Bagaimana Nasib LSM dan Kelompok Marginal di Tengah Menyusutnya Donor Internasional

Penelitian yang dilakukan oleh International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) bertajuk Dana dan Daya: Strategi Pendanaan OMS dari Pengalaman Anggota INFID Indonesia, menunjukkan pendanaan oleh donor internasional menurun selama lima tahun terakhir. Apa kontribusi pemerintah untuk menyelamatkan kelompok marginal?

Bagaimana organisasi masyarakat sipil menghadapi masalah penyusutan dana ini? Diskusi ini terus bergulir dan mulai memuncak sejak awal tahun 2025 ini. 

Sepanjang tahun 2025, sektor (Non-Governmental Organization) NGO atau Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dikejutkan dengan berbagai kebijakan pengurangan pendanaan internasional. Di Amerika Serikat misalnya, Trump membekukan US Agency for International Development (USAid), dan per Maret lalu resmi memotong 83 persen pendanaannya. Sedangkan di Prancis, awal Juli lalu mengumumkan pengurangan dana bantuan pembangunan sebesar 700 juta euro atau setara 13,5 triliun rupiah. Bahkan, The Asia Foundation (TAF) yang selama ini juga melakukan banyak pendanaan terhadap NGO lokal di Indonesia menyatakan akan memperkecil lingkup pendanaannya ke depan.

“Sejauh ini, program penanggulangan HIV/AIDS untuk perempuan dan transpuan pekerja seks terancam berhenti. Kami telah merumahkan lebih dari sepuluh petugas lapangan kami, kondisi ini dilakukan karena 80% dana operasional kami berasal dari USAID,” ungkap Sinta dari Jaringan Waria Pasundan yang semakin kebingungan untuk menghadapi akhir tahun yang akan segera datang. 

Penghentian USAID setidaknya melumpuhkan 40% NGO yang bergerak di bidang HIV dan TBC di Indonesia.

“Kami bahkan tidak mampu membayar, setidaknya akomodasi, bagi petugas penjangkauan di akhir Desember nanti.”

Penurunan signifikan terhadap donor internasional memang terjadi selama kurun waktu lima tahun terakhir. Pemotongan dana juga ditengarai akibat dari situasi konflik bersenjata yang tak kunjung usai. Negara besar justru cenderung mengalihkan bantuan mereka untuk mendukung sektor pertahanan dan perang di berbagai kawasan konflik. Di sisi lain, Indonesia yang kini dianggap naik kelas menjadi middle income country membuat negara ini tidak lagi menjadi prioritas target bantuan internasional.

Baca juga: Krisis Pendanaan Gerakan, Bagaimana Organisasi Masyarakat Sipil Harus Berstrategi untuk Keberlanjutan?

Virsa Paradisa dari Global Fund menyatakan, saat ini ada beberapa program penanggulangan dan riset terkait HIV/AIDS yang masih berjalan dan tidak bisa dilanjutkan. Beberapa lembaga seperti FHI 360 dan EpiC yang menjangkau Jakarta dan Greater Jakarta, untuk penanganan HIV/AIDS hanya akan ada sampai akhir tahun ini jika tidak segera mencari sumber pendanaan baru.

“Program DVR (dapivirine vaginal ring) yang digagas oleh Global Fund, saat ini melakukan pilot project untuk dua lokasi, Mimika dan Denpasar. Dengan berhentinya pendanaan dari USAID dampaknya setelah pilot, rencana pengembangan implementasi DVR tidak bisa dilanjutkan. Kami hanya menuntaskan serapan di dua lokasi pilot saja,” lanjut Virsa.

Sejak akhir 1980-an, di mana Orde Baru mulai membuka diri terhadap bantuan luar negeri, NGO menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembangunan ekonomi dan sosial, pengikisan kemiskinan, demokratisasi, dan penguatan masyarakat sipil. Namun, di balik kondisi tersebut, NGO dan lembaga donor membentuk pola ketergantungan yang sukar diputus. Pada awal masa reformasi, tercatat sekitar 300 ribu NGO aktif di Indonesia yang sebagian besar dibentuk untuk merespon meningkatnya bantuan asing. Kini, jumlahnya terus menipis hingga mencapai 8000 unit.

“Situasi saat itu mencerminkan bahwa sejak awal, NGO hadir dan subur karena merespons banyaknya bantuan global. Dan saat ini, kekosongan terjadi, kita kembang kempis,” ujar Nunuk, pegiat NGO sejak tahun 1990-an.

Amalia Savirani, Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis UGM, dilansir dari pidato pengukuhan guru besarnya, Februari 2025 lalu menengarai tingkat ketergantungan NGO Indonesia dengan donor internasional mencapai angka 85%. Uang dari donor internasional itulah yang selama ini digunakan untuk menjalankan program, mengaji pekerja, dan pemberdayaan komunitas. 

Akibatnya, program-program yang ada sangat sulit berlanjut dalam jangka waktu panjang ketika donor internasional menghentikan pendanaanya.

Pendanaan Surut, Kelompok Rentan yang Makin Tertekan

Hingga saat ini, perhatian terhadap pemenuhan kelompok rentan dan minoritas masih bertumpu pada keberadaan NGO. 

Berkurangnya keterlibatan negara dalam sektor publik dan meningkatnya kecenderungan menyerahkan tanggung jawab sosial kepada pada sektor swasta, membuat pemenuhan hak dasar bagi kelompok rentan—misalnya: disabilitas, LGBTQIA+, HIV/AIDS, dan masyarakat adat—sangat bergantung dengan keberadaan dan dukungan donor internasional.

“Program advokasi untuk korban perempuan disabilitas, terutama penyediaan akomodasi yang layak (AYL) dalam penanganan kasus, masih sangat bergantung dengan keberadaan donor, termasuk donor internasional,” ujar Purwanti dari SIGAB yang selama ini aktif mendampingi kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan penyandang disabilitas.

Absennya pemerintah terhadap pengembangan kebijakan dan program progresif juga terlihat dalam minimnya anggaran dana yang diberikan oleh pemerintah terhadap isu tersebut. Selain itu kesulitan birokrasi, waktu tunggu, kriteria yang tidak realistis bagi organisasi kecil, dan bias struktural semakin mempersulit akses terhadap pembiayaan pemerintah. Alhasil dana-dana pemerintah hanya dapat diakses oleh NGO yang berukuran besar dan establish.

Dengan tergerusnya donor, situasi kelompok rentan ikut terseret di ujung tanduk. Kondisi saat ini menunjukkan bagaimana ‘donor’ tidak hanya berfungsi sebagai solidaritas, tetapi juga sebagai instrumen pengaruh global. Donor internasional tidak hanya menyalurkan dana, tetapi juga membawa nilai, mekanisme, dan indikator keberhasilan yang harus diikuti oleh penerima bantuan atau hibah.

“Selain laporan dan workplan, juga ada tuntutan untuk memastikan agar program sejalan dengan tujuan donor,” ucap Lalita yang selama dua tahun terakhir bekerja untuk NGO di Pesisir Sumatera. 

“Banyak NGO yang terpaksa ‘menyesuaikan’ laporannya agar memuaskan donor, agar tidak kehilangan sumber pendanaan lanjutan,” tutupnya.

Baca juga: Aktivis Bicara Efek Donald Trump Buat Imigran dan Dana Bagi Negara Kecil 

NGO saat ini diposisikan sebagai agen perubahan sosial, tetapi dalam kerangka yang tetap ditentukan oleh keberadaan, agenda, dan indikator negara donor. Indikator seperti Sustainable Development Goals (SDGs), Human Development Index (HDI), maupun Gender Equality and Social Inclusion (GESI) Marker menjadi acuan utama dalam merancang program. Indikator tadi yang seolah-olah menjadi tolak ukur universal dari sebuah kemajuan sosial.

Namun, dibalik indikator tersebut, tersedia ruang yang tidak sepenuhnya netral dan perlu diperdebatkan. Indikator tersebut mendikte tentang bagaimana ukuran tersebut dilakukan, misalnya tentang bagaimana masyarakat “seharusnya” inklusif, bagaimana perempuan “seharusnya” berdaya, dan bagaimana disabilitas “seharusnya” dipahami. Kondisi ini turut mereproduksi mana yang dianggap ‘adil’, apa yang dianggap ‘setara’, dan apa yang dianggap ‘inklusif’.

Disisi lain, NGO pun dijadikan alat oleh negara untuk membangun ‘branding’ sebagai negara yang mengedepankan prinsip human rights, democracy, dan good governance. Kondisi ini memperlihatkan pula pelimpahan kewajiban negara yang justru hanya bertumpu pada kerja-kerja NGO yang berskala mikro. 

Suharko dalam tulisanya NGO, Civil Society dan Demokrasi: Kritik atas Pandangan Liberal menilai, kondisi ini secara perlahan memperlemah kemampuan negara dalam menyediakan pelayanan publik. Akibatnya negara seolah-olah tidak memiliki kewajiban terhadap pemenuhan hak kelompok rentan karena selama ini telah dilakukan oleh NGO. Kewajiban pemenuhan hak asasi manusia tetap merupakan kewajiban hukum negara, bukan bentuk kebaikan hati lembaga swadaya.

Swakelola dan Unit Bisnis

Pada akhirnya, di tengah himpitan dan keterbatasan dana dari donor internasional membuat sejumlah NGO harus memutar otak untuk memastikan keberlanjutan program dan menghidupi organisasinya sendiri. 

Salah satu strategi yang ditempuh melalui mekanisme unit bisnis. (World Wild Fund for Nature) WWF misalnya, membuka galeri dengan menjual beberapa barang dan merchandise yang keuntungannya akan langsung dalam pelaksanaan program. Sementara OXFAM dengan menjual produk dari organisasi binaan dan pelaku UKM dampingan. Yayasan Yasanti membuka penginapan. Profit yang dihasilkan akan digunakan untuk menopang operasional organisasi, tetapi juga memperkuat kerja komunitas akar rumput Kondisi tersebut yang membuat bisnis yang dilakukan NGO tidak dapat ditengarai sebagai profit making, melainkan civic making.

Diversifikasi pendanaan yang berkelanjutan, seperti yang disampaikan INFID dalam laporannya, juga dilakukan melalui mekanisme crowd funding maupun kerja sama dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Namun, perlu digaris bawahi bahwa skema CSR sangat bergantung pada isu yang sejalan dengan kepentingan perusahaan, sedangkan mekanisme crowdfunding untuk isu-isu sensitif dan kelompok minoritas masih menghadapi keterbatasan besar. Misalnya, crowdfunding yang dilakukan Yayasan Kebaya untuk mendukung komunitas LGBTQIA+ di Indonesia hanya memperoleh ruang dan dukungan yang sangat terbatas.

Selain itu sebenarnya, terdapat mekanisme pendanaan dengan memanfaatkan swakelola tipe II dan III yang belum banyak dijamah oleh NGO saat ini. Swakelola tipe II memungkinkan NGO mendapatkan pendanaan melalui penunjukan langsung dari pemerintah, sedangkan tipe III mengharuskan NGO untuk mencari program pemerintah yang sesuai dengan kegiatan mereka, dan menawarkan diri sebagai pelaksana.

Di balik persoalan genting mengenai masa depan NGO yang bergerak dalam isu kelompok rentan di Indonesia, terselip kegelisahan yang lebih dalam. Bagaimana nasib perjuangan ini ketika sumber pendanaannya kian mengering? Selain NGO perlu merefleksikan ulang perannya sebagai penguat masyarakat sipil sekaligus membangun relasi yang lebih setara dengan donor. 

Namun, bukankah negara seharusnya berhenti menjadi penonton atas upaya-upaya NGO, dan mulai berkolaborasi untuk perlindungan kelompok rentan?

(Editor: Luviana Ariyanti)

Rama Agung

Program Studi Magister Hukum UGM, GagasMedia Book Editor, Gender and Law Researcher
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!