagu Indonesia, Menihilkan Perjuangan Perempuan
Dari dua karya di atas, tampak bahwa dorongan untuk menjadi perempuan yang kuat dan pemberani juga dapat muncul dari sebuah lirik lagu. Masih banyak lagu lainnya, yang senada untuk memperjuangkan keadilan gender yang bisa kamu dengarkan.
Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud mengajak para pembaca untuk berhenti mendengarkan lagu bertendensi patriarki. Lebih dari itu, kita dapat melakukan telaah lebih jauh mengapa lagu bernuansa patriarki ini dapat menjamur di masyarakat dan digandrungi oleh sebagian orang.
Semakin peka terhadap sesuatu seperti lirik lagu, semakin dekat pula bagi kita untuk berusaha memahami bagaimana pola pikir masyarakat bekerja terhadap patriarki. Selanjutnya, kamu bisa mendukung karya-karya yang menjunjung kesetaraan dan keadilan gender.