John Lennon

Dari Lagu “Imagine” John Lennon, Saya dan Tetangga Terinspirasi Pesan Perdamaian

Lagu John Lennon “Imagine” adalah salah satu lagu perdamaian yang sering terngiang di kepala saya. Musiknya sederhana, tapi liriknya dalam. Cocok dengan kondisi dunia saat ini.

Saya berharap bahwa pagi ini saya bisa beristirahat cukup karena selama empat hari berturut-turut saya selalu tidur di atas jam 1 dini hari.

Apalagi semalam komunitas saya, Sophia Institute punya jadwal diskusi rutin di warkop andalan yang biasanya berakhir dengan begadang.

Sayangnya ketika saya masih nyaman bergumul dengan bantal dan guling, saya terbangun karena tetangga di sebelah rumah memutarkan musik lawas favoritnya dengan volume tinggi. 

Namun, begitu saya terbangun- bukan karena suara bising sound system-nya, tapi karena lagu yang diputarkan:Imagine‘. 

Lagu John Lennon ini adalah salah satu lagu yang sering kali terngiang-ngiang di kepala saya. Musiknya terdengar sederhana, tapi liriknya dalam.

“Imagine there’s no countries,” (Bayangkan tidak ada negara)

“It isn’t hard to do,” (Itu mudah dilakukan)

“Nothing to kill or die for,” (Tidak ada yang perlu dibunuh atau diperjuangkan)

“And no religion, too.” (Dan juga tidak ada agama)

Saya tidak tahu mengapa tetangga saya memutar ‘Imagine’, tetapi, jika boleh berasumsi, ini barangkali bentuk refleksi dari rasa muak yang dia rasakan akibat pemberitaan belakangan ini yang menyoroti perang dan okupasi dari Palestina terhadap Israel yang terjadi di beberapa negara, termasuk di Gaza hari ini. 

Baca juga: Aktivis Perempuan Iran Narges Mohammadi Raih Nobel Perdamaian 2023

Tampaknya lirik-lirik Lennon, meskipun dia sudah lama tiada, tetap relevan dan mewakili perasaan banyak orang.

John Lennon adalah musisi inspiratif yang mengubah musik ke arah baru. Dia adalah salah satu tokoh kunci di generasi pasca Perang Dunia (PD II) yang musik dan ideologinya mengubah dunia. Lennon adalah seorang humanis tulen yang mengutuk kekerasan apapun dan memperjuangkan perdamaian. Tidak mengherankan jika musik, filosofi, dan misi-misinya dipuja oleh jutaan orang bahkan hingga hari ini, dia abadi di hati orang-orang yang mendengarkan musiknya.

Lennon lahir dari keluarga kelas pekerja di Liverpool pada 1940. Masa kecilnya tidak begitu menyenangkan karena saat dia berusia 17 tahun, ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan.

Sifatnya yang anti penguasa barangkali bermula dari peristiwa ini. Ibunya meninggal di depan matanya sendiri karena kecerobohan seorang polisi yang mengemudi dalam keadaan mabuk, kendati demikian polisi itu tetap lolos dari segala tuntutan.

Lennon kecil dikenal sebagai badut kelas di sekolahnya. Di kelas dia hobi menggambar kartun guru-gurunya dan bermain sampai nilai rapornya pun dianggap sebagai yang terburuk. Namun begitu dia masih bisa masuk ke Liverpool College of Art, disinilah dia bertemu dengan Cynthia Powell, yang kemudian menjadi istri pertamanya. 

Baca juga: Musik untuk Korban Kekerasan Seksual

Di tahun 1956, Lennon bertemu Paul McCartney yang kemudian menjadi titik balik hidupnya. Mereka mulai menulis lagu bersama dan membentuk grup paling populer sepanjang masa: The Beatles.

Saya kira tidak perlu dijelaskan bagaimana kesuksesan dan popularitas The Beatles ini, yang bahkan tidak bisa dibandingkan dengan grup-grup band lain dalam beberapa dekade setelahnya. 

Jika kalian membayangkan bagaimana fanatisme penggemar k-pop hari ini, begitu pula fanatisme fans The Beatles saat itu, mereka semua menggila ketika Lennon cs mulai memainkan alat musik mereka.

Kepopuleran The Beatles membuat para personilnya termasuk John Lennon bergelimang popularitas dan uang.

Sayangnya di bulan-bulan terakhir tahun 1965, Lennon tenggelam dalam keputusasaan sampai dia berkata kepada salah satu sahabatnya, Pete Shotton: “Semakin banyak yang aku miliki, semakin banyak yang aku lihat, dan semakin banyak pengalaman yang aku dapatkan, semakin aku bingung mengenai siapa aku dan apa arti hidup ini.”

Karena tidak puas dengan kesuksesan materi, dia tersandung pada apa yang oleh psikiater Viktor E. Frankl, disebut sebagai ‘the existential vacuum’, yaitu keadaan di mana seseorang “dihantui oleh kekosongan batin”. 

Baca juga: Tak Mau Jadi Korban Intoleran, Para Perempuan Jadi Pelopor Perdamaian

Frankl menyimpulkan masalah manusia modern ini dalam ‘Man’s Search for Meaning’ yang menyebut “tidak ada naluri yang memberitahukan apa yang harus ia lakukan, dan tidak ada tradisi yang memberitahukan apa yang seharusnya dilakukan; terkadang dia bahkan tidak tahu apa yang ingin dia lakukan.” 

Frankl menyimpulkan bahwa setiap orang hanya bisa mengisi kekosongan tersebut dengan menemukan alasan “untuk apa dan kepada siapa dia memahami arti bertanggung jawab.”

Sepertinya Frankl benar, Lennon yang gelisah itu akhirnya tahu siapa yang layak mengisi kekosongan hatinya. Dia adalah perempuan bernama Yoko Ono, seorang seniman dan musisi Jepang. 

Banyak yang mengatakan bahwa ini titik balik kedua John Lennon. Namun begitu, tidak sedikit penggemarnya yang menyayangkan hubungan tersebut, karena beberapa bulan setelah kedekatan Lennon dan Ono, Cynthia, istri pertamanya, pun mengajukan cerai. 

Meskipun Yoko Ono menerima banyak kebencian rasisme dari orang-orang terutama para penggemar Lennon karena Yoko adalah orang Asia, namun Lennon selalu membelanya bahkan mengatakan: “Tidak ada John dan Yoko, tetapi mereka adalah satu orang; John and Yoko.”

Baca juga: Pasangan Ini Touring Keliling Indonesia Kampanye Toleransi dan Perdamaian

Pada tanggal 1969, Lennon dan Ono akhirnya resmi menikah di Gibraltar, dan menghabiskan bulan madunya di Amsterdam. 

Di belakang tempat tidur mereka terdapat poster-poster yang bertuliskan “Hair Peace. Bed Peace.” Di Montreal, keduanya, bersama musisi-musisi lainnya, merekam ‘Give Peace a Chance’, lagu yang kemudian menjadi salah satu anthem pergerakan untuk perdamaian saat itu. Beberapa saat setelah pernikahannya, Lennon lalu mengubah namanya menjadi John Winston Ono Lennon.

John Lennon, setelah menikah dengan Yoko Ono, tidak lagi menganggap dirinya hanya sekadar penulis lagu. 

“Jika aku hidup di zaman lain….aku mungkin disebut filsuf.” 

Lennon memang tidak pernah membuat ide-ide filsafat seperti Aristoteles, Kant, Hegel atau Sartre, namun dia menciptakan sejumlah karya kreatif, lagu, prosa, puisi serta wawancara-wawancara inspiratifnya yang tidak terhitung banyaknya. Dari peninggalan-peninggalannya itulah filosofi hidupnya bisa kita petik.

Pada dasarnya, Lennon mendukung sekularisme. Menurutnya, Tuhan bukan lah makhluk yang bisa seenak dengkul dipersonalisasi untuk disembah, melainkan kekuatan netral dan samar-samar yang meliputi alam semesta. 

Lennon hanya bisa menyebut dirinya religius tetapi dengan cara yang humanistik, bahwa “Jika beragama artinya ‘kepedulian’, maka…. saya peduli dengan orang lain.” 

Lennon percaya bahwa umat manusia mampu mencapai tingkat di mana kekerasan dan perang bisa digantikan dan hubungan antar sesama manusia didasarkan atas cinta dan rasa saling menghormati.

Baca juga: Yang Bisa Kita Lakukan Di Hari Perdamaian Internasional: Stop Kekerasan dan Perang

Dia bahkan mengusulkan lagu berjudul ‘All You Need Is Love’ pada The Beatles bahwa kunci menuju dunia yang lebih baik adalah transformasi diri. Satu hal yang bisa kita lakukan adalah mengubah diri kita dan mewujudkan potensi kita  untuk “belajar bagaimana menjadi diri kita sendiri pada waktunya.” 

Semakin banyak orang yang melakukan transformasi diri, maka dunia akan menjadi lebih baik.

Di sini Lennon kelihatan seperti seorang idealis sinis. Dia memahami adanya kepentingan pribadi yang menghambat kemajuan manusia untuk menuju dunia yang lebih baik. Tetapi di sisi lain, dia tidak pernah kekurangan optimisme bahwa kita, suatu saat nanti, akan mencapai perdamaian jika kita tetap fokus dan menjaga impian tersebut.

Di dunia yang diusulkan Lennon, orang akan melupakan kekerasan dan bertindak atas dasar cinta dan saling menghormati. Dia percaya bahwa suatu saat nanti manusia akan sadar bahwa agama, negara, dan warna kulit tidak akan ada artinya di hadapan keagungan alam semesta dan bahwa setiap orang harus diperlakukan sebagai manusia, bukan sebagai Muslim, Kristen, Yahudi, dan identitas lainnya.

Lagu ‘Imagine’ saya kira juga memiliki tujuan serupa. ‘Imagine’ mengangkat tiga isu yang Lennon anggap sebagai faktor yang paling memecah belah umat manusia – agama, nasionalisme, dan keserakahan. Dia, dengan lembut, mengajak kita untuk melihatnya dari sudut pandang yang netral.

Bagaimana jika ternyata surga dan neraka tidak ada, dan bahwa Tuhan hanya lah nama dari kekuatan alam semesta itu sendiri? Tanpa surga dan neraka kita tidak lagi berharap pada pahala atau takut pada siksaan setelah kematian.

Baca juga: Menyemai Damai Tentena Lewat Kebun Perdamaian

Mungkin ada yang bertanya, jika surga dan neraka tidak ada, bukankah kita nanti akan terjerumus ke dalam barbarisme, dan kekacauan? Mungkin. Namun, paling tidak, kita akan menjalani hidup yang realistis dan fokus pada keberadaan kita di dunia dan saat ini, dengan sangat sadar akan kefanaan kita.

Bagaimana jika kita berhenti mendefinisikan diri kita sendiri dengan garis-garis imajiner, seperti garis-garis demarkasi (perbatasan) suatu negara? Bagaimana jika, alih-alih menganggap diri kita sebagai patriot bangsa, kita terlebih dahulu memikirkan diri kita sendiri – seperti Diogenes  – sebagai masyarakat dunia? Apakah tidak beriman, tidak mencaci-maki, dan bahkan tidak membantai sesama manusia itu hal yang sulit dilakukan?

Dalam ‘Imagine’, Lennon juga mengatakan tentang membayangkan tidak ada surga adalah hal yang “mudah jika kalian (mau) mencobanya” dan membayangkan bahwa tidak ada negara juga “tidaklah sulit untuk dilakukan.” 

Tetapi, kata Lennon, tentang membayangkan tidak ada harta benda, “Saya penasaran, apakah kalian bisa?. Bukankah penderitaan di dunia akan hilang jika kita bisa saling berbagi?.”

Dunia ideal yang Lennon impikan pada tahun 1971 tersebut bukan lah sesuatu yang dia harapkan akan terjadi dalam waktu dekat. Tetapi, meskipun terkesan naif, Lennon percaya bahwa hari di mana agama, nasionalisme, dan keserakahan menghilang itu pasti akan datang. 

Baca juga: Aktivis Serukan Gencatan Senjata dan Akhiri Genosida di Gaza 

Dalam ‘Imagine’ Lennon berkata:

“You may say, I’m a dreamer,” (Kalian mungkin berkata aku hanya pemimpi)

“But I’m not the only one,” (Tapi aku tidak sendirian)

“I hope someday you’ll join us,” (Aku harap suatu hari kalian akan bergabung bersama kami)

“And the world will live as one.” (Dan dunia akan menjadi satu)

Lagu ‘Imagine’ membuat humanisme Lennon utuh sebagai pesan filosofis yang, saya kira, siapapun sulit untuk menolaknya. Di dalam lagu ini dia berusaha sekuat tenaga untuk mencapai hal-hal universal dan secara sadar mengkomunikasikan visi yang akan menginspirasi semua orang, terlepas dari agama, negara, status, dan warna kulitnya.

Sayangnya, John Lennon tidak bisa selalu membersamai pesan-pesan humanismenya itu, sampai pada tanggal 8 Desember 1980. Ketika Lennon kembali bersama istrinya, Ono, ke apartemen mereka di Dakota, New York City, dia ditembak hingga mati oleh Mark David Chapman seorang fans fanatik The Beatles dan penderita delusi paranoid. 

Meskipun Lennon telah tiada, warisan musik dan pesan-pesannya masih terus menginspirasi orang-orang di seluruh dunia, termasuk tetangga saya yang berisik itu.

Foto: rockhall.com

Fadlan

Penulis saat ini berkecimpung aktif di Sophia Institute. Di waktu senggang, penulis biasa menghabiskan waktu dengan menonton tayangan podcast di YouTube yang membicarakan filsafat dan sains, atau juga belajar bahasa di Duolingo.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!